- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#39
Jilid 2 [Part 28]
Spoiler for :
Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis.
Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya.
Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.
Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin.
Kalau Mahesa Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur hidupnya. Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin ia akan membunuh dirinya.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata,
Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama. Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar. Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.
Sampai saat itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak lonjak. Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.
Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar menerima tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.
Belum lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau diperbuat oleh setan kecil ini?
Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan.
Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam jiwanya.
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia memuji kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan, meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup seruling merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu kini sudah lumpuh.
Kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Mendengar ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat menguasai kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya. Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
Pada dinding yang ditunjuk itu bergayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak, pedang, keris dan sebagainya.
Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
Wirasaba menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
Quote:
“Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.”
Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya.
Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.
Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin.
Kalau Mahesa Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur hidupnya. Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin ia akan membunuh dirinya.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata,
Quote:
“Nyai, aku akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari tangan Samparan.”
Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama. Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar. Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.
Sampai saat itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak lonjak. Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.
Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar menerima tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.
Belum lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.
Quote:
“Pengecut tua, kau curi anakmu dengan laku seorang perempuan. Aku telah merampasnya dengan kejantanan. Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang menghalangi maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan itu dengan laku seorang jantan pula. Nah, sekarang aku datang untuk mengambilnya kembali,” teriak Samparan sambil menuding wajah Ki Asem Gede.
Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau diperbuat oleh setan kecil ini?
Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan.
Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam jiwanya.
Quote:
“Samparan, kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku seorang jantan,” sahut Wirasaba.
Samparan tertawa dingin.
“Kau bermaksud demikian?”
Samparan tertawa dingin.
“Kau bermaksud demikian?”
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia memuji kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan, meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
Quote:
“Kau telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?” tanya Samparan dengan nada menghina.
Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab.
“Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan.”
KEMBALI Samparan tertawa dingin.
“Wirasaba, jangan kau mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi sebatang seruling gading yang telah retak,” kata Samparan.
Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab.
“Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan.”
KEMBALI Samparan tertawa dingin.
“Wirasaba, jangan kau mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi sebatang seruling gading yang telah retak,” kata Samparan.
Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup seruling merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu kini sudah lumpuh.
Kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Mendengar ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat menguasai kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya. Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
Quote:
“Kalau kau tidak membawa senjata, Samparan …, kau boleh meminjam senjata-senjata ku. Manakah yang kau sukai?” kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang.
Pada dinding yang ditunjuk itu bergayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak, pedang, keris dan sebagainya.
Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
Quote:
“Wirasaba, alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu.”
“Hanya saja tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan. Tetapi baiklah aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu.”
“Hanya saja tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan. Tetapi baiklah aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu.”
Wirasaba menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
fakhrie... dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas