Chapter 5
Quote:
Tulisan ‘Wilson Bar & Billiard’ terpampang jelas menempel di depan bangunan ini, di mana Djohan sudah berdiri di area luarnya. Ia memutuskan untuk pulang keapartemennya, siap untuk menerima apapun yang akan terjadi kedepannya. Apalagi kasus pembunuhan yang telah dilakukannya malam itu, selalu terbayang-bayang dibenaknya.
Djohan berjalan dengan pelan, menutup kepalanya dengan jaket bertudung. Sekalipun ia menampakan wajahnya, tidak ada satu pun orang yang perduli padanya. Rasa bersalah membuatnya tidak sanggup melihat orang-orang ini, yang berjalan melewatinya satu persatu. Lalu Djohan terhenti, di sebuah plaza. Ada sebuah layar besar di sana, lalu muncul seorang wanita cantik dan rapih dengan sebuah meja putih didepannya.
“Oi! Apa yang kamu lakukan?” suara itu muncul dari belakang, Djohan mengenali suara itu dengan jelas.
“Cih, bocah itu lagi,” Djohan yang menoleh kebelakang melihat sosok Lio berdiri didepannya.
“Kamu ingin melihat apa? siaran berita itu tidak akan membeberkannya, lagipula kejadian itu sudah 2 hari yang lalu,” Djohan sedikit terhenyak. “eh…tidak perlu kaget seperti itu, kamu pikir kejadian itu kemarin? Ah…tidak….,” Lio menggelengkan kepalanya berulang kali.
Djohan melihatnya dengan tatapan sinis sekarang, “Lalu apa mau mu sekarang?”
“Begini…,” Lio mendekatinya, Djohan masih diam ditempatnya berdiri sekarang. “aku tidak suka caramu berbicara dengan tuan Stam…lalu…,” senyum sinisnya keluar. “kamu ingin bukti kalau sekarang dirimu itu bukan manusia lagi?”
Djohan diam, tentu saja ucapan bocah ini maupun pria berambut perak yang ia temui sama sekali tidak masuk akal. Djohan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan ini dan melewati Lio tanpa berbicara sedikit pun.
“Jadi begitu, baiklah…ku beritahu, kamu tidak suka ada pertumpahan darah bukan?” Djohan masih belum menanggapinya. “ok…akan kubunuh semua orang yang berjalan di plaza ini?” sebuah ucapan kotor dari seorang yang usianya saja belum genap 17 tahun.
“Apa?!” Djohan membalikan badannya lagi.
“Tolonglah…berikan aku kesempatan menjadi anak baik….,” nada bicara Lio sedikit mengejek Djohan.
Orang-orang banyak berkeliaran di sekitar plaza ini, baik tua maupun muda. Djohan tentunya merasa bahwa ucapan Lio tidaklah main-main. Kehadiran dirinya saja di tkp membuktikan bahwa remaja ini bukanlah orang sembarang, apalagi dengan permainan ‘monster’nya. Begitu pikiran yang ada dibenak Djohan.
“Baiklah…,” Djohan mengikuti langkah Lio dari belakang.
Keduanya terhenti di sebuah taman, disekeliling taman ini berdiri gedung-gedung bertingkat. Yang seakan menjadi payung tuk menahan cahaya matahari masuk ke taman ini. Kondisinya pun sunyi, tidak ada tanda kehidupan di taman ini kecuali pohon-pohon yang berjajar rapih memberikan angin segar.
Lio mengangkat tangan kanannya sejajar dengan wajahnya, “Jangan sekali-kali kamu bersikap seperti itu pada tuan Stam, kamu harusnya bersyukur ia telah memberikanmu kehidupan lagi,” tiba-tiba pergelangan tangannya mengkerut sadis, terlihat seperti tulang yang dilapisi kulit saja. Pelan-pelan berubah menjadi warna perak keabuan.
tangan itu, sudah kulihat sebelumnya, pikir Djohan. “Bocah ini juga….,” sekelebat angin membawa sosok Lio dengan jari-jari panjangnya yang tajam menghadap Djohan, satu ayunan sudah cukup.
Sebuah tangan menari-nari di samping Djohan, tangan itu melintir berputar-putar. Percikan darah mulai mengalir deras seperti kembang api, dua detik kemudian Djohan baru menyadari apa yang terjadi.
Tanganku…,Djohan melihat tangan bagian kanannya telah hilang, dari pangkal lengannya. Berarti tangan itu yang terbang barusan? rasa sakit yang hebat dirasakannya. “ARGHHHHH!!!!”
“HAHA!” Lio tertawa terbahak-bahak, jemari kanannya dilumuri oleh darah segar berwarna merah gelap.
Jantung Djohan berdegup kencang, sangat kencang hingga ia merasakan dadanya ingin lepas. Pandangannya mulai kabur, keringat dingin perlahan-lahan keluar.
“SIALAN! AKAN KUBUNUH KAU!”
Lio memandanginya, ketika perlahan mata Djohan berubah menjadi hitam semua. Auranya sudah bukan aura manusia lagi.
“GRR…,” sebuah tangan muncul tiba-tiba dari tubuh Djohan, bentuknya kurus berwarna perak keabuan, bahwa jemarinya mirip dengan jemari tangan kanan Lio.
“NAH! LIHAT!” Lio menunjuk tangan Djohan yang satu lagi. “bisa kamu jelaskan bagaimana seorang manusia dapat menumbuhkan kembali tangannya?!”
“BACOT!!!” Djohan bergerak ke samping, mengambil tangan manusianya, lalu menggunakannya sebagai senjata. Ia siap untuk memukul Lio dengan senjata tangan manusianya itu.
“Baiklah…mau tidak mau…,” Lio sudah siap, kuda-kudanya juga menuju mode tempur.
Djohan menganyunkan tangan manusianya, Lio juga bersiap menyerang dengan jemari monsternya. Seketika keduanya terhenti ketika ada seseorang yang menahan serangan mereka berdua.
“Oh…my…my…, hentikanlah kalian berdua…,” seorang pria berambut pirang dengan bulu-bulu tipis yang menghiasi wajahnya.
“Se…senior…STERLING!” Lio terkejut melihat kehadiran pria ini, lalu ia menolehkan wajahnya ke area luar taman. “SENIOR VIVIAN!” ia tambah terkejut ketika melihat wanita dengan poni rata memandanginya tajam dari luar taman.
“Eh…bisa engga kamu ga teriak begini Lio?!” Djohan melompat kebelakangan, meninggalkan tangan manusianya yang saat ini dipegang Sterling. “wow!” Sterling melempar tangan itu. “huek! Tangan siapa tadi?!” Sterling melihat Djohan, “oh begitu…baiklah hentikan kalian berdua. Sesama Beaters Silver Clan tidak boleh berkelahi seperti ini…”
“Silver Clan?” Djohan yang masih memiliki kesadaran mendengarnya, istilah apalagi itu, begitulah kira-kira yang ada dipikirannya sekarang.