- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#60
Jilid 3 [Part 45]
Spoiler for :
Meskipun cahaya kemerahan itu masih begitu lemah untuk dapat menerangi pedalaman hutan yang lebat, tetapi berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan, sedikit banyak telah dapat pula menyibak gelapnya malam, dan mengurangi kepekatan rimba, menggantikan cahaya perapian yang telah terlalu lama padam. Maka makin lama semakin tampak jelaslah dua bayangan yang sedang mati-matian mengadu tenaga itu.
Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Di dalam hati ia memuji juga keuletan Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama mengadakan semacam pertandingan dengan beberapa orang lainnya, termasuk dirinya.
Diam-diam ia merasa mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan Jaka Soka, yang pada akhir tahun ini pasti akan menjadi salah seorang lawannya yang berat. Karena itu sejak pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada setiap gerak Jaka Soka.
Tetapi setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera perhatiannya beralih. Gerak orang ini demikian tenang, kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang sembarangan. Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai ia meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya mengawasi setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya seolah-olah mau meloncat dari kepalanya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya, bahkan pernah dialami kedahsyatannya. Maka dengan suatu gerakan yang cepat sekali, secepat sambaran halilintar, ia meloncat maju ke tengah-tengah arena pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya mulutnya berteriak,
Baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar serentak terkejut mendengar seruan itu. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka. Maka sesaat pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji lebih dahulu, mereka bersama-sama meloncat selangkah surut. Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai ungkapan kemarahan yang menyala di dalam dadanya.
Jaka Soka memandang Lawa Ijo dengan mata yang menyalakan api kemarahan.
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka Soka menjadi semakin menyala. Giginya gemeretak dan tubuhnya menggigil menahan marah. Dengan suara gemuruh ia menjawab,
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh lebih buas dari wajah Jaka Soka yang tampan itu, namun ternyata kepala Lawa Ijo agak lebih dingin. Karena itu ia sama sekali tidak menunjukkan kegusarannya mendengar kata-kata Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab dengan tenang meskipun tampak pula kegarangannya.
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir itu, nyala kemarahan Jaka Soka menjadi surut.
Sedang pancaran matanya yang berapi-api itu pun segera redup dan membayangkan keheranan. Tanyanya kemudian,
Lawa Ijo mengangguk.
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan tanpa disengaja ia memandang Mahesa Jenar. Baru sekarang ia memperhatikan lawannya itu dengan saksama. Tubuhnya tegap kekar. Dadanya bidang. Meskipun ia berwajah lunak, tetapi pandangan matanya memancarkan kecermelangan pribadinya.
Pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada di sekitar arena itu segera memperhatikan. Sebab pertanyaan yang demikian itu timbul pula di setiap hati orang menyaksikan pertempuran itu. Bahkan diantara mereka telah timbul harapan baru, setelah mereka menyaksikan kridha orang yang mereka anggap tidak lebih dari seorang perantau. Lebih-lebih sepasang suami-istri yang telah merasa terlanjur menyuruh orang itu membawakan beban mereka.
Maka semua perhatian pada saat itu tertambat pada mulut Lawa Ijo yang akan menjawab pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek. Kemudian barulah ia menjawab,
Berdebarlah setiap jantung mereka yang mendengar kata-kata ini. Pastilah orang ini bukan orang sembarangan. Tidak terkecuali Jaka Soka. Sudah sejak lama ia mengenal Lawa Ijo. Dan pernah pula ia berkelahi melawan orang ini. Tetapi tak pernah salah seorang dari mereka berdua dapat mengatasi yang lain. Kalau orang ini pernah melukai Lawa Ijo pastilah ia memiliki kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-katanya,
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar sindiran Lawa Ijo. Ia sama sekali tak mau menerima keterangan itu. Sebab pada saat ia menyerang Lawa Ijo, ia sedang berusaha untuk melindungi Gadjah Alit yang justru diserang oleh Lawa Ijo dengan sikap yang tidak perwira. Kecuali Lawa Ijo tidak menyerang dari depan, juga pada saat itu Gadjah Alit sedang dikerubut oleh tiga orang. Tetapi meskipun demikian ia tidak merasa perlu melayani fitnah itu. Karena itu ia diam saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera teringat bahwa memang Lawa Ijo pernah bercerita kepadanya, tentang luka yang dideritanya pada saat ia berusaha memasuki gedung perbendaharaan di Demak. Karena itu sebelum Lawa Ijo menyebut nama Mahesa Jenar, ia mendahului berteriak,
Mendengar nama itu tergetarlah perasaan mereka yang pernah mengenal kebesarannya. Lebih-lebih para pengawal dan para pedagang yang datang dari pesisir utara. Tetapi dalam pada itu, dalam dada masing-masing terbersitlah semacam harapan baru yang menjadi semakin teguh, bahwa jiwa mereka akan tertolong. Karena itu menjadi semakin besarlah hati mereka. Selain itu para pengawal kemudian telah bersiap pula terjun ke dalam pertempuran seandainya Lawa Ijo dan Jaka Soka akan bersama-sama menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Di dalam hati ia memuji juga keuletan Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama mengadakan semacam pertandingan dengan beberapa orang lainnya, termasuk dirinya.
Diam-diam ia merasa mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan Jaka Soka, yang pada akhir tahun ini pasti akan menjadi salah seorang lawannya yang berat. Karena itu sejak pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada setiap gerak Jaka Soka.
Tetapi setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera perhatiannya beralih. Gerak orang ini demikian tenang, kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang sembarangan. Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai ia meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya mengawasi setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya seolah-olah mau meloncat dari kepalanya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya, bahkan pernah dialami kedahsyatannya. Maka dengan suatu gerakan yang cepat sekali, secepat sambaran halilintar, ia meloncat maju ke tengah-tengah arena pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya mulutnya berteriak,
Quote:
“Jaka Soka, minggirlah!”
Baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar serentak terkejut mendengar seruan itu. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka. Maka sesaat pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji lebih dahulu, mereka bersama-sama meloncat selangkah surut. Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai ungkapan kemarahan yang menyala di dalam dadanya.
Quote:
“Lawa Ijo, apalagi yang kau maui dariku sehingga kau hentikan perkelahian ini. Meskipun aku tidak segera dapat membunuh orang yang sombong ini, tetapi aku sudah bertekad untuk melayani sampai berapa hari pun, bahkan bertahun-tahun sampai salah seorang dari kami hancur,” kata Jaka Soka.
“Kau benar Soka, tetapi sudah aku katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga kaupun harus menurut angger-angger-ku,” sahut Lawa Ijo.
“Kau benar Soka, tetapi sudah aku katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga kaupun harus menurut angger-angger-ku,” sahut Lawa Ijo.
Jaka Soka memandang Lawa Ijo dengan mata yang menyalakan api kemarahan.
Quote:
“Apalagi yang kau kehendaki dariku?” katanya.
“Aku tak menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka, kecuali serahkan orang ini kepadaku,” jawab Lawa Ijo.
Mata Jaka Soka bertambah berapi-api lagi.
“Lawa Ijo, apakah kau sudah memandang aku sedemikian rendahnya sehingga kau perlu menolong aku?” kata Jaka Soka lagi.
LAWA IJO mendengus pendek. Sambil menggeleng ia berkata,
“Sama sekali tidak, kawan. Tetapi seperti yang kau katakan tadi, bahwa yang aku hadiahkan kepadamu hanyalah gadis itu saja. Dan sekehendakmulah kalau yang lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak. Sebab aku sendirilah yang akan membereskannya.”
“Aku tak menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka, kecuali serahkan orang ini kepadaku,” jawab Lawa Ijo.
Mata Jaka Soka bertambah berapi-api lagi.
“Lawa Ijo, apakah kau sudah memandang aku sedemikian rendahnya sehingga kau perlu menolong aku?” kata Jaka Soka lagi.
LAWA IJO mendengus pendek. Sambil menggeleng ia berkata,
“Sama sekali tidak, kawan. Tetapi seperti yang kau katakan tadi, bahwa yang aku hadiahkan kepadamu hanyalah gadis itu saja. Dan sekehendakmulah kalau yang lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak. Sebab aku sendirilah yang akan membereskannya.”
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka Soka menjadi semakin menyala. Giginya gemeretak dan tubuhnya menggigil menahan marah. Dengan suara gemuruh ia menjawab,
Quote:
“Aku bukan perempuan yang perlu perlindungan laki-laki. Buat apa aku menerima hadiah dari seekor kelelawar busuk seperti tampangmu itu? Lawa Ijo… jangan coba merendahkan aku.”
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh lebih buas dari wajah Jaka Soka yang tampan itu, namun ternyata kepala Lawa Ijo agak lebih dingin. Karena itu ia sama sekali tidak menunjukkan kegusarannya mendengar kata-kata Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab dengan tenang meskipun tampak pula kegarangannya.
Quote:
“Jaka Soka, aku tidak peduli atas tanggapanmu terhadap permintaanku. Serahkan orang itu kepadaku. Sebab aku mempunyai urusan yang lebih penting dari urusanmu. Urusanku menyangkut nama baik dan harga diri perguruanku, sedang urusanmu hanyalah urusan perempuan itu saja.”
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir itu, nyala kemarahan Jaka Soka menjadi surut.
Sedang pancaran matanya yang berapi-api itu pun segera redup dan membayangkan keheranan. Tanyanya kemudian,
Quote:
“Kau katakan bahwa kau mempunyai urusan dengan orang ini perkara perguruanmu?”
Lawa Ijo mengangguk.
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan tanpa disengaja ia memandang Mahesa Jenar. Baru sekarang ia memperhatikan lawannya itu dengan saksama. Tubuhnya tegap kekar. Dadanya bidang. Meskipun ia berwajah lunak, tetapi pandangan matanya memancarkan kecermelangan pribadinya.
Quote:
“Pantas bahwa aku tak dapat menjatuhkannya. Siapakah orang ini?” pikir Jaka Soka.
Pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada di sekitar arena itu segera memperhatikan. Sebab pertanyaan yang demikian itu timbul pula di setiap hati orang menyaksikan pertempuran itu. Bahkan diantara mereka telah timbul harapan baru, setelah mereka menyaksikan kridha orang yang mereka anggap tidak lebih dari seorang perantau. Lebih-lebih sepasang suami-istri yang telah merasa terlanjur menyuruh orang itu membawakan beban mereka.
Maka semua perhatian pada saat itu tertambat pada mulut Lawa Ijo yang akan menjawab pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek. Kemudian barulah ia menjawab,
Quote:
“Jaka Soka… jangan kau terkejut kalau aku mengucapkan nama orang ini. Ia adalah orang yang telah membunuh adik seperguruanku kemarin lusa. Watu Gunung. Dan yang tidak akan pernah aku lupakan, orang ini pernah pula melukai bagian dalam dadaku.”
Berdebarlah setiap jantung mereka yang mendengar kata-kata ini. Pastilah orang ini bukan orang sembarangan. Tidak terkecuali Jaka Soka. Sudah sejak lama ia mengenal Lawa Ijo. Dan pernah pula ia berkelahi melawan orang ini. Tetapi tak pernah salah seorang dari mereka berdua dapat mengatasi yang lain. Kalau orang ini pernah melukai Lawa Ijo pastilah ia memiliki kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-katanya,
Quote:
“Sayang bahwa ia tidak bersikap perwira. Ia menyerang aku pada saat aku sedang meloncat turun dari atap gedung perbendaharaan istana Demak.”
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar sindiran Lawa Ijo. Ia sama sekali tak mau menerima keterangan itu. Sebab pada saat ia menyerang Lawa Ijo, ia sedang berusaha untuk melindungi Gadjah Alit yang justru diserang oleh Lawa Ijo dengan sikap yang tidak perwira. Kecuali Lawa Ijo tidak menyerang dari depan, juga pada saat itu Gadjah Alit sedang dikerubut oleh tiga orang. Tetapi meskipun demikian ia tidak merasa perlu melayani fitnah itu. Karena itu ia diam saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera teringat bahwa memang Lawa Ijo pernah bercerita kepadanya, tentang luka yang dideritanya pada saat ia berusaha memasuki gedung perbendaharaan di Demak. Karena itu sebelum Lawa Ijo menyebut nama Mahesa Jenar, ia mendahului berteriak,
Quote:
“Lawa Ijo, kalau demikian inikah orangnya yang bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya yang terkenal itu?”
Mendengar nama itu tergetarlah perasaan mereka yang pernah mengenal kebesarannya. Lebih-lebih para pengawal dan para pedagang yang datang dari pesisir utara. Tetapi dalam pada itu, dalam dada masing-masing terbersitlah semacam harapan baru yang menjadi semakin teguh, bahwa jiwa mereka akan tertolong. Karena itu menjadi semakin besarlah hati mereka. Selain itu para pengawal kemudian telah bersiap pula terjun ke dalam pertempuran seandainya Lawa Ijo dan Jaka Soka akan bersama-sama menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
Quote:
“Jaka Soka, karena itulah aku minta kerelaanmu untuk membuat perhitungan dengan Rangga Tohjaya ini. Sebab aku mempunyai dugaan, bahwa ia pun sedang mencari aku. Maka sebaiknya kami tidak menyia-nyiakan pertemuan ini,” kata Lawa Ijo.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas