- Beranda
- Stories from the Heart
Dendam Arwah dari Masa Lalu
...
TS
cattleyaonly
Dendam Arwah dari Masa Lalu
Cerbung ini telah tamat ya. Terima kasih untuk semua pembaca setia cerbung ini

Konten Sensitif
Prolog
Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?
Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.
Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.
Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.
Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?
Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.
“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.
“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”
“Serius, Mbak?”
“Lha memangnya kenapa tho?”
“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.
“Wah, gitu ya?”
“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”
“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”
“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.
“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”
“Kenapa bisa begitu, Mas?”
“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”
Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.
“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.
“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”
“Ambar, Mas.”
“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”
“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”
“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.
“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.
“Iya, Mbak, saya Ambar.”
“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”
Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.
Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.
Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.
Bersambung di sini
Written by @cattleyaonly
Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?
Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.
Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.
Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.
Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?
Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.
“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.
“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”
“Serius, Mbak?”
“Lha memangnya kenapa tho?”
“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.
“Wah, gitu ya?”
“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”
“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”
“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.
“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”
“Kenapa bisa begitu, Mas?”
“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”
Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.
“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.
“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”
“Ambar, Mas.”
“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”
“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”
“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.
“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.
“Iya, Mbak, saya Ambar.”
“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”
Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.
Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.
Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.
Bersambung di sini
Written by @cattleyaonly

Diubah oleh cattleyaonly 30-07-2020 20:52
69banditos dan 31 lainnya memberi reputasi
32
15.2K
159
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
cattleyaonly
#28
DENDAM ARWAH DARI MASA LALU (PART 8)
Ambar dan Nyai Amirah mengikuti Hasan, warga yang istrinya hendak melahirkan. Dengan penerangan lampu senter, mereka menyusuri jalan yang gelap. Terdengar gemerisik dedaunan tertiup angin. Harum kenanga tercium sepanjang perjalanan. Mereka berjalan dalam diam. Ambar menggenggam erat tangan Nyai Amirah seolah takut terpisah. Dia merasa sesuatu mengikutinya. Keringat dingin mulai bercucuran.

Setelah berjalan kira-kira sepuluh menit, mereka sampai ke rumah Hasan. Rumah dengan dinding anyaman bambu berlantai tanah. Tak terlihat satu pun perabot berharga. Ambar segera memeriksa Asih, istri Hasan, yang menjerit-jerit kesakitan.
“Sabar, Nduk. Bacalah Al-Fatihah, berdoa supaya diberi kelancaran,” ucap Nyai Amirah sembari mengelus kepala Asih.
“Ini anak ke berapa, Pak?” tanya Ambar kepada Hasan.
“Anak kedua, Mbak, tapi anak pertama saya meninggal.”
“Kenapa meninggalnya? Umur berapa?”
“Meninggal saat dilahirkan, Mbak,” jawab Hasan sedih.
“Oh, maaf, Pak. Bukan maksud saya mengingatkan pada hal yang menyedihkan.”
“Tidak apa-apa, Mbak, kami sudah ikhlas, kok.”
Mereka dikejutkan suara teriakan Asih. Dari pangkal pahanya mengalir air ketuban. Segera Ambar memeriksa kembali wanita itu. Pembukaan lengkap.
“Bapak mau di dalam atau menunggu di luar? Ibu mau melahirkan,” ucap Ambar kepada Pak Hasan. Lelaki itu memilih keluar kamar, karena dia merasa tak tega melihat Asih kesakitan.
Dipandu Ambar, Asih melahirkan bayinya dengan lancar. Bayi itu menangis keras. Namun, ada yang tak biasa dengan bayi itu, bibirnya sumbing. Nyai Amirah segera mengambil bayi itu dari tangan Ambar dan membersihkannya. Sementara Ambar mengurus sang ibu.
Ragu, Nyai Amirah menyerahkan sang bayi kepada bapaknya. “Anakmu ....”
Hasan memandang rupa anaknya, kesedihan jelas terlihat dari raut wajahnya. Dia menerima bayi itu dengan tangan gemetar.
“Semua rezeki pemberian Allah, harus kira syukuri, San. Jangan jadi hamba yang kufur nikmat,” kata Nyai Amirah.
Hasan mengangguk dengan mata berkaca-kaca kemudian mulai mengumandangkan adzan di telinga kanan sang bayi. Sedangkan di dalam kamar Asih, Ambar mengemasi peralatannya. Dia ingin mengatakan kondisi anak Asih yang menderita kecatatan, tapi ragu, merasa saat ini bukan saat yang tepat untuk memenggal kebahagiaan yang baru saja dirasakan ibu muda itu. Mungkin selama kehamilannya, Asih mengalami kekurangan zat-zat gizi atau sakit, sehingga bayi yang dilahirkan mengalami kecacatan.
Ambar dan Nyai Amirah berpamitan. Hasan memberikan semua uang yang dimilikinya kepada Ambar tapi wanita itu menolak.
Malam sudah cukup larut ketika Ambar dan Nyai Amirah keluar dari rumah Hasan. Suara burung hantu membuat bulu kuduk Ambar tiba-tiba meremang. Dia menggenggam lengan Nyai Amirah dengan erat.
***
Ikram cepat-cepat menutup pintu, kemudian bergegas masuk ke ruang tengah. Nisa menempel erat. Detak jantungnya meningkat. Kini dia bisa mendengar detaknya.
“Jangan masuk kamar dulu, aku takut,” kata Nisa.
“Tidak ada apa-apa.” Ikram berusaha menenangkan. Walau hatinya sendiri cemas.
“Tapi bau itu ....” Nisa menelan ludahnya. “Antar aku ke dapur. Aku haus.”
“Ih, menyusahkan saja!” Ikram menggerutu tapi menurut ketika sang adik menarik lengannya.
Ketika Nisa baru saja meneguk minumannya, terdengar suara ketukan di pintu. Dada Nisa berdebar lebih kencang. Bergegas Ikram melangkah ke depan. Nisa mengikutinya.
“Hati-hati, Mas!”
Ikram mengangguk. Perlahan dia membuka pintu. Abah berdiri di depannya. Dua kakak beradik itu bernafas lega.
“Abah, kenapa malam sekali pulangnya?” Nisa segera menyambut sang abah.
“Ada santri yang sakit. Abah mengurusnya sebentar,” kata Ustadz Ilyas seraya masuk rumah. “Ke mana Ibu dan Ambar? Apa mereka sudah tidur?” Ustadz Ilyas duduk di balai-balai ruang tengah kemudian melepas peci dan meletakkan di sampingnya.
Nisa duduk di sebelah abahnya. “Ibu dan Mbak Ambar menolong Mbak Asih melahirkan,” jawabnya.
“Oh. Kalau begitu sebaiknya abah menjemput mereka.” Abah segera berdiri.
“Biar Ikram saja yang jemput, Bah.”
“Tidak usah. Kamu jaga adikmu di rumah.” Ada kecemasan yang mengusik hati sang ustadz. Entah hanya kecemasan biasa ataukah firasat.
Ikram mengangguk, mengantarkan sang abah sampai di pintu depan, kemudian menutup pintu itu rapat-rapat.
***
Ambar dan Nyai Amirah mempercepat langkah mereka. Nyala senter tak cukup membuat hati mereka tenang. Bisa saja sesuatu—seperti ular—menghadang langkah mereka. Sementara aroma bunga kenanga kembali tercium. Semakin lama semakin kuat.
“Nyai, apakah Nyai mencium sesuatu?” bisik Ambar.
“Iya. Tapi tenanglah. Bacalah ayat kursi. Apakah kamu hafal?”
“Hafal, Nyai.”
Ambar dan Nyai Amirah berjalan dengan mulut komat-kamit membaca doa dan ayat-ayat suci yang mereka hafal. Tiba-tiba di sebuah kelokan, Ambar melihat makhluk mengerikan yang berdiri di bawah pohon rindang. Ambar menjerit dan memeluk Nyai Amirah.
“Ada apa?” tanya Nyai Amirah.
“Itu, di bawah pohon, ada hantu.”
Nyai Amirah melihat ke arah yang ditunjukkan Ambar, tapi wanita itu tak melihat apa-apa. Sementara Ambar melihat gadis berkerudung putih yang selama ini menghantuinya, dengan bentuk yang lebih mengerikan. Sebagian wajahnya melepuh.
Ambar bergeser ke sisi lain yang menjauhi sosok itu. Mulutnya masih membisikkan doa. Tiba-tiba tanpa disadari Ambar sosok berwajah mengerikan itu telah berada di sisi Ambar. Wanita itu berteriak histeris.
“Ada Apa?” teriak seseorang dari arah kegelapan, yang ternyata Ustadz Ilyas. Bersama datangnya sang ustadz, sosok menakutkan itu menghìlang.
Nafas Ambar memburu. Tangan dan kakinya gemetar. Nyai Amirah memeluk pundaknya dengan wajah prihatin.
“Ada hantu, Bah,” jawab Ambar setelah bisa menguasai ketakutannya.
Ustadz Ilyas memandang sekeliling. Lelaki tua itu tak melihat apa-apa selain mereka bertiga dan kegelapan. “Ayo, kita cepat pulang. Nanti cerita di rumah.”
Mereka berjalan dengan tergesa. Dua pasang mata melihat dari kegelapan malam, dengan ekspresi yang berbeda.
***
Membuka jendela kamar pagi ini, Ambar disuguhi pemandangan mawar putih dan merah yang tengah mekar di halaman samping. Wanita itu menatapnya cukup lama. Dia sangat menyukai bunga itu. Lalu apa lagi yang dia sukai di masa lalu? Ambar berusaha mengingat. Namun, ingatannya seolah tak ingin kembali. Apakah dirinya tak lagi berhak memiliki masa lalu? Ada sebersit kesedihan menggores hatinya. Mungkin saat ini, orang-orang yang dia cintai sedang bingung mencari keberadaannya.
Wanita itu melangkah keluar, mendekati mawar-mawar yang tengah mekar itu, kemudian berjongkok di depannya, mencium harum sang bunga. Berharap harum bunga itu mampu membuka pintu masa lalunya. Matanya terpejam. Angin pagi yang sejuk membelai wajahnya. Namun tak cukup untuk mengusir kegundahan hatinya.
Ambar tidak sadar, Ikram tengah memperhatikan gerak-geriknya dengan wajah yang semringah. Pemuda itu mengaguminya.
Ikram bersandar di batang pohon mangga. Menikmati detik demi detik yang dilaluinya. Seolah takut semua itu tak bisa lagi dinikmatinya suatu hari nanti. Sebuah sentuhan di tangan mengejutkannya.
“Hayo, lagi ngintip ya?”
“Hush! Nanti dia dengar.”
“Sudah aku bilang, Mas Ikram itu butuh mak comblang.”
“Apaan, sih?” Ikram melangkah ke dapur diikuti adiknya dari belakang.
Di dapur ada Nyai Amirah yang sedang menyeduh daun-daunan, obat untuk Ambar. Nyai Amirah mendongak melihat kedua anaknya masuk dengan tertawa-tawa. Wanita setengah baya itu tersenyum. “Kalian cepatlah sarapan, ajak Ambar. Ikram, bukankah kamu sudah harus berangkat membantu Abah di Pondok?”
“Iya, Bu, Ini baru mau sarapan,” ujar Ikram.
“Nisa mau panggil calon menantu Ibu dulu,” kata Nisa disambung derai tawanya.
Ikram melotot. Adiknya membalas dengan menjulurkan lidah kemudian berlari ke halaman samping. Nyai Amirah tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Dia yakin Ambar bisa menjadi menantu yang baik. Namun, dia harus lebih dulu tahu jati dirinya.
Nisa mendapati Ambar sedang termenung dengan sorot mata menerawang. “Mbak!” sapanya.
Ambar menoleh kemudian tersenyum.
“Yuk kita sarapan?” Nisa menarik tangan Ambar sehingga wanita itu terpaksa mengikuti. “Tak baik pagi-pagi melamun,” kata Nisa.
“Iya, Bu Ustadzah,” ledek Ambar.
“Ih, belum jadi ustadzah.”
“Sebentar lagi, kan?” Ambar ingat Ustadz Ilyas dan Nyai Amirah pernah mengobrol, Ikram dan Nisa akan melanjutkan pendidikan di pesantren yang cukup jauh.
“Kami harus mondok dulu, kan, sebelum jadi guru?” Nisa melirik Ambar. “Kira-kira nanti ada yang kangen pada kami apa tidak, ya?”
Ambar tertawa. “Aku pasti kangen kalian.”
“Benarkah?”
“Benar! Nggak percayaan, sih!” Ambar mencubit lengan Nisa, pelan. Gadis itu menggeliat.
“Lebih kangen sama siapa, aku apa Mas Ikram?”
“Sama kamu sedikit. Sama Ikram banyak,” goda Ambar. Dia tertawa melihat Nisa merengut.
Mereka hampir sampai di meja makan. Terlihat Ikram sudah duduk di sana.
“Mas, kata Mbak Ambar-“
Cepat Ambar membungkam Nisa dengan tangannya “Hus! Jangan bicara yang tidak-tidak!” bisiknya.
Ikram tersenyum melihat tinggah mereka. Sepertinya dia mengerti topik apa yang mereka pembicaraan.
Nisa berhasil melepaskan bekapan tangan Ambar. Dia tertawa. Melirik Ikram dan Ambar bergantian dengan tersenyum simpul. Memang aneh dua orang ini. Malu-malu kucing.
Nisa menyendokkan nasi untuk kakaknya dan Ambar.
“Setelah makan aku akan pergi ke pondok. Apakah kalian mau ikut?”
“Aku mau bantu Ibu beres-beres rumah. Mbak Ambar, tuh, yang mau ikut.” Cepat Nisa menjawab.
Ambar tak membantah. Memang sebenarnya dia ingin tinggal di pondok beberapa hari untuk menyelidiki siapa gadis berkerudung putih yang selalu menerornya itu. Apakah gadis itu ada hubungan dengan kehidupannya yang dulu?
“Iya, aku ingin menginap di pondok beberapa hari. Ingin merasakan bagaimana kehidupan seorang santri.”
“Boleh. Jangan lupa bawa saja baju beberapa untuk menginap di sana.” Ikram menjawab sambil menyendokkan lauk ke piringnya dan piring Ambar. Nisa menyorongkan piringnya untuk diberi kakaknya lauk, tapi Ikram pura-pura tak menghiraukan.
“Hmmm ... sedihnya ....” Nisa memasang muka memelas.
Ambar dan Ikram tertawa. Ada kebahagiaan yang menghangat dalam dada Ambar ketika berada di tengah keluarga ini. Namun, di sisi lain ada kenyataan yang membuatnya sedih. ‘Ah, mengapa tak ada kebahagiaan yang mekar sempurna?’
Selesai sarapan, Ambar segera membawa perlengkpan untuk menginap beberapa hari di pondok. Nyai Amirah telah membernya izin.
“Sudah siap?” tanya Ikram melongok dari pintu kamar Ambar yang dibiarkan terbuka.
“Sudah.” Ambar keluar kamar.
Mereka berpamitan pada Nyai Amirah dan Nisa. Abah telah pergi ke pondok setelah sholat Shubuh.
Nisa berdiri di beranda. Melihat dua orang itu berjalan menjauh hingga menghilang di ujung jalan. Gadis itu tersenyum dan menoleh ke arah ibunya yang ternyata melakukan hal yang sama. “Serasi, kan, Bu?”
“Hu um.”
“Bu, kenapa Mbak Ambar belum juga kembali ingatannya?” Nisa mengikuti ibunya melangkah ke ruang tengah. Waniat setengah baya itu kembali berkutat dengan ramuan herbal kering.
“Entahlah. Mungkin sebelum tersesat di sini, dia telah mengalami hal-hal yang mengguncang jiwanya.”
Nisa manggut-manggut.
***
Dalam perjalanan, Ikram dan Ambar tak banyak bicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Jalanan terlihat berdebu, telah beberapa hari panas terik tanpa hujan setetes pun. Ambar mengusap peluhnya yang mulai menetes.
“Capek? Bagaimana kalau istirahat saja?” tanya Ikram.
“Iya. Entah kenapa rasanya aku agak lelah.”
Ikram melihat ke sekiling, mencari tempat yang enak untuk beristirahat.
“Kita duduk di sana, yuk?” ajaknya ketika melihat akar-akar besar pohon randu.
Ambar mengikuti Ikram. Memilih akar randu besar yang cukup nyaman untuk diduduki. Kini dia dan Ikram berhadapan. Ada gemuruh dalam dadanya yang sulit untuk ditahan. Diliriknya pemuda itu. Wajahnya memancarkan kewibawaan dan kesabaran. “Ikram, apakah kamu asli orang kampung Lembah ini?”
“Tidak, kami berasal dari desa yang cukup jauh.”
“Mengapa mau tinggal di sini?”
“Kenapa? Apa kampung Lembah ini tempat yang buruk buatmu?” Ikram memandang wajah Ambar lurus-lurus. “Lihatlah alamnya, sangat indah. Sungai-sungai jernih. Hutan yang mengelilinginya sangat rimbun. Tanahnya begitu subur.”
“Tapi, kampung ini sangat terpencil. Sekolah pun yang ada hanya sekolah dasar.”
“Awalnya aku dan Nisa juga merasa sangat sedih Abah mengajak kami hidup di kampung ini. Namun, Abah mempunyai misi untuk memajukan kampung ini melalui pendidikan agama. Kamu lihat sendiri, bukan, bagaimana kebanyakan penduduk kampung ini hidup? Mereka tak jauh-jauh dari klenik. Kata Abah, di sinilah kami lebih dibutuhkan.”
“Salut dengan perjuangan kalian.” Ambar tersenyum. Senyum yang membuat Ikram terpana untuk beberapa saat.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan,” ajak Ambar. Wanita itu hendak berdiri, tapi kehilangan keseimbangan hingga hampir terjatuh, andai saja Ikram tidak cepat menangkap tubuhnya. Mereka saling berpandangan. Wajah mereka cukup dekat. Nafas mereka memburu.
Cepat Ikram melepaskan pegangannya setelah Ambar berdiri tegak.
“Sampai di pondok, istirahatlah. Mungkin kamu capek sehabis menolong persalinan tadi malam.”
“Iya.”
Mereka berjalan berdampingan, tanpa banyak kata. Hanya debaran dalam dada yang kian meraja. Akankah semua mimpi indah menjadi nyata? Ataukah akan menjadi kenangan tanpa makna?
Ambar mendesah. Tempat tujuannya sudah di depan mata.
“Ikram, kamarku di mana ya?”
“Nanti aku tanya Ustadzah Lutfi, di mana ada tempat kosong. Sekarang lebih baik ke masjid dulu. Akan ada kajian sebentar lagi.”
Ambar mengangguk, mempercepat langkahnya. Dia berjalan ke shaf belakang, sedangkan Ikram menuju shaf depan. Hari ini ada kajian dari Kyai Nawawi, guru Ustadz Ilyas dari sebuah pesantren ternama.
Selesai kajian, Kyai Nawawi berpamitan pada Ustadz Ilyas dan semua penghuni pesantren yang lain. Sekilas sang Kyai besar itu melihat Ambar di barisan belakang. Keningnya berkerut. Kemudian dia membisikkan sesuatu kepada Ustadz Ilyas. Ustadz Ilyas mengangguk.
Setelah Kyai Nawawi pergi, Ambar menemui Ustadzah Lutfi dan mengatakan niatnya untuk menginap beberapa hari di pondok. Ustadzah menempatkannya sekamar dengan Witri dan dua orang santi putri yang lain.
Hal itu disambut dengan gembira oleh Witri. ‘Akhirnya, waktu berpihak padanya,’ gumam gadis itu dalam hati.
Bersambung
69banditos dan 9 lainnya memberi reputasi
10