- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#77
Jilid 3 [Part 59]
Spoiler for :
Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja merahasiakan.
Akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang dimakan api.
Sambil memahat, Ki Ardi mulai berceritera.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi pahatannya. Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut.
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab,
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia menjawab sekenanya saja,
Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang lain.
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar. Bahkan ia berkata terus,
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban, akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab,
Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut juga.
Maka katanya membetulkan,
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia melanjutkan ceriteranya.
Akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata,
Quote:
“Tidak… Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor naga yang sedemikian?”
KI Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum.
“Belum, Tuan. Aku belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”
KI Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum.
“Belum, Tuan. Aku belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.
Quote:
“Tuan…,” katanya kemudian,
“Silakan Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini.”
“Silakan Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang dimakan api.
Sambil memahat, Ki Ardi mulai berceritera.
Quote:
“Naga ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa disusahkan oleh seorang putrinya,” kata Ki Ardi mengawali ceritanya.
Quote:
“Putri itu,” lanjut Ki Ardi,
“jatuh cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya. Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.
Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya. Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang beracun.”
“jatuh cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya. Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.
Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya. Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang beracun.”
Quote:
“Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu tidak membiarkannya.
Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di udara.”
“Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut naga bersisik emas itu.”
“Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa,” cerita Ki Ardi.
Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di udara.”
“Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut naga bersisik emas itu.”
“Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa,” cerita Ki Ardi.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi pahatannya. Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut.
Quote:
“Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata tuan tentang ini?” kata orangtua itu kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab,
Quote:
“Bagus, Ki Ardi.”
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya,
“Baru sekarang aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya,
“Baru sekarang aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia menjawab sekenanya saja,
Quote:
“Bagus, Ki Ardi.”
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra.
“Apa yang bagus?”
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah.
“Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini.”
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh.
“Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati ditelan nagaku ini.”
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat.
“Orang tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek,” gerutu Sagotra.
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra.
“Apa yang bagus?”
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah.
“Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini.”
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh.
“Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati ditelan nagaku ini.”
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat.
“Orang tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek,” gerutu Sagotra.
Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang lain.
Quote:
“Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu,” kata Ki Ardi kepada Sagotra.
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar. Bahkan ia berkata terus,
Quote:
“Ki Ardi, aku lebih suka mendengar dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu.”
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban, akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab,
Quote:
“Ki Ardi aku dan Sagotra secara kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil.
“Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini,” lanjutnya.
“Ki Ardi, jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik, potong Sagotra dengan nada tidak senang.”
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil.
“Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini,” lanjutnya.
“Ki Ardi, jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik, potong Sagotra dengan nada tidak senang.”
Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut juga.
Maka katanya membetulkan,
Quote:
“Maaf Sagotra… maksudku bukan tidak baik, aku hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja ceriteraku.”
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia melanjutkan ceriteranya.
Diubah oleh nandeko 04-08-2020 13:15
fakhrie... dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas