Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.6K
902
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#91
Bab XIX
Awal Pertempuran Yang Berat.


Barisan panjang beriringan meninggalkan Sungai Serayu, mengarah ke selatan, masih menyusuri tepian hutan. Dari barisan itu ke tepian hutan, kira-kira jaraknya 1 Km. Lima belas senapati yang membantu Rangga, masing-masing memimpin seratus orang, terdiri dari prajurit mereka sendiri dan penduduk Kademangan Jati Asih yang bersedia ikut menjaga barisan panjang penduduk kademangan.

Rangga dan Ki Ageng Aras berada agak jauh di belakang, mengamati keadaan.

“Apa mereka akan terpancing?”, tanya Ki Ageng Aras.

“Terpancing atau tidak, semuanya baik untuk kita.”, jawab Rangga dengan ringan, namun sorot matanya yang biasanya kemalas-malasan, kali ini mencorong setajam mata elang.

“Hmm... ya, kalau mereka tidak berani menyerang di tempat yang terbuka, kita bisa melewati hutan ini dengan aman. Beberapa kilometer lagi sudah mulai memasuki perbatasan wilayah Kadipaten Jambangan.”, angguk Ki Ageng Aras.

“Menurut raden, bagaimana Adipati Jalak Kenikir akan bersikap?”, teringat jalur yang akan mereka lewati, Ki Ageng Aras bertanya.

Rangga mengerutkan alis, orang-orangnya yang biasanya mengirimkan kabar tentang situasi dalam Kerajaan Watu Galuh, sudah beberapa lama tidak menghubungi dirinya, 'Sepertinya Adi Prabu Jannapati memperketat pengamanan di ibu kota. Aku harap mereka semua baik-baik saja.'

“Aku tidak tahu paman..., aku harap dia bisa menutup mata dan membiarkan kita lewat. Jika tidak...., terpaksa kita harus menumpahkan darah.”, jawab Rangga dengan hati berat.

Ki Ageng Aras baru hendak menyahut, ketika mereka mendengar teriakan riuh rendah dari arah hutan.

“Rupanya mereka tak sabar lagi den.”, kata Ki Ageng Aras.

“Hmm..... benar paman.” ujar Rangga dengan wajah sedikit tegang.
“Jaga barisan!”

“Jaga barisan!”

“Semuanya tetap bergerak sesuai perintah!”

Teriakan-teriakan terdengar dari arah barisan di depan mereka, para senapati, bekel dan lurah mengawasi tiap-tiap orang yang berada di bawah pimpinannya, dan sesekali berteriak ketika melihat ada yang salah.

Para prajurit yang sudah mengikuti mereka belasan bahkan puluhan tahun lamanya terlihat waspada, namun tidak tegang. Berbeda dengan para penduduk kademangan yang sudah lama, atau bahkan hampir tak pernah mengangkat senjata dalam pertempuran yang sesungguhnya. Apalagi sebagian besar yang dipilih untuk menggenapkan jumlah pasukan, adalah mereka yang masih muda, dengan harapan mereka bisa menjadi cikal bakal prajurit-prajurit di masa depan.

Sementara mereka yang tidak terpilih, diserahkan pada Ki Demang dan Ki Jagabaya, untuk menyebar dan menjaga keamanan anak-anak, wanita dan orang tua. Jika ada bandit-bandit yang berhasil menembus pertahanan, maka mereka masih akan menghadapi perlawanan yang sengit dari penduduk kademangan.

“HAAA.... mati kalian!!”

“BUNUH SEMUA LAKI-LAKI!”

“AKU MAKAN JANTUNG KALIAN!”

“HOEEEEEEEE!!! HAHAHAHA!”

Suara teriakan, ancaman dan makian terdengar dari arah para begal yang bergerak dalam jumlah besar, namun tak beraturan. Keliaran mereka membuat jantung anak-anak muda Kademangan Jati Asih berdebaran.

“Jangan takut, bandit-bandit itu hanya besar suaranya.”, dengus seorang prajurit kepada anak muda di sebelahnya.

“Hahaha, Kakang Jati ingat, puluhan tahun yang lalu saat kita dipimpin mendiang Prabu Jaya Lesmana menghajar mereka sampai mereka lari terkencing-kencing?”, sahut prajurit lain yang berbaris tak jauh dari dia.

“Hahahaha, benar, benar sekali. Dulu kita dipimpin mendiang Prabu Jaya Lesmana, dan hee kalian sekarang,” ujar prajurit tadi sambil mengitarkan pandangannya ke arah anak-anak muda dari Kademangan Jati Asih, “mendapat kesempatan yang sama, dan kali ini dipimpin oleh Raden Rangga Wijaya, putera tunggal Prabu Jaya Lesmana.”

Rasa takut yang mencekam hati mereka, terusir pergi, oleh sikap para prajurit yang tenang itu. Anak-anak muda itu saling berpandangan, saling menguatkan hati lewat sorot mata mereka.

Tiba-tiba terdengar suara Rangga Wijaya menggelegar memenuhi udara, “Prajurit-prajurit Rangga Wijaya, mana suara kalian!?”

Suaranya seperti menyusup ke dalam dada tiap-tiap orang yang mendengarnya. Membawa rasa takut ke dalam dada para begal yang datang menyerang, tapi sebaliknya seperti nyala api yang membakar semangat mereka yang menjadi pasukannya.

Dan tanpa sadar, para prajurit dan pemuda-pemuda Kademangan Jati Asih yang berbaris bersama mereka, seperti merasakan desakan dalam dada mereka untuk berteriak dan berseru.

“HOAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”, dan secara serempak seribu lima ratus orang itu pun berteriak berbarengan.

Suara mereka seakan menggetarkan langit di atas dan bumi yang mereka pijak. Bahkan langkah para begal dari Gunung Awu itu seperti tertahan sesaat. Ki Ageng Aras menoleh ke arah Rangga, dari wajahnya terpancar rasa kagum.

Rangga yang melihat Ki Ageng Aras menoleh, berkata, “Hanya sekedar mainan anak-anak ki...”

Memang yang terpengaruh oleh suara Rangga tadi, hanyalah para bandit kecil, prajurit dan anak-anak muda Kademangan Jati Asih. Mereka yang berilmu sedikit cukup tinggi, tidak banyak terpengaruh oleh suaranya.

“Dalam sebuah pertempuran yang besar, yang sedikit itu berarti banyak den...”, jawab Ki Ageng Aras dengan hikmat.

Raden Rangga tidak mengiyakan, hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Jaga kecepatan! Simpan semangat kalian untuk nanti!”, kali ini terdengar beberapa perwira berteriak mengingatkan anak buahnya yang terlalu bersemangat.

Tak lama kemudian dari arah para begal yang berlari semakin dekat, terdengar suara tawa yang mengerikan, perbawanya seperti hendak menetralkan teriakan Rangga.

“HAAHAHAAHAA....Rangga kau bocah ingusan! Bagus kau berani menampakkan batang hidungmu! Hutang ayahmu akan kutagih padamu!”, satu sosok berkelebat maju ke arah barisan penduduk kademangan.

Mulut Lowo Ijo mencaci Rangga, namun gerakannya justru menyerang ke arah pasukannya. Para begal itu cukup licin, dari teriakan Rangga tadi mereka bisa mengira-ngira kedalaman ilmunya. Meski Lowo Ijo merasa masih bisa mengalahkan Rangga, tapi matanya yang tajam melihat ada Ki Ageng Aras di sisi Rangga.

Daripada bertaruh pada pertaruhan yang tak jelas, dia memilih mengincar kepala perwira-perwira yang jadi bawahan Rangga.

“Dasar setan licik, biar aku yang menghadapinya raden.”, ujar Ki Ageng Aras dengan kesal.

Rangga tertawa dan menggamit tangannya, “Tidak usah paman, kita lihat saja lebih dahulu dari sini.”

Benar saja tak perlu menunggu lama, dengan segera dua sosok berkelebat menyambut Lowo Ijo. Seorang senapati dibantu bekel yang dia percaya menghadang Lowo Ijo. Satu demi satu, begal dari Gunung Awu itu pun mulai menyerang barisan yang berjalan jauh lebih lambat, karena harus mengikuti kecepatan penduduk Kademangan Jati Asih yang bukan saja bercampur antara anak-anak, wanita dan orang tua, tapi juga harus membawa berbagai macam barang perbekalan dan harta mereka.

“Jaga barisan!”

“Jaga barisan!”

Terdengar teriakan para senapati yang mengatur pertahanan, sambil berkelebat ke sana ke mari menghadang lawan yang terlalu kuat bagi pasukan mereka. Beberapa orang begal yang sudah gelap mata, menyasar pula pada Rangga dan Ki Ageng Aras, tapi dengan mudah Rangga dan Ki Ageng Aras melumpuhkan mereka. Jika Rangga hanya berdiri menunggu saja sambil terus mengamati keseluruhan medan tempur. Tidak demikian dengan Ki Ageng Aras asalkan ada yang berani mendekat, tangannya akan berkelebat menyambar lawan.

Setelah puluhan orang meregang nyawa, begal-begal yang lain pun jadi jeri dan tak ada yang berani mendekat.

Sementara itu tekanan pada pasukan Rangga menjadi semakin berat, jumlah begal yang menyerbu itu tak kurang dari seribu orang. Mereka pun orang-orang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan.

Para senapati mulai terikat perhatiannya oleh lawan-lawan yang seimbang. Perlahan-lahan pasukan Rangga mulai terdesak.

“Paman, masih ingat dengan orang tua tadi?”, tanya Rangga dengan tenang sambil terus bergerak mengikuti pertempuran di sekitar mereka.

“Tentu, raden ingin aku menangkapnya sekarang?”, tanya Ki Ageng Aras.

“Mohon bantuannya paman.”, jawab Rangga sambil tersenyum.

Dua orang itu bercakap-cakap seakan sedang berada di warung makan saja, padahal di sekelilingnya terjadi pertempuran yang sengit.

“Hehe, silahkan raden tunggu di sini.”, uajr Ki Ageng Aras sebelum melompat ke udara, berkelebat ke arah Lowo Ijo.

Sementara itu Rangga melompat ringan menuju ke salah satu lingkaran pertarungan yang lain. Di situ Macan Gunung Awu dibantu dengan beberapa orang kepercayaannya, mengepung seorang senapati. Entah disengaja atau tidak, beberapa pimpinan begal yang lain memimpin anak buah mereka untuk menghalangi siapa saja yang hendak membantu senapati itu.

Luka-luka sayatan pedang sudah mulai menghiasi tubuh senapati itu.

Beberapa serangan dari arah yang berbeda-beda, meluncur dalam waktu yang hampir bersamaan. Senapati Trimukti mengeluh dalam hati, tongkat besi di tangannya berkelebatan berputaran dengan cepat menangkis serangan-serangan yang datang, namun dari kerasnya kesiuran angin yang datang dari sabetan pedang Ki Paryadji, atau Macan Gunung Awu, Senapati Trimukti sudah merasa bakal tak mampu menahan serangan itu.

“TRANGG!!!”

Pedang Macan Gunung Awu terpental sebelum mencapai sasarannya. Keris Rangga dengan tepat menghantam pedang Macan Gunung Awu dan getarannya membuat dia harus melangkah mundur beberapa langkah.

“Setan!! Rangga, kau cari mati rupanya!?”, geram Ki Paryadji.

“Eh, aku tak kenal siapa namamu. Tapi sepertinya kaulah yang cari mati.”, sahut Rangga dengan alis terangkat, pura-pura tak mengerti.

“Paman Trimukti, pasukanmu butuh pimpinanmu. Kecoak-kecoak ini serahkan saja padaku.”, ujar Rangga pada Senapati Trimukti.

“Siap raden.”, jawab Senapati Trimukti sebelum melompat mundur keluar dari kepungan.

“Kau kira gampang lolos begitu saja!”, bentak beberapa orang begal.

Namun belum sempat mereka menghadang Senapati Trimukti, mereka merasakan bulu kuduk mereka berdiri, suara keris mendesing-desing berkelebatan mencari mangsa. Seorang dari antara mereka tak cukup cepat untuk menghindar. Keris Rangga berkelebat membentuk bayangan hitam menyambar tengkuknya. Sekejap kemudian darah menyembur deras, mengiringi nyawanya yang terbang meninggalkan raga.

Macan Gunung Awu sudah berkelebat maju dengan pedangnya, tapi tak cukup cepat untuk menolong nyawa orang kepercayaannya. Rangga dengan gesit melayani serangan Ki Paryadji yang ganas, sesekali dia masih sempat menyusup dan menyerang balik.

Para perwira yang lain pun tak tinggal diam, hari itu Senapati Trimukti pun lolos dari cengkeraman maut.

Mata Macan Gunung Awu itu berubah merah, jantungnya terasa ingin meledak. Dalam hati dia memaki-maki, 'Bocah keparat! Kenapa kau memilih ke tempat ini!'

Meski mulutnya tak mau mengakui, namun dalam hati Ki Paryadji mengakui kelebihan Rangga. Selama Rangga ada di sini, tak ada harapan baginya untuk memenangkan sesuatu dari pertempuran ini. Di saat yang sama dia melihat beberapa kepala begal yang lain mulai mendesak dan melukai mangsa mereka.

Hatinya sedikit terhibur, ketika melihat Lowo Ijo dan orang-orang kepercayaannya harus menghadapi Ki Ageng Aras.

Sambil bertarung, otak Ki Paryadji tak berhenti berputar, beberapa kali dia berpikir untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Namun ketika dia melihat pasukan Rangga yang terus terdesak mundur, muncul harapannya.

Benar saja, ketika Rangga yang juga tak henti-hentinya mengamati medan pertempuran, melihat ada seorang senapati yang terancam nyawanya, pemuda itu melompat pergi, melepaskan Ki Paryadji dan anak buahnya.

Tak lupa pemuda itu berpamitan, “Hahaha... paman, aku pergi main ke sana dulu. Kau baik-baik di sini, jangan terlalu garang, nanti aku terpaksa harus kembali.”

“baik!”, geram Macan Gunung Awu marah, di saat yang sama merasa lega, lepas dari gangguan Rangga.

Pasukan Rangga harus bekerja keras menahan serangan lawan, meski senapati-senapati itu berilmu tinggi, pihak lawan pun tak kurang yang berilmu seimbang dengan mereka. Selain itu, bukan hanya bertarung, mereka juga harus memperhatikan kondisi pasukan mereka.

Beruntung para lurah dan bekel, sudah sangat berpengalaman, meski mereka tak mampu menyerang balik lawan, setidaknya mereka mampu mengatur barisan pertahanan mereka dengan rapat.

Meski demikian, korban-korban yang terluka dari pihak Rangga sudah mulai berjatuhan. Baiknya untuk setiap mereka yang tak mampu meneruskan pertempuran, ada puluhan pemuda lain yang siap menggantikan.

Ki Demang dan Ki Jagabaya bekerja keras mendukung pertahanan dari dalam barisan. Mengatur kelompok-kelompok kecil yang bergegas menolong mereka yang terluka, membawanya ke dalam barisan. Sekaligus juga mengirimkan orang untuk menggantikan mereka yang terluka itu.

Perlawanan orang-orang Kademangan Jati Asih dan pasukan Rangga berada di luar perhitungan begal-begal dari Gunung Awu itu. Kepala-kepala begal dan rampok itu, beberapa kali sudah berpikir untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Namun ketika melihat rekan-rekannya beberapa kali hampir berhasil memenangkan sesuatu, mereka pun jadi terpacu. Apalagi pasukan Rangga semakin lama semakin terdesak.

Meskipun setiap kali mereka hampir berhasil membunuh seorang senapati, Rangga tiba-tiba muncul untuk menggagalkan serangan, dalam hati mereka selalu menghibur diri, 'Bocah keparat itu tak akan bisa berada di beberapa tempat di waktu yang sama.'

Yang mereka lupa, para senapati dan perwira-perwira yang membantu mereka bukan kelinci yang gampang diburu, mereka tak kalah ganasnya dibanding begal-begal itu.

Tatkala mereka merasa jeri, para begal itu melihat hutan hanya ratusan meter dari tempat mereka berada.

Tatkala mereka ingin menyerah, pada begal itu melihat korban luka yang harus ditandu pergi dari medan pertempuran di pihak pasukan Rangga, melihat luka yang berhasil ditorehkan oleh pemimpin mereka di tubuh lawan.

Tiba-tiba beberapa kepala begal menyadari bahwa medan pertempuran sudah bergeser jauh ke selatan, hampir memasuki tapal batas terluar Kadipaten Jambangan.

“Kerahkan kekuatan kalian! Bantai mereka!”

“Bantai! Bantai! Gadis-gadis Kademangan Jati Asih ada di belakang pasukan ini!”

“Pecahkan pertahanan mereka! Siapa yang berhasil menembus, akan mendapat hadiah dariku!”

“Yang berhasil mengambil kepala Ki Demang, kau boleh ambil isteri dan anaknya sekaligus!”

“Satu kepala prajurit, sepuluh wanita!”

“Satu kepala prajurit, seratus keping uang!”

Berbagai macam seruan tak nggenah bersahut-sahutan, berusaha memacu nafsu yang menggelapkan budi. Begal-begal Gunung Awu itu pun kesetanan. Gambaran ketika manusia, kehilangan kemanusiaan-nya, hingga binatang pun tampak lebih berbudi. Bagi prajurit-prajurit yang sudah kenyang bertempur, keberingasan lawan itu tak mampu menggoyahkan keyakinan mereka. Namun bagi anak-anak muda Kademangan Jati Asih teriakan dan lolongan seperti binatang liar, sorot mata yang sudah kehilangan kesadaran dan serangan-serangan yang tak mempedulikan luka-luka di badan itu, membuat hati mereka jeri.

“Jangan panik.”

“Hadapi dengan tenang.”

“Mereka manusia sama seperti kita!”

Para prajurit yang lebih berpengalaman, berusaha menenangkan mereka, namun mereka sendiri harus bekerja keras menahan serangan lawan yang sudah kesetanan. Tak bisa setiap waktu membagi perhatian untuk rekan-rekan mereka yang masih belum matang itu.

Korban pun semakin banyak berjatuhan.

Rangga menengok ke arah tempat Tumenggung Widyaguna dan yang lain sedang bersembunyi. Diamatinya pula keadaan pasukan yang sudah makin terdesak. Utamanya orang-orang Kademangan Jati Asih yang mulai kerepotan untuk membawa mundur rekan-rekan mereka yang tak sanggup melanjutkan pertempuran.

Rangga menggertakkan giginya, pemuda itu tiba-tiba melompat mundur keluar dari lingkaran pertarungan yang sedang dia hadapi. Matanya memejam setarikan nafas. Ketika dia membuka lagi matanya, sorot matanya terlihat membara.

“HAAUUUUUUUUMMMMMMMMMMMMMMMM!!!!!!!!!!!”, Rangga menggeram keras, suaranya memenuhi medan pertempuran, mengguncang dada sekalian orang yang berada di depannya.

Untuk sesaat waktu seakan-akan membeku, karena setiap orang yang ada di pertempuran itu diam tak bergerak.

“MUNDUR !!! MUNDUR !!!”, seru Rangga dengan keras, sebelum para begal Gunung Awu mendapatkan kembali keseimbangan jiwanya.

Anak-anak muda Kademangan Jati Asih yang sudah diselipi rasa jeri terhadap lawan, berserabutan mundur kembali masuk ke dalam barisan. Beruntung para senapati dan prajurit yang berpengalaman ada bersama mereka.

Prajurit-prajurit itu dipimpin oleh para perwira, segera merapatkan garis pertahanan, sambil mundur dengan teratur. Tekanan lawan jauh lebih berat, karena sekarang jumlah mereka jadi jauh tak seimbang.

Ki Demang dan Ki Jagabaya yang bertugas mengatur penduduk kademangan, berupaya menjaga agar penduduk kademangan tidak berserak-serak karena ketakutan. Para orang tua yang dulu pernah menjadi prajurit, sekarang menunjukkan ketabahannya, berkat keberadaan mereka, keadaan penduduk Kademangan Jati Asih masih bisa terkendali.

Rangga dan Ki Ageng Aras, berkelebatan ke sana ke mari seperti harimau lapar, berdua mereka membuat begal-begal yang sudah kesetanan itu pun merasa jeri. Namun apa artinya dua orang melawan lawan yang jumlahnya lebih dari seribu?

Mata Ki Lowo Ijo dan Macan Gunung Awu sudah menyala-nyala penuh nafsu, terbayang oleh mereka, sebentar lagi sebutir kepala senapati akan mereka dapatkan.

Berbeda dengan anak buah mereka, kepala-kepala begal Gunung Awu itu tidak berpikir untuk memenangkan pertempuran, mereka hanya butuh satu kepala, dan mereka akan menghilang dari tempat itu.

Serangan kepala-kepala begal itu semakin membabi buta, karena sama-sama tahu apa jalan pikiran sekutunya saat itu. Siapa yang lebih dahulu bisa mendapatkan kepala seorang senapati, akan diuntungkan, sementara yang terlambat akan dirugikan.

Jika tadinya beberapa kepala begal masih saling bekerja sama, sekarang mereka berlomba untuk menjadi yang pertama.

Prajurit-prajurit biasa saja merasakan tekanan yang berat, apalagi para senapati yang menjadi target sasaran dari tiga belas kepala begal Gunung Awu.

Bersambung ke Bab XX
Diubah oleh lonelylontong 05-08-2020 03:13
itkgid
widi0407
danjau
danjau dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.