- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#50
Jilid 3 [Part 36]
Spoiler for :
Mahesa Jenar secepatnya mengatur peredaran nafasnya, memusatkan pikiran dan menyalurkan segala kekuatan lahir dan batin ke sisi telapak tangannya. Maka ketika harimau itu mengaum dahsyat, serta dengan garangnya menerkamnya, Mahesa Jenar pun telah siap dan terdengar ia berteriak nyaring.
Ia memutar kaki yang diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu loncatan kecil kesamping. Berbareng dengan itu, tangan kanannya terayun deras sekali menghantam tengkuk harimau itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Harimau itu mengaum lebih keras lagi dibarengi dengan gemeretak tulang patah.
Sekejap kemudian harimau itu melenting tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya. Harimau itu mati karena patah tulang lehernya oleh kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah mempergunakan ilmu Sasra Birawa.
Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
DENGAN tajamnya Mahesa Jenar mengawasi lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat sedikit berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia biasa, maka dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa sisa.
Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga.
Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu. Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah Nyai Wirasaba.
Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya, dan dengan sedikit tergagap ia bertanya.
Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti peristiwa dalam mimpi.
Nyai Wirasaba, pada saat sebelum perkimpoiannya, sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh, sehingga tak ada lagi yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya.
Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut anggapannya sangat mengagumkan pula, berani dan bersifat jantan. Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di halaman, sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk membeningkan pikirannya yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah aum harimau di kejauhan.
Ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar.
Meskipun ia tidak berlari secepat Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkali-kali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan itu. Apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana Mahesa Jenar membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak dapat dikuasainya lagi.
Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian dijawabnya juga dengan penuh kejujuran.
Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian.
Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya beberapa tahun lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta cita-citanya untuk dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah, seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama Wirasaba lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula ia tak dapat mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya.
Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedan.
Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri belum pernah bergaul terlalu rapat.
Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang mempunyai perasaan di luar kemampuannya untuk menjajaginya. Apalagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika dilihatnya Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi bingung kalang kabut.
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak merasakan adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan. Karena itu untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri diam seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebak-nebak, apakah sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat ditakutinya.
KARENA pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang wanita sangat sempit, maka ia telah mempunyai tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba.
Karena itulah ia bertambah cemas.
Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh. Ditambah pula sudah beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga ia menjadi semakin perasa.
Maka ketika ia mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama sekali tak bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut perasaannya, tetapi akibatnya seperti sembilu yang lansung membelah ulu hati Nyai Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti Ki Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan seorang wanita. Diantaranya sifat setia dan bakti kepada suaminya.
Dengan demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa tersinggung dengan anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan seseorang, namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu. Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar itu dengan suara yang bergetar.
Ia memutar kaki yang diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu loncatan kecil kesamping. Berbareng dengan itu, tangan kanannya terayun deras sekali menghantam tengkuk harimau itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Harimau itu mengaum lebih keras lagi dibarengi dengan gemeretak tulang patah.
Sekejap kemudian harimau itu melenting tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya. Harimau itu mati karena patah tulang lehernya oleh kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah mempergunakan ilmu Sasra Birawa.
Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
DENGAN tajamnya Mahesa Jenar mengawasi lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat sedikit berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia biasa, maka dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa sisa.
Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga.
Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu. Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah Nyai Wirasaba.
Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya, dan dengan sedikit tergagap ia bertanya.
Quote:
“Nyai Wirasaba, kedatangan Nyai sangat mengejutkan aku.”
Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan,
“Apakah yang Nyai maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?”
Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan,
“Apakah yang Nyai maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?”
Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti peristiwa dalam mimpi.
Nyai Wirasaba, pada saat sebelum perkimpoiannya, sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh, sehingga tak ada lagi yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya.
Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut anggapannya sangat mengagumkan pula, berani dan bersifat jantan. Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di halaman, sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk membeningkan pikirannya yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah aum harimau di kejauhan.
Ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar.
Meskipun ia tidak berlari secepat Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkali-kali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan itu. Apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana Mahesa Jenar membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak dapat dikuasainya lagi.
Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian dijawabnya juga dengan penuh kejujuran.
Quote:
“Aku tidak tahu, kenapa aku kemari.”
“Tidak tahu?”sahut Mahesa Jenar heran.
“Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu peristiwa yang dapat mengungkat kembali suatu kenang kenangan yang indah pada masa muda.”
“Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya. Bagaimana kalau aku tidak dapat memenangkan pertandingan ini? Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan macan loreng itu,” kata Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak mungkin. Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh,” jawab Nyai Wirasaba.
“Nyai Wirasaba yakin?” tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan.
“Tidak tahu?”sahut Mahesa Jenar heran.
“Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu peristiwa yang dapat mengungkat kembali suatu kenang kenangan yang indah pada masa muda.”
“Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya. Bagaimana kalau aku tidak dapat memenangkan pertandingan ini? Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan macan loreng itu,” kata Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak mungkin. Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh,” jawab Nyai Wirasaba.
“Nyai Wirasaba yakin?” tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan.
Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian.
Quote:
“Nah, sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi Nyai untuk tetap berada disini.” Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang kemalaman bermain.
Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya beberapa tahun lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta cita-citanya untuk dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah, seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama Wirasaba lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula ia tak dapat mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya.
Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedan.
Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri belum pernah bergaul terlalu rapat.
Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang mempunyai perasaan di luar kemampuannya untuk menjajaginya. Apalagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika dilihatnya Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi bingung kalang kabut.
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak merasakan adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan. Karena itu untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri diam seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebak-nebak, apakah sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat ditakutinya.
KARENA pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang wanita sangat sempit, maka ia telah mempunyai tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba.
Karena itulah ia bertambah cemas.
Quote:
“Nyai, aku telah mengorbankan harga diriku dengan tidak menerima tantangan Ki Wirasaba, sekedar untuk mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga kalian. Dan sekarang, ketenteraman yang sudah hampir pulih kembali itu akan terganggu pula, apabila kita berdua pada malam begini berada di tempat ini. Karena itu pulanglah dan lupakanlah segala angan angan itu,” kata Mahesa Jenar dengan suara gemetar.
Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh. Ditambah pula sudah beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga ia menjadi semakin perasa.
Maka ketika ia mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama sekali tak bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut perasaannya, tetapi akibatnya seperti sembilu yang lansung membelah ulu hati Nyai Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti Ki Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan seorang wanita. Diantaranya sifat setia dan bakti kepada suaminya.
Dengan demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa tersinggung dengan anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan seseorang, namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu. Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar itu dengan suara yang bergetar.
johny251976 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas