- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#46
Jilid 2 Part 33
Spoiler for :
Quote:
“Biasanya,” lanjut Ki Asem Gede,
"setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah."
"Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali."
”Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya,” ujar Ki Asem Gede.
”Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya,” tambahnya.
"setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah."
"Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali."
”Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya,” ujar Ki Asem Gede.
”Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya,” tambahnya.
Meskipun Ki Asem Gede sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain.
Quote:
”Itulah Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkimpoian mereka pun dapat dilangsungkan,” jelas Ki Asem Gede.
Ki Asem Gede mengakhiri ceriteranya dengan suatu tarikan nafas yang dalam.
Seolah-olah sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya.
Sebagai seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat apa-apa.
Quote:
”Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya?” tanya Mahesa Jenar.
”Tidak ada,” jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah.
”Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu,” lanjutnya.
”Tidak ada,” jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah.
”Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu,” lanjutnya.
Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata,
Quote:
”Ada Anakmas …, ada.”
”Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
”Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali.
KI Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata,
Quote:
“Ada Anakmas …, ada.”
“Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
“Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali.
Quote:
“Ada Anakmas, tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.”
“Sudahkah Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya.
“Mustahil …, mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,” desak Mahesa Jenar.
“Sudahkah Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya.
“Mustahil …, mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,” desak Mahesa Jenar.
Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata.
Quote:
“Anakmas, memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.”
Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya.
Quote:
“Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?”
“Anakmas benar. Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala,” sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk.
“Ular Gundala?” ulang Mahesa Jenar.
“Aku pernah mendengar nama ular itu,” sela Mantingan.
“Ya, ular Gundala,” tegas Ki Asem Gede.
“Anakmas benar. Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala,” sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk.
“Ular Gundala?” ulang Mahesa Jenar.
“Aku pernah mendengar nama ular itu,” sela Mantingan.
“Ya, ular Gundala,” tegas Ki Asem Gede.
Quote:
“Ada dua macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah yang dapat menjadi obat yang sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda.”
“Itu adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu."
"Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman,” jelas Ki Asem Gede.
“Itu adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu."
"Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman,” jelas Ki Asem Gede.
Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa. Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar ceritera ini, ia menjadi teringat kepada sahabat karibnya semasa mereka masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang pintu kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng Sela, yang pada masa anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari Sela.
Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat melampaui kilat. Bahkan sampai beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi kecepatan bergerak ayahnya yang juga bergelar Ki Ageng Sela, yang menurut ceritera dapat menangkap petir.
Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi di tepi sendang Jalatunda, tiba-tiba ia disambar oleh semacam sinar putih kebiru-biruan. Untunglah bahwa ia dapat bergerak cepat luar biasa, sehingga ia dapat menghindari sambaran sinar itu. Bahkan ia masih juga sempat menangkapnya.
Tetapi demikian tangannya menyentuh benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang. Sebab pada saat itu tangannya terasa telah menangkap seekor binatang yang bulat panjang.
Untunglah bahwa sebelumnya ia pernah mendengar ceritera tentang seekor ular yang pandai terbang dan bercahaya. Ular yang diceriterakan menjadi penggembala hujan. Maka secepat kilat benda yang ditangkapnya itu sebelum sempat menggigitnya, dibantingnya ke tanah.
Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak dihantamkan pada sebatang pohon atau batu. Sebab kalau demikian, binatang itu pasti akan remuk. Saat itu, ia dapatkan binatang itu masih utuh, meskipun terbenam lebih dari sejengkal ke dalam tanah.
Kemudian bangkai ular itu diambilnya. Ternyata ular itu adalah seekor ular yang aneh.
Panjangnya dibanding dengan besarnya dapat dikatakan terlalu pendek. Sisiknya berwarna putih mengkilap agak kebiru-biruan. Pada bagian kepalanya tergoreslah semacam lukisan jamang, sedangkan pada ujung ekornya melingkarlah warna kuning keemasan.
Ketika ular aneh itu dibawa pulang, terlihatlah binatang itu oleh Ki Ageng Warana. Melihat bangkai ular itu, Ki Ageng Warana terperanjat, apalagi ketika ia mendapat keterangan dari Sela. Maka segera orang tua itu minta izin kepada Sela untuk mengambil bisanya.
Sela yang menganggap binatang itu hanya sebagai barang yang aneh, sama sekali tidak keberatan. Ia tidak mengira kalau karena itu ia mendapat semacam obat yang tak ada bandingnya. Obat penawar segala macam bisa yang bagaimanapun tajamnya. Racun dari bisa binatang maupun tumbuh-tumbuhan.
Oleh Ki Ageng Warana, binatang itu diperas bisanya. Dengan mempergunakan keahliannya, ia dapat menampung bisa itu. Kemudian dengan berbagai ramuan, bisa itu berhasil dipadatkan. Tetapi hanya tinggal kecil sekali, hanya kira-kira sebesar biji kacang tanah. Biji sari bisa ular ajaib itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Sela. Meskipun Ki Ageng Warana minta sebagian kecil, Ki Ageng Sela pun sama sekali tidak keberatan.
Dengan biji bisa itu, Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndamnya dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.
Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak hanya mendapat kesempatan membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia juga mendapat hadiah dari sahabatnya, sebagian dari biji bisa itu.
Bersambung…
fakhrie... dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas