PART 01
Scooter orangemenerobos gelap yang tengah asyik menyelimuti langit kota. Cuaca pertengahan tahun cukup dingin dalam balutan malam berhias kerlip bintang yang tak saling sapa. Juna dan Raline baru saja pulang menghadiri acara ulang tahun sahabat mereka. Sepanjang perjalanan Raline tak banyak bicara seakan terbebani oleh berita yang baru saja ia dengar dari gawai miliknya.
Raline hampir menyerah mencari informasi itu sejak sekian lama, namun ketika ia mulai mengikhlaskannya, ternyata kabar itu datang tak terduga bahwa yang ia cari selama ini masih hidup. Perasaannya lantas berkecamuk antara harus bahagia atau bersedih saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Jika memang benar masih hidup, mengapa tak ada sedikitpun kabar darinya walau hanya satu kalimat?
Juna merasa ada perubahan sebelum dan sesudah mereka menerima berita itu. Gelak tawa saat pesta ulang tahun tadi seakan tiba-tiba lenyap ditelan bumi. Mereka hanya sibuk dalam diamnya masing-masing. Hanya suara deru angin dan knalpot vespa yang menenami setiap meter perjalanan mereka malam itu.
Dingin. Sepi. Hingga pekatnya malam mereka buat tersinggung. Juna hanya tak ingin memperkeruh suasana. Berbagai narasi dikepalanya ia hitung sampai bilangan ketiga sebelum ia putuskan untuk dikatakan.
“ kamu gak apa-apa?” Tanya Juna mengkhawatirkan kondisi Raline yang hanya bisa ia lihat dari balik kaca spion.
“ …” Raline membisu, ia bahkan tidak mempedulikan keadaannya sendiri.
“ terus apa rencana kamu sekarang?”
“…aku gak tahu harus ngapain” jawab Raline singkat
“ apapun keputusan kamu, aku bakal dukung” lanjut Juna memberikan motivasi kepada orang yang sangat ia sayangi.
“ aku seneng tapi juga sedih, kalau emang bener dia masih hidup, kenapa sekalipun gak pernah ngasih kabar? apa mungkin dia udah lupa, atau mungkin emang sengaja mau mutusin hubungan sama aku? putrinya sendiri?" jawab Raline mengutarakan apa yang membebani pikirannya.
Walaupun samar, dari balik kaca spion Juna melihat air mata itu perlahan jatuh membasahi kedua pipi kekasihnya itu.
“ stop berpikiran gitu” Lanjut Juna mencoba menenangkan Raline
“ …” sementara Raline masih nyaman dalam tangisnya.
Gear vespa dalam posisi netral, berhenti tepat didepan rumah Raline. Walaupun Juna tahu betul bahwa hal itu selalu berat buatnya, tapi ia hanya berusaha mengantarkannya pulang tepat waktu. Sekarang, kedudukan Raline di mata Juna layaknya Bundo dan Jasmine yang begitu ia cintai.
Juna mematikan mesin vespa kemudian membantu Raline yang telah berdiri menunggu agar Juna melepaskan helm pilot yang melekat dikepalanya. Perlahan, Juna membukakan helm pilot tersebut sembari merapikan Rambut raline yang sedikit berantakan. Juna berdiri tepat dihadapan Raline sembari menyeka air mata kekasihnya itu dengan kedua tangannya.
“ masuk sana, istirahat!” pinta Juna dengan suara lembut
“ ….” Raline hanya membalas dingin dengan menatap Juna lalu menggelengkan kepalanya pelan
“ udah malem…” tambah Juna dengan maksud agar Raline memenuhi keinginannya untuk segera masuk ke dalam rumah.
“…” bahasa tubuh Raline masih tak berubah.
Juna coba mengartikan bahasa tubuh kekasihnya itu. Raline bukanlah wanita lemah yang mudah putus asa begitu saja, setidaknya itu yang dipikirkan Juna. Tapi ia sadar, sosok yang kuat itu hanyalah manusia biasa yang bisa terjatuh dan menangis. Juna memeluk kekasihnya cukup erat hingga terdengar isak tangis dari bahu yang ia sediakan sebagai tempat bersandar.
“ …” isak tangis Raline kian terdengar, tangannya memeluk Juna semakin erat seperti tak ingin melepaskan.
“ …” Juna pun tak mampu berkata apa-apa, lidahnya kelu, hanya telapak tangan yang bisa ia andalkan guna mengusap kepala Raline berulang-ulang.
“ apa papa gak kepengen aku ada?” Tanya Raline, suaranya bercampur isak tangis yang berpadu menjadi satu.
“sshh… jangan gitu ah, jangan mikir yang macem-macem” Jawab Juna masih memeluk tubuh kekasihnya itu.
“apa kamu bakal ninggalin aku juga?” Tanya Raline tiba-tiba menodong Juna dengan pertanyaan aneh seperti itu.
“Hah? Kok tiba-tiba nanya gitu?” sontak Juna kaget. Ia lantas melihat wajah Raline guna memastikan pertanyaan itu serius ia ucapkan.
“ semua yang aku sayang, pergi ninggalin aku…..” tangis Raline kembali pecah.
“ gak lah sayang, gak mungkin aku ninggalin kamu” bujuk Juna mencoba menenangkan Raline sembari kembali memeluknya lebih erat.
“Pasti ada alasan yang gak kita tau kenapa papamu pergi dan gak pernah ngasi kabar” ucap Juna mencoba menjelaskan sudut pandang berpikirnya
“…….” Raline masih larut dengan tangisnya
Juna menyadari bahwa selama ini Raline mencoba terlihat sebagai pribadi yang kuat di depan banyak orang. Tapi saat sendiri, ia begitu rapuh seakan tak sanggup berdiri memikul beban berat dipundaknya. Juna tahu apa yang harus ia lakukan. Raline butuh tempat bersandar tanpa perlu menjadi orang lain.
**
Beberapa minggu ke depan Juna akan memasuki tahun ke empat perkuliahannya. Sungguh bulan-bulan tersibuk dengan kerja praktek dan skripsi yang sangat menguras tenaga, belum lagi ditambah kerja part time yang biasa ia lakukan. Tapi baginya, semua itu adalah tanggung jawab yang harus ia penuhi dengan segenap jiwa dan hati yang besar.
Liburan semester genap masih berlangsung, cukup banyak waktu buatnya menghabiskan waktu berdua bersama Raline. Juna sangat mengerti, bahwa disaat-saat seperti ini Raline sangat membutuhkan dia selalu ada disampingnya. Juna tak ingin, Raline sendirian menghabiskan air matanya di sudut kamar.
“ bang, es kacang merahnya satu lagi yah!” pinta Juna sambil mengacungkan tangan ke salah seorang pramusaji.
“ baik kak, ditunggu sebentar…”
“mau nambah lagi gak?” tanya Juna ke Raline yang berada tepat disebelahnya sedang asyik menikmati pempek yang tertusuk garpu.
Mereka berdua sedang menghabiskan waktu makan siang bersama di restoran pempek di depan kantor walikota Palembang. Siang ini mataharinya cukup terik hingga membuat tenggorokan mereka terasa haus tak berkesudahan.
“ kamu nyuruh aku nambah lagi, kamu mau aku gendut?” tanya Raline sembari menyuapkan pempek yang telah dicelupkan cuka itu ke mulutnya.
“ beneran gak mau yah?” Juna kembali memastikan
“ …” tampaknya Raline tidak begitu tertarik menanggapi pertanyaan Juna, ia masih asyik menghabiskan pempek yang ada di piringnya
Restoran ini adalah tempat makan favorit mereka berdua. Sama-sama menyukai kuliner pedas, bekeringat bersama sembari membicarakan hal-hal menarik adalah momen yang paling mereka tunggu di sela padatnya aktivitas mereka.
“ ini pesanannya kak” salah seorang pramusaji menyajikan pesanan es kacang merah ke dekat Juna
“ okay, terimakasih” jawab Juna
“ bagi dikit sayang….pedes!” Raline menggeser mangkuk es campur itu ke dekatnya
slllurrpp….
“ hmm…bilangnya takut gendut tapi es campur mau abis dua” sindir Juna
“ abis pedes banget...”
“ He-eh …” jawab Juna mengalah sembari menenggak air mineral yang tersedia di meja.
Juna merasa bahwa hal-hal seperti inilah yang harus ia lakukan supaya Raline tidak terus fokus tentang ayahnya. Menghabiskan waktu bersama akan meminimalisasi Raline untuk kembali larut dalam kesedihan. Apapun itu Juna akan melakukannya demi memberikan rasa nyaman untuk kekasihnya itu.
“ sayang, main ke rumah kamu yuk?” ajak Raline penuh semangat.
“ …gak mau ah, gak ada yang menarik di rumah…”
“ pengen ketemu bundo sama jasmine, bosen ngeliatin kamu terus…”
“ bilangnya bosen…tapi kalo gak ada nyariin”
“ udah ah buruan…” ajak Raline, sudah dipastikan Juna tidak akan sanggup menolak permintaan Raline jika kekasihnya itu mulai memaksa.
“kalau kayak gini aja maksa, terus maksa ngelakuin yang lainnya kapan?” ucap Juna sembari menunjukkan raut wajah mesum dengan sedikit bercanda
“iihhh.. mikirnya coba, dasar!” raut wajah Raline terlihat sedikit kesal, tapi hal itu tak pernah gagal memikat hati Juna.
“hehe… becanda, mau sekarang ke rumahnya?”
“iya sekarang aja” senyum Raline mulai terukir di wajahnya
Merekapun beranjak dari restoran tersebut sementara Juna berhenti sejenak didepan kasir untuk membayar pesanan mereka. Suatu penghargaan apabila Raline membiarkan Juna melakukan itu. Jika ingat beberapa momen dimasa lalu, Juna merasa tidak berguna Jika Raline sudah memberikan kartu platinumnya di depan kasir. Setidaknya, kali ini Juna merasa menjadi kekasih yang lebih baik buat Raline.
Cuaca diluar masih cukup panas, bagi Juna hal itu bukanlah suatu halangan berarti, ia terbiasa bermain bola tepat pukul dua siang bersama teman-temannya sewaktu kecil. Bagaimana dengan Raline? tampaknya ia juga biasa saja, hanya kulitnya yang putih itu berubah menjadi kemerahan seiring terpapar sinar ultraviolet yang cukup intens.
“ eh bentar sayang…” Raline kembali turun dari motor dan menghampiri penjual donat yang berjalan di depan restoran.
“ ….” Juna masih di atas motor melihat Raline mendekati penjual kecil itu
Raline membuka helm pilot yang telah terpasang rapi menutupi rambutnya. Kemudian duduk berjongkok di depan anak perempuan itu dengan senyum terbaiknya.
“ Kakak mau donatnya?” Tanya penjual kecil itu.
Raline mengangguk pelan “…kakak beli sepuluh” Jawab raline
“ Rasa apa aja kak?”
“ di campur aja”
“ baik kak”
“ umur kamu berapa?” Tanya raline begitu lembut sambil memegang pundak anak perempuan itu.
“ 7 Tahun kak”
“ tinggal dimana?”
“ … di rumah susun deket jembatan”
“ sama orang tua?”
Ia menggeleng “ aku gak tahu mereka dimana, aku tinggal sama temen-temen yang sama kayak aku”
“ ada yang jagain kalian?”
“…” anak perempuan itu mengangguk
“ yang saya tahu dia orang tua angkat kami semua”
“ …” Raline mengusap pundak anak itu
“ …ini donatnya kak” Ucap anak perempuan itu memberikan kotak berisi 10 donat pesanan Raline dikemas dalam sebuah kantung plastik.
“ bentar ya….kakak ambil uangnya dulu…” Ucap raline sembari membuka tas kecil yang ia bawa.
Entah berapa lembar uang pecahan lima puluh ribu yang ia keluarkan dari dalam dompetnya.
“ kebanyakan kak, semuanya cuma 30 ribu” Penjual kecil itu merasa ada yang tidak berjalan normal seperti biasanya.
“ lebihnya buat kamu aja” Raline berdiri sembari menenteng plastik yang berisi donat pesanannya tersebut.
“ terimakasih banyak kak” ucap penjual donat kecil itu penuh senyum tersungging di wajahnya.
“ kamu…semangat yah Jualannya!” ucap Raline dengan senyum termanisnya lalu berpaling menuju Juna, sementara sang pemilik vespa orange itu ikut tersenyum melihat apa yang sudah dilakukan Raline, ia tak menyangka bahwa Raline mengetahui apa yang ia suka.