- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2250
Spill_Part 2
Dulu waktu SMA gue sangat sering main kerumah Drian dan sebaliknya. Tau pertama kali musik-musik jepangan juga di rumah ini. Bahkan pengalaman plus-plus Drian ketika SMP waktu berpacaran dengan kakaknya Mila pun diceritakan dirumah ini. Haha.
Dirumah ini pula kali pertama band gue dinyatakan akan diseriusin. Awalnya adalah investasi double pedal drum untuk Arko. Arko dan gue menyusun proposal sponsor yang ditujukan untuk ayah Drian agar bisa membantu pendanaan untuk pengadaan double pedal ini.
Lalu pada akhirnya daripada tanggung, ayah Drian malah membuatkan sebuah studio mini untuk kami latihan, tanpa harus susah-susah membayar sebuah studio karena tau kami semua adalah anak sekolah yang masih meminta uang ke orangtuanya.
Keluarganya Drian adalah keluarga yang sangat hangat, pada saat sebelum bapak dan ibunya berpisah. Gue sempat merasakan kehangatan keluarga ini sesaat ketika gue mengenal Drian waktu SMP.
Saat ini dirumah Drian hanya ada bapaknya, dua adiknya dan neneknya yang dari bapaknya. Adiknya yang seorang mantan artis cilik semakin dewasa, makin cantik dan semakin menggiurkan dari segi proporsi badan.
Namanya Driana. Beda tipis sama kakaknya Haha. Dia sekarang ini sudah meninggalkan dunia modeling dan keartisannya demi menjadi pengajar bahasa di sebuah sekolah. Seorang Driana yang dulu gue anggap adalah spoiled brat, kini menjadi orang yang bisa mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjadi guru.
Drian dan adik-adiknya adalah orang-orang yang terlahir dengan rupa terbaik bagi sebagian besar orang Indonesia, bernasib baik pula karena mempunyai keluarga yang memiliki segalanya dan pada akhirnya gue dulu sempat berpikir kalau Drian ini adalah orang yang memanfaatkan privilege yang dia punya sebelum mengenalnya lebih dekat.
Ternyata Drian tidak seperti dua adiknya yang selalu memanfaatkan secara maksimal privilege yang mereka punyai dari orangtua mereka. Drian nggak suka terlalu banyak dipuji dan dimanja oleh ayah ibunya. Bahkan beberapa kali gue dan Arko main kerumahnya, dia terlihat sama sekali nggak nyaman dimanja oleh ayah ibunya didepan kami berdua. Beli barang-barang keperluannya seperti laptop atau HP pun dia menggunakan uang tabungannya sendiri, ketika adik-adiknya tinggal tunjuk dan minta dibelikan oleh ayahnya. Pun ketika bepergian, dia lebih suka memakai angkot daripada meminta supir keluarganya mengendarai salah satu dari 6 mobil mewah yang dipunyai keluarganya.
Menjadi seorang Drian saat gue SMA dulu adalah impian bagi sebagian besar cowok di sekolah gue. Punya orangtua yang sangat berkecukupan secara materi, punya adik yang seorang selebriti cilik terkenal, dan keluarga utuh yang selalu terlihat harmonis membuat kami semua iri. Pada kenyataannya, itu semua hanya tampilan luarnya saja. Tapi itu sepertinya tidak dipedulikan oleh cewek-cewek. Yang mereka lihat adalah, Drian adalah seorang yang ganteng, kaya, jago main gitar. Nggak peduli keadaan keluarganya kayak apa.
Keadaan dalam keluarganya amat sangat berbeda, bertolak belakang. Dan itu pula yang mengubah sikap Drian pasca perceraian orangtuanya. Dari yang awalnya selalu ceria, santai, senyum menjadi orang yang sangat dingin, nggak banyak omong kalau dengan orang yang nggak terlalu dekat dengannya, dan lebih senang menyendiri.
Gue mulai bercerita tentang kisruh yang terjadi dirumah gue dan juga melibatkan Emi ketika masuk ke kamar Drian. Drian pun menyarankan untuk bercerita pula kepada Ara. Mungkin dia bisa ada pendapat lain lagi. Hal ini mengingat Drian pun tau kalau Ara sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh keluarga gue.
Selain membicarakan masalah keluarga gue, yang tentu aja nggak semuanya gue ceritakan, gue dan Drian iseng-iseng jamming yang malah bisa dijadikan materi lagu baru untuk single band kami yang berikutnya. Benar saja, dengan adanya permasalahan yang sedang mendera gue, ide untuk menciptakan sebuah lagu atau lebih itu menjadi semakin mudah. Ujian dan cobaan adalah salah satu keresahan yang dapat di konversi menjadi sebuah karya yang inspiratif. Bisa musik, bisa bahan standup comedy, bisa bahan tulisan satir atau bahkan karya lugas yang nggak kenal batas.
Setelah waktu menunjukkan pukul 17.00 yang tentunya sangat nggak terasa karena serunya jamming gue dan Drian, akhirnya gue pamit dari rumahnya. Bukan pulang, tapi gue menuju ke rumah Ara. Ara rumahnya juga nggak jauh dari rumah Drian sebenarnya. Ara adalah pilihan terakhir gue untuk mencurahkan semuanya.
“Ija? Kok kamu nggak bilang-bilang dulu mau kesini?” Tanyanya dengan nada setengah tidak percaya ketika gue muncul didepan rumahnya.
“Haha, emang sejak kapan aku dateng kerumah kamu bilang-bilang dulu? Dulu aja aku suka mampir kesini tanpa harus ada kamu dirumah bukan?” Jawab gue dengan pertanyaan baru.
“Hehehe. Iya sih. Kamu masih inget aja. Yuk deh masuk.”
“Ya inget lah. Itu kan masa-masa seru kita Ra. Haha.”
Nggak banyak yang berubah dari interior rumah Ara. Perubahan terbesarnya ada pada foto pernikahan Ara dengan almarhum suaminya. Tapi sepertinya Ara sudah coba move on dari apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu ini. Entah seperti apa persisnya gue nggak tau, yang jelas, raut kesedihan sudah tidak tampak lagi di wajah awet mudanya itu.
Gue pada akhirnya menceritakan semuanya ke Ara. Dari dulu memang Ara yang selalu jadi tumpahan cerita-cerita gue, mulai dari cerita senang sampai yang sedih-sedih, dia tau.
Ara benar-benar nggak percaya dengan apa yang gue ceritakan mengenai Mama dan Dania.
“Atau mungkin kamunya kali yang emosian kalau ngobrol sama mereka, Ja.” Lanjut Ara.
“Aku udah sesantai mungkin ngomongnya, Ra. Asli deh. Aku juga bingung sejak sama Emi bawaannya mereka tuh suudzon aja. Padahal, seperti yang udah kamu tau, Emi itu kayak gimana bantuin akunya. Aku berada di jalur prestasi disegala bidang yang aku jalanin pun ya karena dia. Bahkan dia bisa ngehidupin band yang aku pikir udah mati semenjak kamu nggak ada dan berhasil ngumpulin member-member yang nggak kalah keren sama band kita dulu.”
“Iya aku ngerti banget Ja gimana concern kamu. Aku juga bingung sebenernya kalau ada di posisi kamu. Kamu udah jelasin semuanya, tapi kayaknya orang rumah takut kamu nggak peduli lagi sama mereka Ja. Apalagi konsentrasi kamu kan ke Emi terus tuh, lebih banyak porsi untuk Emi daripada Mama dan Dania.”
“Tapi aku itu maunya ya jangan terus-terusan ngebelain Dania lah. Aku juga punya porsi untuk didengerin, Ra. Itu aja yang aku pingin sebenarnya. Nggak lebih. Aku mau Mama lebih mengenal Emi dan nggak terus-terusan menunjuk Emi ketika aku terlihat salah dimata Mama dan juga Dania.”
“Dari yang aku dengar, aku bisa kasih kesimpulan kalau kamu itu ketergantungan banget sama Emi, Ja. Dulu aku juga ngerasa kamu kayak gitu ke aku, dan memang ternyata begitu kan setelah menjelang perpisahan angkatan kamu, kamu bilang ke aku kalau aku selalu jadi yang terpenting buat kamu, walaupun kita nggak pernah benar-benar resmi hubungannya. HTS-an kita bikin kamu sangat tergantung sama aku. Apalagi kegiatan kamu di Paskib, OSIS, teater, (sepak)bola dan akademisnya sendiri itu udah bener-bener nyita waktu dan pikiran kamu. Kalau nggak dibantu pasti kamu keteteran Ja. Dan sekarang apa yang dulu aku lakuin, dilakuin lagi sama Emi dan bikin kamu ketergantungan. Emi lebih baik dan lebih cerdas dari aku, wajar kalau kamu jadinya kayak gitu ke dia. Tapi inget ya, rasa nyaman karena Emi mem-provide semua yang kamu butuhkan itulah yang bikin kamu ketergantungan. Dan itu berarti ada yang salah dari pola kehidupan kamu sekarang Ja.”
“Tapi selama ini aku emang nyari orang yang seperti dia, Ra. Aku bahkan bisa nemu sosok kamu di dia. Dari segi fisik mirip, pola pikirnya juga mirip, udah gitu sama-sama pemaaf, sabar, selalu ceria, dan lainnya deh. Bedanya, kamu punya image yang baik di mata keluargaku, beda dengan Emi.”
“Semuanya udah ada jalannya masing-masing, Ija. Kamu nggak bisa maksain semua yang kamu mau pasti ada terus di kehidupan kamu. Intrik yang sedang terjadi antara kamu sama Mama dan Dania itu ya salah satu bumbu dalam perjalanan kehidupan kamu, terutama perjalanan menemukan cinta sejati kamu. Selama ini kamu kan nyari orang yang benar-benar pas, tapi belum nemu. Ya sabar, lika likunya pasti ada aja.”
“Ngerti Ra. Tapi…..”
“Udah ya Ja. Maafin Mama sama Dania. Berikan mereka kesempatan untuk selalu bisa menyayangi kamu utuh. Tanpa distraksi apapun. Oke?” Katanya sambil mengulas senyum yang jika diperhatikan lebih lama, amat mirip dengan senyum Emi.
“Ja…..” Katanya melanjutkan, “kamu harus berani dulu untuk mengambil resiko. Aku tau kamu takut kehilangan Emi, tapi kamu juga takut kehilangan Mama dan Dania. Pilihan yang sulit. Tapi kamu mesti berani untuk menentukan. Ija yang aku kenal adalah orang yang selalu berani dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang dia ambil. Aku tetep ngenal Ija yang kayak gitu kan?”
Gue hanya mengangguk. Tanpa sadar, gue bersandar di bahu sebelah kanan Ara yang duduk disebelah kiri gue. Kini Ara mengelus lembut pipi kanan gue dengan jempol kanannya. Rasa nyaman begitu terasa. Gue merasakan kenyamanan yang sama dengan apa yang diberikan Emi selama ini dalam dekapan Ara.
“Eh, maaf Ra. Nggak sengaja. Kebiasaan. Hehehe.” Gue langsung menegakkan tubuh gue untuk duduk kembali disampingnya.
“Nggak apa-apa Ja. Aku tau kamu lagi susah banget saat ini. Aku udah hafal banget kebiasaan kamu. Dulu kamu kan selalu kesini kalau lagi ada masalah disekolah, atau lagi ada urusan dikampus yang bikin bete. Paling seru itu kalau lagi ngediskusiin soal band dan konsep-konsep manggungnya kan? Hehehe.” Ara sedang mencoba menjernihkan pikiran gue. Cara seperti ini juga selalu dilakukan Emi ketika gue sedang menghadapi sebuah masalah. Bedanya, ya sudut pandangnya.
