- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#76
Jilid 3 [Part 58]
Spoiler for :
Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama. Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu, mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya ia meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan.
Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari perbendaharaan Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar.
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.
Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk memberi keterangan tentang kedua keris itu.
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat.
Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.
Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja, tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan ketakutan.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata,
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar,
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.
Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu.
Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati dengan seksama.
Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah.
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
Quote:
“Nagasasra Sabuk Inten…?” desis Mahesa Jenar.
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan.
Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari perbendaharaan Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar.
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.
Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk memberi keterangan tentang kedua keris itu.
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat.
Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.
Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja, tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan ketakutan.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata,
Quote:
"Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak."
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar,
Quote:
“Tuan, apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?”
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya,
“Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan terhadap Bapak.”
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya,
“Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan terhadap Bapak.”
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.
Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu.
Quote:
“Bapak…, yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang Bapak buat itu,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar.
“Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan? ” jawab orangtua itu.
“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat,
” Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? ”
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar.
“Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan? ” jawab orangtua itu.
“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat,
” Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? ”
Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati dengan seksama.
Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah.
Quote:
“Pahatanku sudah hampir selesai. Apa yang tadi tuan tanyakan?”
“Pahatan itu…. Apakah yang sedang Bapak pahat?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidakkah Tuan tahu…. ” kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra.
“Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”
“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat
.
“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.
“Maksudku, apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang pernah Bapak lihat sebelumnya?”
Orang tua itu semakin heran.
“Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”
“Pahatan itu…. Apakah yang sedang Bapak pahat?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidakkah Tuan tahu…. ” kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra.
“Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”
“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat
.
“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.
“Maksudku, apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang pernah Bapak lihat sebelumnya?”
Orang tua itu semakin heran.
“Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”
MFriza85 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas