- Beranda
- Stories from the Heart
Naga Sasra & Sabuk Inten
...
TS
nandeko
Naga Sasra & Sabuk Inten

NAGA SASRA & SABUK INTEN
Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital
INDEX
Quote:
Spoiler for JILID 1:
Spoiler for JILID 2:
Spoiler for JILID 3:
Spoiler for JILID 4:
Spoiler for JILID 5:
Spoiler for JILID 6:
Part 114
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Part 115
Part 116
Part 117
Part 118
Part 119
Part 120
Part 121
Part 122
Part 123
Part 124
Part 125
Part 126
Part 127
Part 128
Part 129
Part 130
Part 131
Part 132
Part 133
Part 134
Part 135
Part 136
Part 137
Part 138
Part 139
Part 140
Part 141
Part 142
Part 143
Part 144
Part 145
Part 146
Part 147
Part 148
Part 149
Part 150
Spoiler for JILID 7:
Spoiler for JILID 8:
Spoiler for JILID 9:
Spoiler for JILID 10:
Pengarang dan Hakcipta©
Singgih Hadi Mintardja
Singgih Hadi Mintardja
Diubah oleh nandeko 21-10-2021 14:24
whadi05 dan 43 lainnya memberi reputasi
42
61.9K
Kutip
1.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nandeko
#17
Jilid 1 [Part 12]
Spoiler for :
Cepat-cepat mereka berpencar dengan senjata seadanya di tangan masing-masing. Karena mereka sama sekali tidak bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya tidak bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput, kapak pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa, bahkan ada yang bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri.
Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan pulang untuk mengambil tombak, pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-kawan mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa jauh berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan, serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya, dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat empat orang penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki halaman Kademangan.
Ketika para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu, mereka tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
WAJAH Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan orang-orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
Diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai anak panah.
Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan pulang untuk mengambil tombak, pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-kawan mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa jauh berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan, serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya, dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat empat orang penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki halaman Kademangan.
Ketika para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu, mereka tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya dan di pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
WAJAH Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan orang-orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
Quote:
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh orang-orang yang berdiri di atas tangga.
Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.
“Kami telah mencoba, tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami telah mereka lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.” jawab orang itu. Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil.
Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan gelora hatinya.
“Kami telah mencoba, tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami telah mereka lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah melaporkan ini kepada Ki Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi diantar kemari.” jawab orang itu. Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil.
Diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai anak panah.
Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
fakhrie... dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas