- Beranda
- Stories from the Heart
Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi
...
TS
husnamutia
Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi
Kumpulan Cerpen

Ketika cinta dan kesetiaan dipertaruhkan pada ketidakpastian.

Setiap senja tiba, lelaki itu selalu datang ke stasiun. Kemudian duduk di bangku panjang paling ujung. Sesekali ia beranjak kemudian duduk lagi.
Sepertinya ia tengah menantikan seseorang, tampak dari gerak-geriknya. Lelaki itu akan berlari ke depan kereta yang berhenti. Kemudian, berdiri meneliti wajah-wajah yang baru saja tiba. Ia kemudian menarik diri, kembali duduk dengan wajah kecewa.
"Siapa yang tengah dinantinya?" Setiap tanya dari orang-orang di stasiun yang melihat tingkah lelaki itu.
"Sudah lima belas tahun ia begitu. Gara-gara cewek. Makanya kalau demen sama cewek jangan terlalu, nanti jadi gini," ucap Bapak penjual Es Dawet sambil menempelkan jari di jidatnya.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. "Begitu besar cinta dan kesetiaan pria itu," gumamku.
"Dulu dia ganteng loh mas," ucap Mbok gorengan asal Jawa, yang mangkal di pinggir stasiun dengan semangat. Nampak semburat senyum nangkal di ujung bibirnya.
"Dulu, Ibu naksir ya?" spontan aku membalas candaan itu sambil menahan tawa.
"Hahaha itu dulu loh, sekarang ya ogah. Mending sing waras, senajan buluk," jawabnya lagi sembari melirik lelaki paruh baya yang baru datang membawa tremos es. Mungkin, ia suaminya.
Dari jauh, lelaki di ujung stasiun itu masih duduk termangu. Merah saga semakin jelas terlihat, sebentar lagi Maghrib tiba dan malam pun datang.
"Sampai kapan lelaki itu akan menunggu?"
Sudah seminggu lamanya, mondar-mandir di stasiun ini hanya untuk menyelesaikan tugas akhir. Kini, aku justru semakin tertarik lebih lama memahami kehidupan jalanan, terlebih dengan lelaki itu.
Lelaki itu nyaris tak pernah bicara dengan siapa pun. Bagiku ia cermin kesetiaan, tetapi kadang pula logikaku menentang. Kasihan, ya, lelaki itu telah mempertaruhkan cinta dan kesetiaan pada sebuah ketidak pastian.
Tahukah kau apa yang kau lakukan itu
Tahukah kau siksa diriku
Bertahun kunantikan jawaban dirimu
Bertahun-tahun ku menunggu
Hampir saja kopi di tangan tumpah, saat seorang pengamen tiba-tiba bernyanyi nyaring di sampingku.
"Terima kasih," ucap pemuda ceking berkas oblong warna hitam pudar, sambil menyambar uang dua ribu yang kusodorkan sambil berlalu.
Dari bangku kedai kopi, aku masih betah mengawasi lelaki bertopi yang nyaris menutupi sebagian wajahnya. Lelaki itu tampak tengah mencoret-coret sesuatu. Membuatku tergerak untuk mendekatinya.
Ia tak bereaksi saat aku mendekatinya. Benar seperti dugaanku, ia tengah menulis sesuatu di sebuah buku tulis.
Baru saja hendak menyapa, lelaki itu bangkit setelah merobek kertas yang telah ditulisnya dan melemparkan ke tong sampah tak jauh dari tempatnya duduk.
Lelaki itu kembali diam, memandang jauh ke rel kerata, dengan tatapan kosong dan hampa.
Aku mengambil kertas yang baru saja di lemparkan lelaki itu. Diam-diam melipat dan memasukannnya ke kantong. Sambil ngeloyor ke mushola di ujung belakang stasiun.
Setelah shalat Maghrib, dan mengikat tali sepatu di teras. Aku menyempatkan membuka selembar kertas yang kupungut dari tempat sampah tadi. Pelan tulisan tangan itu mulai kubaca.
Dear Natalie
Di sini aku masih menunggumu, turun dari kereta dan melambaikan tangan.
Dengan tangan terbuka, kan kusambut kedatanganmu.
Pelukan ini masih menunggumu, pulang seperti yang kau janjikan.
Sudah seribu kereta melintasi senja, hingga tetbit surya, kau masih belum tiba. Lupakah kau pada janjimu?
Atau mungkin kau telah tiba, tetapi kita tak bertemu. Oh maafkan aku, pasti tadi aku beranjak pergi mengisi perutku.
Baiklah sayang aku tak kan pergi barang sejenak pun, dari sini. Hingga kau kembali.
Kekasihmu
Rangga
Aku melipat kertas itu kembali, dan pergi menghampiri lelaki itu. Setelah sebelumnya mbeli sebungkus nasi dan minuman.
Lelaki itu tetap tak bereaksi, saat kuletakan sepaket makan malam untuknya.
Ah, ingin rasanya mendengar lelaki itu bicara, tetapi itu tak mungkin. Kata penjual nasi yang kutemui barusan, lelaki itu sudah kehilangan suaranya sejak ia merana kehilangan kekasihnya karena kecelakaan lima belas tahun silam.
Tamat
Terima kasih sudah mampir.
Sumber gambar sampulklik
Gambar dua Pixabay edit by Canva

Ketika cinta dan kesetiaan dipertaruhkan pada ketidakpastian.

Lelaki Senja Di Ujung Stasiun
Setiap senja tiba, lelaki itu selalu datang ke stasiun. Kemudian duduk di bangku panjang paling ujung. Sesekali ia beranjak kemudian duduk lagi.
Sepertinya ia tengah menantikan seseorang, tampak dari gerak-geriknya. Lelaki itu akan berlari ke depan kereta yang berhenti. Kemudian, berdiri meneliti wajah-wajah yang baru saja tiba. Ia kemudian menarik diri, kembali duduk dengan wajah kecewa.
"Siapa yang tengah dinantinya?" Setiap tanya dari orang-orang di stasiun yang melihat tingkah lelaki itu.
"Sudah lima belas tahun ia begitu. Gara-gara cewek. Makanya kalau demen sama cewek jangan terlalu, nanti jadi gini," ucap Bapak penjual Es Dawet sambil menempelkan jari di jidatnya.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. "Begitu besar cinta dan kesetiaan pria itu," gumamku.
"Dulu dia ganteng loh mas," ucap Mbok gorengan asal Jawa, yang mangkal di pinggir stasiun dengan semangat. Nampak semburat senyum nangkal di ujung bibirnya.
"Dulu, Ibu naksir ya?" spontan aku membalas candaan itu sambil menahan tawa.
"Hahaha itu dulu loh, sekarang ya ogah. Mending sing waras, senajan buluk," jawabnya lagi sembari melirik lelaki paruh baya yang baru datang membawa tremos es. Mungkin, ia suaminya.
Dari jauh, lelaki di ujung stasiun itu masih duduk termangu. Merah saga semakin jelas terlihat, sebentar lagi Maghrib tiba dan malam pun datang.
"Sampai kapan lelaki itu akan menunggu?"
Sudah seminggu lamanya, mondar-mandir di stasiun ini hanya untuk menyelesaikan tugas akhir. Kini, aku justru semakin tertarik lebih lama memahami kehidupan jalanan, terlebih dengan lelaki itu.
Lelaki itu nyaris tak pernah bicara dengan siapa pun. Bagiku ia cermin kesetiaan, tetapi kadang pula logikaku menentang. Kasihan, ya, lelaki itu telah mempertaruhkan cinta dan kesetiaan pada sebuah ketidak pastian.
Tahukah kau apa yang kau lakukan itu
Tahukah kau siksa diriku
Bertahun kunantikan jawaban dirimu
Bertahun-tahun ku menunggu
Hampir saja kopi di tangan tumpah, saat seorang pengamen tiba-tiba bernyanyi nyaring di sampingku.
"Terima kasih," ucap pemuda ceking berkas oblong warna hitam pudar, sambil menyambar uang dua ribu yang kusodorkan sambil berlalu.
Dari bangku kedai kopi, aku masih betah mengawasi lelaki bertopi yang nyaris menutupi sebagian wajahnya. Lelaki itu tampak tengah mencoret-coret sesuatu. Membuatku tergerak untuk mendekatinya.
Ia tak bereaksi saat aku mendekatinya. Benar seperti dugaanku, ia tengah menulis sesuatu di sebuah buku tulis.
Baru saja hendak menyapa, lelaki itu bangkit setelah merobek kertas yang telah ditulisnya dan melemparkan ke tong sampah tak jauh dari tempatnya duduk.
Lelaki itu kembali diam, memandang jauh ke rel kerata, dengan tatapan kosong dan hampa.
Aku mengambil kertas yang baru saja di lemparkan lelaki itu. Diam-diam melipat dan memasukannnya ke kantong. Sambil ngeloyor ke mushola di ujung belakang stasiun.
Setelah shalat Maghrib, dan mengikat tali sepatu di teras. Aku menyempatkan membuka selembar kertas yang kupungut dari tempat sampah tadi. Pelan tulisan tangan itu mulai kubaca.
Dear Natalie
Di sini aku masih menunggumu, turun dari kereta dan melambaikan tangan.
Dengan tangan terbuka, kan kusambut kedatanganmu.
Pelukan ini masih menunggumu, pulang seperti yang kau janjikan.
Sudah seribu kereta melintasi senja, hingga tetbit surya, kau masih belum tiba. Lupakah kau pada janjimu?
Atau mungkin kau telah tiba, tetapi kita tak bertemu. Oh maafkan aku, pasti tadi aku beranjak pergi mengisi perutku.
Baiklah sayang aku tak kan pergi barang sejenak pun, dari sini. Hingga kau kembali.
Kekasihmu
Rangga
Aku melipat kertas itu kembali, dan pergi menghampiri lelaki itu. Setelah sebelumnya mbeli sebungkus nasi dan minuman.
Lelaki itu tetap tak bereaksi, saat kuletakan sepaket makan malam untuknya.
Ah, ingin rasanya mendengar lelaki itu bicara, tetapi itu tak mungkin. Kata penjual nasi yang kutemui barusan, lelaki itu sudah kehilangan suaranya sejak ia merana kehilangan kekasihnya karena kecelakaan lima belas tahun silam.
Tamat
Terima kasih sudah mampir.
Thread ini adalah sebuah kumpulan cerpen Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi dengan cerpen pertama berjudul Lelaki Senja Di Ujung Stasiun. InsyaAllah ane akan update seminggu sekali. Mohon doa dan suport teman-teman semuanya.
Sumber gambar sampulklik
Gambar dua Pixabay edit by Canva
Quote:
Diubah oleh husnamutia 28-10-2021 02:15
jamalfirmans282 dan 59 lainnya memberi reputasi
60
14.7K
716
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
husnamutia
#80
Bukan Kisah Cinderela
[JUSTIFY][JUSTIFY]Cerita dari Bintang

"Udah selesai, Dek?"
Aku tersenyum kemudian mengangguk. Sedari tadi Mas Radit duduk di meja makan menunggu makan malam sambil bermain HP. Sesekali ia tersenyum, pipinya memerah entah sedang chating dengan siapa. Meski curiga, aku coba bersikap biasa.
Setelah makanan siap di meja, ia terlihat mematikan HP setelah sebelumnya memotret makanan yang tersedia. Entah di mana ia Upload foto itu, membuat status FB dan WA bukanlah kebiasaannya. Selanjutnya, kami makan dalam diam.
Normal dan baik-baik saja, itu rumah tangga yang kami jalani. Jika mencari celah kesalahannya, maka hampir tak ada. Ia lelaki baik, bertanggung jawab, mapan dan mencukupi semua kebutuhan keluarga. Aku hampir tak bisa berkata tidak untuk setiap kata-kata dan keputusannya. Semuanya seakan telah diletakan pada posisi yang tepat. Sekali menyangkal, seribu kebodohan dan kesalahan aku akan tampak.
Tidak menuntut dan menjadi istri penurut, itulah aku.
"Mas, mau kemana?" tanyaku spontan, saat Mas Radit bergegas pergi, setelah menghabiskan makanannya.
Mas Radit hanya menoleh, kemudian berlalu pergi begitu saja. Aku tahu, ke mana dia akan pergi. Nongkrong, di teras sambil bercengkrama dengan rokok dan gawainya. Bukankah selalu begitu, setiap pagi di hari libur?
"Mas, aku mau ke pasar yah, stok sayuran habis," ucapku, sambil berdiri di hadapannya.
Ia, mendongak, melihatku dari ujung rambut hingga kaki. "Oh, ya udah. Kunci motor ada di meja kamar," ucapnya, kemudian fokus lagi ke layar HP.
"Iya, Mas, khuk, uhuk," jawabku sambil terbatuk-batuk menahan sasak di dada yang datang tiba-tiba.
"Jangan lupa, pake masker. Kamu batuk kok gak sembuh-sembuh? Udah makanya jangan makan gorengan mulu. Udah dibilangin juga, masih aja."
Ada nada cemas juga marah dari ucapannya. Meskipun takut, jika ia marah, tetapi ada rasa bahagia, ternyata Masih masih memperhatikan aku.
"Iya," jawabku singkat.
Aku masih diam, belum beranjak. Ingin rasanya mendengarnya berucap.
"Biar aku antar."
Akan tetapi, itu tak mungkin, baginya hal itu sebuah bentuk ketidakmandirian.
Seandainya berani bicara, inginku berkata. "Mas, romantis itu ketika sepasang suami istri memilih sayuran bersama, dan membicarakan hal tak penting saat belanja. Hanya untuk saling menggoda." Ah, cukup kata itu tersimpan dalam hati saja.
*****
Aku terjaga dari tidur terusik hawa dingin musim kemarau di bulan Agustus. Membuat dada terasa sesak dan terbatuk-batuk. Ada sebersit nyeri, melihat ke samping, tak ada Mas Radit.
Aku bangkit dan bergegas ke arah dapur, untuk mengambil obat dan segelas air hangat. Berharap, bisa mengurangi rasa sesak di dada.
Tak ada Mas Radit di ruang tengah, membuatku mengurungkan niat ke dapur, tetapi berbelok ke ruang kerjanya. Kosong. Komputer telah mati, tetapi sosoknya tak ada dalam ruangan.
"Kemana, Mas Radit?" Selintas tanya seiring rasa curiga muncul begitu saja.
Batuk kembali mendorongku tuk segera meminum obat dengan segelas air hangat.
Sepuluh menit aku berdiam diri di dapur, setelah merasakan plong, karena pengaruh obat dan segelas air. Aku bergegas mencari, Mas Radit. Ruang tamu telah mati, tetapi pintu belum di kunci. Seperti yang kuduga, ia ada dalam mobil, meski samar aku mendengar suaranya bersenandung.
Kebiasaan, mobil serupa studio rekaman baginya. Hobi menyanyi akhir-akhir ini kembali digandrungi. Entah apa yang membuat Mas Radit kembali menyukainya. Setelah dulu ia sempat membenci segala yang berbau musik.
Setengah berlari, aku kembali ke kamar dan berpura-pura tidur, saat Mas Radit tampak membuka pintu mobil.
Tak lama berselang, Mas Radit masuk kamar dan berbaring di sebelahku.
"Selamat malam."
Satu kata terakhir yang kudengar dari Mas Radit, yang entah pada siapa membuat bulir bening menetes pelan. Merembas hingga bantal terasa basah. Sekuat hati menahan tak terisak meski rongga dada semakin sesak.
Setelah kurasa tak ada lagi pergerakan, aku bangkit mengambil HP Mas Radit yang tergeletak di atas nakas.
Degub jantung berdetak kencang, marah, sakit dan nyeri berkolaborasi menciptakan perasaan yang entah. Nihil, tak ada riwayat apa pun. Tak ada bukti mencurigakan, tetapi semakin sakit kurasakan. Mas Radit, pasti telah menghapus semua riwayat petualangannya.
Keesokan harinya aku bangun seperti biasanya. Melakukan semua pekerjaan rumah tangga tanpa sisa. Tersenyum manis saat Mas Radit terbangun dari tidur, seolah tak ada apa-apa dan semua baik-baik saja.
Dert!
HP mas Radit di atas meja bergetar, aku yang yang tengah membersihkan kolong bermaksud mengambil. Namun, mas Radit cepat meraih HP itu dari tanganku.
"WA, dari siapa sih?"
"Dari temenlah," jawabnya sambil beranjak ke luar ruangan. Kembali, hati ini terasa tertusuk jarum. Namun lagi-lagi aku hanya bisa mengelus dada, menghadapi sikapnya.
Tak ada pilihan, memilih sibuk dengan pekerjaan rumah menjadi cara untuk melupakan sikap Mas Radit. Aku kembali mengorek kolong meja dengan sapu, untuk membersihkan bagian bawahnya.
"Ahhh!" Aku menjerit kaget, tiba-tiba Mas Radit, memelukku dari belakang. Namun, ia malah terkekeh, membuat pipiku terasa menghangat. Ah, sudah lama ia tak memperlakukanku seperti ini.
"Dek, Yu!" bisik Mas Radit ditelinga mengusik sisi sensitifku terjaga.
Malu-malu aku menuruti apa maunya, hingga lupa dengan pekerjaanku yang belum selesai.
*****
Aku terbangun, sebelum shubuh. Mas Radit masih pulas tertidur. Sehari semalam kemarin, Mas Radit benar-benar memperlakukanku selayaknya pengantin baru saja. Rasa puas dan bahagia memenuhi ruang hati. Membuatku dengan mudah memejamkan mata.
Pagi ini bahagia ini masih ada, membuatku semangat memulai hari.
Pelan aku menyentuh pipi Mas Radit dan membelainya lembut.
"Ah Mas Radit, sekian tahun kita menikah, kau masih saja misteri," bisikku di telinganya.
"Kamu gak ganteng, Mas, tapi aku mencintaimu apa adanya," ucapku. Kemudian, mencium keningnya.
Aku bangkit, hendak pergi ke dapur. Barus selangkah, aku dikejutkan HP Mas Radit yang menyala tanpa getar dan suara.
Penasaran aku meraihnya. Beruntung tak dikunci seperti biasanya, mungkin semalam ia ketiduran. Aku membuka layar, tampak pesan Whtsap terpampang jelas, dari seorang wanita. Ucapan sayang dan serentetan kata mesra bertebaran.
Seketika darahku mendidih, ulu hatiku nyeri, kepala berputar. Rasanya dunia ini gelap, aku tak bisa mengontrol diri lagi. Menjerit dan menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Tak peduli jika, tetangga bahkan dunia sekalipun, mendengar.
"Mas Radit, Jahat! Jahat!"
"Dek, kenapa, Dek."
Mas Radit terbangun dari tidurnya. Dengan nafas turun naik tak beraturan, aku diam, menatap tajam lelaki di depanku.
"Kamu, Jahat, Mas. Aku benci kamu, benci!"
"Ada apa, Dek?"
"Kamu lihat ini!" Aku menunjukan pesan ratusan pesan WA di HPnya.
"Dek, itu gak seperti yang kamu pikir," sangkal Mas Radit, semakin membuatku muak.
Aku melempar HP itu ke kasur tempat Mas Radit masih duduk bersimpuh. Kemudian, bangkit dan melangkah keluar kamar.
Sial, dadaku terasa sangat sesak, dan pandanganku mengabur, gelap dan gelap sekali. Hingga aku tak bisa melihat dan merasakan apa pun lagi.
****
Aku membuka mata, samar. Perlahan tampak terang. Mas Radit duduk di sisi pembaringan. Perlahan air mata meluncur bertahan seiring ingatan terakhir sebelum aku jatuh pingsan.
"Dek, lupakan yang terjadi. Maafkan Mas."
Aku hanya menatapnya dengan pandangan entah. Haruskah aku memaafkannya? Ini terlalu menyakitkan. Tak menyangka, Mas Radit selingkuh di belakangku.
Masih terbayang jelas, pesan-pesan Whatsapp yang terbaca olehku.
"Dek, kamu lihat, aku akan memutuskan hubungan dengan dia sekarang juga. Di depanmu," ucapnya.
Hatiku rasanya beku kemudian berubah menjadi gunung salju. Hancur semua kepercayaan, dan semuanya. Apa pun yang dilakukan Mas Radit, semua tak ada lagi gunanya sekarang.
Saat catatan sipil mencetak sepasang buku yang menuliskan namaku dan namanya. Aku pikir, sudah berakhir semua drama percintaan. Seperti dongeng Cinderela yang berakhir hidup bersama dan bahagia selamanya. Ternyata, salah!
Masih banyak tanjakan curam, jurang terjal yang harus kulewati. Belum lagi terjangan badai yang datang sewaktu-waktu mengguncang semaunya. Aku harus kuat berdiri, melingkarkan erat ditangannya dan tetap tersenyum. Menunjukkan diri kuat dan baik-baik.
*****
Waktu terus bergulir, tak terasa hampir tiga bulan lamanya, kejadian itu berlalu. Tak pernah lagi kulihat Mas Radit, mengunci HPnya. Memudahkanku untuk melihat aktifitasnya di sana. Namun, semua menjadi terasa hambar. Tak ada lagi gairah, tuk menjalani kehidupan ini.
Seandainya saja aku bisa berpaling darinya, membenci Mas Radit dan mencari pengganti. Namun, sayangnya aku tak bisa.
Sedalam apa pun luka yang ia torehkan, rasa cinta ini tetap bersemayam. Aku semakin terluka dalam diam, saat mengingat penghianatannya.
Meski tubuh dan lisanku berbicara normal. Namun, hati ini sudah retak. Penghianatan itu seperti belati beracun, yang tertanam dalam tubuh. Dan sewaktu-waktu, aku bisa saja terbunuh, karena racun yang menggerogoti, kebahagian batinku.
"Mas, kenapa kau setega ini terhadapku?" Satu pertanyaan yang terus berulang. Namun tak pernah kuucapkan tuk mendapatkan jawaban.
Tamat
Ruji, 26 Juli 2020
gambar edit by Canva

Cerita selanjutnya
Lelaki Seberang Rumah

"Udah selesai, Dek?"
Aku tersenyum kemudian mengangguk. Sedari tadi Mas Radit duduk di meja makan menunggu makan malam sambil bermain HP. Sesekali ia tersenyum, pipinya memerah entah sedang chating dengan siapa. Meski curiga, aku coba bersikap biasa.
Setelah makanan siap di meja, ia terlihat mematikan HP setelah sebelumnya memotret makanan yang tersedia. Entah di mana ia Upload foto itu, membuat status FB dan WA bukanlah kebiasaannya. Selanjutnya, kami makan dalam diam.
Normal dan baik-baik saja, itu rumah tangga yang kami jalani. Jika mencari celah kesalahannya, maka hampir tak ada. Ia lelaki baik, bertanggung jawab, mapan dan mencukupi semua kebutuhan keluarga. Aku hampir tak bisa berkata tidak untuk setiap kata-kata dan keputusannya. Semuanya seakan telah diletakan pada posisi yang tepat. Sekali menyangkal, seribu kebodohan dan kesalahan aku akan tampak.
Tidak menuntut dan menjadi istri penurut, itulah aku.
"Mas, mau kemana?" tanyaku spontan, saat Mas Radit bergegas pergi, setelah menghabiskan makanannya.
Mas Radit hanya menoleh, kemudian berlalu pergi begitu saja. Aku tahu, ke mana dia akan pergi. Nongkrong, di teras sambil bercengkrama dengan rokok dan gawainya. Bukankah selalu begitu, setiap pagi di hari libur?
"Mas, aku mau ke pasar yah, stok sayuran habis," ucapku, sambil berdiri di hadapannya.
Ia, mendongak, melihatku dari ujung rambut hingga kaki. "Oh, ya udah. Kunci motor ada di meja kamar," ucapnya, kemudian fokus lagi ke layar HP.
"Iya, Mas, khuk, uhuk," jawabku sambil terbatuk-batuk menahan sasak di dada yang datang tiba-tiba.
"Jangan lupa, pake masker. Kamu batuk kok gak sembuh-sembuh? Udah makanya jangan makan gorengan mulu. Udah dibilangin juga, masih aja."
Ada nada cemas juga marah dari ucapannya. Meskipun takut, jika ia marah, tetapi ada rasa bahagia, ternyata Masih masih memperhatikan aku.
"Iya," jawabku singkat.
Aku masih diam, belum beranjak. Ingin rasanya mendengarnya berucap.
"Biar aku antar."
Akan tetapi, itu tak mungkin, baginya hal itu sebuah bentuk ketidakmandirian.
Seandainya berani bicara, inginku berkata. "Mas, romantis itu ketika sepasang suami istri memilih sayuran bersama, dan membicarakan hal tak penting saat belanja. Hanya untuk saling menggoda." Ah, cukup kata itu tersimpan dalam hati saja.
*****
Aku terjaga dari tidur terusik hawa dingin musim kemarau di bulan Agustus. Membuat dada terasa sesak dan terbatuk-batuk. Ada sebersit nyeri, melihat ke samping, tak ada Mas Radit.
Aku bangkit dan bergegas ke arah dapur, untuk mengambil obat dan segelas air hangat. Berharap, bisa mengurangi rasa sesak di dada.
Tak ada Mas Radit di ruang tengah, membuatku mengurungkan niat ke dapur, tetapi berbelok ke ruang kerjanya. Kosong. Komputer telah mati, tetapi sosoknya tak ada dalam ruangan.
"Kemana, Mas Radit?" Selintas tanya seiring rasa curiga muncul begitu saja.
Batuk kembali mendorongku tuk segera meminum obat dengan segelas air hangat.
Sepuluh menit aku berdiam diri di dapur, setelah merasakan plong, karena pengaruh obat dan segelas air. Aku bergegas mencari, Mas Radit. Ruang tamu telah mati, tetapi pintu belum di kunci. Seperti yang kuduga, ia ada dalam mobil, meski samar aku mendengar suaranya bersenandung.
Kebiasaan, mobil serupa studio rekaman baginya. Hobi menyanyi akhir-akhir ini kembali digandrungi. Entah apa yang membuat Mas Radit kembali menyukainya. Setelah dulu ia sempat membenci segala yang berbau musik.
Setengah berlari, aku kembali ke kamar dan berpura-pura tidur, saat Mas Radit tampak membuka pintu mobil.
Tak lama berselang, Mas Radit masuk kamar dan berbaring di sebelahku.
"Selamat malam."
Satu kata terakhir yang kudengar dari Mas Radit, yang entah pada siapa membuat bulir bening menetes pelan. Merembas hingga bantal terasa basah. Sekuat hati menahan tak terisak meski rongga dada semakin sesak.
Setelah kurasa tak ada lagi pergerakan, aku bangkit mengambil HP Mas Radit yang tergeletak di atas nakas.
Degub jantung berdetak kencang, marah, sakit dan nyeri berkolaborasi menciptakan perasaan yang entah. Nihil, tak ada riwayat apa pun. Tak ada bukti mencurigakan, tetapi semakin sakit kurasakan. Mas Radit, pasti telah menghapus semua riwayat petualangannya.
Keesokan harinya aku bangun seperti biasanya. Melakukan semua pekerjaan rumah tangga tanpa sisa. Tersenyum manis saat Mas Radit terbangun dari tidur, seolah tak ada apa-apa dan semua baik-baik saja.
Dert!
HP mas Radit di atas meja bergetar, aku yang yang tengah membersihkan kolong bermaksud mengambil. Namun, mas Radit cepat meraih HP itu dari tanganku.
"WA, dari siapa sih?"
"Dari temenlah," jawabnya sambil beranjak ke luar ruangan. Kembali, hati ini terasa tertusuk jarum. Namun lagi-lagi aku hanya bisa mengelus dada, menghadapi sikapnya.
Tak ada pilihan, memilih sibuk dengan pekerjaan rumah menjadi cara untuk melupakan sikap Mas Radit. Aku kembali mengorek kolong meja dengan sapu, untuk membersihkan bagian bawahnya.
"Ahhh!" Aku menjerit kaget, tiba-tiba Mas Radit, memelukku dari belakang. Namun, ia malah terkekeh, membuat pipiku terasa menghangat. Ah, sudah lama ia tak memperlakukanku seperti ini.
"Dek, Yu!" bisik Mas Radit ditelinga mengusik sisi sensitifku terjaga.
Malu-malu aku menuruti apa maunya, hingga lupa dengan pekerjaanku yang belum selesai.
*****
Aku terbangun, sebelum shubuh. Mas Radit masih pulas tertidur. Sehari semalam kemarin, Mas Radit benar-benar memperlakukanku selayaknya pengantin baru saja. Rasa puas dan bahagia memenuhi ruang hati. Membuatku dengan mudah memejamkan mata.
Pagi ini bahagia ini masih ada, membuatku semangat memulai hari.
Pelan aku menyentuh pipi Mas Radit dan membelainya lembut.
"Ah Mas Radit, sekian tahun kita menikah, kau masih saja misteri," bisikku di telinganya.
"Kamu gak ganteng, Mas, tapi aku mencintaimu apa adanya," ucapku. Kemudian, mencium keningnya.
Aku bangkit, hendak pergi ke dapur. Barus selangkah, aku dikejutkan HP Mas Radit yang menyala tanpa getar dan suara.
Penasaran aku meraihnya. Beruntung tak dikunci seperti biasanya, mungkin semalam ia ketiduran. Aku membuka layar, tampak pesan Whtsap terpampang jelas, dari seorang wanita. Ucapan sayang dan serentetan kata mesra bertebaran.
Seketika darahku mendidih, ulu hatiku nyeri, kepala berputar. Rasanya dunia ini gelap, aku tak bisa mengontrol diri lagi. Menjerit dan menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Tak peduli jika, tetangga bahkan dunia sekalipun, mendengar.
"Mas Radit, Jahat! Jahat!"
"Dek, kenapa, Dek."
Mas Radit terbangun dari tidurnya. Dengan nafas turun naik tak beraturan, aku diam, menatap tajam lelaki di depanku.
"Kamu, Jahat, Mas. Aku benci kamu, benci!"
"Ada apa, Dek?"
"Kamu lihat ini!" Aku menunjukan pesan ratusan pesan WA di HPnya.
"Dek, itu gak seperti yang kamu pikir," sangkal Mas Radit, semakin membuatku muak.
Aku melempar HP itu ke kasur tempat Mas Radit masih duduk bersimpuh. Kemudian, bangkit dan melangkah keluar kamar.
Sial, dadaku terasa sangat sesak, dan pandanganku mengabur, gelap dan gelap sekali. Hingga aku tak bisa melihat dan merasakan apa pun lagi.
****
Aku membuka mata, samar. Perlahan tampak terang. Mas Radit duduk di sisi pembaringan. Perlahan air mata meluncur bertahan seiring ingatan terakhir sebelum aku jatuh pingsan.
"Dek, lupakan yang terjadi. Maafkan Mas."
Aku hanya menatapnya dengan pandangan entah. Haruskah aku memaafkannya? Ini terlalu menyakitkan. Tak menyangka, Mas Radit selingkuh di belakangku.
Masih terbayang jelas, pesan-pesan Whatsapp yang terbaca olehku.
"Dek, kamu lihat, aku akan memutuskan hubungan dengan dia sekarang juga. Di depanmu," ucapnya.
Hatiku rasanya beku kemudian berubah menjadi gunung salju. Hancur semua kepercayaan, dan semuanya. Apa pun yang dilakukan Mas Radit, semua tak ada lagi gunanya sekarang.
Saat catatan sipil mencetak sepasang buku yang menuliskan namaku dan namanya. Aku pikir, sudah berakhir semua drama percintaan. Seperti dongeng Cinderela yang berakhir hidup bersama dan bahagia selamanya. Ternyata, salah!
Masih banyak tanjakan curam, jurang terjal yang harus kulewati. Belum lagi terjangan badai yang datang sewaktu-waktu mengguncang semaunya. Aku harus kuat berdiri, melingkarkan erat ditangannya dan tetap tersenyum. Menunjukkan diri kuat dan baik-baik.
*****
Waktu terus bergulir, tak terasa hampir tiga bulan lamanya, kejadian itu berlalu. Tak pernah lagi kulihat Mas Radit, mengunci HPnya. Memudahkanku untuk melihat aktifitasnya di sana. Namun, semua menjadi terasa hambar. Tak ada lagi gairah, tuk menjalani kehidupan ini.
Seandainya saja aku bisa berpaling darinya, membenci Mas Radit dan mencari pengganti. Namun, sayangnya aku tak bisa.
Sedalam apa pun luka yang ia torehkan, rasa cinta ini tetap bersemayam. Aku semakin terluka dalam diam, saat mengingat penghianatannya.
Meski tubuh dan lisanku berbicara normal. Namun, hati ini sudah retak. Penghianatan itu seperti belati beracun, yang tertanam dalam tubuh. Dan sewaktu-waktu, aku bisa saja terbunuh, karena racun yang menggerogoti, kebahagian batinku.
"Mas, kenapa kau setega ini terhadapku?" Satu pertanyaan yang terus berulang. Namun tak pernah kuucapkan tuk mendapatkan jawaban.
Tamat
Ruji, 26 Juli 2020
gambar edit by Canva

Cerita selanjutnya
Lelaki Seberang Rumah
Diubah oleh husnamutia 02-10-2020 06:35
081364246972 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup