Sekolah dasar untuk sebagian besar orang adalah masa terpanjang bersama teman-teman sekelas, maka tak heran saat perpisahan adalah yang paling menyedihkan dan terasa berat. Tapi buat anak-anak pindahan seperti kami tidak seperti itu. Bergonta ganti teman adalah hal yang biasa.

Sumber : di sini

SD Banjir, begitu orang menyebut sekolah kami. Setiap musim penghujan, sekolah ini pasti banjir sehingga sekolah ini lebih tenar dengan sebutan SD Banjir daripada nama aslinya. Kalau ditanya nama aslinya apa, saya juga lupa. 

Di sekolah ini ada tiga cabang sekolah, SD Banjir 01, 02 Pagi dan 03 Petang. Walau ada di area yang sama tapi kami tidak saling berteman. Bahkan menjadi saingan ketat dalam setiap lomba. Sayangnya, kami yang di 03 Petang harus memilih pindah ke 01 Pagi atau 02. Saat itu sedang digalakkan sekolah di pagi hari dan menutup sekolah siang untuk SD, kebetulan juga murid di kelas kami hanya 15 orang saja. Sembilan orang dari kami kompak memilih ke SD 02 Pagi karena kami tidak pernah berseteru dengan mereka. SD 01 Pagi terkenal dengan anak borjuis dan suka meremehkan kami. Jadi kami merasa SD 02 pilihan terbaik. Lima orang sisanya ada yang pindah ke kampung halaman, ada juga yang pindah ke SD tetangga lainnya.

Kami bersembilan yaitu aku, kakakku Rama, sepupuku Hamdi, Suryani, Mala, Kamal, Sinta, May, dan Tika resmi bergabung di SD 02 kelas 5. Di sana kami memiliki teman-teman baru yang luar biasa. Tati sang juara kelas sekaligus ketua kelas, cewek tomboy, galak, berwajah manis dan punya banyak fans. Edi sang pemimpin upacara, cowok imut, manis, bersuara lantang dan berani, salah satu fansnya Tati. Jaka juara 2 di kelas sekaligus wakil ketua kelas, cowok berperawakan tinggi dan berwajah tampan, saingan berat Edi. Ada juga Jodi yang konon sudah 2 tahun di kelas 5, terkenal badung, nilai paling jelek, santuy, ramah sama orang tapi suka usil.

Setelah kedatangan kami, peringkat mereka berubah. Tati sang juara kelas harus rela bergeser ke rangking 2 atau 3. Saat itu menggunakan sistem Caturwulan, jadi ada 3 kali pembagian raport. Suryani pernah mengalahkan Tati sebagai juara kelas, kadang juga aku mengalahkan Tati. Kami bertiga, aku, Tati dan Suryani selalu ada di peringkat 3 besar dengan peringkat yang bertukar-tukar. Tidak ada satupun murid lain yang bisa mengalahkan kami. Bahkan jika ada lomba-lomba antar sekolah, kami bertiga yang maju untuk berjuang.

Pada suatu hari, Hamdi diminta wali kelas untuk memanggil ibunya datang ke sekolah. Ada sesuatu nampaknya yang ingin dibicarakan. Tetapi Hamdi tidak datang bersama ibunya, di depan kelas Hamdi diinterogasi, tidak boleh duduk. Ibu Guru bertanya, "Ibu kamu mana, kan ibu suruh datang?" Dengan menunduk takut Hamdi menjawab, "Ibu saya kerja Bu, tidak bisa datang." Lalu Ibu Guru memburu dengan pertanyaan, "Ayah kamu ke mana?" Mata Hamdi berkaca-kaca, dengan menahan tangis ia berkata, "Ayah saya tidak ada Bu, saya tinggal sama ibu saya saja." Mata kami yang menyaksikan kejadian itu ikut berkaca-kaca. Suryani yang tetangga dekat Hamdi malah sudah menangis karena dia juga anak yatim, tidak punya ayah.  Ibu Guru pun tidak tega melihat Hamdi, dan langsung menyuruhnya duduk. 

Saat bulan Ramadhan, tidak seperti biasanya kelas kami yang gaduh jadi lebih tenang karena kami 100% muslim dan semua berpuasa. Hanya si Jodi yang paling senior di kelas, saat tidak ada guru dia menyanyikan lagu Rhoma Irama. "Lapaaaar... Lapaaaar... Lapaaaar...." teriaknya sambil memukul-mukul meja. Aku baru tau kalau ternyata ada lagu Rhoma Irama seperti itu pas sekali dengan kondisi si Jodi saat puasa ya. Semua anak di kelas kami hanya senyum-senyum menahan geli melihat tingkah Jodi.

Kelas 5 kami lalui dengan derai air mata dan tawa bersama-sama. Tak terasa akhirnya kenaikan kelas, tapi Jodi tidak bisa ikut bersama kami. Dia tinggal kelas lagi. Jodi anak broken home, sepertinya dia tidak bisa konsentrasi belajar karena lingkungan dan keluarganya. Kabar terakhir yang kudengar dia sudah meninggal sekitar usia 20 tahunan karena overdosis narkoba. 

Di kelas 6 saat liburan sekolah sehari sebelum masuk sekolah, Edi sang pemimpin upacara ikut temannya pergi memancing ke Muara Karang bersama paman temannya itu. Ibu guru mengabari kami bahwa Edi belum pulang sejak kemarin, dan meminta kami berdoa agar Edi segera ditemukan. Sehari, dua hari, belum juga ada kabar tentang Edi. Di hari ketiga ditemukan mayat teman Edi di pesisir pantai sekitar Ancol. Kami sudah harap-harap cemas, berharap ada keajaiban untuk Edi. Semua berdoa, bahkan keluarga mengadakan pengajian agar Edi segera ditemukan. Hari ketujuh Edi ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Tubuh imutnya berubah jadi bengkak. Kami tidak melihat wajahnya untuk terakhir kali. Tak tega. Oh Allah, ini kesedihan yang tidak dapat terbendung bagi kami. Kami semua melawat ke rumah almarhum dengan deraian air mata.   

Sepuluh tahun kemudian, setelah lama tidak pulang kampung, aku bersama keluarga pulang kampung ke Lebak Banten. Di kampung halaman ibuku itu, ada banyak pohon kopi di sekitar rumah penduduk. Harum bunga kopi seperti melati bahkan lebih lembut, warnanya putih, imut dan rasanya manis tapi sayang jarang orang mengindahkannya. Ah, mengingatkanku pada teman-teman semasa SD di Banjir dulu. Mereka punya kelebihan dan keindahan sendiri, tapi kadang tak diindahkan orang. Edi, kamu seperti bunga kopi ini, imut, wangi dan putih bersih hatimu selalu membuat teman-temanmu senang berada di dekatmu, termasuk juga Tati.