- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
343.5K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2237
Islah_Part 2
“Sebelumnya, gue mau menekankan satu hal. Di sini tolong liat Emi sebagai Manajer band ini, kapasitasnya bukan sebagai pendamping gue. Anggep aja pasangan gue dan Emi sama-sama berhalangan hadir. Jadi di sini ada 6 member band dan 2 pasangan dari member band.” kata gue, membuka pembicaraan serius ini.
Mereka semua mengangguk tanda setuju. Ketika gue akan melanjutkan omongan gue, Arko meminta izin untuk memulai omongan.
“Sebelumnya gue minta maaf yang sebesar-besarnya sama kalian semua karena mungkin ada kesalahan gue yang cukup fatal selama ini dan gue seolah nggak sadar akan hal tersebut. Gue kenal Ija udah lama banget dan gue tau banget sifatnya seperti apa. Dia nggak akan pernah minta maaf jika dia merasa benar. Dan memang harus gue akui, ada kesalahan gue disini dimana gue selalu membuat keputusan di akhir karena ada miskomunikasi antara gue dan istri gue ketika kita belum membuat keputusan. Gue paham, nggak sekali atau dua kali, keputusan dadakan gue tersebut sangat merugikan band ini. Sekali lagi gue minta maaf. Kita udah sama-sama dewasa dan bahkan gue udah menikah, jadi gue mau ini diakhiri dengan baik. Gue nggak mau merusak silaturahmi gue, Ija, dan Drian yang udah belasan tahun terikat. Gue nggak mau hanya karena band, kita jadi bermusuhan. Apalagi kali ini kita udah punya keluarga yang lebih besar lagi di band, gue nggak mau itu rusak begitu aja. Jadi, kalau masih dibutuhkan, gue pribadi pun masih ingin menjadi bagian dari band ini.” Arko secara mengejutkan melontarkan permintaan maaf duluan tanpa gue sentil dulu.
“Wah, ini baru luar biasa. Memang seharusnya kayak gini dong. Semangat kita di awal pembentukan band ini kan bukan cari popularitas atau sok profesional, tapi mau menjalin kembali silaturahmi yang sempat renggang karena kesibukan masing-masing. Gini kan enak.” Tiba-tiba Vino bersuara dan semua orang kaget dibuatnya. Drian, Adityo, Emi, istrinya Vino dan istrinya istrinya Arko kompak tersenyum senang. Gue masih bersikap biasa saja, tapi dalam hati gue pun sangat senang dengan keadaan seperti ini. Tapi sepertinya ada yang perlu kembali ditegaskan kembali.
“Gue coba bikin garis besar pertemuan ini ya… Semua permasalahan yang ada di sini adalah adanya bentrok antara band dengan keluarga yang sepertinya dirasakan oleh banyak band di luar sana. Nggak cuma kita doang. Tapi band ini adalah keluarga kedua kita, gue nggak mau menjadi hal yang ‘lumrah terjadi di band’ itu begitu saja. Gue nggak mau ketika terjadi bentrok, kita jadi harus memilih antara band dan keluarga. Family comes first itu sudah pasti.” simpul gue.
“Emang udah begitu kan?” tanya Drian.
“Iya, tetapi bedanya di sini kita akan jauh lebih tegas dari sebelumnya. NGGAK ADA LAGI NAMANYA PEMBATALAN KEPUTUSAN ATAS MUSYAWARAH YANG SUDAH DISEPAKATI APAPUN ALASANNYA, TERMASUK DENGAN ALASAN KELUARGA KECUALI KEMATIAN ATAU KESEHATAN YA! Jadi Emi akan memberi waktu lebih lama untuk didiskusikan dengan keluarga atau pasangan masing-masing sebelum dibuat keputusan bersama. Emi akan memastikan semua sudah setuju dengan keputusan dan konsekuensi yang akan terjadi kalau kita sudah bikin keputusannya. Nggak boleh diganggu gugat! Nggak boleh ada yang intervensi keputusan lagi apalagi intervensi ke Emi secara langsung! Kita harus hormati keputusan dia sebagai manajer kita.....” gue menjelaskan dengan lantang dan sedikit menunjuk-nunjuk meja makan didepan gue dengan telunjuk kanan gue.
“……..” Semua diam.
