- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#45
Jilid 2 [Part 32]
Spoiler for :
Wirasaba tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam bajunya.
Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak.
Pradangsapun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi perkelahian ini?
Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan diri dari setiap serangan. Setiap serangan itu selalu dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada kekuatannya.
Demikian pula agaknya pada saat itu.
Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi?
SAAT itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam tubuh Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa pula.
Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa.
Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit.
Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba.
Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.
Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia menjerit nyaring.
Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.
Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan ceritanya.
Quote:
“Kau hanya mau berbicara saja?” potongnya.
Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak.
Quote:
“Aku tidak banyak waktu, bersiaplah.”
Pradangsapun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi perkelahian ini?
Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan diri dari setiap serangan. Setiap serangan itu selalu dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada kekuatannya.
Demikian pula agaknya pada saat itu.
Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi?
SAAT itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam tubuh Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa pula.
Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa.
Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit.
Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba.
Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.
Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia menjerit nyaring.
Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.
Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan ceritanya.
Quote:
”Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.”
johny251976 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas