Kaskus

Story

cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Dendam Arwah dari Masa Lalu
Cerbung ini telah tamat ya. Terima kasih untuk semua pembaca setia cerbung ini

Konten Sensitif
Dendam Arwah dari Masa Lalu


Prolog

Nimas menatap Barata dengan perasaan sedih. Kekasihnya itu benar-benar melupakan apa yang telah dia korbankan dulu. Bahkan, dia meninggalkan keluarga yang memanjakan dan mencintainya untuk mengikuti lelaki itu. Semua ini karena gadis bernama Salindri itu. Dia tahu, dirinya tak lagi seperti yang dulu, tetapi apakah cinta bisa lenyap karena perubahan fisik semata?

Ya, kini dia tahu, lelaki hanya memuja kecantikan semata. Sementara dia menyerahkan segalanya, bahkan nyawanya.

Matanya memerah, memancarkan kemarahan. Tubuhnya yang hampir saja kembali sempurna, kini luruh dan mencair. Melesap dalam tanah bersama gerimis malam itu.

Sungguh, ini bukan sakit yang bisa ditahan oleh wanita itu. Kini dia akan benar-benar mati, tetapi tidak dengan jiwanya. Dia bersumpah, akan hadir untuk jiwa-jiwa yang terbakar dendam.

Tawa Nimas melengking, membuat bulu kuduk semua orang yang ada di tempat itu merinding.

Dendam Arwah dari Masa Lalu

Ambar turun dari angkot dan menyewa ojek untuk sampai ke Desa Wonosukmo. Desa itu sangat jauh dan jalannya tidak bisa dilalui mobil. Entah kenapa, dia memilih desa itu sebgai tempat untuk mengabdikan ilmunya pada masyaarakat. Seperti apakah masyarakat di sana? Apakah mereka terbuka menerima pendatang?

Berbagai pikiran sempat terlintas dalam benaknya, tetapi ada yang lebih menguasai benak itu, yaitu rasa patah hatinya karena putus cinta. Dia berharap, tempat itu bisa menghapus kenangan sedihnya.

“Mbak, Mbak’e ini tinggal di Wonosukmo?” tanya tukang ojek sambil sedikit menoleh ke samping supaya Ambar mendengar pertaanyaannya.

“Nggak, Mas. Saya baru mau tinggal di sana.”

“Serius, Mbak?”

“Lha memangnya kenapa tho?”

“Gadis secantik dan semodern Mbak ini apa betah tinggal di desa terpencil seperti itu. Bahkan di sana sinyal internet saja susah.

“Wah, gitu ya?”

“Iya, Mbak.” Tukang Ojek memelankan laju kendaraannya melewati jalan berbatu. “Mbak’e ini kenapa mau tinggal di sana?”

“Saya bidan baru Mas, baru lulus. Harus mengabdi dulu selama tiga tahun.”

“Wah, semoga betah ya Mbak. Denger-denger sih, nggak ada bidan yang betah tinggal di sana. Paling lama tahan seminggu saja,” kata tukang ojek.

“Lha kenapa tho, Mas?” Kening Ambar berkerut, hatinya sangat penasaran.

“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas alasannya. Mereka pergi begitu saja,’ jawab si tukang ojek. “Mudah-mudahan Mbak’e kerasan di sana. Dokter nggak ada, puskesmas pembantu hanya dijaga perawat dan mantri, Mbak. Puskesmas itu sepi, jarang ada pasiennya.”

“Kenapa bisa begitu, Mas?”

“Maklum, Mbak, masyarakat sini masih percaya klenik.”

Deg! Ada yang berdentam dalam dada Ambar. Semacam ketakutan yang diam-diam muncul tanpa permisi. Gadis itu memandang sekeliling, hanya kebun tebu di sisi kiri, sementara di sisi kanan berupa semak belukar dan semacam hutan kecil. Pohon-pohonnya tinggi dan beragam jenis. Tiba-tiba Ambar merasa ada yang mengawasinya. Pandangannya memindai sekeliling. Hanya ada hijau tanaman. Namun entah mengapa firasatnya mengatakan hal buruk sedang mengintainya. Bulu kuduknya meremang. Dia memandang sang tukang ojek. Hatinya tenang ketika memandang spion, wajah itu masih wajah yang tadi dilihatnya.

“Berhenti di Puskesmas Pembantu, ya, Mas,” pinta Ambar ketika melihat tempat yang dituju sudah terlihat dari jauh.

“Baik, Mbak. O, iya, nama Mbak siapa?”

“Ambar, Mas.”

“Bidan Ambar. Ya, ya, harusnya saya memanggil dengan panggilan bisan Ambar,” kata tukang ojek. “Nama saya, Rahmat, Bu Bidan.”

“Oh, iya Mas Rahmat, terima kasih banyak informasinya.”

“Sama-sama, Bu,” kata Rahmat seraya menghentikan motornya di depan sebuah puskesmas pembantu. Ambar turun dan Rahmat membawakan tas besar Ambar hingga sampai di pintu puskesmas. Ambar memberikan ongkos kepada Rahmat dan pria itu mengucapkan berkali-kali terima kasih karena Ambar memberinya tip.

“Bu Bidan Ambar?” sambut perempuan yang papan namanya tertulis Yustini.

“Iya, Mbak, saya Ambar.”

“Selamat datang di Puskesmas Pembantu Wonosukmo,” kata Yustini, sang perawat. “O, ya, mau langsung saya antar ke rumah dinas?”

Ambar mengangguk. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Yustini menuju sebuah bangunan kecil di belakang puskesmas pembantu. Sebuah rumah berukuran 6x4 meter, terlalu kecil untuk diseebut rumah. Konon itu sumbangan seseorang dermawaan untuk bidan di sana agar tak perlu mencari tempat kos.

Ambar memasuki rumah mungil yang dibuka Yustini. Tercium aroma bunga kenangan yang menyebar. Mungkin Yustini telah menyemprot pengharum ruangan, pikir Ambar. Sepertinya perawat iru sangat ramah dan menyenangkan. Semoga dia akan kerasan di sana.

Rumah itu hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur, yang kesemuanya serba mini. Namun, ruangannya sangat bersih. Di halamannya pun telah ditumbungi beberapa tanaman bunga. Tak jauh dari rumah dinas situ ada rumah Yustini, yang hanya terlihat bilaa Ambar berdiri di sisi selatan rumah itu. Setidaknya, dia tak jauh dari tetangga. Hatinya tenang. Meskipun lain dengan yang dirasa Yustini. Dia tak menyemprot ruangan itu dengan apapun. Dari mana harum kenanga itu bisa menyeruk indera penciumannya? Bulu kuduk Yustini mernding. Dia berharap, semoga Ambar tak kenapa-napa.

Bersambung di sini

Written by @cattleyaonly



Dendam Arwah dari Masa Lalu
Diubah oleh cattleyaonly 30-07-2020 20:52
Lailahr88Avatar border
pepenionAvatar border
69banditosAvatar border
69banditos dan 31 lainnya memberi reputasi
32
15.2K
159
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
#21
DENDAM ARWAH DARI MASA LALU (PART 5)
kaskus-image

“Nimas! Nimas!” Barata mengguncang-guncangkan tubuh istrinya, namun tubuh itu tak bereaksi. Keris yang menghunjam tepat di jantung wanita itu merenggut nyawanya dalam sekejap.

“Nimas, kenapa kautinggalkan aku, Sayang? Tak ingatkah janjimu untuk menemaniku seumur hidupku? Kenapa kaulupakan janji itu? Nimaaas ....”

Masih tersedu Barata mengangkat tubuh tak bernyawa itu kemudian membaringkannya di ranjang. Darah segar masih mengalir dari lukanya yang terbuka. Lelaki itu membebat luka Nimas dengan sobekan sarungnya, kemudian memakaikan gaun merah muda. Bibirnya bergetar, mengecup kening sang istri dengan penuh duka. Matanya terpejam. Mengingat sentuhan Nimas tadi malam. Tubuh yang hangat, gairah yang menyala, mematikan dinginnya malam itu. Kini, tubuh yang hangat itu perlahan dingin, bibirnya pucat, mata mengatup rapat. Tak ada lagi binar ceria yang akan dibagikan kepada lelaki itu.

Barata terdiam. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Mimpi bahagia itu harus dipenggal sebelum diwujudkan.

“Nak.” Suara itu mengagetkan Barata. Lelaki malang itu mendongak. Ki Respati telah berada di sisinya. Lelaki malang itu menatap sendu.

“Kenapa istrimu?”

“Seseorang telah membunuhnya, Ki."

Ki Respati terkejut, atau lebih tepatnya pura-pura terkejut. Karena dalam penerawangannya, lelaki bungkuk itu telah melihat kejadian itu. Ki Respati berjalan tertatih mendekati Nimas. Dirabanya pembuluh nadi pergelangan tangan wanita itu. Tak ada denyut kehidupan di sana. “Ikhlaskan istrimu, Nak.”

Barata menangis meraung-raung di samping pembaringan. Raungan kesedihan yang sama ketika Ki Respati harus menyaksikan sang istri dan anaknya terbujur kaku di ranjang itu, bertahun-tahun yang lalu.

Lelaki tua itu mendekati Barata, mengusap pundaknya. ‘Inilah saat yang tepat untuk mengambilnya sebagai pewaris ilmu,’ batin Ki Respati.

“Nak, kamu sungguh cinta istrimu?” tanya Ki Respati.

Barata mengangkat wajahnya. Mangusap air mata yang membuat kabur pandangannya. “Tentu saja, Ki. Kenapa Ki Respati masih menanyakan hal itu?”

Ki Respati tersenyum. “Bagaimana jika aku kasih tahu caranya untuk mengembalikan istrimu?”

“Maksud Ki Respati?” Barata memandang lelaki di dekatnya dengan wajah tak mengerti.

“Aku tahu caranya menghidupkan istrimu!”

Barata tersentak. Memandang lelaki tua itu dengan wajah tak mengerti. “Bisakah orang yang telah mati dihidupkan, Ki?”

“Bisa, jika kamu mengikuti caranya dengan benar.”

“Beri tahu aku caranya, Ki.”

“Malam ini, ikutlah aki ke hutan. Bawa jasad istrimu ke sana. Nanti aki kasih tahu caranya.”

Barata mengangguk. Matanya menatap ke depan. Ada sebuah harapan dibentangkan lelaki tua itu padanya. Dia meyakini harapan itu. Karena hanya harapan itu yang tersisa untuknya.

***

Sebulan setelah memperdalami ilmu kesaktian dari Ki Respati, Barata turun gunung untuk pertama kali. Dia menyusuri malam yang gelap menuju rumah emaknya. Butuh waktu sehari semalam untuk sampai kampung kelahirannya.

Dengan mengendap-endap lelaki itu mendekati rumahnya yang terlihat gelap. Apakah Emak sedang tak berada di rumah? Sebab tak biasanya Emak mematikan seluruh lampu rumah meskipun saat tidur. Pelan dibukanya pintu yang ternyata tidak terkunci. Begitu masuk ruangan, dia disergap bau yang sangat busuk. Perlahan di menyalakan korek api. Lelaki itu mendapati pemandangan yang sangat mengerikan, sebuah tubuh membusuk penuh belatung dan memakai baju yang biasa dipakai emaknya.

Kemarahan memuncak dalam diri Barata. Dia tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kematian emaknya, pasti ayah Nimas. Pria bernama Jumadi itu harus menerima pembalasan darinya, juga warga kampung ini yang dengan tega membiarkan jasad emaknya membusuk terikat di tiang. Walaupun Barata yakin, warga desa tak berani mendekati tubuh emaknya pasti karena ancaman Jumadi.

“Maafkan aku, Mak,” ratap Barata sambil melepas ikatan yang membelit di raga yang tak lagi bernyawa itu.

Dengan air mata di pipi lelaki itu menggali tanah di belakang rumah, dan menguburkan wanita yang dulu melahirkannya. Bukan pemakaman yang layak, tapi jauh lebih beradab daripada membiarkannya membusuk di tiang penyangga rumah. Kini Mak Maesaroh telah berisitirahat di dalam tanah.

Barata terduduk di beralas rumput, menengadah, memandang pekatnya langit, merencanakan pembalasan dendam yang sangat mengerikan pada warga di kampung Salam, terutama Pak Jumadi dan Agung.

Beberapa tahun kemudian, Barata berhasil membunuh satu persatu warga Salam dengan caranya. Khusus untuk Pak Jumadi dan Agung, dia memberikan cara kematian yang paling menyakitkan.

***

Ikram menyusuri sungai di lembah kecil tak jauh dari kampungnya. Ibu memerlukan beberapa jenis daun untuk mengobati tetangga yang sedang sakit. Sesekali pandangannya mengarah ke tebing yang membentang di sisi sungai.
Udara pagi terasa sangat sejuk. Cicitan burung di atas pohon melengkapi keindahan sinar mentari yang menerobos di antara pepohonan.

Sudah cukup jauh Ikram berjalan, tapi tak kunjung menemukan daun yang dicari. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat, duduk di batu besar pinggir sungai. Pandangannya memindai sekitar. Tampak olehnya di rerimbunan tanaman perdu, sebuah kain berwarna merah. Sebelumnya tak pernah ada sampah di daerah itu, selain daun-daun dan ranting kering. Penduduk kampung Lembah itu sangat menjaga lingkungannya. Mereka memegang teguh nasehat, alam akan memperlakukanmu seperti kamu memperlakukannya.

Dengan benak penuh tanya, Ikram mendekati kain merah itu. Setelah cukup dekat, baru tampak olehnya sosok wanita dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Ada darah yang mengalir dari kulit dahinya yang koyak. Ikram memeriksa keadaan wanita itu, yang ternyata adalah Ambar. Dia masih bernafas. Segera dibopongnya tubuh wanita yang tak dikenalnya itu ke rumah.

“Ibuuu ... Ibuuu ...,” teriak Ikram ketika sampai di rumahnya. Diletakkannya wanita itu di balai-balai ruang tengah.

Dengan tergopoh-gopoh wanita yang dipanggilnya ibu mendekati. “Siapa ini, Nak?”

“Entahlah, Bu. Aku menemukannya tergeletak di semak-semak, dekat hulu sungai.”

Nyai Amirah, ibu Ikram segera mengambil air hangat dan beberapa ramuan obat. Wanita itu telah lama menjadi tabib untuk orang-orang di kampung Lembah. Dengan sabar perempuan yang sudah cukup tua itu membersihkan luka-luka di sekujur tubuh Ambar. Dia memborehkan ramuan yang baru saja ditumbuknya pada tubuh tak berdaya itu. Kemudian mengoleskan bau-bauan di sekitar hidung.

Lebih dari satu jam Bu Amirah merawat wanita itu, hingga terdengar erangan kesakitan yang lemah dari mulut pasiennya.
“Ibu ... Ibu ....” panggil bibir pucat itu dengan mata masih terpejam.

“Nak, bukalah matamu.”

Mata Ambar masih terpejam. Dalam kondisi antara sadar dan tidak wanita itu merasa sang ibu ada di dekatnya. Kini dia merasakan sekujur tubuhnya sangat sakit. Dengan susah payah Ambar membuka matanya. Tampak samar-samar ruangan yang belum pernah dikenalnya. “Di mana saya?” tanyanya.

“Alhamdulillah, Nak, kamu sudah siuman. Kamu di rumah saya, Nyai Amirah.”

“Nyai Amirah ... apa yang telah terjadi pada diri saya?”
“Sepertinya, Anak jatuh dari atas tebing.”

Ambar menyeringai menahan sakit. Mencoba duduk tapi dilarang oleh Nyai Amirah.
“Berbaring saja, Nak. Siapa namamu?”

“Namaku? Siapa namaku?” Ambar kebingungan. Kini dia bukan hanya tak ingat apa yang telah terjadi, tapi juga tidak ingat namanya. “Aku tidak tahu, Nyai, aku tidak ingat.”

Nyai Amirah mengerutkan kening. Meneliti wajah penuh luka di depannya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah liontin yang berbentuk huruf A. Wanita tua itu mengangkat liontin di dada Ambar, samar di tepinya terdapat goresan nama ‘Ambar’. “Apakah namamu Ambar?” tanya Nyai Amirah. “Di liontinmu tertulis itu.”

Ambar berusaha keras mengingat namanya, namun kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit, membuat wanita itu terpekik. “Entahlah, Nyai, mungkin itu namaku, aku benar-benar lupa.”

“Baiklah, Nak. Nyai panggil engkau dengan nama Ambar.”
Tampak Ikram masuk ke ruang tengah dengan membawa segelas teh manis. Nyai Amirah mengambil segelas teh itu dan membantu Ambar meminumnya. “Habiskan, Nak. Supaya ada tenagamu.”

Ambar meneguk teh hangat hingga cangkirnya kosong.

***

Seminggu dalam perawatan Nyai Amirah, tubuh Ambar kembali sehat. Tinggal luka-luka di kulitnya yang masih belum sembuh benar juga kepalanya yang terkadang berdenyut-denyut. Sepertinya Ambar mendapatkan benturan yang cukup keras di kepala.

“Ambar, aku mau mencari kayu bakar untuk memasak. Kamu jaga rumah, ya,” kata Ikram pagi itu.
“Nyai, Kyai, dan Nisa ke mana?” Ambar memandang pemuda di depannya. Wajah pemuda ini mengingatkannya pada seseorang di masa lalu. Alis yang tebal, kulit putih bersih untuk ukuran orang kampung, dan bibir yang merah. Ambar yakin bibir itu tak pernah tersentuh nikotin.
“Abah ke pondok, Ibu dan Nisa di rumah tetangga sebelah, Mbak Saidah. Dia mau melahirkan,” jawab Ikram seraya memandang wajah cantik di depannya. Siapakah wanita ini? Mungkinkah dia masih sendiri? Ikram tersentak, merasa malu dengan pikirannya.

“Aku ingin menemani Nyai.”

“Kata Ibu, kamu masih harus banyak beristirahat.”

“Ah, aku sudah kuat. Berhari-hari berbaring membuat aku bosan.”

“Ya sudah, kunci saja pintunya. Aku berangkat dulu, ya?”

Ambar mengangguk. Memandang pemuda tampan itu hingga bayangannya menghilang di balik pintu. Wanita itu segera mengunci pintu rumah dan menuju satu-satunya rumah yang berada di dekat rumah Nyai Amirah. Maklum, kampung Lembah ini masih jarang penduduknya. Rumah-rumah letaknya berjauhan.

Ambar mengucapkan salam di depan pintu rumah Mbak Saidah. Terdengar jawaban salam dari dalam, kemudian pintu terbuka. Nisa muncul di hadapannya.
“Mbak Ambar, kenapa ke sini?”

“Aku bosan terus-terusan tidur. Kurasa aku sudah cukup kuat beraktifitas.”

“Ayo kita ke kamar Mbak Saidah.”

Mereka berjalan menuju kamar Mbak Saidah. Di dalamnya ada seorang dukun beranak yang sudah dipanggil keluarga itu untuk menolong persalinan. Dukun itu menoleh ketika Ambar dan Nisa masuk. Matanya bersitatap dengan Ambar. Dalam waktu yang sekejap Ambar bisa merasakan aura hitam yang menaungi dukun beranak yang bernama Nyi Sundari itu. Entah kenapa, Nyi Sundari menjadi gelisah.

Mbak Saidah mengerang kesakitan. Refleks Ambar mendekat. Mencuci tangannya di baskom yang tersedia di samping pasien. Dia melakukan vaginal thoucher pada Mbak Saidah.
“Pembukaan lengkap,” katanya.

Semua mata memandang heran kepadanya. Siapakah sesungguhnya wanita ini?

“Bu, pasien sudah siap melahirkan. Apakah Ibu yang akan memimpin persalinan ini?”

Nyi Sundari tertegun sejenak. Memandang wanita muda di depannya dengan pandangan takjub sekaligus tidak suka.
Dengan sedikit ragu Nyi Sundari memberi aba-aba kepada Mbak Saidah. Tak berapa lama, bayi laki-laki lahir dengan tangis yang cukup keras. Ambar segera mengambil alih bayi yang telah dipisahkan tali pusatnya dengan sang ibu. Membersihkan bayi itu dengan seksama, dan menghisap lendir di hidungnya seperti yang selama ini biasa dia lakukan.
Kini, bayi itu telah rapi dalam bedong yang terbuat dari jarit.
Ambar menyerahkan bayi itu pada sang bapak untuk diadzani. Sementara Nyi Sundari masih belum berhasil membantu Mbak Saidah melahirkan ari-arinya. Ketika Ambar kembali ke kamar Mbak Saidah, wanita itu masih mengerang-erang kesakitan.

“Bolehkah saya membantu, Bu?”

Wanita setengah baya yang masih cantik itu mundur, memberikan ruang untuk Ambar. Batinnya berkecamuk. Dia membutuhkan ari-ari bayi itu untuk ritualnya. Sementara ari-ari itu seolah mengerti Nyi Sundari akan memakainya untuk hal yang buruk, sehingga enggan untuk keluar dari rahim Mbak Saidah.

Ambar menekan puncak rahim Mbak Saidah ke bawah dengan hati-hati, sementara tangan satunya menggerakkan ujung tali pusat yang telah dipotong. Bibirnya mengucapkan doa. Beberapa detik kemudian, Ari-ari bayi itu telah lahir.

Sang bidan segera memasukkan ari-ari di dalam kendil gerabah yang telah di sediakan. Kemudian menyerahkan kendil itu kepada keluarga. Ambar berpesan agar segera menguburkan ari-ari itu serta menjaganya 24 jam agar tak ada yang mencuri. Entah kenapa Ambar melakukan itu. Ada suatu dorongan dalam dirinya yang tidak bisa dimengerti.

Nyi Sundari memandang dengan mata marah. Marah yang tak terkatakan. Ritual yang disyaratkan oleh gurunya, Ki Barata, kelihatannya akan gagal dilaksanakan malam ini. Dia butuh ari-ari itu agar dirinya bisa terus muda dan cantik.

“Kamu hebat, Mbar. Apakah kamu sebenarnya juga dukun bayi?” Nisa memandang penghuni baru rumahnya dengan takjub.

“Entahlah, aku tak ingat,” jawab Ambar.

“Terima kasih, Mbak, atas bantuannya,” Suami Mbak Saidah tersenyum pada sang bidan.

“Sama-sama, Pak. Saya pun senang bisa membantu.”

Nisa dan Ambar segera kembali ke rumah, menyiapkan bahan-bahan makanan untuk dimasak, sambil menunggu Ikram yang sedang mencari kayu bakar.
Ketika Ambar membuka pintu belakang dan hendak mengambil daun pisang untuk membuat pepes, dia bertabrakan dengan Ikram. Pemuda itu hampir terjatuh karena beban berat di punggungnya. Refleks Ambar meraih lengan Ikram. Lengan kekar berotot khas pekerja keras. Sentuhan biasa, tapi membuat dada Ambar tiba-tiba bergemuruh.

“Terima kasih.” Ikram tersenyum pada wanita di depannya. Sementara Ambar terpana oleh sihir senyuman di bibir pemuda itu. Oh, Tuhan, siapa dia ini sesungguhnya? Sepertinya Ambar pernah mengenalnya di masa lalu.

Ikram berdehem, membuat Ambar tersentak dan pipinya besemu merah. “Bolehkan aku lewat?”

“Oh, maaf!” Ambar beringsut dari ambang pintu dan bergegas melangkah ke arah pohon pisang yang daunnya tak lagi rendah. Dengan susah payah dia meloncat untuk bisa meraih ujungnya, tapi gagal.

“Sini aku bantu.” Suara Ikram mengejutkan wanita itu. Pemuda itu telah membawa genter yang ujungnya telah dipasangi pisau.

“Butuh berapa daun?”

“Tiga cukup.”

Ambar memperhatikan cara Ikram mengambil daun dan membelahnya menjadi dua bagian. Pemuda itu pun segera mengulurkan daun yang dipegangnya. “Aku akan ke pondok Bapak. Kamu mau ikut?”
Ambar menjawab dengan anggukan. Senyumnya mengembang.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Ikram dan Ambar berjalan beriringan menuju Pondok Pesantren Darul Haq.

“Jauhkan tempatnya?” Ambar sedikit mendongak untuk bisa memandang wajah pria jangkung di sebelahnya.

“Kira-kira dua kilometer.”

“Oh!”

“Kenapa? Kamu tak kuat berjalan?”

“Bagaimana jika iya?”

“Akan aku gendong.”

“Maaf, kita bukan mahrom.” Ambar tertawa renyah.

“Kalau begitu akan kuambil pelepah pisang, Kamu duduk di atasnya, aku yang menarik.” Kini Ikram yang tertawa. Teringat mainannya bersama teman-teman masa kecil.

Ambar mengerling. Pemuda tampan itu masih tertawa. Deretan giginya yang rapi terlihat dari balik bibirnya yang merah. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya.

Sementara itu di antara rimbunnya perdu, sepasang mata merah karena marah memandang mereka. “Nikmatilah tawa kalian, sebelum tawa itu lenyap,” bisiknya dengan bibir menyeringai.

kaskus-image

Bersambung
Diubah oleh cattleyaonly 19-07-2020 19:07
indrag057
winehsuka
69banditos
69banditos dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.