- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#56
Jilid 3 [Part 41]
Spoiler for :
AKHIRNYA si pemuda sampai juga pada hitungan yang ke 10. Sesudah itu ternyata ia benar-benar akan melakukan apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur lawannya. Tongkatnya berputaran cepat bukan main, seolah-olah berubah menjadi segulung awan hitam yang menakutkan.
Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja bertempur tanpa aturan.
Pertempuran itu segera berubah menjadi semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambar-nyambar tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun yang dapat dikenainya. Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang mengeroyoknya, ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya harus sudah binasa, apalagi si perantau tolol itu.
Tetapi karena sampai sedemikian jauh ia masih belum mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang dalam mata si pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat mengganggu perkelahian itu. Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah seorang lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke arah mukanya, sehingga ia terpaksa memejamkan matanya. Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat menghindarkan diri.
Pada saat lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda tolol itu kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup menimpa lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian mereka jatuh bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan sasaran.
Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar.
Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah. Maka tidak sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun mempersiapkan diri untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan dilancarkan kepadanya.
Sementara itu, terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para pengawal dan mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan Mahesa Jenar. Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, diantara kesepian rimba itu, menggetarlah suara tertawa nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.
Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal, bahwa itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah yang sangat ditakuti dengan namanya yang seram, Lawa Ijo.
Bahkan kali ini suara tertawa itu sedemikian mengerikan, seperti memenuhi seluruh rimba dan mengepung mereka dari segala penjuru. Demikian hebatnya pengaruh suara tertawa itu, seperti mengguncang-guncang dada. Sehingga arahnya pun tak dapat diketahui dari manakah sumber suara itu. Beberapa orang menjadi bingung dan ketakutan, bahkan ada yang menjadi lemas dan hampir pingsan. Tidak ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat cemas. Sebab munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama lenyap itu, adalah sangat tiba-tiba dan tak disangka-sangka.
Mahesa Jenar yang mempunyai telinga sangat tajam, dengan saksama memperhatikan suara itu. Meskipun perlahan-lahan, akhirnya dapat diketahui dari manakah asalnya.
Tetapi rupanya pemuda tampan itu pun bukan orang biasa. Pendengarannya ternyata sangat tajam. Untuk mengetahui arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun tidak secepat Mahesa Jenar, ia pun akhirnya dapat mengetahui sumber suara itu. Maka segera ia pun bersiaga menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak.
Mendengar seruan pemuda itu, semua orang, termasuk Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya dalam hati.
Sementara itu suara tertawa Lawa Ijo pun semakin lama semakin surut, dan akhirnya mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup tinggi. Tetapi yang sama sekali tak diduga-duga, kecuali oleh Mahesa Jenar dan pemuda tampan itu, ternyata Lawa Ijo bertengger di atas dahan yang hanya berjarak tidak lebih dari 20 depa dengan mereka.
Samar-samar oleh cahaya api yang masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo pun sebenarnya masih muda. Usianya tidak juga terpaut banyak dengan pemuda tampan itu maupun dengan Mahesa Jenar. Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam mengkilat memancarkan sinar kekejaman dan kebengisan. Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah kumis yang lebat hitam melintang menyeramkan.
Meskipun pada saat itu Lawa Ijo tersenyum, tetapi senyumnya sama sekali tidak menambah manis wajahnya, bahkan beberapa orang yang melihatnya menjadi gemetar ketakutan, seakan-akan melihat senyuman malaikat pencabut nyawa yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik.
PERLAHAN-LAHAN, setapak demi setapak, Lawa Ijo berjalan mendekati pemuda tampan itu. Di pinggangnya membelit kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya. Pastilah itu gambar yang menyeramkan. Kelelawar dengan kepala serigala. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau belati panjang.
Ternyata pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar. Meskipun demikian ia tidak mau merendahkan Lawa Ijo. Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba dari dalamnya ia mencabut sebilah pedang kecil yang lentur.
Melihat hal itu Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya pendek. Lalu ia berkata,
Mendengar kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi Mahesa Jenar terkejut.
Mendengar ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama sekali tidak menjadi takut. Malahan kembali bibirnya yang tipis itu menyungging senyum aneh.
Jaka Soka sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia tertawa kecil.
Lawa Ijo menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi sambil mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
Jaka Soka menjadi bimbang. Dahinya berkerut dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka ragu, Lawa Ijo menambahkan,
Dahi Jaka Soka semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah tertawanya.
Mendengar percakapan mereka, gadis itu menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil dan keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan kedua penjahat terkenal itu, rombongan yang berjumlah 10 orang dengan mereka yang telah tersadar dari pingsannya pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut yang gila itu. Meskipun orang-orang lain juga merasa ketakutan dan ngeri, tetapi sebesar-besarnya mereka hanya harus menyerahkan barang-barang mereka. Tetapi gadis itu harus menyerahkan dirinya.
Satu-satunya harapan baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut berita yang tersiar, tak pernah menculik atau menghendaki seorang gadis.
Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja bertempur tanpa aturan.
Pertempuran itu segera berubah menjadi semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambar-nyambar tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun yang dapat dikenainya. Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang mengeroyoknya, ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya harus sudah binasa, apalagi si perantau tolol itu.
Tetapi karena sampai sedemikian jauh ia masih belum mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang dalam mata si pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat mengganggu perkelahian itu. Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah seorang lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke arah mukanya, sehingga ia terpaksa memejamkan matanya. Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat menghindarkan diri.
Pada saat lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda tolol itu kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup menimpa lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian mereka jatuh bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan sasaran.
Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar.
Quote:
“Hai orang tolol. Jangan berbuat gila di sini. Kalau kau tak mau lekas minggir, kaupun akan kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertama-tama akan mengalami nasib jelek,” teriaknya geram.
Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah. Maka tidak sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun mempersiapkan diri untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan dilancarkan kepadanya.
Sementara itu, terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para pengawal dan mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan Mahesa Jenar. Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, diantara kesepian rimba itu, menggetarlah suara tertawa nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.
Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal, bahwa itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah yang sangat ditakuti dengan namanya yang seram, Lawa Ijo.
Bahkan kali ini suara tertawa itu sedemikian mengerikan, seperti memenuhi seluruh rimba dan mengepung mereka dari segala penjuru. Demikian hebatnya pengaruh suara tertawa itu, seperti mengguncang-guncang dada. Sehingga arahnya pun tak dapat diketahui dari manakah sumber suara itu. Beberapa orang menjadi bingung dan ketakutan, bahkan ada yang menjadi lemas dan hampir pingsan. Tidak ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat cemas. Sebab munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama lenyap itu, adalah sangat tiba-tiba dan tak disangka-sangka.
Mahesa Jenar yang mempunyai telinga sangat tajam, dengan saksama memperhatikan suara itu. Meskipun perlahan-lahan, akhirnya dapat diketahui dari manakah asalnya.
Tetapi rupanya pemuda tampan itu pun bukan orang biasa. Pendengarannya ternyata sangat tajam. Untuk mengetahui arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun tidak secepat Mahesa Jenar, ia pun akhirnya dapat mengetahui sumber suara itu. Maka segera ia pun bersiaga menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak.
Quote:
“Hai Lawa Ijo, kau jangan main gila di hadapanku. Ayo keluarlah dari sarangmu. Apakah yang sebenarnya kau kehendaki dengan memperdengarkan suara tertawamu yang memuakkan itu?”
Mendengar seruan pemuda itu, semua orang, termasuk Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya dalam hati.
Quote:
“Siapakah dia, yang telah berani menantang Lawa Ijo ini?”
Sementara itu suara tertawa Lawa Ijo pun semakin lama semakin surut, dan akhirnya mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup tinggi. Tetapi yang sama sekali tak diduga-duga, kecuali oleh Mahesa Jenar dan pemuda tampan itu, ternyata Lawa Ijo bertengger di atas dahan yang hanya berjarak tidak lebih dari 20 depa dengan mereka.
Samar-samar oleh cahaya api yang masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo pun sebenarnya masih muda. Usianya tidak juga terpaut banyak dengan pemuda tampan itu maupun dengan Mahesa Jenar. Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam mengkilat memancarkan sinar kekejaman dan kebengisan. Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah kumis yang lebat hitam melintang menyeramkan.
Meskipun pada saat itu Lawa Ijo tersenyum, tetapi senyumnya sama sekali tidak menambah manis wajahnya, bahkan beberapa orang yang melihatnya menjadi gemetar ketakutan, seakan-akan melihat senyuman malaikat pencabut nyawa yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik.
PERLAHAN-LAHAN, setapak demi setapak, Lawa Ijo berjalan mendekati pemuda tampan itu. Di pinggangnya membelit kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya. Pastilah itu gambar yang menyeramkan. Kelelawar dengan kepala serigala. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau belati panjang.
Ternyata pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar. Meskipun demikian ia tidak mau merendahkan Lawa Ijo. Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba dari dalamnya ia mencabut sebilah pedang kecil yang lentur.
Melihat hal itu Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya pendek. Lalu ia berkata,
Quote:
“Ular Laut gila, kau jangan main gagah-gagahan di daerah ini.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi Mahesa Jenar terkejut.
Quote:
“Inilah agaknya yang disebut Samparan dengan panggilan Ular Laut yang memiliki wajah tampan dan bernama Jaka Soka. Karena itulah maka dengan enaknya ia dapat melawan tujuh orang, bahkan lebih dari itu. Dan dengan beraninya pula ia menantang Lawa Ijo,” pikir Mahesa Jenar.
Mendengar ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama sekali tidak menjadi takut. Malahan kembali bibirnya yang tipis itu menyungging senyum aneh.
Quote:
“Daerah inikah yang kau maksud?” jawab Jaka Soka.
“Jaka Soka, kau jangan mencari perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya serta segala isinya adalah daerah wewenangku,” sambung Lawa Ijo.
“Hem… telah berapa bulan atau berapa tahun kau merendam diri di sarangmu? Dan tahu-tahu sekarang masih mengatakan daerah ini daerah wewenangmu. Lawa Ijo, menurut pikiranku daerah ini sekarang merupakan daerah tak bertuan,” gumam Jaka Soka.
“Kau jangan mengigau Soka. Aku belum pernah melepaskan hak yang pernah aku miliki. Kalau beberapa waktu terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu bukannya aku tak lagi berwenang di daerah ini. Hanya saja, dalam waktu-waktu itu aku tak merasa perlu untuk berbuat apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah tak bertuan itu sama sekali salah, selama aku masih bernafas. Nah sekarang tinggalkan daerah ini,” perintah Lawa Ijo.
“Jaka Soka, kau jangan mencari perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya serta segala isinya adalah daerah wewenangku,” sambung Lawa Ijo.
“Hem… telah berapa bulan atau berapa tahun kau merendam diri di sarangmu? Dan tahu-tahu sekarang masih mengatakan daerah ini daerah wewenangmu. Lawa Ijo, menurut pikiranku daerah ini sekarang merupakan daerah tak bertuan,” gumam Jaka Soka.
“Kau jangan mengigau Soka. Aku belum pernah melepaskan hak yang pernah aku miliki. Kalau beberapa waktu terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu bukannya aku tak lagi berwenang di daerah ini. Hanya saja, dalam waktu-waktu itu aku tak merasa perlu untuk berbuat apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah tak bertuan itu sama sekali salah, selama aku masih bernafas. Nah sekarang tinggalkan daerah ini,” perintah Lawa Ijo.
Jaka Soka sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia tertawa kecil.
Quote:
“Lawa Ijo, kau jangan berlagak seperti seorang yang paling berkuasa. Apa dasarmu kau berani memerintah aku untuk meninggalkan daerah ini? Kau masih belum menunjukkan bahwa kau memiliki sepasang pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Juga belum pasti bahwa kau akan berhasil memenangkan semua pertandingan yang akan kami selenggarakan akhir tahun ini. Jadi pada saat ini kau dan aku masih belum mempunyai sangkut paut apapun,” jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi sambil mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
Quote:
“Lalu bagaimana seharusnya?”
“Seharusnya kau tak usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki aku melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini, seharusnya kau paksa aku pergi,” jawab Jaka Soka.
Kembali Lawa Ijo tertawa pendek.
“Kau masih seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu yang hampir sempurna sekarang ini, seharusnya kau tak lagi banyak bernafsu untuk berkelahi. Dan apakah artinya pertempuran diantara kita. Beberapa waktu yang lampau kita pernah berkelahi sampai beberapa hari. Dan tidak seorangpun dari kita yang kalah. Kalau pada saat ini kami kembali bertempur, menurut pendapatku hasilnya akan sama saja. Karena itu baiklah kita hormati persetujuan yang pernah kita buat mengenai daerah kerja kita masing-masing,” kata Lawa Ijo.
“Seharusnya kau tak usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki aku melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini, seharusnya kau paksa aku pergi,” jawab Jaka Soka.
Kembali Lawa Ijo tertawa pendek.
“Kau masih seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu yang hampir sempurna sekarang ini, seharusnya kau tak lagi banyak bernafsu untuk berkelahi. Dan apakah artinya pertempuran diantara kita. Beberapa waktu yang lampau kita pernah berkelahi sampai beberapa hari. Dan tidak seorangpun dari kita yang kalah. Kalau pada saat ini kami kembali bertempur, menurut pendapatku hasilnya akan sama saja. Karena itu baiklah kita hormati persetujuan yang pernah kita buat mengenai daerah kerja kita masing-masing,” kata Lawa Ijo.
Jaka Soka menjadi bimbang. Dahinya berkerut dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka ragu, Lawa Ijo menambahkan,
Quote:
“Atau kalau kau merasa tidak perlu lagi dengan persetujuan itu, baiklah dihapus saja sama sekali. Aku tak keberatan kau melakukan kegiatan di wilayah ini, tetapi kau jangan menyalahkan aku kalau aku akan melakukan kegiatan di Nusa Kambangan dan di lautan. Sebab aku pun pernah menjadi bajak laut pada usia 14 tahun.”
Dahi Jaka Soka semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah tertawanya.
Quote:
“Memang, kau penjahat tak tanggung-tanggung Lawa Ijo. Baiklah kalau demikian aku mengalah,” katanya.
“Tetapi….” Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi matanya merayap kepada gadis cantik yang duduk gemetar dan ketakutan.
Lawa Ijo pun mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya sambil tersenyum,
“Soka, kemana kau pergi, selalu kau bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum penuh?”
Jaka Soka tertawa lirih, jawabnya,
“Alangkah bodohnya kau. Nusa Kambangan cukup luas untuk menampung semua gadis dari pulau Jawa ini. Dan atas gadis ini kau tidak keberatan?”
“Tetapi….” Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi matanya merayap kepada gadis cantik yang duduk gemetar dan ketakutan.
Lawa Ijo pun mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya sambil tersenyum,
“Soka, kemana kau pergi, selalu kau bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum penuh?”
Jaka Soka tertawa lirih, jawabnya,
“Alangkah bodohnya kau. Nusa Kambangan cukup luas untuk menampung semua gadis dari pulau Jawa ini. Dan atas gadis ini kau tidak keberatan?”
Mendengar percakapan mereka, gadis itu menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil dan keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan kedua penjahat terkenal itu, rombongan yang berjumlah 10 orang dengan mereka yang telah tersadar dari pingsannya pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut yang gila itu. Meskipun orang-orang lain juga merasa ketakutan dan ngeri, tetapi sebesar-besarnya mereka hanya harus menyerahkan barang-barang mereka. Tetapi gadis itu harus menyerahkan dirinya.
Satu-satunya harapan baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut berita yang tersiar, tak pernah menculik atau menghendaki seorang gadis.
fakhrie... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas