Kaskus

Story

suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
Sepenggal Kisah Masa Lalu
Pergi Tanpa Pesan

Sepenggal Kisah Masa Lalu


Sepenggal Kisah Masa Lalu

Sumber gambar: Di sini

Sepenggal Kisah Masa Lalu


Namanya Erlangga. Aku pertama kali berjumpa dengannya pada saat workshop untuk guru-guru madrasah kelas 1 hingga kelas 6 dan guru mata pelajaran sekecamatan. Ada lima sekolah lainnya yang mengikuti workshop ini. Kebetulan Madrasah Ibtidaiyyah tempat aku mengajar, dijadikan pusat kegiatan ini diselenggarakan, sehingga murid-murid di sekolahku diberi kesempatan untuk belajar di rumah selama satu hari.

Andai saja aku yang menjadi salah satu muridnya, aku akan bersorak riang sambil berseru, "hore, libur!" Sayangnya, itu hanya khayalanku semata. Karena, pada kenyataannya, selain diberi surat tugas oleh kepala sekolah sebagai salah satu peserta workshop, aku pun merangkap menjadi seksi konsumsi dan penerima tamu juga. Sudah dapat dibayangkan, aku dan rekan-rekan guru yang menjadi panitia dadakan dalam workshop, akan sangat sibuk di kegiatan yang hanya berlangsung selama satu hari ini.

Sesuai jadwal yang telah ditentukan dalam surat undangan, acara ini akan dimulai pada pukul 08.00 pagi. Para peserta workshop, yang terdiri dari kepala sekolah dan guru-guru dari lima Madrasah Ibtidaiyyah lainnya, sudah mulai berdatangan sejak pukul 07.30. Aku dan salah satu rekan guru yang sudah standby di meja penerima tamu, mengarahkan mereka untuk masuk ke ruangan aula yang cukup luas, hingga bisa menampung banyak orang. Sebelum masuk, mereka diminta mengisi daftar hadir yang sudah tersedia di atas meja.

Sesudah semua peserta dan pengawas madrasah hadir, kegiatan workshop pun dimulai. Guru-guru dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu kelompok guru kelas 1 hingga kelas 6 dan kelompok guru mata pelajaran. Agenda inti dari workshop ini, adalah membahas tentang penyusunan soal untuk Ulangan Akhir Semester. Hingga nantinya, hasil akhir dari workshop ini, berupa kisi-kisi dan naskah soal yang akan dipakai oleh semua sekolah yang bernaung di Kelompok Kerja Madrasah kecamatan ini, pada Ulangan Akhir Semester nanti.

Aku duduk bersama lima guru bahasa Inggris dari MI lainnya. Netraku tertuju pada satu-satunya guru lelaki di kelompok ini. Bukan hanya aku yang terkesan dengan penampilannya yang lain dari semua guru lelaki peserta workshop ini, peserta lainnya pun, kuperhatikan, mereka ikut juga terkesan. Ada yang curi-curi pandang ke arahnya, banyak juga yang berbisik-bisik, sembari menatap padanya. Betapa tidak, dandanan dia malah lebih cenderung seperti eksekutif muda dibandingkan mencerminkan sebagai guru. Dia memakai kemeja biru laut, lengkap dengan dasi dan juga jas. Kuakui, wajah dia lumayan tampan. Kalau dilihat-lihat, hampir mirip dengan pemeran Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta.

Setelah pengawas memberikan arahan, pukul 10.00, workshop ini berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kepada para peserta beristirahat dulu. Aku memulai tugas sebagai seksi konsumsi, yaitu membagikan snack kepada para peserta untuk sesi coffee break ini.

"Cie, anteng banget tadi diskusinya," goda Bu Lilis, guru kelas satu di sekolahku sambil mengerling padaku.

Aku mengernyit, sebab tak paham dengan maksud ucapan beliau. Melihat aku kebingungan, Bu Nina, guru kelas dua di sekolahku pun menimpali.

"Mimpi apa, bisa sampai duduk bersebelahan sama Nicholas Saputra? Siapa, sih, namanya?"

Aku tersenyum tipis setelah tahu hal yang dimaksud oleh dua guru senior di sekolahku itu.

"Namanya Pak Erlangga, guru bahasa Inggris dari MI xxx. Bu Nina minat? Nanti saya mintain nomor hapenya."

"Wah, dia sih cocoknya sama kamu yang masih single. Ibu mah udah kadaluarsa. Iya, 'kan Bu Lilis?"

"Iya, cocok, Bu Nin. Sama-sama guru English pula." Bu Lilis mengacungkan jempolnya ke arah Bu Nina. "Ayo, pepet terus," lanjutnya sambil menyenggol bahuku dan berjalan ke arah dispenser untuk menyeduh teh manis.

Aku membalas gurauan mereka dengan geleng-geleng kepala, sembari berlalu menuju kelompokku tadi. Begitulah nasibku yang memang masih berusia muda dan satu-satunya guru yang masih single di MI ini, sering menjadi bahan candaan rekan-rekanku.

Usai coffee break, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi. Setiap kelompok, membahas mengenai penyusunan dan pembuatan soal. Suasana aula menjadi riuh oleh suara para peserta yang sedang berembug dengan kelompok masing-masing, termasuk juga kelompokku.

"Pak Erlangga, kira-kira soal yang begini cocok, nggak untuk kelas tiga?" tanyaku sembari menunjukkan draft soal yang kubuat.

"Maaf, call me Mr. Erlangga, Miss. Kita itu English teacher, jadi harus dibiasakan dengan panggilan seperti itu," jawabnya dengan ekspresi datar. Pandangannya sama sekali tak berpaling padaku yang mencoba mengajaknya bicara. Pertanyaan aku pun tak dijawabnya.

Melihat sikap dia yang demikian, aku yang sempat terkesan dengan style berpakaiannya, kini berubah 180 derajat menjadi tak respek sama sekali. Apalagi sepanjang sesi ini, hingga kegiatannya berakhir, dia tak berhenti memainkan ponselnya. Huh, sebal. Bagiku, dia hanyalah guru muda sok ganteng juga sombong, nggak asyik pula. Sejak workshop itu, aku tak pernah mendengar lagi tentangnya, lebih tepatnya tak mau tahu tentang Mr. Erlangga yang dingin dan acuh tak acuh itu.

***
Satu minggu setelah kegiatan workshop berlalu dan menjelang Ulangan Akhir Semester, tiba-tiba saja Erlangga mengirim chat whatsapp. Sejumlah tanya berkecamuk di benakku. Salah satunya adalah sebuah pertanyaan yang tak pernah terjawab hingga kini, dari mana dia tahu nomor kontakku?

[Sudah beres mengerjakan soalnya? Boleh, saya lihat contohnya? Mr. Erlangga]

[Sudah, dong. Memangnya Anda yang pas diskusi malah main hape?]

Aku sengaja membalasnya dengan sindiran yang ketus, sebab memang begitu kenyataannya, selama sesi diskusi berlangsung, dia sama sekali tak menyimak.

[Boleh kirim ke alamat email saya? Ini alamatnya xxx. Masalahnya, saya masih baru ngajar di sini, jadi belum terlalu paham. Thanks a million.]

Aku melebarkan pandangan dan semakin sebal dengannya. Enak saja main perintah. Belum tentu juga aku mau menuruti. Tapi, demi lancarnya program Ulangan Akhir Semester, kukirimkan juga naskah soal bahasa Inggris dari kelas 1 hingga kelas 6 ke alamat emailnya dengan perasaan yang dongkol.

Sejak saat itu, dia sering mengirimiku chat. Aku pun tak tahu bagaimana awalnya, semakin hari, aku semakin akrab dengannya. Ternyata, dia orang yang nyaman diajak berdiskusi apapun, walau hanya melalui chat dan sambungan telepon. Perlahan, rasa tak sukaku padanya pun memudar.

Suatu hari, sebuah amplop cokelat berukuran besar tanpa nama pengirim, mendarat di rumahku melalui pak pos. Lama aku mengamati dan membolak-balik amplop itu tanpa membuka isinya. Tiba-tiba saja, aku tersentak oleh bunyi dering ponselku yang tergeletak di atas nakas, hingga membuat amplop di tanganku itu hampir terjatuh.

"Sudah diterima amplopnya?"

"Amplop cokelat lamaran kerja? Itu dari kamu?"

"Iya, baca deh. Isinya banyak."

"Harus dibalas, nih?"

"Bagaimana kalau jawabannya besok di Kafe Selasih?"

"Oke."

Klik. Aku mengakhiri panggilan, karena tak sabar ingin segera melihat isi di dalam amplop cokelat yang ternyata dikirimkan oleh Erlangga. Lagi-lagi sebuah pertanyaan besar terlintas di kepalaku. Dari mana dia tahu alamat rumahku? Buru-buru aku menepis tanya itu, sebab ada hal yang lebih penting untuk diketahui, yaitu segera membaca isi di dalam amplop di tanganku ini.


Perlahan, aku membukanya. Dan aku takjub dengan segala isinya. Sebuah surat pernyataan cinta yang ditulis rapi dalam bahasa Inggris, tapi bentuknya seperti surat lamaran kerja, lengkap dengan cv dan fotokopi KTPnya, lalu ada juga dua keping CD. Belum hilang rasa takjubku, sebuah interupsi datang berasal dari suara ponsel yang bergetar di atas nakas, tanda ada chat masuk. Kuraih ponsel itu dan membuka sebuah chat dari Erlangga, yang membuat senyumku tak berhenti terkembang.

[Itu ada dua CD, yang satu CD berisi lagu-lagu kesukaanmu yang sering kamu bicarakan di telepon. Yang satu lagi berisi kumpulan foto aku. Hope you'll like it. You know, I fell in love with you since we met for the first time at the workshop. Hingga kini, rasa itu masih tetap ada dan malah semakin kuat. Kutunggu jawabanmu besok. See you.]

Senyumku semakin lebar membaca chat itu. Ingin segera hari berganti esok. Aku tak akan ragu mengucap "iya" sebagai jawaban pernyataan dia padaku.

***
Enam bulan berlalu sejak pernyataan cintanya, aku dan Erlangga semakin dekat. Namun, yang menjadi ganjalan di hatiku, selama kami berhubungan, dia belum pernah sekali pun ke rumahku. Jika ada janji temu, dia menungguku di jalan besar depan gang rumahku. Begitu pun kalau dia mengantarku pulang, hanya sampai jalan besar itu.

Sebagai pasangan yang sudah menginjak kepala dua lebih, tujuan utama menjalin kasih tentunya akan bermuara ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Namun, dia sama sekali tak pernah menyinggung hal itu. Walau dia kekasih yang baik dan sering memberikan kejutan romantis, tetapi setiap kali kuajak dia mampir ke rumah, dia selalu beralasan. Hal inilah yang membuat hatiku ragu.

"Er, kapan kamu main ke rumah? Keluargaku ingin kenalan dan bertemu langsung dengan calon suamiku," ucapku setengah berteriak. Saat ini kami sedang berboncengan di atas motor Tigernya.

"Jangan sekarang ya. Santai aja dulu."

"Tapi, sampai kapan kita pacaran ketemunya di jalan melulu? Rumah kamu aja, aku nggak tahu! Kamu mau mempermainkan aku, ya?" Aku mendecak kesal.

"Bukan begitu." Dia diam sejenak. Terdengar helaan napasnya, lalu dia melanjutkan bicaranya. "Minggu depan temui aku di BIP. Nanti kita berangkat langsung dari sana ke rumahmu. Sabar, dong. Aku serius, kok sama kamu."

Mendengar ucapannya, rasa kesal yang tadi sempat mampir, perlahan sirna. Erlangga memang selalu bisa meredakan amarahku.
***
Hari Minggu yang cerah ini, aku sudah berdandan rapi, bersiap menuju BIP, hendak menagih janji yang Erlangga ucapkan seminggu yang lalu. Aku sengaja tak mengabarinya lewat ponsel selama seminggu ini. Dia pun demikian, tak mengirimiku chat sejak janji yang dia ucapkan di atas Tigernya itu. Barangkali, dia sedang menyiapkan kejutan yang indah, untuk bertemu keluargaku agar mereka terkesan, begitu pikirku. Pukul 09.00 tepat, aku pamit pada keluargaku dengan alasan ingin membeli buku di Gramedia.

Tepat pukul 10.00, aku tiba di BIP. Kukeluarkan ponsel dari tas selempang, lalu melakukan panggilan pada Erlangga untuk mengabarinya kalau aku baru saja tiba di BIP dan menunggunya di pintu utama mall itu.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."

Aku menekan tombol gagang telepon berwarna merah dan mengakhiri panggilan. Lima menit kemudian, aku mencoba kembali meneleponnya. Hatiku berusaha berhusnudzon, barangkali saja Erlangga mematikan ponselnya karena sedang dicharge. Lagi-lagi terdengar suara yang sama, saat aku mencoba melakukan panggilan. Perasaanku mulai tak menentu. Aku mengirim chat padanya mengatakan bahwa aku masih menunggunya di pintu utama BIP.

Waktu terus bergulir, hingga tak terasa jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 12.00. Sayup-sayup terdengar dari kejauhan, suara adzan Dzuhur berkumandang. Sekali lagi kucoba melakukan panggilan. Namun, masih tetap terdengar suara yang sama. Bahkan chat dariku pum tak dibalas. Hatiku semakin resah. Sebuah prasangka buruk mulai menghinggapi. Fix, sepertinya dia memang hanya main-main.

Di saat aku mondar-mandir tak karuan di depan pintu mall, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh sebuah tepukan lembut di pundak, berasal dari arah belakang. Aku menoleh untuk melihat orang yang menepuk pundakku.

"Laras, apa kabar? Masih ingat sama saya?"

Aku mengeryitkan dahi, berusaha mengingat-ingat. "Kang Boby? Tentu saja ingat, Akang, kan yang ngospek saya."

"Lagi ngapain di sini? Mondar-mandir kayak yang lagi kebingungan? Kamu kehilangan sesuatu?"

"Nggak, Kang. Baru dari BIP, ini juga mau pulang." Aku berusaha tersenyum, walau sebenarnya hati ini tengah hancur. Mood untuk jalan-jalan pun sirna sudah.

"Kebetulan, saya juga mau pulang. Habis nyari buku paket olahraga. Pulang bareng, yuk. Saya bawa helm dua, kok." ajaknya.

Aku diam. Tak menolak, juga tak mengiyakan.

"Tenang, saya antar sampai ke rumah dengan selamat. Nggak akan ada yang marah, 'kan?"

Aku menggeleng sambil menatap wajahnya dan seketika saja kulihat ketulusan tergambar di kedua manik matanya. Sehinggga, kuputuskan untuk menerima ajakannya. Kami meninggalkan pintu mall dan melangkah menuju pelataran parkir. Tak berapa lama, kami berdua meluncur membelah jalan Merdeka dengan motor N Max nya. Kang Boby menepati janjinya mengantar aku sampai ke rumah. Dia pun ngobrol santai dengan keluargaku.

Sejak saat itu, Kang Boby, kakak tingkat aku sewaktu di kampus, menjadi pengunjung tetap rumahku setiap malam minggu, untuk mengajakku hang out atau pun hanya sekedar ngobrol-ngobrol di rumah. Walau tak ada pernyataan cinta, tetapi dia membuktikannya dengan membawa serta keluarga besarnya ke rumah dan memintaku secara resmi pada orang tua, hingga kini kami telah dikaruniai buah hati.

Erlangga, lelaki yang pernah hadir memberiku bahagia sekaligus menghancurkan hatiku menjadi kepingan-kepingan tak berbentuk dengan pergi tanpa pesan. Namun, Allah sangat sayang padaku. Dia menghadirkan seseorang yang mampu membentuk kepingan hatiku, menjadi utuh kembali seperti semula.

Ciwidey, 22 April 2020
Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 09:37
detyryAvatar border
ismilailaAvatar border
sriwijayapuisisAvatar border
sriwijayapuisis dan 64 lainnya memberi reputasi
65
2.4K
103
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
#65
Lamaran, Senja, dan Ilalang
Ketika Cinta Tak Bisa Menyatu

kaskus-image

kaskus-image

Sumber gambar: Klik


“Mas, mau bawa aku ke mana, sih?” Tina keheranan saat Narendra, kekasihnya menyuruh ia menutup mata. Lelaki itu menuntun sang gadis ke suatu tempat.

“Ssst ..., Sayang. Just calm down.” Ucapan Narendra semakin membuat kening gadis itu kian berkerut, antara heran, rasa ingin tahu, dan penuh tanda tanya memenuhi benaknya. Namun, ia hanya diam saja menuruti perintah sang pujaan.

Setelah lima belas menit berjalan kaki, gadis itu merasakan langkah mereka terhenti di suatu tempat dengan semilir angin sejuk menerpa wajah dan rambut panjangnya.

“Buka matanya perlahan, Sayang.”

Tina membuka kedua matanya yang selama lima belas menit tadi terpejam.

Gadis itu menatap takjub pemandangan di hadapannya. Warna langit senja tampak indah, berpadu dengan hamparan padang ilalang. Sebuah pagar bunga telah disusun sedemikian rupa, ditambah ornamen tempat duduk yang terbuat dari jerami.

“Duduklah di sana, Sayang.”

Lagi-lagi Tina bagai kerbau dicocok hidungnya, menuruti setiap perintah yang terucap dari mulut lelaki jangkung itu.

Tanpa Tina sadari, keluarga dan para sahabatnya pun ada di sana, bersembunyi di balik ilalang. Pada saat Narendra menyanyikan lagu May I Have This Dance?, bersamaan dengan itu terdengar suara petikan gitar, dimainkan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik ilalang. Satu-persatu keluarga dan sahabat-sahabat mereka pun keluar dari persembunyian, membawa sebuah spanduk bertuliskan Dance Forever.

Saat semua sudah berkumpul, Narendra berlutut di hadapan Tina. Ia merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah berbentuk hati. Perlahan lelaki bercambang tipis itu membuka tutupnya. Sebuah cincin berlian ada di dalamnya.

“Tina, aku akan mengajukan sebuah pertanyaan. Kamu hanya tinggal menjawab dengan anggukan atau gelengan saja, ya. Jika kamu mengangguk, maka aku akan sematkan cincin ini di jari manismu. Kalau kamu menggeleng, aku akan membuang cincinnya. So, Tina Arena Soekamto, will you marry me?”

Sang gadis masih tertegun. Belum sirna rasa takjubnya, ia dibuat terkejut oleh surprise lamaran dari sang kekasih. Rasa haru, kaget sekaligus bahagia tak mampu ia sembunyikan, terpancar jelas dari raut wajahnya. Tak terasa air mata mulai membasahi pipi. Tangis bahagia bercampur haru.

Menyaksikan gadisnya hanya diam membisu, jemari Narendra mengusap lembut air mata sang gadis, lantas mengulangi pertanyaannya, “Tina, Honey, will you ....?”

Belum tuntas Narendra melanjutkan kalimatnya, Tina sudah mengangguk mantap. Lelaki itu tampak sangat lega sekaligus bahagia. Lamarannya diterima. Ia pun menyematkan cincin bertatahkan berlian di jari manis sang pujaan yang sudah dua tahun mengisi relung hatinya.

Tak berapa lama, lelaki itu sujud syukur di hadapan semua orang dan sang kekasih yang kini sudah resmi berganti status menjadi tunangan sekaligus calon pendamping hidupnya kelak.

Senja dan padang ilalang ini menjadi saksi momen indah yang tercipta di antara sepasang muda-mudi yang saling menautkan cinta kasih dalam hati masing-masing. Sejak peristiwa lamaran nan romantis itu, sang gadis mulai menyukai ilalang dan juga senja.

***

kaskus-image

Sumber gambar: Klik

Beberapa bulan kemudian

“Tina ke mana, Bu? Sudah sore begini belum pulang. Ada yang ingin Ayah bicarakan,” tanya Pak Yoga pada sang istri dengan mata masih terpaku pada surat kabar di tangannya.

“Mungkin ke padang ilalang, Yah. Setiap sore dia selalu ke sana. Biar Ibu susul dia.”

Bu Rintan beranjak dari tempat duduknya, melangkah ke luar menuju padang ilalang yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah.

“Selamat sore ilalang sahabatku. Bagaimana kabarmu hari ini?” Tina meraba beberapa ilalang yang bergoyang ke sana ke mari tertiup semilir angin sore, seolah tengah menari. Sepasang mata indah Tina membulat melihatnya.

“Wow, adakah tarianmu membawa kabar tentang kekasihku? Wahai ilalang yang tengah menari dengan gemulai, dan hembusan sejuk angin yang sedang berbisik lembut, sampaikan rinduku padanya. Suruh dia cepat pulang. Aku akan selalu setia menantinya di sini, hingga ia kembali,” lanjutnya.

Bulir bening merembes di pipi Bu Rintan menyaksikan putri semata wayangnya. Perlahan, ia menyeret langkahnya, menghampiri Tina.

“Nak, pulang, yuk. Sudah mau maghrib. Ayah katanya ingin menyampaikan sesuatu.”

“Tina nggak mau pulang, Bu, sebelum bertemu Mas Narendra. Kok, dia tega, ya, Bu, nggak datang-datang? Padahal setiap sore Tina selalu menantinya di sini.”

Wanita paruh baya berhijab itu memeluk gadis yang mulai terisak di hadapannya. Bu Rintan mengusap-usap lembut punggung Tina yang berguncang-guncang karena tangis putrinya kian pecah.

“Tina, Sayang. Kamu harus ikhlas, Nak. Mas-mu tak mungkin kembali, dia sudah tenang di sisi-Nya. Kamu ingat, 'kan, Nak, kecelakaan yang menimpanya waktu itu? Mobil yang membawa Mas-mu beserta rombongan pengantin masuk ke jurang. Tak ada yang selamat, termasuk Mas-mu. Kalau kamu rindu, kamu bisa panjatkan doa untuknya.”

Tina melepaskan pelukan sang ibu. Perlahan-lahan tubuhnya rebah di atas hamparan ilalang.

Baca yang lainnya: Klik

#BelajarBersamaBisa
#BBB
Diubah oleh suciasdhan 26-07-2020 14:58
trifatoyah
lina.wh
ismilaila
ismilaila dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.