- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#37
Jilid 2 [Part 26]
Spoiler for :
Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya. Mereka berdua pun maklum akan kehebatan Lawa Ijo.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali.
Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting jatuh.
Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton meloncat lari meninggalkan halaman.
MANTINGAN tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo.
Maka ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main. Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara berdentang hebat.
Tangan Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan pisau yang dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya tergores juga sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar yang melihat darah di lengan Mantingan jadi terhenti pula.
Sementara itu orang yang telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara itu mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur.
Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan. Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di halaman itu berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil, terduduk tak berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
Sementara itu Ki Asem Gede melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di tanah. Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu permohonan untuk mendapat perlindungan. Mahesa Jenar menangkap maksud itu.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu, Samparan menjadi agak
tenang sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga keluhuran budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya sendiri, yang beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak terkalahkan.
Samparan termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya.
Quote:
“Jawablah!” desak Mahesa Jenar.
Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan berdesis menahan sakit.
“Aku tak tahu,” jawab Samparan mencoba berbohong.
Tetapi belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya, tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke atas.
“Kau tak mau menjawab?” geram Mahesa Jenar.
Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia merasa serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh Watu Gunung,” jawab Watu Gunung.
“Apa katanya?” desak Mahesa Jenar pula.
Kembali Samparan ragu-ragu.
“Kau takut kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah mulai jengkel.
“Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku?” lanjut Mahesa Jenar.
Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan. Samparan berdesis menahan sakit.
“Aku tak tahu,” jawab Samparan mencoba berbohong.
Tetapi belum lagi ia selesai mengucapkan jawabannya, tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke atas.
“Kau tak mau menjawab?” geram Mahesa Jenar.
Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan. Ia merasa serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan memilih, mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh Watu Gunung,” jawab Watu Gunung.
“Apa katanya?” desak Mahesa Jenar pula.
Kembali Samparan ragu-ragu.
“Kau takut kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah mulai jengkel.
“Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu aku?” lanjut Mahesa Jenar.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya oleh orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo sudah tidak akan muncul kembali.
Quote:
“Yang aku ketahui, Watu Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah saudara muda seperguruan Lawa Ijo.”
Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda Lawa Ijo binasa di desa mereka.
Quote:
“Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo marah,” sahut Mahesa Jenar.
Samparan merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo sekarang.”
Samparan merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo sekarang.”
Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting jatuh.
Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat tempatnya berdiri tadi, langsung mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok tubuh di antara penonton meloncat lari meninggalkan halaman.
MANTINGAN tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya, yang kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo.
Maka ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti membalikkan diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan main. Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara berdentang hebat.
Tangan Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan pisau yang dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya tergores juga sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar yang melihat darah di lengan Mantingan jadi terhenti pula.
Sementara itu orang yang telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara pepohonan dan menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara itu mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur.
Quote:
“Lawa Ijo telah datang,” desis Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa Ijo?” tanya Mantingan.
“Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku ingin suatu kali dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat menunjukkan tempatnya,” lanjut Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa Ijo?” tanya Mantingan.
“Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku ingin suatu kali dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat menunjukkan tempatnya,” lanjut Mahesa Jenar.
Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan. Tampaklah orang-orang yang masih berdiri di halaman itu berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil, terduduk tak berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.
Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
Quote:
“Kau terluka?” tanya Ki Asem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar kemudian tampak ia mengangguk-angguk.
“Tidak beracun,” gumannya.
“Karena itu marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang untung tak berbahaya,” kata Ki Asem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar kemudian tampak ia mengangguk-angguk.
“Tidak beracun,” gumannya.
“Karena itu marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang untung tak berbahaya,” kata Ki Asem Gede.
Sementara itu Ki Asem Gede melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di tanah. Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama sekali tak berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia tahu pasti, bahwa itulah pisau gerombolan Lawa Ijo.
Quote:
“Samparan, kau kenapa?” tegur Mahesa Jenar.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu permohonan untuk mendapat perlindungan. Mahesa Jenar menangkap maksud itu.
Quote:
“Samparan, kau jangan berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri?
Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk membela diri. Meskipun demikian, kalau kau memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang Mantingan nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada saat ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan, akan mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini. Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah yang akan memburumu,” kata Mahesa Jenar.
Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk membela diri. Meskipun demikian, kalau kau memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang Mantingan nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada saat ini kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kakang Mantingan nanti kalau kembali ke Prambanan, akan mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah bahwa pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah ini. Sebaliknya kau pun jangan meninggalkan rumah ini. Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah yang akan memburumu,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu, Samparan menjadi agak
tenang sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga keluhuran budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya sendiri, yang beberapa saat lalu masih merasa sebagai seorang yang tak terkalahkan.
Samparan termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah didengarnya dan yang belum dikenalnya.
fakhrie... dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas