- Beranda
- Stories from the Heart
Dendam Arwah dari Masa Lalu
...
TS
cattleyaonly
Dendam Arwah dari Masa Lalu
Cerbung ini telah tamat ya. Terima kasih untuk semua pembaca setia cerbung ini

Konten Sensitif
Prolog
Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?
Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.
Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.
Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.
Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?
Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.
“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.
“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”
“Serius, Mbak?”
“Lha memangnya kenapa tho?”
“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.
“Wah, gitu ya?”
“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”
“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”
“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.
“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”
“Kenapa bisa begitu, Mas?”
“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”
Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.
“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.
“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”
“Ambar, Mas.”
“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”
“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”
“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.
“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.
“Iya, Mbak, saya Ambar.”
“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”
Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.
Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.
Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.
Bersambung di sini
Written by @cattleyaonly
Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?
Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.
Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.
Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.
Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?
Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.
“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.
“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”
“Serius, Mbak?”
“Lha memangnya kenapa tho?”
“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.
“Wah, gitu ya?”
“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”
“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”
“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.
“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”
“Kenapa bisa begitu, Mas?”
“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”
Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.
“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.
“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”
“Ambar, Mas.”
“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”
“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”
“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.
“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.
“Iya, Mbak, saya Ambar.”
“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”
Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.
Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.
Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.
Bersambung di sini
Written by @cattleyaonly

Diubah oleh cattleyaonly 30-07-2020 20:52
69banditos dan 31 lainnya memberi reputasi
32
15.2K
159
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
cattleyaonly
#34
DENDAM ARWAH DARI MASA LALU (PART 11)

Nyai Amirah terlihat sedang mencari sesuatu di antara bahan-bahan obat herbalnya. Dahinya berkerut. Dia membutuhkan beberapa daun untuk persediaan. Siapa tahu ada warga yang membutuhkan pertolongan segera. Wanita paruh baya itu memanggil-manggil Ikram.
“Ikram belum kembali dari kota, Bu,” kata Ambar.
“Oh, iya, ibu lupa. Ternyata ibu ini sudah mulai pikun.” Nyai Amirah tertawa.
“Ada yang bisa Ambar bantu, Bu?”
“Ibu butuh beberapa daun untuk ramuan herbal.”
“Biar Ambar yang cari, Bu.”
“Tak usah, Nak. Biar ibu tunggu Ikram saja.
“Assalamu’alaikum,” Suara salam itu mengagetkan Ambar. Suara yang diam-diam dirindukannya seharian ini.
“Wa alaikumussalam, Ik. Kamu sudah pulang?” jawab Nyai Amirah.
Ikram mencium tangan ibunya.
“Sebentar, ibu bikinkah teh, kamu pasti capek,” kata Nyai Amirah.
“Tidak usah, Bu. Nanti Ikram buat sendiri kalau mau.”
“Biar Ambar yang bikin, Bu.” Selesai berucap, Ambar langsung melangkah ke dapur, membuatkan teh untuk Ikram.
Ikram masuk kamar, meletakkan tasnya dan melangkah ke kamar mandi. Dia berpapasan dengan Ambar yang sedang membawakan teh untuknya.
“Ini tehnya,” kata Ambar.
“Terima kasih, Mbar. Tolong taruh meja makan saja. Aku mau mandi dulu. Rasanya badan ini lengket oleh debu jalanan.”
“Baiklah.” Ambar melangkah ke ruang tengah, diikuti pandangan Ikram. Seperti ada udara pegunungan nan sejuk merasuk dalam dada Ikram. Wanita itu sepertinya telah benar-benar memaafkannya. Ikram tersenyum.
Setelah selesai mandi Ikram duduk di meja makan, meminum tehnya.
“Apa kamu sudah makan siang?” Tiba-tiba Ambar sudah berada di sisinya.
“Belum,” jawab Ikram riang, mendapat kejutan perhatian dari Ambar.
“Aku siapkan dulu makananmu,” kata Ambar seraya pergi ke dapur. Mengambil lauk, sayur, dan nasi di lemari makan.
Nisa yang sedari tadi memperhatikan di pintu kamarnya, berjalan mendekati Ikram. “Cie ... cie ... ada yang dapat perhatian, nih,’ katanya sambil tersenyum menggoda. Disenggolnya bahu sang kakak.
“Hus! Nanti orangnya dengar,” bisik Ikram.
Ambar muncul di ruang tengah, menghidangkan makanan untuk Ikram. “Nisa mau makan juga?”
“Tidak, Mbak. Mau nunggu kakak gantengku saja yang kelihatannya lagi bahagia. Setuju kan kalau kakakku ini ganteng?”
Ambar menyeringai. “Pastinya.”
“Tuh, dengar sendiri, Mas.”
“Ih, kamu ini pintar mengganggu orang!” Ikram menendang kaki adiknya.
“Aduh!” Nisa meringis.
Ambar tertawa melihat kakak beradik yang sedang bercanda itu. “Ya sudah, aku mau menemani Nyai membereskan daun-daun obat.”
“Terima kasih, ya Mbar,” ucap Ikram.
“Sama-sama.” Ambar segera menuju ke dipan tempat Nyai duduk, tak jauh dari meja makan.
“Ambar bantu memasukkan ke botol, Nyai.”
“Terima kasih ya, Nak,” ucap Nyai Amirah. “O ya, Ik, besok tolong carikan ibu daun-daunan obat!” seru Nyai Amirah pada Ikram.
“Baik, Bu.”
“Ambar boleh ikut?”
“Boleh, Nak. Tapi hati-hati, ya."
“Kan ada Ikram yang jaga, Bu.”
“Cie-cie ...,” kata Nisa.
Pipi Ambar bersemu merah. Jantungnya berdetak tak menentu. Tapi, biarlah Nisa menggodanya. Dia ingin melihat tempat di mana Ikram menemukannya. Siapa tahu, itu bisa membuka ingatan masa lalunya.

***
Pagi setelah sarapn, Ikram dan Ambar menyusuri tepian sungai. Tempat Ikram biasa memetik daun-daunan untuk obat. Sungai yang mengalir di pinggiran kampung Lembah itu sangat jernih. Membuat Ambar merasa betah melihat arusnya yang terkadang terbelah oleh bebatuan yang menjulang.
“Kenapa tidak ditanam saja?” tanya Ambar memecah kesunyian di antara mereka.
“Maksudmu?”
“Pohon obatnya. Kenapa tidak di tanam saja di pekarangan rumah?”
“Oh, itu.” Ikram menyibak anak-anak rambutnya yang jatuh di dahi. Sejenak Ambar mengagumi wajah itu. Tak dipungkiri, hatinya telah jatuh kepada pemuda di dekatnya itu. Tapi apakah kisah cinta dengan pemuda itu akan terjadi? Ambar mendesah. Menepis harapan yang mulai tumbuh itu dengan cepat.
“Telah beberapa kali Ibu menanam, tapi pohonnya selalu mati. Entahlah, mungkin memang habitatnya di hutan.”
Ambar manggut-manggut. “O, ya, Ik, bisakah kamu tunjukkan tempat kamu menemukanku?”
Ikram menatap wajah ayu di sampingnya beberapa saat. “Bisa.”
Mereka terus berjalan, hingga langkah mereka berhenti di suatu tempat. “Di sini aku menemukanmu.”
Ambar menatap tebing tinggi yang dipenuhi pepohonan yang rimbun. Namun puncak atasnya tak terlihat karena kemiringan tebing yang nyaris tegak.
“Kira-kira di atas itu wilayah mana?” tanya Ambar.
“Mungkin itu hutan dekat Desa Salam.”
“Desa Wonosukmo, ya?” Ambar diam sejenak.
“Apakah kamu mengingat sesuatu tentang desa itu?”
Ambar menggeleng. “Aku belum ingat apapun.”
“Kita duduk di sini dulu. Siapa tahu ada hal yang bisa kamu ingat.”
Ambar memilih duduk di batu besar pinggir sungai. Kakinya berjuntai di dalam air. Matanya memandang rimbun pepohonan yang menutupi tebing. Dirinya kesal karena tak ada satupun yang terlintas dalam pikirannya melihat tempat ini. Diliriknya Ikram, pemuda itu duduk di tepian sungai, asyik melemparkan batu-batu kecil ke tengah aliran sungai yang cukup deras.
“Ikram, ayo kita cari daun yang diinginkan Ibu.”
“Adakah yang bisa kamu ingat?”
Ambar menggeleng. Wanita itu berdiri kemudian segera melangkah. Ikram berlari kecil mengejarnya. Setelah berjalan cukup jauh, mereka menemukan yang dicari. Ambar mencabut salah satu pohon perdu itu.
“Aku akan menanamnya di halaman belakang, siapa tahu tumbuh,” kata Ambar. Pandangannya bertemu dengan Ikram untuk beberapa saat. Mereka menjadi salah tingkah. Berusaha untuk tetap menjaga sikap masing-masing.
Sementara di balik pohon besar yang ditutupi semak belukar di bawahnya, seorang mengawasi gerak-gerik mereka. Seseorang itu tersenyum senang saat mengenali sosok yang bersama Ikram. Ya, Ambar, tumbalnya yang dulu berhasil meloloskan diri. Dia telah menemukan mempelai pria sekaligus wanita secara bersamaan. Nasib baik telah berpihak padanya. Kini, dia tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kesaktiannya telah meningkat berlipat-lipat. Kekuatannya setara dengan iblis terlaknat. Meskipun dia sangat membenci ritual untuk menyempurnakan ilmunya. Menyetubuhi perawan-perawan yang sama sekali tak dicintainya. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri yang telah menodai kesetiaannya kepada Nimas. Namun itu syarat yang diberikan Ki Respati, sebelum lelaki pemuja setan itu menyambut kematiannya dengan riang. Tapi demi bisa menghidupkan Nimas, Barata akan melakukan apa saja.
Tadi, lamat dia mendengar percakapan Ambar dan Ikram di pinggir sungai. Jadi, wanita itu kehilangan ingatannya setelah terjatuh? Pekerjaannya akan jauh lebih mudah. Ini akan seperti merebut permen dari tangan seorang bayi. Barata tersenyum senang.
Ambar dan Ikram yang tak sadar sedang diawasi, melangkah pulang dengan santai. Mereka berbincang tentang daun-daun obat sepanjang perjalanan. Juga tentang ilmu-ilmu agama yang kurang dimengerti Ambar.
Di kelokan jalan menuju kampung Lembah mereka bertemu Barata yang sengaja menghadang mereka.
“Pak Barata?” Ikram merasa terkejut melihat lelaki itu ada di depannya.
“Eh, Nak Ikram. Dari mana?”
“Dari memetik daun-daunan obat, Pak.”
Barata memandang Ambar. “Ini istri Nak Ikram?”
Pipi Ambar bersemu merah.
“Bukan, Pak. Ini teman saya,” jawab Ikram. “O, ya, apakah Bapak mau mengunjungi Nyi Sundari?”
“Sudah, Nak. Bapak habis mengunjungi Nyi Sundari. Sekarang sudah mau pulang.”
“Oh. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, ya, Pak?”
“Silakan, Nak. Jangan lupa kalau kalian menikah, undang bapak.”
Ambar hampir saja tersedak ludahnya sendiri mendengar perkataan Barata. Jantungnya kembali berdegup kencang. Ikram hanya tersenyum.
Kedua muda-mudi itupun berpamitan tanpa menyinggung-nyinggung soal undangan pernikahan.
Barata memandang kedua muda-mudi itu hingga mengilang dibalik di kelokan jalan. Ambar ternyata benar-benar tak mengenalinya. Lelaki itu tertawa.
***
Pagi itu, Ambar dan Nisa memasak di dapur. Ikram membantu membuatkan api dalam tunguku. Wajahnya terkena abu ketika berusaha meniup baranya.
“Ini.” Ambar menyodorkan ‘ilir’ kepadanya. Pemuda itu berterima kasih dan mulai mengipasi bara. Api kemudian muncul. Ambar segera meletakkan dandang di atas tungku.
Hari ini akan diadakan pengajian di pondok yang mengundang warga sekitar. Nyai Amirah akan mengirim berbagai makanan kecil untuk camilan.
Ambar terlihat melipat-lipat daun pisang yang telah diisi adonan dan pisang, membuat nagasari. Ikram datang membantu. Dia akan memanfaatkan waktu yang ada untuk berada tak jauh dari wanita itu. Mungkin hanya saat inilah dia bisa bersamanya. Jika wanita itu telah mengingat masa lalunya, pasti dia kan meninggalkan rumah itu. Ikram yakin, wanita itu bukan wanita desa, dilihat dari pakaian yang dikenakannya saat ditemukan juga dari tingkah lakunya.
“O, ya. Aku lupa. Aku punya hadiah untuk kalian,” kata Ikram kepada Nisa dan Ambar. Pemuda itupun melangkah ke kamarnya, mengambil hiasan kebaya yang diberikan oleh Barata. Tak berapa lama Ikram kembali ke dapur. Dia memberikan hiasan berbentuk bunga sepatu kepada Nisa, dan bentuk mawar kepada Ambar. Ikram tahu betul gadis itu menyukai mawar.
Wajah Ambar terlihat semringah menerima oleh-oleh dari Ikram. “Terima kasih,” katanya. Ikram hanya mengangguk. Melihat Ambar tersenyum itu sudah merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Ikram.
Setelah Ashar, semua kudapan yang disiapkan telah dikemas rapi dalam rantang-rantang besar.
“Ambar, tidak usah ikut ke pondok,” kata Nyai Amirah.
“Baik, Nyai.”
“Nisa, bantu kakakmu membawa kue-kue ini, sekalian membantu panitia di sana. Biar Ibu menemani Nak Ambar di rumah.”
“Baik, Bu,” jawab Nisa.
“Saya jadi merepotkan, Bu. Ibu tidak bisa ikut pengajian karena harus menunggu saya.”
“Jangan memikirkan itu, Nak. Pikirkan saja kesembuhanmu. Hanya seperti inilah bantuan yang bisa kami berikan kepadamu.”
“Terima kasih, Nyai.” Mata Ambar berkaca-kaca.
Nyai Amirah mengelus pundaknya.
Tak lama kemudian Ikram dan Nisa pergi ke pondok. Nyai Amirah dan Ambar membereskan dapur yang masih berantakan.
***
Ikram dan Nisa segera bergabung dengan panitia pengajian di pondok. Terlihat para warga Lembah sudah berdatangan ke masjid. Terbit rasa bahagia dalam diri Ikram melihat banyaknya warga yang datang. Meskipun tidak semuanya mau datang. Kini, dia bisa melihat hasil perjuangan abahnya dan para ustadz di pondok itu. Dulu dia pernah sedih saat Abah memutuskan untuk tinggal di tempat terpencil dan sangat asing ini.
“Mas!” Sebuah panggilan mengagetkan Ikram.
“Eh, Witri. Ada apa?”
“Perlu dibantu?”
“Tak perlu. Ajak Nisa menemani warga yang sudah datang ke masjid.”
“Mbak Ambar ke mana?”
“Di rumah.”
“Kenapa tidak ikut?”
“Ibu banyak pekerjaan. Dia menemani ibu di rumah,” kata Ikram berbohong.
“Baiklah. Aku dan Nisa akan menemani para tamu yang sudah datang.” Witri berjalan menjauh. Terlihat oleh Ikram, Witri berbicara sebentar pada Nisa kemudian berjalan ke tempat para tamu.
Ikram mendesah. Mungkinkah Witri yang membuat Ambar sakit? Ikram tidak yakin. Witri memang bukan gadis yang sangat baik, tapi itu bukan berarti dia jahat. Atau mungkinkah itu semua perbuatan Nyi Sundari? Bukankah wanita itu seperti memiliki ilmu hitam? Memang Ikram belum pernah melihatnya secara langsung, hanya berdasarkan desas-desus yang didengarnya dari para penduduk.
Dari sudut matanya Ikram melihat sebuah bayangan berpakaian putih. Dia segera menoleh. Banyangan gadis berbaju dan berkerudung putih itu dengan cepat lenyap dalam kegelapan. Mungkinlah itu santri di sini? Kenapa dia justru menjauh dari tempat acara? Ikram ingin mengejarnya tapi terdengar suara Abah memanggil, mengajaknya untuk membuka acara.
Sepintas Ikram melihat lagi ke arah menghilangnya gadis itu. Tapi yang terlihat hanya kegelapan malam.
Sementara dari sudut lain pondok, sepasang mata terus mengawasinya. Sepasang mata yang pemiliknya sudah tidak sabar untuk memanfaat pemuda tampan itu untuk menghidupkan sang istri.
***
Ambar meminum obat herbalnya pagi itu. Entah untuk ke berapa ratus kali dia meminumnya. Namun, sepertinya tak banyak berefek pada kesembuhannya. Wanita itu tersenyum getir. Dia harus mencari cara lain agar ingatannya kembali pulih. Setelah tempatnya ditemukan Ikram tak mengingatkan wanita itu pada apapun, kini dia ingin ikut ke kota jika Ikram atau Nisa akan ke sana. Ambar yakin dia berasal dari tempat yang tak terlalu jauh dari lampung Lembah itu.
Ambar membenturkan kepalanya di dinding. Rasa frustasi tiba-tiba menderanya. Rasa frustasi yang Ambar tahu ditiupkan oleh setan, tapi dia tak kuasa menampik.
Ambar melangkahkan kakinya keluar, menuju pekarangan samping, tempat berbagai mawar tumbuh dengan subur dan memamerkan bunga-bunganya yang indah. Tampak olehnya seekor kuku-kupu hitam besar dengan corak yang indah menari-nari mengelilingi Ambar. Seolah dia sedang mengajaknya bermain. Ambar berusaha menangkapnya tapi kupu-kupu itu menghindar. Mengitari Ambar dengan jarak yang tak mudah tersentuh oleh wanita itu. Kupu-kupu itu terus menghindar, membawa langkah Ambar meninggalkan rumah menuju sungai. Setelah cukup jauh, akhirnya kupu-kupu itu tertangkap. Ambar meletakkan di atas telapak tangannya. Kupu-kupu itu diam untuk beberapa menit. Sungguh aneh. Ambar memandangnya dengan perasaan takjup. Kemudian kupu-kupu itu terbang, Ambar tak mengejarnya lagi. Wanita itu tersentak, ketika mendapati dirinya telah berada jauh dari rumah. Ambar segera berdiri untuk pulang, tapi tiba-tiba arwah Arum menghadangnya. Wajahnya tampak rusak separuh, karena air cupu yang disiramkan Nyi Sundari.
“Kenapa kamu masih di sini?”
“Aku tak tahu ke mana harus pergi.”
“Pergilah ke mana saja. Tempat ini tak aman buatmu.”
“Tapi ....”
Arum menghilang ketika sebuah langkah terdengar mendekat.
“Ambar!” Ikram berlari ke arahnya dengan wajah gusar. Sementara sepasang mata tersembunyi melihat dengan kecewa kemunculan Ikram.
“Aku mencarimu ke mana-mana. Kami mencarimu.”
“Maafkan, aku. Tadi ada seekor kupu-kupu hitam menuntunku ke sini.”
“Kupu-kupu hitam?” Dahi Ikram berkerut. “Ayo, kita segera pulang. Ibu dan Nisa pasti masih kalut mencarimu.”
Ambar membiarkan tangannya diraih Ikram, hampir seperti ditarik, karena pemuda itu berjalan terlalu cepat. Ikram merasakan sesuatu yang tak biasa. Entah itu hanya perasaannya saja, atau firasat
Bersambung
69banditos dan 8 lainnya memberi reputasi
9