Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.6K
902
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#82
BAB XVI
Awal dari Perjalanan yang Panjang


Seratus orang prajurit berbaris dengan rapi di Balai Kademangan Jati Asih, tiga orang senapati berdiri di depan, memimpin barisan. Mereka berdiri dengan hikmat, mengawasi kelompok terakhir penduduk Kademangan Jati Asih meninggalkan Balai Kademangan.

Hari itu ribuan penduduk Kademangan Jati Asih, bersama-sama, membawa segala harta milik mereka yang bisa dibawa, memulai perjalanan yang panjang, meninggalkan semua yang pernah mereka kerjakan, menuju ke satu tempat yang baru, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Selama seminggu tepat, Rangga dan para pengikutnya menyiapkan segala sesuatu yang bisa mereka siapkan.

Jumlah prajurit yang mengikuti Rangga, sekarang genap seribu seratus orang. Setiap seratus prajurit dipimpin oleh tiga orang senapati, dan seratus orang prajurit pilihan dipimpin langsung oleh Tumenggung Widyaguna dan dua orang Rakryan Rangga. Seratus orang prajurit pilihan ini, berkuda dengan perlengkapan lengkap menggantung di masing-masing kuda. Ada busur dan panah, perisai bulat kecil dan juga pedang. Sementara itu sebilah keris terselip di pinggang dan sebatang tombak pendek selalu siap di tangan.

Pembagian seratus orang itu adalah empat puluh orang prajurit berada di bawah senapati utama, dan masing-masing senapati pembantu akan memimpin tiga puluh orang prajurit.

Saat mereka baru turun dari lereng Gunung Awu, mereka hanya membawa sekitar tujuh ratus orang prajurit. Dalam waktu satu minggu mereka bersiap, mereka membuka ujian keprajuritan bagi pemuda-pemuda di Kademangan Jati Asih.

Jumlah seribu seratus itu digenapi dari mereka yang terbaik yang mengikuti. Masih ada sekitar dua ratus orang pendaftar yang tidak diterima.

Rangga tidak menerima mereka masuk ke dalam kesatuan militernya, namun dia menugaskan Ki Demang dan Ki Jagabaya untuk membentuk kesatuan pwngawal kademangan. Selama satu minggu itu pula jumlah penduduk yang akan ikut pindah dihitung dan dicatat.

Kademangan Jati Asih melingkupi sebelas dukuh kecil dan dukuh utama. Tidak kurang dari tiga ribu keluarga. Seluruhnya ada dua delapan ribu tujuh ratus laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang tua. Laki-laki yang mampu mengangkat senjata jumlahnya empat ribu lima ratus orang, tidak termasuk dua ratus orang yang menjadi pengawal kademangan dan seribu seratus orang pasukan Rangga.

Sehingga seluruh kekuatan yang bisa dikerahkan Rangga berjumlah lima ribu tujuh ratus orang.

Setelah orang terakhir meninggalkan Balai Kademangan, seratus orang prajurit yang berbaris dengan rapi itu pun perlahan berjalan mengikuti, menjadi ujung terakhir dari barisan yang amat panjang.

Perlahan berjalan mengejar masa depan. Banyak di antara rakyat Kademangan Jati Asih yang tak sadar, bahwa mereka sedang mengukir sebuah catatan bersejarah.

Tidak demikian dengan Rangga, Tumenggung Widyaguna, kedua rakryan rangga dan para senapati, serta prajurit yang mereka pimpin. Mereka percaya, mereka sedang menuliskan sebuah catatan sejarah, tentang sebuah perjuangan mencapai satu cita-cita yang mulia.

Jika darah mereka tumpah, maka itulah tinta yang membentuk kata dan kalimat dalam sejarah. Jika nyawa mereka selesai di sini, mereka percaya jiwa mereka akan terus hidup dalam cita-cita dan perjuangan, dalam hati dan semangat yang tak pernah padam, sampai orang yang terakhir meregang nyawa.

------

Rangga, Ki Ageng Aras dan Tumenggung Widyaguna dengan menunggang kuda, memimpin beberapa ratus langkah, jauh di depan barisan, meninggalkan Rakryan Rangga Aswatama dan Wirapati untuk memimpin barisan.

“Paman Widyaguna, bagaimana dengan kejutan yang kita rencanakan? Apa mereka sudah siap?”, Rangga bertanya.

Tumenggung Widyaguna tersenyum, “Haha, sudah, sudah siap. Apa raden ingin melakukannya malam ini?

Raden Rangga menggelengkan kepala sambil tertawa, “Hahaha, sebaiknya kita tungguh barang seminggu. Semangat mereka semua masih cukup tinggi. Baiknya kita tunggu sampai beberapa hari lagi.”

Tumenggung Widyaguna berucap, “Aku jadi tidak sabar melihatnya.”

Rangga menganggukkan kepala dengan bersemangat, “Tentu saja, aku juga sudah menanti-nanti untuk menyaksikannya nanti.”

“Ha ha ha, aku pun sudah tak sabar ingin melihat bagaimana jadinya nanti.”, sahut Ki Ageng Aras.

“Benar... aku rasa rakyat Kademangan Jati Asih akan menyukainya.”, ujar Tumenggung Widyaguna.

“Sambil menunggu waktu yang tepat, minta para prajurit yang mendapatkan tugas itu untuk terus berbenah dan menyempurnakan.”, kata Rangga pada Tumenggung Widyaguna.

“Tentu, akan hamba sampaikan, dan raden tak perlu kuatir, tanpa diingatkan pun, mereka bersemangat dengan rencana ini.”, jawab Tumenggung Widyaguna.

Bertiga mereka membicarakan banyak hal, besar dan kecil, dua puluh tahun dalam pengasingan tidak membuat Rangga kehilangan semangat hidupnya. Dua puluh tahun dalam pengasingan justru membuat benaknya berisi dengan berbagai macam gagasan dan rencana.

----

Ketika langit mulai memerah, matahari sudah mulai beranjak pamit undur diri, barisan panjang rakyat Kademangan Jati Asih pun mulai membangun tenda-tenda sederhana untuk beristirahat. Baiknya di hari pertama ini, cuaca hari itu cerah, langit tidak berawan.

Sebagian prajurit berjaga, sebagian yang lain dengan sigap membantu banyak di antara warga yang baru pertama kali ini melakukan perjalanan jauh keluar dari desa mereka.

Anak-anak kecil tak mengenal lelah, berlarian dari satu tempat ke tempat lain. Sesekali terdengar orang memaki, “Biayayakan ae! Ojo ngrusuhi nang kene le!” (Biayayakan → tidak hati-hati! Jangan bikin rusuh di sini nak!)

Diikuti suara teriakan dan tawa anak-anak itu, bubar berlarian ke tempat lain, ketika dikejar dengan gagang sapu teracung. Jika di tempat-tempat istirahat sementara dibangun, terlihat suasana yang ramai, dan penuh kehidupan, maka di tempat lain, di sebuah tempat yang cukup lapang berbeda lagi suasananya.

Ratusan pemuda berbaris rapi, berpasangan, saling berhadapan dengan memegang perisai di satu tangan, dan sebilah pedang di tangan yang lain.

Setiap beberapa kelompok, terlihat prajurit yang lebih berpengalaman mengawasi latihan mereka. Bergantian para pemuda itu saling menyerang, dan saling bertahan, mengikuti aba-aba dari prajurit yang melatih mereka.

Dalam latihan itu, tidak dilatih beragam jurus dan kembangan. Hanya tiga macam serangan, menusuk, menyabet silang dari sisi luar, dan menyabet silang dari sisi dalam. Berikut tiga gerakan bertahan, untuk menggagalkan tiga serangan tadi. Berulang-ulang hanya tiga macam gerakan itu dilatih bergantian.

Perlahan langit makin gelap, ketika pekerjaan mereka semua telah selesai, dan keluarga-keluarga berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Menikmati makan malam mereka, sesuai jatah ransum yang dibagikan.

Bulan hampir purnama, menerangi langit yang cerah tak berawan, mereka yang seharian tadi harus berjalan kaki sekarang duduk sambil beristirahat. Beberapa saling memijit, atau ada juga yang memijit-mijit kaki mereka sendiri.

Sambil bercakap-cakap, mereka yang sudah dewasa tidak hanya berdiam diri, tiap-tiap keluarga menyerut batang-batang kayu, memasang mata anak panah, memasang bulu dan mengumpulkan anak-anak panah itu dalam bumbung-bumbung bambu.

Ketika waktu makin larut malam, satu per satu, keluarga demi keluarga pergi beristirahat, sampai akhirnya tinggal tersisa mereka yang mendapatkan tugas untuk berjaga-jaga. Mereka yang berjaga-jaga adalah gabungan antara prajurit dan rakyat Kademangan Jati Asih sendiri.

Perlahan jarak yang tadinya ada, sedikit demi sedikit menghilang. Hubungan antara prajurit dan rakyat, mulai terjalin. Bagaimanapun prajurit-prajurit itu bukan berasal dari Kademangan Jati Asih. Apalagi dengan sorot mata mereka yang terkadang terlihat liar, membuat penduduk kademangan merasa jeri.

Saat dipaksa bertugas bersama-sama, warga biasa, penduduk Kademangan Jati Asih dipaksa untuk berada dekat dengan prajurit-prajurit itu dan akhirnya melihat sisi kemanusiaan dari mereka.

----

Perjalanan sudah berlangsung selama beberapa hari. Suasana di perkemahan jauh lebih sepi dari hari-hari kemarin. Sudah tidak ada hal yang baru yang bisa diceritakan, pemandangan yang sama dan rutinitas yang sama, Membayangkan hari-hari dan malam-malam yang harus dilalui sebelum mereka sampai di tujuan, semangat penduduk kademangan tak setinggi di awal perjalanan, untuk bercakap-cakap pun rasanya tak ada tenaga.

Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar bunyi gamelan ditabuh. Menyusul di tempat lain sayup-sayup terdengar suara gamelan.

Penduduk Kademangan Jati Asih yang sedang beristirahat sambil menikmati hangatnya api unggun, saling pandang dengan orang di kiri dan kanannya. Yang sudah berada di dalam tenda, berjalan keluar dan mencari tahu.

Seperti memiliki daya tarik yang magis, perlahan-lahan orang-orang berjalan ke arah suara gamelan terdekat berbunyi. Di sana sudah siap prajurit untuk mengatur tempat duduk bagi mereka yang datang. Tak lama kemudian di banyak titik di perkemahan yang luas itu, terbentuk kelompok-kelompok orang yang duduk berdekatan sambil menonton pemandangan yang baru kali ini mereka lihat.

Sebuah layar dari kain putih yang dibeber di depan mereka, di belakang layar ada nyala api yang bersinar terang menyinari kain putih itu. Suara gamelan terus mengalun dan sekarang terdengar suara orang menembang, mengikuti suara gamelan.

Ketika penonton sudah duduk di tempat, maka tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dengan suara bergetar rendah mengalun indah, “Heeemm.........hoooo..... Ada cerita dari jaman dulu kala, ketika manusia baru belajar makna dan kata. Naga dan raksasa masih berkuasa, hutan dan binatang buas di mana-mana.”

*Di cerita silat ini wayang kulit belum ada saat itu. Cerita ini 100% fiksi.

Bayang-bayang hitam dengan berbagai bentuk, berkelebatan di layar yang putih terang, imajinasi penonton dibawa terbang, pada suatu masa yang penuh dengan ancaman.

Anak-anak kecil terpana, tanpa sadar menyandarkan tubuh kecil mereka ke ayah atau ibu mereka, mencari kehangatan dan rasa aman. Para pemuda duduk dengan tegak, dada mereka berdeburan dengan semangat berpetualang. Yang sudah dewasa dan yang lanjut usia pun terhisap oleh daya tarik dan imajinasi yang ditampilkan di depan mereka. Rasa lelah yang tadi menyelimuti perkemahan, terusir pergi oleh daya magis imajinasi manusia.

Rangga, Tumenggung Widyaguna, Ki Ageng Aras, dua rakryan rangga, Ki Demang Jati Asih dan Ki Jagabaya, perlahan-lahan, berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengamati reaksi penduduk kademangan terhadap “kejutan” yang sudah mereka siapkan.

“Hasilnya jauh melampaui bayangan kita den.”, ujar Ki Ageng Aras.

Rakryan Rangga Aswatama dengan rasa humornya yang nyeleneh pun kali ini mengangguk-anggukkan kepala dengan ekspresi wajah yang hikmat.

“Rasanya ingin ikut duduk di salah satu barisan penonton itu.”, ujar Ki Jagabaya, matanya lekat menatap layar yang sedang menampilkan beberapa sosok bayang-bayang.

“Hahaha, Ki Jagabaya silahkan ikut menonton, secara garis besar kita sudah bisa melihat reaksi penduduk dengan adanya pertunjukan ini.”, sahut Rangga.

“Hehe... Den Rangga, kalau begitu, apa saya boleh ikut menonton juga?”, Ki Demang menyeletuk.

“Hahaha, tentu saja ki, tentu saja. Monggo silahkan.”, ujar Rangga sambil tertawa.

Sesaat kemudian, Ki Demang dan Ki Jagabaya pun berpamitan pergi, dan berjalan ke arah salah satu barisan penonton yang masih mengikuti permainan wayang kulit yang digelar dengan penuh perhatian. Sambil berjalan ke arah penonton, Ki Jagabaya dan Ki Demang pun bercakap-cakap.

“Kang, aku jadi tak enak, aku kan hanya bercanda saja, mengapa Kakang Demang malah ikut-ikutan.”, keluh Ki Jagabaya.

“Hehe, tak perlu sungkan Di... justru aku berterima kasih padamu. Aku sendiri sudah mencari-cari waktu yang tepat untuk berpamitan.”, jawab Ki Demang.

“Lho, apa pertunjukan ini sebegitu menariknya Kang?”, tanya Ki Jagabaya terheran-heran.

“Hahaha, pertunjukan ini memang menarik dan kita mesti bersyukur bisa menikmati pertunjukan ini. Tapi bukan itu masalahnya.”, jawab Ki Demang.

“Lalu kenapa Kang?”, tanya Ki Jagabaya masih belum mengerti.

Ki Demang menghela nafas, “Di, kita ini hanya pamong sebuah kademangan. Memang Raden Rangga, Ki Tumenggung dan yang lain tidak mempermasalahkan itu. Namun ada baiknya kita tahu diri. Apakah Adi Jagabaya tidak menangkap atau merasa, bahwa sesungguhnya Raden Rangga sedang meletakkan dasar-dasar bagi berdirinya sebuah kerajaan?”

“Oh...”, Ki Jagabaya terdiam cukup lama, pikirannya pun mulai terbuka.

“Jangan berpikir terlalu jauh, mungkin ini perasaanku saja. Pada waktunya nanti, tentu Raden Rangga akan memberi tahu kita.”, ujar Ki Demang sambil menepuk-nepuk bahu Ki Jagabaya.

“Jangan kuatir Kang, aku ini hanya tahu berkelahi. Aku tidak mau pusing, Raden Rangga bilang ke timur, aku ke timur, dia bilang ke barat, aku ke barat.”. Sesaat kemudian Ki Jagabaya menjawab dengan ringan, tak mau ambil pusing dengan rumitnya rencana Rangga.

Rangga dan yang lain melanjutkan perjalanan mereka, mengamati keadaan dari satu tempat ke tempat lain. Di sekeliling perkemahan, di tempat-tempat yang terlihat dan tak terlihat, prajurit-prajurit dan para senapati mengamankan keadaan di sekeliling mereka. Memastikan tak ada begal atau rampok yang mencari peluang. Memastikan tak ada binatang buas yang menyasar dan mengacaukan keadaan.

Rakryan Rangga Aswatama yang pertama membuka mulut, “Aku tak tahu, apa para prajurit bisa bertahan berapa lama. Wilayah yang harus diamankan terlalu luas.”

Rangga bertanya, “Bagaimana dengan anak-anak muda dari Kademangan Jati Asih sendiri?”

Rakryan Rangga Wirapati menjawab, “Mereka berlatih dengan tekun, tapi belum bisa dilepas sendiri, untuk saat ini jumlahnya sudah tepat. Tiap kesatuan terdiri dari tujuh sampai delapan bagian prajurit yang berpengalaman dan dua sampai tiga bagian anak-anak muda itu.”