Gue langsung memeluk Ara dengan erat. Diluar dugaan, Ara balas memeluk gue juga dengan erat. Sesaat setelah berpelukan, gue merasakan ada getaran teratur dari tubuh Ara. Ternyata dia menangis sesenggukan dalam dekapan gue.
“Loh, kok kamu nangis, Ra? Kenapa? Yang punya masalah kan aku?” Gue memundurkan badannya dan menatap matanya yang mulai banyak mengeluarkan airmata.
“Nggak apa-apa. Aku terharu aja. Nggak nyangka aku bisa sedekat ini lagi sama kamu. Aku berpikir setelah menikah dulu, aku nggak bakalan bisa ketemu dan komunikasi dengan baik lagi sama kamu. Tapi ternyata takdir berkata lain. Dan malahan sekarang aku dipertemukan lagi sama kamu yang udah susah payah aku hindarin selama ini.”
“Udah, nggak usah mikir gimana-gimana Ra. Aku nggak mau kamu sedih kayak gini ah. Udah yuk, mendingan juga kita jalan aja, gimana?”
Ara hanya tersenyum dan mengangguk. Dia kemudian menyeka airmatanya. Ara masuk ke kamarnya dan berganti pakaian ke pakaian mau keluar rumah. Make upnya pun tipis aja. Benar-benar mirip dengan kebiasaan Emi yang selalu simpel dalam berdandan dan berpakaian.
Gue pun mendatangi sebuah mal yang sudah ada dari jaman kami masih sekolah dulu. Banyak tenant yang sudah berubah. Tapi gedung dan tata letaknya masih sama kebanyakan. Nggak banyak yang berubah dari gedung dan penataan ruangannya. McD langganan kami pun masih tetap berada ditempatnya. Kamipun mampir kesana dan membeli dua Mcflurry. Dulu perasaan mahal banget, sekarang malah berasa murah harganya. Haha.
Kami pun melanjutkan menonton bioskop. Kebetulan ada film horor yang lagi banyak dibahas orang-orang. Akhirnya kami pun menonton disana. Gue udah lama banget nggak nonton bioskop. Apalagi nonton sama Ara berdua doang. Udah lama banget nggak kami lakukan.
Tanpa terasa, waktu udah menunjukkan pukul 21.00 dan itu berarti sudah saatnya mengantar Ara pulang. Gue dan Ara pun pulang dengan mood yang sangat bagus. Utamanya gue. Gue sudah bisa kembali tertawa dan ceria. Gue sedikit bisa melupakan masalah yang sedang gue hadapi dirumah.
“Makasih ya, Ra. Kamu udah bisa balikin mood aku lagi.” Kata gue.
“Sama-sama. Aku juga makasih. Udah lama aku nggak diajak kemana-mana sama cowok. Hehe.” Kata Ara dengan nada ceria khas anime-nya.
“Hahaha, anggap aja kita lagi reunian ya. Yaudah aku pulang dulu ya Ra. Kamu hati-hati dirumah sendiri ya. Ibu kamu kapan pulang?”
“Mungkin dua atau tiga hari lagi. Nanti kalau aku takut, aku tinggal manggil kamu aja kesini. Ahaha.”
“Sejak kapan kamu manggil-manggil aku kesini? Aku kan kalo kesini nggak bilang-bilang. Haha.”
“Haha yaudah, sana pulang. Nanti diomelin Mama.”
“Dih, berasa bocah banget aku perasaan. Hahaha.”
Ara melambaikan tangan dari balik pagar rumahnya. Gue pun memakai helm full face gue dan menutup keseluruhan wajah gue dari pandangan Ara. Gue sangat senang hari ini. Apalagi bisa jalan sama Ara yang awalnya nggak direncanakan sama sekali. Emang Drian idenya brilian banget.
--
Pagi masih terasa sejuk. HP gue bergetar dan berdering tanda notifikasi masuk. Gue langsung segar bugar dan mendadak nggak ngantuk sama sekali melihat apa yang tertera dilayar HP gue. Sebuah kabar yang sangat diluar dugaan.
Dirumah ini pula kali pertama band gue dinyatakan akan diseriusin. Awalnya adalah investasi double pedal drum untuk Arko. Arko dan gue menyusun proposal sponsor yang ditujukan untuk ayah Drian agar bisa membantu pendanaan untuk pengadaan double pedal ini.
Lalu pada akhirnya daripada tanggung, ayah Drian malah membuatkan sebuah studio mini untuk kami latihan, tanpa harus susah-susah membayar sebuah studio karena tau kami semua adalah anak sekolah yang masih meminta uang ke orangtuanya.
Keluarganya Drian adalah keluarga yang sangat hangat, pada saat sebelum bapak dan ibunya berpisah. Gue sempat merasakan kehangatan keluarga ini sesaat ketika gue mengenal Drian waktu SMP.
Saat ini dirumah Drian hanya ada bapaknya, dua adiknya dan neneknya yang dari bapaknya. Adiknya yang seorang mantan artis cilik semakin dewasa, makin cantik dan semakin menggiurkan dari segi proporsi badan.
Namanya Driana. Beda tipis sama kakaknya Haha. Dia sekarang ini sudah meninggalkan dunia modeling dan keartisannya demi menjadi pengajar bahasa di sebuah sekolah. Seorang Driana yang dulu gue anggap adalah spoiled brat, kini menjadi orang yang bisa mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjadi guru.
Drian dan adik-adiknya adalah orang-orang yang terlahir dengan rupa terbaik bagi sebagian besar orang Indonesia, bernasib baik pula karena mempunyai keluarga yang memiliki segalanya dan pada akhirnya gue dulu sempat berpikir kalau Drian ini adalah orang yang memanfaatkan privilege yang dia punya sebelum mengenalnya lebih dekat.
Ternyata Drian tidak seperti dua adiknya yang selalu memanfaatkan secara maksimal privilege yang mereka punyai dari orangtua mereka. Drian nggak suka terlalu banyak dipuji dan dimanja oleh ayah ibunya. Bahkan beberapa kali gue dan Arko main kerumahnya, dia terlihat sama sekali nggak nyaman dimanja oleh ayah ibunya didepan kami berdua. Beli barang-barang keperluannya seperti laptop atau HP pun dia menggunakan uang tabungannya sendiri, ketika adik-adiknya tinggal tunjuk dan minta dibelikan oleh ayahnya. Pun ketika bepergian, dia lebih suka memakai angkot daripada meminta supir keluarganya mengendarai salah satu dari 6 mobil mewah yang dipunyai keluarganya.
Menjadi seorang Drian saat gue SMA dulu adalah impian bagi sebagian besar cowok di sekolah gue. Punya orangtua yang sangat berkecukupan secara materi, punya adik yang seorang selebriti cilik terkenal, dan keluarga utuh yang selalu terlihat harmonis membuat kami semua iri. Pada kenyataannya, itu semua hanya tampilan luarnya saja. Tapi itu sepertinya tidak dipedulikan oleh cewek-cewek. Yang mereka lihat adalah, Drian adalah seorang yang ganteng, kaya, jago main gitar. Nggak peduli keadaan keluarganya kayak apa.
Keadaan dalam keluarganya amat sangat berbeda, bertolak belakang. Dan itu pula yang mengubah sikap Drian pasca perceraian orangtuanya. Dari yang awalnya selalu ceria, santai, senyum menjadi orang yang sangat dingin, nggak banyak omong kalau dengan orang yang nggak terlalu dekat dengannya, dan lebih senang menyendiri.
Gue mulai bercerita tentang kisruh yang terjadi dirumah gue dan juga melibatkan Emi ketika masuk ke kamar Drian. Drian pun menyarankan untuk bercerita pula kepada Ara. Mungkin dia bisa ada pendapat lain lagi. Hal ini mengingat Drian pun tau kalau Ara sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh keluarga gue.
Selain membicarakan masalah keluarga gue, yang tentu aja nggak semuanya gue ceritakan, gue dan Drian iseng-iseng jamming yang malah bisa dijadikan materi lagu baru untuk single band kami yang berikutnya. Benar saja, dengan adanya permasalahan yang sedang mendera gue, ide untuk menciptakan sebuah lagu atau lebih itu menjadi semakin mudah. Ujian dan cobaan adalah salah satu keresahan yang dapat di konversi menjadi sebuah karya yang inspiratif. Bisa musik, bisa bahan standup comedy, bisa bahan tulisan satir atau bahkan karya lugas yang nggak kenal batas.
Setelah waktu menunjukkan pukul 17.00 yang tentunya sangat nggak terasa karena serunya jamming gue dan Drian, akhirnya gue pamit dari rumahnya. Bukan pulang, tapi gue menuju ke rumah Ara. Ara rumahnya juga nggak jauh dari rumah Drian sebenarnya. Ara adalah pilihan terakhir gue untuk mencurahkan semuanya.
“Ija? Kok kamu nggak bilang-bilang dulu mau kesini?” Tanyanya dengan nada setengah tidak percaya ketika gue muncul didepan rumahnya.
“Haha, emang sejak kapan aku dateng kerumah kamu bilang-bilang dulu? Dulu aja aku suka mampir kesini tanpa harus ada kamu dirumah bukan?” Jawab gue dengan pertanyaan baru.
“Hehehe. Iya sih. Kamu masih inget aja. Yuk deh masuk.”
“Ya inget lah. Itu kan masa-masa seru kita Ra. Haha.”
Nggak banyak yang berubah dari interior rumah Ara. Perubahan terbesarnya ada pada foto pernikahan Ara dengan almarhum suaminya. Tapi sepertinya Ara sudah coba move on dari apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu ini. Entah seperti apa persisnya gue nggak tau, yang jelas, raut kesedihan sudah tidak tampak lagi di wajah awet mudanya itu.
Gue pada akhirnya menceritakan semuanya ke Ara. Dari dulu memang Ara yang selalu jadi tumpahan cerita-cerita gue, mulai dari cerita senang sampai yang sedih-sedih, dia tau.
Ara benar-benar nggak percaya dengan apa yang gue ceritakan mengenai Mama dan Dania.
“Atau mungkin kamunya kali yang emosian kalau ngobrol sama mereka, Ja.” Lanjut Ara.
“Aku udah sesantai mungkin ngomongnya, Ra. Asli deh. Aku juga bingung sejak sama Emi bawaannya mereka tuh suudzon aja. Padahal, seperti yang udah kamu tau, Emi itu kayak gimana bantuin akunya. Aku berada di jalur prestasi disegala bidang yang aku jalanin pun ya karena dia. Bahkan dia bisa ngehidupin band yang aku pikir udah mati semenjak kamu nggak ada dan berhasil ngumpulin member-member yang nggak kalah keren sama band kita dulu.”
“Iya aku ngerti banget Ja gimana concern kamu. Aku juga bingung sebenernya kalau ada di posisi kamu. Kamu udah jelasin semuanya, tapi kayaknya orang rumah takut kamu nggak peduli lagi sama mereka Ja. Apalagi konsentrasi kamu kan ke Emi terus tuh, lebih banyak porsi untuk Emi daripada Mama dan Dania.”
“Tapi aku itu maunya ya jangan terus-terusan ngebelain Dania lah. Aku juga punya porsi untuk didengerin, Ra. Itu aja yang aku pingin sebenarnya. Nggak lebih. Aku mau Mama lebih mengenal Emi dan nggak terus-terusan menunjuk Emi ketika aku terlihat salah dimata Mama dan juga Dania.”
“Dari yang aku dengar, aku bisa kasih kesimpulan kalau kamu itu ketergantungan banget sama Emi, Ja. Dulu aku juga ngerasa kamu kayak gitu ke aku, dan memang ternyata begitu kan setelah menjelang perpisahan angkatan kamu, kamu bilang ke aku kalau aku selalu jadi yang terpenting buat kamu, walaupun kita nggak pernah benar-benar resmi hubungannya. HTS-an kita bikin kamu sangat tergantung sama aku. Apalagi kegiatan kamu di Paskib, OSIS, teater, (sepak)bola dan akademisnya sendiri itu udah bener-bener nyita waktu dan pikiran kamu. Kalau nggak dibantu pasti kamu keteteran Ja. Dan sekarang apa yang dulu aku lakuin, dilakuin lagi sama Emi dan bikin kamu ketergantungan. Emi lebih baik dan lebih cerdas dari aku, wajar kalau kamu jadinya kayak gitu ke dia. Tapi inget ya, rasa nyaman karena Emi mem-provide semua yang kamu butuhkan itulah yang bikin kamu ketergantungan. Dan itu berarti ada yang salah dari pola kehidupan kamu sekarang Ja.”
“Tapi selama ini aku emang nyari orang yang seperti dia, Ra. Aku bahkan bisa nemu sosok kamu di dia. Dari segi fisik mirip, pola pikirnya juga mirip, udah gitu sama-sama pemaaf, sabar, selalu ceria, dan lainnya deh. Bedanya, kamu punya image yang baik di mata keluargaku, beda dengan Emi.”
“Semuanya udah ada jalannya masing-masing, Ija. Kamu nggak bisa maksain semua yang kamu mau pasti ada terus di kehidupan kamu. Intrik yang sedang terjadi antara kamu sama Mama dan Dania itu ya salah satu bumbu dalam perjalanan kehidupan kamu, terutama perjalanan menemukan cinta sejati kamu. Selama ini kamu kan nyari orang yang benar-benar pas, tapi belum nemu. Ya sabar, lika likunya pasti ada aja.”
“Ngerti Ra. Tapi…..”
“Udah ya Ja. Maafin Mama sama Dania. Berikan mereka kesempatan untuk selalu bisa menyayangi kamu utuh. Tanpa distraksi apapun. Oke?” Katanya sambil mengulas senyum yang jika diperhatikan lebih lama, amat mirip dengan senyum Emi.
“Ja…..” Katanya melanjutkan, “kamu harus berani dulu untuk mengambil resiko. Aku tau kamu takut kehilangan Emi, tapi kamu juga takut kehilangan Mama dan Dania. Pilihan yang sulit. Tapi kamu mesti berani untuk menentukan. Ija yang aku kenal adalah orang yang selalu berani dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang dia ambil. Aku tetep ngenal Ija yang kayak gitu kan?”
Gue hanya mengangguk. Tanpa sadar, gue bersandar di bahu sebelah kanan Ara yang duduk disebelah kiri gue. Kini Ara mengelus lembut pipi kanan gue dengan jempol kanannya. Rasa nyaman begitu terasa. Gue merasakan kenyamanan yang sama dengan apa yang diberikan Emi selama ini dalam dekapan Ara.
“Eh, maaf Ra. Nggak sengaja. Kebiasaan. Hehehe.” Gue langsung menegakkan tubuh gue untuk duduk kembali disampingnya.
“Nggak apa-apa Ja. Aku tau kamu lagi susah banget saat ini. Aku udah hafal banget kebiasaan kamu. Dulu kamu kan selalu kesini kalau lagi ada masalah disekolah, atau lagi ada urusan dikampus yang bikin bete. Paling seru itu kalau lagi ngediskusiin soal band dan konsep-konsep manggungnya kan? Hehehe.” Ara sedang mencoba menjernihkan pikiran gue. Cara seperti ini juga selalu dilakukan Emi ketika gue sedang menghadapi sebuah masalah. Bedanya, ya sudut pandangnya.
Gue langsung memeluk Ara dengan erat. Diluar dugaan, Ara balas memeluk gue juga dengan erat. Sesaat setelah berpelukan, gue merasakan ada getaran teratur dari tubuh Ara. Ternyata dia menangis sesenggukan dalam dekapan gue.
“Loh, kok kamu nangis, Ra? Kenapa? Yang punya masalah kan aku?” Gue memundurkan badannya dan menatap matanya yang mulai banyak mengeluarkan airmata.
“Nggak apa-apa. Aku terharu aja. Nggak nyangka aku bisa sedekat ini lagi sama kamu. Aku berpikir setelah menikah dulu, aku nggak bakalan bisa ketemu dan komunikasi dengan baik lagi sama kamu. Tapi ternyata takdir berkata lain. Dan malahan sekarang aku dipertemukan lagi sama kamu yang udah susah payah aku hindarin selama ini.”
“Udah, nggak usah mikir gimana-gimana Ra. Aku nggak mau kamu sedih kayak gini ah. Udah yuk, mendingan juga kita jalan aja, gimana?”
Ara hanya tersenyum dan mengangguk. Dia kemudian menyeka airmatanya. Ara masuk ke kamarnya dan berganti pakaian ke pakaian mau keluar rumah. Make upnya pun tipis aja. Benar-benar mirip dengan kebiasaan Emi yang selalu simpel dalam berdandan dan berpakaian.
Gue pun mendatangi sebuah mal yang sudah ada dari jaman kami masih sekolah dulu. Banyak tenant yang sudah berubah. Tapi gedung dan tata letaknya masih sama kebanyakan. Nggak banyak yang berubah dari gedung dan penataan ruangannya. McD langganan kami pun masih tetap berada ditempatnya. Kamipun mampir kesana dan membeli dua Mcflurry. Dulu perasaan mahal banget, sekarang malah berasa murah harganya. Haha.
Kami pun melanjutkan menonton bioskop. Kebetulan ada film horor yang lagi banyak dibahas orang-orang. Akhirnya kami pun menonton disana. Gue udah lama banget nggak nonton bioskop. Apalagi nonton sama Ara berdua doang. Udah lama banget nggak kami lakukan.
Tanpa terasa, waktu udah menunjukkan pukul 21.00 dan itu berarti sudah saatnya mengantar Ara pulang. Gue dan Ara pun pulang dengan mood yang sangat bagus. Utamanya gue. Gue sudah bisa kembali tertawa dan ceria. Gue sedikit bisa melupakan masalah yang sedang gue hadapi dirumah.
“Makasih ya, Ra. Kamu udah bisa balikin mood aku lagi.” Kata gue.
“Sama-sama. Aku juga makasih. Udah lama aku nggak diajak kemana-mana sama cowok. Hehe.” Kata Ara dengan nada ceria khas anime-nya.
“Hahaha, anggap aja kita lagi reunian ya. Yaudah aku pulang dulu ya Ra. Kamu hati-hati dirumah sendiri ya. Ibu kamu kapan pulang?”
“Mungkin dua atau tiga hari lagi. Nanti kalau aku takut, aku tinggal manggil kamu aja kesini. Ahaha.”
“Sejak kapan kamu manggil-manggil aku kesini? Aku kan kalo kesini nggak bilang-bilang. Haha.”
“Haha yaudah, sana pulang. Nanti diomelin Mama.”
“Dih, berasa bocah banget aku perasaan. Hahaha.”
Ara melambaikan tangan dari balik pagar rumahnya. Gue pun memakai helm full face gue dan menutup keseluruhan wajah gue dari pandangan Ara. Gue sangat senang hari ini. Apalagi bisa jalan sama Ara yang awalnya nggak direncanakan sama sekali. Emang Drian idenya brilian banget.
--
Pagi masih terasa sejuk. HP gue bergetar dan berdering tanda notifikasi masuk. Gue langsung segar bugar dan mendadak nggak ngantuk sama sekali melihat apa yang tertera dilayar HP gue. Sebuah kabar yang sangat diluar dugaan.
itkgid dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Tutup