- Beranda
- Stories from the Heart
Dendam Arwah dari Masa Lalu
...
TS
cattleyaonly
Dendam Arwah dari Masa Lalu
Cerbung ini telah tamat ya. Terima kasih untuk semua pembaca setia cerbung ini

Konten Sensitif
Prolog
Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?
Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.
Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.
Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.
Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?
Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.
“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.
“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”
“Serius, Mbak?”
“Lha memangnya kenapa tho?”
“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.
“Wah, gitu ya?”
“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”
“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”
“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.
“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”
“Kenapa bisa begitu, Mas?”
“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”
Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.
“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.
“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”
“Ambar, Mas.”
“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”
“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”
“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.
“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.
“Iya, Mbak, saya Ambar.”
“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”
Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.
Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.
Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.
Bersambung di sini
Written by @cattleyaonly
Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?
Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.
Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.
Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.
Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?
Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.
“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.
“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”
“Serius, Mbak?”
“Lha memangnya kenapa tho?”
“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.
“Wah, gitu ya?”
“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”
“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”
“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.
“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”
“Kenapa bisa begitu, Mas?”
“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”
Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.
“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.
“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”
“Ambar, Mas.”
“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”
“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”
“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.
“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.
“Iya, Mbak, saya Ambar.”
“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”
Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.
Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.
Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.
Bersambung di sini
Written by @cattleyaonly

Diubah oleh cattleyaonly 30-07-2020 20:52
69banditos dan 31 lainnya memberi reputasi
32
15.2K
159
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
cattleyaonly
#33
DENDAM ARWAH DARI MASA LALU (PART 10)

Ikram menceritakan apa yang telah dialami Ambar kepada Ibunya. Nyai Amirah segera memeriksa Ambar. Wanita setengah baya itu yakin, ada kekuatan jahat yang selalu mengganggu wanita tak berdaya di depannya. Entah apa yang ada dalam diri Ambar, hingga harus mengalami hal-hal yang buruk.
“Ikram, kembalilah ke pondok, bilang Abah agar cepat pulang!” seru Nyai Amirah.
“Baik, Bu.” Ikram segera beranjak. Dia sangat khawatir dengan kondisi Ambar. Apa yang telah terjadi padanya?

Sementara Ikram memanggil Abahnya, Nyai Amirah dan Nisa merawat Ambar. Dengan lemah lembut, Nyai Amirah memborehkan ramuan di perut, dan mengusapkan minyak di sekitar hidung Ambar.
Beberapa saat kemudian, terlihat Ambar mulai bergerak lemah. “Ikram ....” Suaranya lemah seperti berbisik memanggil pemuda yang terakhir kali dilihatnya sebelum pingsan.
“Nak, bukalah matamu,” kata Nyai Amirah.
Ambar membuka matanya pelan. “Ibu ....”
“Tenang, Nak, kamu sudah ada di rumah. Ikram membawamu pulang.” Nyai Amirah mengusap rambut Ambar dengan. “Apa yang kamu rasakan?”
“Perutku sakit, Bu. Seperti diremas-remas.”
Nyai Amirah melangkah ke meja, meraih segelas obat yang sudah disiapkannya untuk Ambar. “Minumlah, Nak.”
Ambar meminum ramuan Nyai Amirah sampai habis. Rasanya cukup pahit. Sakit perutnya sedikit berkurang. Namun, gadis itu tiba-tiba menangis. Nyai Amirah segera memeluk dan menenangkannya. “Cup cup, Cah Ayu, kenapa menangis?”
“Saya lelah dengan semua ini, Nyai,” kata Ambar dengan air mata berderai. Ingatan yang belum kembali serta sakit yang kini dideritanya membuatnya cukup terpukul. Selain itu ada rasa tidak enak jika terus merepotkan keluarga Nyai Amirah terus menerus.
“Kita tidak boleh putus asa. Nak. Semua masalah harus kita hadapi dengan sabar.” Nyai Amirah mengelus pundak Ambar dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri.
Ustadz Ilyas dan Ikram memasuki rumah. Mereka memberi salam dan menatap heran pada Ambar yang berada dalam pelukan Nyai Amirah.
Ikram mendekati Nisa yang sedari tadi duduk di kursi makan. “Ada apa?”
“Entah. Sepertinya Mbak Ambar lagi sedih.”
Ikram duduk di samping Nisa dan memerhatikan sang ibu yang sedang menenangkan Ambar.
Ustadz Ilyas segera memeriksa kondisi Ambar. Dahinya berkerut. Beliau meminta segelas air untuk dibacakan doa, kemudian memberikannya pada Ambar. Wanita itu meneguk minumannya sampai habis.
“Beristirahatlah di kamar,” kata Nyai Amirah. “Nisa, temani Nak Ambar beristirahat,”
“Baik, Bu.” Nisa berdiri. “Padahal ada yang ngarep nungguin, tuh,’ gumamnya sambil melirik ke arah sang kakak. Ikram melotot.
“Apa?” tanya Nyai Amirah ketika mendengar gumaman Nisa.
“Emm ... bukan apa-apa, Bu. Itu Mas Ikram ....” Nisw bergegas mendekati Ambar, sebelum kaki sang kakak menendangnya.
Ambar dipapah masuk kamar. Ustadz Ilyas memandang istrinya. “Ada seseorang yang menginginkan kematiannya,” bisiknya.
“Siapa, Bah?”
“Entahlah. Kyai Nawawi waktu itu berpesan padaku, agar menjaga Nak Ambar baik-baik. Kyai melihat ada takdir besar dalam hidupnya.”
“Bah, ibu jadi merinding.”
“Kita punya Allah, Bu. Untuk apa takut?”
Nyai Amirah mengangguk.
***
Kondisi Ambar membaik. Wanita itu rutin meminum obat-obatan yang diberikan Nyai Amirah. Tekadnya kini satu, mendapatkan ingatannya kembali, agar lebih mudah memahami apa-apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Kini dia lebih khusyu’ dalam beribadah. Hanya Dia-lah dzat yang bisa mengubah takdir. Tugas manusia hanya berusaha, terus memohon, dan berperasangka baik kepada-Nya.
Suatu pagi, seorang warga mengetuk pintu rumah Nyai Amirah. Dia meminta pertolongan Wanita itu untuk mengobati ibunya yang telah lanjut usia.
Bergegas Nyai Amirah mengikuti warga itu, namun panggilan Ambar membuat langkahnya terhenti.
“Izinkan aku ikut, Bu.”
Sebentar wajah Nyai Amirah ragu. Tapi karena hari masih pagi dan rumah warga itu dekat, Nyai Amirah mengizinkannya.
“Ayolah!”
Ambar berjalan cepat menyusul Nyai Amirah. Hatinya lebih mantab kini. Tak ada ketakutan yang melebihi ketakutannya pada akhir hidup yang buruk. Tidak juga ketakutan pada hantu Arum atau hal lain.
Ambar masih mengingat mimpi tentang Arum sewaktu dia di pondok. Kekejaman apa sebenarnya yang telah menimpa gadis itu? Apakah itu artinya dia harus mencari sosok lelaki yang telah menghamilinya? ‘Ah, maafkan aku, Arum. Mungkin tidak mudah bagiku untuk menolongmu,’ gumam Ambar dalam hati.
Tanpa terasa, mereka telah sampai di rumah yang dituju. Seorang wanita renta tergolek dengan aroma luka yang sangat busuk dan amis. Nyai Amirah segera memeriksanya. Ambar mendampingi.
Melihat luka itu, Ambar seperti mengingat sesuatu di masa lalu. Ya, dia ingat sekarang. Sang ibu! Lamat dia bisa mengingat wajah Ibu. Wanita yang telah melahirkannya juga menderita sakit seperti ini. Luka karena diabetes. Tanpa sadar Ambar tersenyum bahagia. Satu ingatannya kembali.
“Ibumu harus mengurangi makanan manis, Lan. Nyai sudah pernah berpesan padamu dulu,” kata Nyai Amirah seraya menoleh pada Jailani, warga yang tadi memanggilnya.
“Inggih, Nyai. Ibu memang suka sekali minuman dan makanan yang manis. Jika dicegah, beliau marah. Selalu mengungkit jasanya kepada kami sewaktu kami kecil.” Jailani tampak bersedih.
“Yang sabar, ya, Lan. Orang tua kalau sudah uzur itu kadang seperti balita lagi. Namun, sebagai anak tetap harus menghormati dan mengurusnya dengan baik.”
“Iya, Nyai.”
“Maaf, Ibu, saya punya resep tradisional untuk mengeringkan luka basah akibat kencing manis.” Ambar menyela.
“Oh, iya? Bagaimana resepnya?”
“Gampang, Bu. Hanya pucuk daun jambu biji yang ditumbuk halus, kemudian diborehkan ke luka. Insya Allah lukanya cepat mengering. Tentu saja dengan dibantu ramuan yang diminum dari Ibu.”
“Ambar, itu sangat bermanfaat.” Nyai Amirah tersenyum pada Ambar kemudian menoleh ke arah Jailani. “Dengar, kan, tadi apa yang dikatakan Nak Ambar?”
Jailani mengangguk. “Terima kasih ramuannya, Mbak Ambar. Semoga ini akan menjadi amal bagi Mbak kelak.”
“Aamiin.” Ambar tersenyum cerah. Bagi Ambar, tak ada yang lebih menggembirakan hari ini selain ingatannya akan sosok ibu yang telah kembali. Sekali lagi dia menghadirkan wajah ibunya dalam ingatan. Dia sungguh rindu wanita terkasih itu.
Selesai memberikan beberapa bungkus ramuan herbal, Nyai Amirah dan Ambar pun berpamitan pada pemilik rumah.
“Tunggu sebentar, Nyai.” Jailani bergegas masuk ke ruang belakang rumah. Meraih bungkusan berisi ubi yang baru saja dicabutnya dari ladang. Tak berapa lama lelaki itu telah berada didepan tamunya. “Tolong dibawa, Nyai.”
“Terima kasih.” Nyai menerima uluran bungkusan dari Jailani yang segera diminta Ambar untuk dibawanya.
Dua wanita beda generasi itu pun melangkah pulang.
***
Hari ini Ikram akan pergi ke sebuah pesantren di kota kecamatan lain, tempat Abah Ikram mondok dulu. Pagi sekali pemuda itu telah mandi dan berpakaian rapih. Ambar bertemu dengannya di meja makan. Ketika pandangan beradu, mereka cepat menunduk, berusaha menguasai gejolak hati yang tak menentu. Bagi Ambar, kisah cintanya saat ini tidaklah terlalu penting. Dia harus secepatnya pulang. Setidaknya kini wanita itu ingat, bahwa dia masih mempunyai ibu. Pasti wanita yang melahirkannya itu sangat sedih karena anaknya berbulan-bulan hilang tanpa kabar.
Ikram hanya makan sedikit. Urap dan telur bumbu bali kesukaannya pun tak membuat selera makannya meningkat pagi ini. Ada sesuatu yang menganggu dalam hatinya dan tak ingin dibagi pada orang lain. Hatinya semakin gundah saat mengingat kekurangajarannya pada Ambar. Wanita itu memang telah memaafkan, tapi hubungan dengannya kini terasa kaku. Tak ada lagi canda dan tawa seperti sebelumnya.
Nisa melihat keanehan kedua muda mudi itu semenjak pulang dari pesantren. ‘Apakah ada suatu yang terjadi saat mereka di sana? Cinta terkadang aneh. Apalagi jika cinta datang di tempat dan waktu yang salah.’
“Ibu, aku berangkat.” Ikram segera mendatangi sang ibu kemudian mencium tangannya. Pemuda itu mengambil ransel, mengenakannya di punggung, kemudian melangkah keluar tanpa berpamitan pada Ambar.
Ambar menatap bayangannya hingga menghilang di balik pagar tanaman hidup. Ada sedih yang menggores dalam hatinya melihat sikap pemuda itu. Apakah Ikram marah padanya? Apakah pemuda itu kini menjauhinya? Bukankah dia menginginkan hal itu? Tapi mengapa kini hatinya merasa terluka?
Ambar menghela napas dalam-dalam, berusaha membuat hatinya tegar.
***
Setelah berjalan kaki sekitar seperempat jam, sampailah Ikram di jalanan pinggir kampung. Jalan tanah yang membentang hingga desa sebelah. Dia menunggu dokar yang akan membawanya ke kota kecamatan yang dituju. Nasibnya kali ini beruntung. Tak berapa lama dokar yang ditunggu datang. Ikram pun segera menghentikan dan menaikinya. Di sana sudah ada tiga penumpang yang membawa beraneka sayur dan buah untuk dijual ke kota. Dokar itu kini telah penuh sesak. Sepertinya tak lagi bisa mengangkut penumpang.
Sesampainya di kota, Ikram mencari sebuah angkutan kota dengan rute yang telah ditunjukkan sang abah. Pemuda itu harus menunggu hampir setengah jam hingga angkutan kota itu mulai berjalan. Ternyata, Pesantren Al-Ikhlas pimpinaan Kyai Nawawi tak begitu jauh dari terminal. Dua puluh menit perjalanan, pemuda itu telah sampai di depan pintu gerbang pesantren yang tampak indah dan megah.
Berdebar, Ikram memasuki gerbang pesantren. Seorang penjaga menyapa dan menanyai maksud kedatangannya.
“Saya ingin bertemu, Kyai Nawawi, Pak.”
“Oh, langsung saja ke gedung sebelah masjid,” kata sang penjaga.
Ikram berjalan ke arah yang ditunjukkan penjaga pesantren. Dari pintu yang terbuka, dia melihat sang kyai sedang berbincang dengan seseorang.
“Assalamu’alaikum, Kyai.”
Kyai Nawawi mendongak. “Wa’alaikumussalam, Ikram. Ayo Masuk.” Sang Kyai tersenyum.
Ikram melangkah mendekat kemudian mencium tangan pimpinan pesantren itu, juga seorang lelaki yang tadi berbincang dengannya.
“Nah, duduklah, Ikram. Ini Ustadz Fadhli, teman abahmu.”
“Ini anak siapa, Kyai?” tanya Ustadz Fdhli.
“Anaknya Ustadz Ilyas.”
“Oh, sudah besar kamu, Nak. Dulu kamu masih kecil waktu abahmu memutuskan untuk mengabdikan dirinya di kampung Lembah.”
Ikram tersenyum. “Senang bisa bertemu dengan Ustadz Fadhli.”
Ustadz Fadhli tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya kepada Kyai Nawawi. “Baiklah, Kyai, saya pamit dulu mengajar.”
Kyai Nawawi mengangguk.
Setelah Ustadz Fadhli pergi, Ikram memberikan surat dari Abah untuk sang kyai. Lelaki yang telah cukup lanjut usia itu membaca kemudian memandang Ikram. “Abahmu ingin kamu dan adikmu belajar di sini.”
“Iya, Kyai.”
“Bersiaplah, Tahun ajaran baru dimulai dua bulan lagi,” kata Kyai Nawawi. “Apakah kamu mau melihat-lihat keadaan pondok?”
“Mau, Kyai.”
Kyai Nawawi memanggil salah seorang staf dan memintanya mengantarkan Ikram melihat-lihat suasana pesantren.
Ikram begitu mengagumi semua bangunan pesantren. Ruang-ruangnya yang bersih dan bagus, juga satri-santrinya yang terlihat sopan dan alim. Tidak seperti santri-santri di pesantren abahnya, yang masih menggunakan pakain ala kadarnya. Sikap merekapun masih banyak yang seperti ‘begajulan’. Mungkin butuh bertahun-tahun bagi Abah untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah melekat pada diri mereka dari kecil.
Selesai sholat Dzuhur, Ikram segera berpamitan. Dia ingin berbelanja beberapa keperluan titipan Ibu. Pemuda itu pun segera menaiki angkot jurusan pasar. Tak berapa lama sampilah dia di tempat yang dituju. Pasar cukup ramai. Mungkin ini hari pasaran. Bergegas Ikram berbelanja beberapa barang. Kemudian kakinya melangkah ke arah kios-kios yang menjajakan baju-baju. Matanya menyapu sekeliling. Tak ada sesuatu yang menarik hatinya, sampai matanya tertumbuk pada deretan toko perabot. Ikram melangkah ke sana, sekedar meihat-lihat, sampai dirinya berada tepat di depan toko perabot bekas.
Ikram melihat di sudut depan ada pernik-pernik hiasan. Mungkin Nisa atau Ambar menyukai salah satu hiasan itu. Ah, mengingat Ambar hatinya jadi sedikit gundah.
“Ada yang bisa saya bantu?” Sebuah suara bariton mengejutkan Ikram. Seorang lelaki setengah baya berdiri di depannya.
“Mau lihat-lihat dulu, Pak.”
“Oh, silakan.” Kata pemilik toko. “Anak ini dari mana?”
“Kampung Lembah, Pak.”
“Kampung Lembah?” Pemilik toko tampak sedikit kaget. Dahinya berkerut seperti mengingat sesuatu. “Mas kenal Nyi Sundari?”
“Kenal, Pak. Bapak teman Nyi Sundarikah?”
“Iya.”
“Nama Bapak siapa?”
“Kenalkan, saya Barata.” Pemilik toko itu mengulurkan tangan.
Ikram menjabatnya. “Saya Ikram, putra Ustadz Ilyas.”
Barata tersentak. Ada aliran aneh menjalar di tangannya ketika menjabat tangan pemuda di depannya. Barata segera menyadari sesuatu, inilah pemuda yang bisa mengubah masa depannya bersama Nimas.
Barata tersenyum. “Apakah kamu ingin aku ramal?”
“Tidak, Pak.” Ikram menjawab sopan.
“O, ya, hiasan kebaya ini berapa harganya?”
“Gratis buatmu. Suatu kehormatan bagi bapak didatangi putra seorang ustadz,” kata Barata. “Apakah ini untuk adikmu?”
“Iya, ini untuk adik saya ... dan seorang teman.”
“Oh. Ambilah sesukamu.”
Ikram mengambil dua hiasan kebaya, satu berbentuk mawar, satu lagi bunga sepatu.
“Berapa ini, Pak?”
“Bukankah sudah bapak katakan kalau itu gratis?”
“Ah, bapak baik sekali.”
“Hanya hiasan kecil.” Barata segera membungus dua hiasan kebaya itu dan menyerahkannya kepada Ikram.
Ikram pun segera meninggalkan toko milik Barata setelah mengucapkan banyak terima kasih pada lelaki itu.
Barata memandang kepergian Ikram dengan mata yang menyala. Harapan yang telah padam sekian lama kini berkobar kembali. “Nimas, kamu akan hidup kembali, Sayang. Aku berjanji, tak akan ada kesalahan kali ini.”
Masalahnya hanya, siapa yang akan menjadi mempelai wanitanya?
Bersambung
69banditos dan 8 lainnya memberi reputasi
9