“Jika hanya untuk membuka jalan dan mengamankan perjalanan ini dari binatang buas dan kumpulan begal kecil, jumlah kita sudah mencukupi. Masalahnya kita semua dalam satu perjalanan, setengah pasukan yang tidak sedang bertugas pun, tidak bisa sepenuhnya beristirahat. Apalagi pekerjaan membuka jalan sangatlah berat. Yang kami kuatirkan adalah bila tiba-tiba kita harus menghadapi serangan dari sebuah pasukan yang cukup besar.”, Tumenggung Widyaguna menjelaskan.

Rangga mengangguk, “Paman-paman benar, sampai saat ini kita masih beruntung, belum bertemu dengan ancaman yang terlalu besar. Namun semakin lama kita di perjalanan, semakin sulit untuk merahasiakan keberadaan kita.”

“Termasuk juga jalur dan tujuan yang kita pilih. Cepat atau lambat, kita akan menghadapi lawan yang menyiapkan pasukan untuk menyergap.”, kata Rakryan Rangga Aswatama.

“Siapa yang bertugas jadi pasukan pengintai dan mengawasi keadaan di sekitar kita?”, tanya Rangga.

“Kesatuan yang dipimpin Bayu Bayanaka, yang saat ini bertugas untuk mengamati keadaan.”, jawab Rakryan Rangga Aswatama.

“Berapa jauh mereka menyebar?”, tanya Rangga.

“Setidaknya seluas beberapa hari perjalanan. Untuk sementara ini, kabar dari mereka tidak pernah terputus. Belum ada tanda-tanda bahaya.”, jawab Rakryan Rangga Aswatama.

Tumenggun Widyaguna melanjutkan laporan Rakryan Rangga Aswatama, “Kami pikir, ada baiknya kita mencari tempat untuk beristirahat beberapa hari lamanya. Selain untuk mengistirahatkan pasukan, juga untuk melatih lebih banyak warga kademangan agar bila kita perlukan, mereka juga bisa digunakan dalam pertempuran.”

Rangga mengerutkan alis, dia tidak ingin melibatkan penduduk biasa dalam pertempuran.

Rakryan Rangga Aswatama berujar, “Raden, jika raden tak ingin tangan mereka terciprat darah sedikitpun, sebaiknya raden perintahkan mereka untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.”

“Aswatama, jangan kurang ajar!”, tegur Tumenggung Widyaguna.

“Hmph..”, Rakryan Rangga Aswatama mendengus.

Rakryan Rangga Wirapati diam-diam menggamit tangan Rakryan Rangga Aswatama, mengingatkan.

“Maafkan aku Den Rangga...”, ujar Rakryan Rangga Aswatama setelah sebelumnya lebih dahulu melototkan matanya ke Rakryan Rangga Wirapati.

Rangga dengan ramah menepuk pundak Rakryan Rangga Aswatama, “Tidak apa-apa paman, tidak perlu minta maaf. Aku memerlukan kalian semua untuk mengingatkanku, bila aku melakukan kesalahan. Jadi tidak perlu paman minta maaf.”

Rakryan Rangga Wirapati melaporkan lebih lanjut, “Dari segi persenjataan, hanya seratus orang prajurit yang lengkap memiliki kuda tunggangan dan persenjataan mulai dari busur panah, perisai, pedang dan tombak. Sisa prajurit yang lain hanya membawa satu senjata dan sebagian besar tidak membawa perisai. Pasukan cadangan yang terdiri dari penduduk kademangan, mengadakan senjata sendiri-sendiri. Aku lihat cukup banyak yang hanya bersenjatakan tongkat kayu.”

Mereka akhirnya sudah sampai di ujung perkemahan, berjalan sedikit lebih jauh lagi, ke dataran yang sedikit lebih tinggi, mereka berdiri memandangi perkemahan yang beristirahat dalam gelapnya malam, dihiasi nyala api-api unggun.

Tumenggung Widyaguna bertanya pada Rangga, “Jadi bagaimana menurut pendapat Raden Rangga?”

Bersambung ke Bab XVII
Diubah oleh lonelylontong 02-08-2020 03:48
itkgid
widi0407
danjau
danjau dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.