- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2258
Unpredictable_Part 1
Bulu kuduk gue merinding dan badan gue gemetar. Tapi bukan gemetar karena ketakutan ataupun karena hal-hal mistik lainnya. Gue gemetar karena kaget, bingung, dan kesal sehingga membuat gue ingin marah. Namun, amarah ini masih berusaha gue tahan karena gue masih butuh kejelasan kenapa semua ini bisa terjadi?
Dalam hati, gue bertanya-tanya. “Ada apa ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?” Gue nggak bisa berpikir jernih sama sekali. Chat tersebut masuk terus menerus dan hanya menambah kepedihan, bukan kejelasan. Dan hal tersebut membuat darah gue mendidih di pagi hari.
CALL EMI
Telpon terputus. Gue mencoba menelpon Emi kembali, tapi di-reject oleh-nya. Kemudian gue mencoba untuk mengirim chat pada dia, tapi tidak terbalas. Gue nggak menyerah begitu saja, gue coba menelepon kembali dan terus mengirimkan chat. Hingga akhirnya, gue nggak bisa menghubungi dia lagi, karena telepon dan chat gue sudah diblokir oleh dia. Dia memblokir seluruh kontak gue dari segala macam aplikasi. Kali ini Emi benar-benar ingin menjauh dari gue. Emi minta putus dari gue, ketika gue bahkan sedang berada dalam kekacauan mental yang amat dahsyat. Lengkap sekali penderitaan gue. Padahal hari kemarin, hubungan kami masih sangat baik-baik saja. Mendadak dalam semalam, semuanya berubah.
Gue sangat paham Emi. Dia nggak mungkin melakukan hal begini tanpa alasan, atau hanya ingin gue mengejar dia. Biasanya Emi selalu punya kekuatan untuk bertahan di dalam hubungan ini. Walaupun ketika gue pernah menyakiti dia atau dulu pernah meminta putus dari dia, dia akan terus berusaha mempertahankan hubungan kami ini. Tetapi entah kenapa kali ini Emi berbeda. Dia terdengar sangat putus asa dan….sakit hati. Gue yakin, Emi pasti udah disakiti sama seseorang. Seseorang yang gue kenal…
Gue langsung mengarahkan tuduhan gue ke Dania. Gue yakin 100% pasti dia yang telah mengintimidasi Emi, entah lewat telpon atau chat juga. Sebenarnya bisa saja gue menuduh cewek lain yang sekiranya pernah gue sakiti sehingga mereka membalas dendam ke Emi. Bisa saja Keket atau Dee yang memang pernah punya track record semacam itu.
Belum lagi deretan cewek-cewek selingan lainnya yang ada ketika hubungan gue dan Emi berjalan. Tetapi, Emi itu nggak pernah seputus asa ini kalau berurusan dengan mereka. Kali ini dia pasti sangat tersakiti dan tidak punya pilihan lain.
Gue yakin, ini semua karena cewek tersebut adalah cewek yang sangat berarti di hidup gue. Selain Emi, siapa lagi yang berarti di hidup gue selain Mama dan Dania? Dan gue sangat yakin juga Mama nggak akan seperti itu.
Hmm. Mungkin juga bisa dengan Ara, tetapi Ara nggak akan pernah melakukan hal demikian sama Emi. Tapi gue butuh bukti terlebih dahulu. Gue nggak bisa asal tuduh begitu, karena gue mau kalau sudah ada bukti, lebih enak menunjuk langsung mukanya. Dia nggak akan bisa berkelit lagi.
Pagi itu gue langsung bergegas mandi. Gue mau berangkat ke kantor Emi untuk meminta kejelasan. Gue nggak bisa menunggu lagi. Gue nggak mau kehilangan cinta dan hidup gue begitu saja. Apalagi menerima keadaan dan keputusan hanya lewat chat saja. Gue harus mengejar Emi sampai gue mendapatkan dia kembali. Emi adalah yang sangat langka, mungkin seribu tahun lagi baru ada yang seperti dia.
Kantor Emi itu sangat jauh lokasinya. Kantor gue ada di Selatan Ibukota, sedangkan kantor Emi ada di ujung Utara sana. Kebayang bukan bagaimana perjuangan Emi untuk berangkat ke kantor setiap harinya? Tetapi cewek mungil itu tetap semangat menempuh perjalanan setiap harinya turun naik kendaraan umum—karena dia sama sekali nggak bisa mengendarai kendaraan bermotor, tanpa mengeluh.
Gue nggak boleh menyerah. Gue harus mengejar dia! Walaupun gue kesana harus naik motor gue sendiri. Karena kalau gue naik mobil di rumah, pasti gue terjebak macet dimana-mana. Dan itu sangat nggak efektif.
Gue langsung mengeluarkan motor gue dan bergegas menuju kantor Emi menggunakan motor gue dari rumah. Mama dan Dania hanya melihat gue bingung. Mungkin mereka bertanya-tanya, mau kemana gue sepagi itu? Mereka berusaha menyapa dan menegur gue. Tetapi gue sama sekali nggak menggubris mereka. Gue fokus pada tujuan gue. Gue harus segera sampai di kantor Emi.
Saat itu, gue menjadi sangat emosional. Gue membawa kendaraan dengan penuh amarah. Gue marah-marah ke setiap orang-orang yang melakukan kebodohan di sepanjang jalan. Gue mengumpat dengan segala macam kebun binatang dan kata-kata kasar lain yang gue tau. Gue harus mengeluarkan amarah gue ini, agar gue bisa berpikir jernih ketika gue ada di hadapan Emi. Gue nggak boleh kehilangan Emi hanya karena gue salah bertindak di hadapannya nanti.
Gue sampai di sana jelang tengah hari. Wajar, perjalanannya sangat jauh. Gue kini berada di daerah pantai yang luar biasa panas. Gue yang memakai cologne pria keluaran merk sepatu terkenal pun berkeringat dan kini aroma wangi segar dari cologne tersebut sudah berganti dengan bau matahari. Kondisi gue saat ini udah nggak jelas banget.
Ketika gue masuk lobi, gue disambut ramah oleh sekuriti di sana. Tapi karena gue masih agak jarang kesini, mereka nggak tau kalau gue adalah pacar Emi. Maklum, sekuriti yang menyambut gue kali ini, berbeda dengan sekuriti sebelumnya. Kantor ini pasti punya lebih dari selusin sekuriti setiap harinya, wajar mereka belum mengenal gue. Gue meminta sekuriti menghubungi Emi di dalam untuk sejenak menemui gue. Gue merasa lega ketika sekuriti mengatakan kalau Emi ada di dalam kantor. Gue diminta menunggu di lobi hingga Emi keluar.
Lima menit…
Lima belas menit…
Dua puluh lima menit berlalu dan Emi tak kunjung keluar.
Satu per satu karyawan kantor Emi sudah terlihat menggendong tas kerja mereka untuk melakukan fingerprint yang terletak di belakang meja sekuriti. Gue lihat jam di tangan kiri gue, sudah masuk jam pulang kerja. Hari ini Emi masuk setengah hari. Tetapi nggak satu pun dari mereka, ada Emi. Sedangkan pintu keluar dan fingerprint staf kayaknya hanya satu juga. Nggak mungkin kan Emi keluar lewat jendela kantornya?
Ketika gue mau meminta sekuriti untuk kembali menghubungi Emi, gue melihat Bimo yang baru saja kembali dari lapang. Dia datang bersama teman kantor Emi lainnya, Fadil. Bagaimana gue hapal dan tau kalau itu Fadil? Karena Emi itu orang yang bisa menjelaskan dengan sangat detail sehingga kita bisa ikut membayangkan apa yang dia ceritakan.
“Bim…” Gue berteriak memanggil. Maklum, karena saat itu lobi sedang ramai oleh mereka yang sedang mengantri fingerprint.
“Bang Ija?” Bimo menghampiri gue, sedangkan Fadil hanya tersenyum dan pamit untuk lebih dulu masuk ke dalam. “Tumben jemput Emi sampe di sini, Bang?” Tanya Bimo sopan.
“Hahaha. Iya nih… Kebetulan lagi kosong waktunya, sekalian gue samperin kesini. Bisa tolong panggilin Emi nggak? Dari tadi gue tungguin dia belum keluar juga.” Gue sedikit berbohong sama dia. Gue nggak mungkin ceritain cerita yang sebenarnya pada Bimo. Karena kalau Bimo tau yang sebenarnya, dia pasti nggak akan mau memanggil Emi.
“Oh gitu. Mungkin dia lagi sibuk laporan mingguan. Tadi dia telat soalnya dateng ke kantor. Kesiangan dia. Hahaha. Santai dulu di sini ya, Bang. Gue panggilin Emi dulu.”
“Makasih ya Bim.” Semoga ekspresi gue nggak terlalu kelihatan butuh banget ketemu Emi. Nanti malah makin runyam karena Bimo kepo atau semacamnya.
Tidak lama setelah gue lihat Bimo masuk ke dalam ruangannya, gue melihat Debby masuk dari pintu dimana Bimo datang sebelumnya. Dia adalah orang yang paling tidak ingin gue temui, apalagi di saat kondisi seperti ini. Belum lagi ketika gue mendengar setiap cerita kelakuan cewek ini dari Emi. Gue semakin benci sama dia. Bukannya bertobat, dia malah terus menerus merusak hidup dan mental Emi. Oke lah paras dia cantik, badan dia pun oke punya, dan dia terlihat pintar di antara karyawan lainnya. Tetapi dia nggak lebih dari seorang psikopat.
Mulustrasi Debby saat ini, 97,3% mirip Sumber Gambar
Kalau melihat penampilan dia sekarang, wajar laki-laki disini, baik yang jomblo maupun sudah beristri bakalan nyangkut. Dia terlihat anggun banget, pakaiannya senada walaupun dia juga baru kembali dari lapangan. Make up-nya pun senada dengan warna pakaian tetapi tidak membuat dia terlihat norak. Itu malah terlihat match dan cocok.
Walaupun pakaiannya terlihat besar, tapi karena memang badannya bagus, tetap aja terlihat lekukannya. Bagian bemper mundur sempurna ke belakang, dan bagian dada juga sangat menyembul, mungkin 36 kali ukurannya. Semakin mirip Melody eks JKT48 ketika dia sudah memutuskan memakai jilbab. Atau memang muka seperti itu pasaran ya? Haha. Setidaknya itu yang terlihat dari luar. Padahal busuk banget hatinya.
“Ah, bangs*t, kenapa malah ngeliat dia sih, bikin makin emosi gue aja…..” Kata gue dalam hati.
Debby sempat melihat ke arah gue. Tapi bukannya nyamperin seperti Bimo tadi, dia malah berpaling dan kemudian berjalanan berlawanan dan kembali keluar dari pintu dimana dia masuk tadi. Sepertinya dia berusaha menghindar dari gue. Gue nggak peduli juga sebenarnya. Yang gue butuh adalah penjelasan Emi terkait dengan isi chatnya tersebut.
Waktu berlalu dan kini lobi sudah mulai sepi. Berarti Bimo juga nggak berhasil untuk membujuk Emi keluar menemui gue. Sempat terpikir untuk pulang dan menyelesaikan langsung dengan Dania, tetapi gue butuh bukti. Gue putusin untuk terus menunggu Emi. Emi nggak mungkin menolak keluar sampai sore atau malam hari bukan? Gue akan terus menunggu dia.
Benar saja, kurang lebih 30 menit setelahnya gue akhirnya melihat Emi keluar. Gue terdiam ketika melihat dia berjalan ke arah gue. Entah kenapa, gue melihat Emi sangat mirip Ara yang belum lama ini baru aja gue temui. Gue memutuskan untuk membiarkannya untuk fingerprint terlebih dahulu baru menghampiri dia.
Tetapi bukannya menghampiri gue, dia malah berjalan langsung keluar kantor menuju ke halte bus yang ada di depan kantornya persis. Gue pun mengejarnya.
“Emi! Tunggu sebentar!” Gue akhirnya berhasil mengejar dia. “Tolong jelasin semuanya… Jangan diemin aku begini terus. Aku butuh penjelasan.” Kata gue sambil memegang lengan kanannya.
“Kurang jelas apa lagi sih Zy? Sampe kamu butuh penjelasan begitu? Aku cuma mau putus Zy. Udah titik. Aku nggak minta apa-apa lagi dari kamu. Aku cuma minta kita putus, pisah, dan nggak pernah ketemu lagi. Udah ya Zy. Aku udah capek sama semuanya.”
“Ya tapi kan nggak bisa begitu aja dong? Aku juga butuh penjelasan kenapa kemarin masih baik-baik aja terus mendadak pagi-pagi begini kamu minta putus?”
“Zy…” Emi menatap mata gue tajam. Matanya terlihat sembab. Sepertinya dia juga terluka dengan keputusan yang dia buat sendiri. Terus kalau dia tersiksa seperti ini, kenapa dia malah terus bersikukuh untuk pisah? “Hubungan kita ini dimulai dengan kondisi yang tidak bagus. Perjalanan hubungan ini pun tidak semulus yang kita bayangkan bukan? Belum lagi kamu berkali-kali mencoba untuk berpetualang di belakang aku sedangkan aku di sini mencoba untuk bertahan dengan sikap kamu yang seperti itu…”
“Aku minta maaf… Aku udah nggak seperti itu lagi Mi.”
“Tapi nggak cuma itu aja. Kamu nggak boleh terus menerus menutupi fakta dari aku Zy…”
“Fakta apa?”
“Fakta kalau keluarga kamu juga nggak bisa menerima keberadaan aku. Nggak merestui hubungan kita ini. Dan nggak suka sama aku----”
“Apaan sih? Kok kamu bilang begitu?”
“Zy… Masih sempet ya kamu mau boongin aku sekarang?”
“Boong? Aku nggak pernah bilang kalau mereka…. Oh aku paham. Aku paham sekarang! Bangs*t! Ini pasti Dania kan? PASTI DANIA ATAU NYOKAP GUE KAN YANG NGELABRAK KAMU TERUS BILANG BEGITU? IYA KAN???”
“Udah Zy! Nggak usah jadi nyalahin orang lain! Emang hubungan kita aja yang nggak sehat!”
“HALAH! INI PASTI KELUARGA GUE YANG NGERONGRONG LO BIAR MINTA PISAH SAMA GUE BUKAN?”
“………”
Dalam hati, gue bertanya-tanya. “Ada apa ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?” Gue nggak bisa berpikir jernih sama sekali. Chat tersebut masuk terus menerus dan hanya menambah kepedihan, bukan kejelasan. Dan hal tersebut membuat darah gue mendidih di pagi hari.
CALL EMI
Quote:
Telpon terputus. Gue mencoba menelpon Emi kembali, tapi di-reject oleh-nya. Kemudian gue mencoba untuk mengirim chat pada dia, tapi tidak terbalas. Gue nggak menyerah begitu saja, gue coba menelepon kembali dan terus mengirimkan chat. Hingga akhirnya, gue nggak bisa menghubungi dia lagi, karena telepon dan chat gue sudah diblokir oleh dia. Dia memblokir seluruh kontak gue dari segala macam aplikasi. Kali ini Emi benar-benar ingin menjauh dari gue. Emi minta putus dari gue, ketika gue bahkan sedang berada dalam kekacauan mental yang amat dahsyat. Lengkap sekali penderitaan gue. Padahal hari kemarin, hubungan kami masih sangat baik-baik saja. Mendadak dalam semalam, semuanya berubah.
Gue sangat paham Emi. Dia nggak mungkin melakukan hal begini tanpa alasan, atau hanya ingin gue mengejar dia. Biasanya Emi selalu punya kekuatan untuk bertahan di dalam hubungan ini. Walaupun ketika gue pernah menyakiti dia atau dulu pernah meminta putus dari dia, dia akan terus berusaha mempertahankan hubungan kami ini. Tetapi entah kenapa kali ini Emi berbeda. Dia terdengar sangat putus asa dan….sakit hati. Gue yakin, Emi pasti udah disakiti sama seseorang. Seseorang yang gue kenal…
Gue langsung mengarahkan tuduhan gue ke Dania. Gue yakin 100% pasti dia yang telah mengintimidasi Emi, entah lewat telpon atau chat juga. Sebenarnya bisa saja gue menuduh cewek lain yang sekiranya pernah gue sakiti sehingga mereka membalas dendam ke Emi. Bisa saja Keket atau Dee yang memang pernah punya track record semacam itu.
Belum lagi deretan cewek-cewek selingan lainnya yang ada ketika hubungan gue dan Emi berjalan. Tetapi, Emi itu nggak pernah seputus asa ini kalau berurusan dengan mereka. Kali ini dia pasti sangat tersakiti dan tidak punya pilihan lain.
Gue yakin, ini semua karena cewek tersebut adalah cewek yang sangat berarti di hidup gue. Selain Emi, siapa lagi yang berarti di hidup gue selain Mama dan Dania? Dan gue sangat yakin juga Mama nggak akan seperti itu.
Hmm. Mungkin juga bisa dengan Ara, tetapi Ara nggak akan pernah melakukan hal demikian sama Emi. Tapi gue butuh bukti terlebih dahulu. Gue nggak bisa asal tuduh begitu, karena gue mau kalau sudah ada bukti, lebih enak menunjuk langsung mukanya. Dia nggak akan bisa berkelit lagi.
Pagi itu gue langsung bergegas mandi. Gue mau berangkat ke kantor Emi untuk meminta kejelasan. Gue nggak bisa menunggu lagi. Gue nggak mau kehilangan cinta dan hidup gue begitu saja. Apalagi menerima keadaan dan keputusan hanya lewat chat saja. Gue harus mengejar Emi sampai gue mendapatkan dia kembali. Emi adalah yang sangat langka, mungkin seribu tahun lagi baru ada yang seperti dia.
Kantor Emi itu sangat jauh lokasinya. Kantor gue ada di Selatan Ibukota, sedangkan kantor Emi ada di ujung Utara sana. Kebayang bukan bagaimana perjuangan Emi untuk berangkat ke kantor setiap harinya? Tetapi cewek mungil itu tetap semangat menempuh perjalanan setiap harinya turun naik kendaraan umum—karena dia sama sekali nggak bisa mengendarai kendaraan bermotor, tanpa mengeluh.
Gue nggak boleh menyerah. Gue harus mengejar dia! Walaupun gue kesana harus naik motor gue sendiri. Karena kalau gue naik mobil di rumah, pasti gue terjebak macet dimana-mana. Dan itu sangat nggak efektif.
Gue langsung mengeluarkan motor gue dan bergegas menuju kantor Emi menggunakan motor gue dari rumah. Mama dan Dania hanya melihat gue bingung. Mungkin mereka bertanya-tanya, mau kemana gue sepagi itu? Mereka berusaha menyapa dan menegur gue. Tetapi gue sama sekali nggak menggubris mereka. Gue fokus pada tujuan gue. Gue harus segera sampai di kantor Emi.
Saat itu, gue menjadi sangat emosional. Gue membawa kendaraan dengan penuh amarah. Gue marah-marah ke setiap orang-orang yang melakukan kebodohan di sepanjang jalan. Gue mengumpat dengan segala macam kebun binatang dan kata-kata kasar lain yang gue tau. Gue harus mengeluarkan amarah gue ini, agar gue bisa berpikir jernih ketika gue ada di hadapan Emi. Gue nggak boleh kehilangan Emi hanya karena gue salah bertindak di hadapannya nanti.
Gue sampai di sana jelang tengah hari. Wajar, perjalanannya sangat jauh. Gue kini berada di daerah pantai yang luar biasa panas. Gue yang memakai cologne pria keluaran merk sepatu terkenal pun berkeringat dan kini aroma wangi segar dari cologne tersebut sudah berganti dengan bau matahari. Kondisi gue saat ini udah nggak jelas banget.
Ketika gue masuk lobi, gue disambut ramah oleh sekuriti di sana. Tapi karena gue masih agak jarang kesini, mereka nggak tau kalau gue adalah pacar Emi. Maklum, sekuriti yang menyambut gue kali ini, berbeda dengan sekuriti sebelumnya. Kantor ini pasti punya lebih dari selusin sekuriti setiap harinya, wajar mereka belum mengenal gue. Gue meminta sekuriti menghubungi Emi di dalam untuk sejenak menemui gue. Gue merasa lega ketika sekuriti mengatakan kalau Emi ada di dalam kantor. Gue diminta menunggu di lobi hingga Emi keluar.
Lima menit…
Lima belas menit…
Dua puluh lima menit berlalu dan Emi tak kunjung keluar.
Satu per satu karyawan kantor Emi sudah terlihat menggendong tas kerja mereka untuk melakukan fingerprint yang terletak di belakang meja sekuriti. Gue lihat jam di tangan kiri gue, sudah masuk jam pulang kerja. Hari ini Emi masuk setengah hari. Tetapi nggak satu pun dari mereka, ada Emi. Sedangkan pintu keluar dan fingerprint staf kayaknya hanya satu juga. Nggak mungkin kan Emi keluar lewat jendela kantornya?
Ketika gue mau meminta sekuriti untuk kembali menghubungi Emi, gue melihat Bimo yang baru saja kembali dari lapang. Dia datang bersama teman kantor Emi lainnya, Fadil. Bagaimana gue hapal dan tau kalau itu Fadil? Karena Emi itu orang yang bisa menjelaskan dengan sangat detail sehingga kita bisa ikut membayangkan apa yang dia ceritakan.
“Bim…” Gue berteriak memanggil. Maklum, karena saat itu lobi sedang ramai oleh mereka yang sedang mengantri fingerprint.
“Bang Ija?” Bimo menghampiri gue, sedangkan Fadil hanya tersenyum dan pamit untuk lebih dulu masuk ke dalam. “Tumben jemput Emi sampe di sini, Bang?” Tanya Bimo sopan.
“Hahaha. Iya nih… Kebetulan lagi kosong waktunya, sekalian gue samperin kesini. Bisa tolong panggilin Emi nggak? Dari tadi gue tungguin dia belum keluar juga.” Gue sedikit berbohong sama dia. Gue nggak mungkin ceritain cerita yang sebenarnya pada Bimo. Karena kalau Bimo tau yang sebenarnya, dia pasti nggak akan mau memanggil Emi.
“Oh gitu. Mungkin dia lagi sibuk laporan mingguan. Tadi dia telat soalnya dateng ke kantor. Kesiangan dia. Hahaha. Santai dulu di sini ya, Bang. Gue panggilin Emi dulu.”
“Makasih ya Bim.” Semoga ekspresi gue nggak terlalu kelihatan butuh banget ketemu Emi. Nanti malah makin runyam karena Bimo kepo atau semacamnya.
Tidak lama setelah gue lihat Bimo masuk ke dalam ruangannya, gue melihat Debby masuk dari pintu dimana Bimo datang sebelumnya. Dia adalah orang yang paling tidak ingin gue temui, apalagi di saat kondisi seperti ini. Belum lagi ketika gue mendengar setiap cerita kelakuan cewek ini dari Emi. Gue semakin benci sama dia. Bukannya bertobat, dia malah terus menerus merusak hidup dan mental Emi. Oke lah paras dia cantik, badan dia pun oke punya, dan dia terlihat pintar di antara karyawan lainnya. Tetapi dia nggak lebih dari seorang psikopat.
Mulustrasi Debby saat ini, 97,3% mirip Sumber Gambar Kalau melihat penampilan dia sekarang, wajar laki-laki disini, baik yang jomblo maupun sudah beristri bakalan nyangkut. Dia terlihat anggun banget, pakaiannya senada walaupun dia juga baru kembali dari lapangan. Make up-nya pun senada dengan warna pakaian tetapi tidak membuat dia terlihat norak. Itu malah terlihat match dan cocok.
Walaupun pakaiannya terlihat besar, tapi karena memang badannya bagus, tetap aja terlihat lekukannya. Bagian bemper mundur sempurna ke belakang, dan bagian dada juga sangat menyembul, mungkin 36 kali ukurannya. Semakin mirip Melody eks JKT48 ketika dia sudah memutuskan memakai jilbab. Atau memang muka seperti itu pasaran ya? Haha. Setidaknya itu yang terlihat dari luar. Padahal busuk banget hatinya.
“Ah, bangs*t, kenapa malah ngeliat dia sih, bikin makin emosi gue aja…..” Kata gue dalam hati.
Debby sempat melihat ke arah gue. Tapi bukannya nyamperin seperti Bimo tadi, dia malah berpaling dan kemudian berjalanan berlawanan dan kembali keluar dari pintu dimana dia masuk tadi. Sepertinya dia berusaha menghindar dari gue. Gue nggak peduli juga sebenarnya. Yang gue butuh adalah penjelasan Emi terkait dengan isi chatnya tersebut.
Waktu berlalu dan kini lobi sudah mulai sepi. Berarti Bimo juga nggak berhasil untuk membujuk Emi keluar menemui gue. Sempat terpikir untuk pulang dan menyelesaikan langsung dengan Dania, tetapi gue butuh bukti. Gue putusin untuk terus menunggu Emi. Emi nggak mungkin menolak keluar sampai sore atau malam hari bukan? Gue akan terus menunggu dia.
Benar saja, kurang lebih 30 menit setelahnya gue akhirnya melihat Emi keluar. Gue terdiam ketika melihat dia berjalan ke arah gue. Entah kenapa, gue melihat Emi sangat mirip Ara yang belum lama ini baru aja gue temui. Gue memutuskan untuk membiarkannya untuk fingerprint terlebih dahulu baru menghampiri dia.
Tetapi bukannya menghampiri gue, dia malah berjalan langsung keluar kantor menuju ke halte bus yang ada di depan kantornya persis. Gue pun mengejarnya.
“Emi! Tunggu sebentar!” Gue akhirnya berhasil mengejar dia. “Tolong jelasin semuanya… Jangan diemin aku begini terus. Aku butuh penjelasan.” Kata gue sambil memegang lengan kanannya.
“Kurang jelas apa lagi sih Zy? Sampe kamu butuh penjelasan begitu? Aku cuma mau putus Zy. Udah titik. Aku nggak minta apa-apa lagi dari kamu. Aku cuma minta kita putus, pisah, dan nggak pernah ketemu lagi. Udah ya Zy. Aku udah capek sama semuanya.”
“Ya tapi kan nggak bisa begitu aja dong? Aku juga butuh penjelasan kenapa kemarin masih baik-baik aja terus mendadak pagi-pagi begini kamu minta putus?”
“Zy…” Emi menatap mata gue tajam. Matanya terlihat sembab. Sepertinya dia juga terluka dengan keputusan yang dia buat sendiri. Terus kalau dia tersiksa seperti ini, kenapa dia malah terus bersikukuh untuk pisah? “Hubungan kita ini dimulai dengan kondisi yang tidak bagus. Perjalanan hubungan ini pun tidak semulus yang kita bayangkan bukan? Belum lagi kamu berkali-kali mencoba untuk berpetualang di belakang aku sedangkan aku di sini mencoba untuk bertahan dengan sikap kamu yang seperti itu…”
“Aku minta maaf… Aku udah nggak seperti itu lagi Mi.”
“Tapi nggak cuma itu aja. Kamu nggak boleh terus menerus menutupi fakta dari aku Zy…”
“Fakta apa?”
“Fakta kalau keluarga kamu juga nggak bisa menerima keberadaan aku. Nggak merestui hubungan kita ini. Dan nggak suka sama aku----”
“Apaan sih? Kok kamu bilang begitu?”
“Zy… Masih sempet ya kamu mau boongin aku sekarang?”
“Boong? Aku nggak pernah bilang kalau mereka…. Oh aku paham. Aku paham sekarang! Bangs*t! Ini pasti Dania kan? PASTI DANIA ATAU NYOKAP GUE KAN YANG NGELABRAK KAMU TERUS BILANG BEGITU? IYA KAN???”
“Udah Zy! Nggak usah jadi nyalahin orang lain! Emang hubungan kita aja yang nggak sehat!”
“HALAH! INI PASTI KELUARGA GUE YANG NGERONGRONG LO BIAR MINTA PISAH SAMA GUE BUKAN?”
“………”
itkgid dan 16 lainnya memberi reputasi
17