“Intervensi band dengan bikin keputusan baru sesuka hati, sedangkan intervensi ke Emi dengan maksa Emi membuat keputusan baru. Gue yang berperan sebagai pacar Emi nggak suka pacar gue diintervensi untuk membuat keputusan yang nggak bijak untuk band dia. Nah perjanjiannya….” Gue menjeda sejenak omongan gue.
“……..” Mereka kembali diam, menunggu gue melanjutkan omongan gue.
“Kalau suatu hari nanti, kasus ini terjadi lagi dimana ada keputusan baru di luar keputusan yang sudah kita setujui sebelumnya, mending kita bubarin aja band ini ya?”
Gue melihat mereka terkejut dengan keputusan gue. “Kenapa harus bubar sih Ja?” Adityo menyela karena keheranan.
“Kalau kita nggak kasih konsekuensi yang tegas begini, akan selalu ada excuse yang diambil untuk membuat kita nggak bisa tegas. Kalau begitu kan, kita jadi sama-sama paham konsekuensi yang bakalan diambil dan dirasakan semua member kalau salah satu dari kita memang nggak bijak membuat keputusan… Gimana?”
“Gue punya satu syarat…. Ini tambahan syarat dari istri gue.” Arko mendadak interupsi. “Jujur, gue agak struggling ketika Emi terus menerus memberi materi baru yang bukan pegangan gue. Melihat potensi apresiasi dan bagaimana kita semua ternyata bisa beradaptasi dengan ide plus materi Emi tersebut, gue bisa ikut dengan flow yang ada. TETAPI, istri gue di sini yang paling paham bagaimana gue berjuang untuk ikut flow dan rules yang dibuat Emi tersebut… Jujur lagi nih, kadang memang membuat gue agak kurang nyaman ketika kita harus melakukan atau membawakan ide plus materi yang di luar kebiasaan kita. Istri gue di sini pun tau gimana potensi gue, gimana gue sangat diapresiasi sebagai seorang drumer.” Gue kurang suka arah pembicaraan Arko ini. “Apalagi ketika gue membawakan lagu-lagu yang sesuai dengan soul gue. Istri gue meminta gue untuk menambahkan syarat untuk kita tetap membawakan lagu-lagu itu di setiap panggungan kita….”
“Sesuai soul Bang? Bang Gantar ya yang ngomong begitu?” Gue nggak paham kenapa Emi mendadak nanya begitu dan cukup kaget juga sebenarnya.
“Kenapa sama Gantar?” Tanya gue. Drian dan Vino juga kelihatan bingung.
“Bang Gantar itu udah lama negur aku untuk jangan merusak ‘pasar’. Aku diminta untuk jangan jadi band yang mau gratisan terus. Aku diminta untuk jangan masang fee yang terlalu rendah. Aku juga diminta untuk jangan merusak potensi band aku dengan ngebawain MATERI RECEHAN YANG MAINSTREAM. Aku diminta untuk mainin lagu yang sesuai soul band aku. Aku nggak nyangka, ternyata Bang Gantar segitu seriusnya sama omongannya sampe ngomong sama Bang Arko juga.”
“Mungkin karena Gantar paham potensi gue Mi. Makanya dia nggak mau menyia-nyiakan potensi gue itu…..”
Gue nggak nyangka Emi diem-diem menahan masalah ini sendirian. Dia ditegor oleh sesepuh di dunia Komunitas Jejepangan karena konsep band yang dia usung? Setelah urusan pribadi gue sama dia, urusan dia dengan keluarga gue, urusan dia dengan keluarga dia, urusan dia dengan teman-teman kantornya, sekarang urusan dia dengan Gantar? Apalagi yang Emi nggak ceritakan sama gue selama ini?
Arko lagi nih kelakuan. Jelas Gantar itu bukan cuma bermaksud mengapresiasi dia. Tetapi Gantar itu lagi berusaha untuk meninggikan Arko saat Arko sedang jauh dari kami biar Arko bisa merusak skema yang dibuat Emi. Pernah dengar ditinggikan untuk dijadtuhkan sedalam-dalamnya? Nah Arko sepertinya nggak membaca situasi ini.
“Lo yakin emang Gantar itu jujur sama lo? Apa dia nggak cuma kepingin merusak band ini aja?” tanya Drian.
“Terlepas apapun maksud Gantar, menurut gue Gantar ada benarnya. Ija selalu bilang kan kalau band ini nggak perlu bayaran tetapi yang penting kita dapet kesenangan dan dapat apresiasi? Di sini gue lebih senang ketika bisa membawakan lagu-lagu sesuai soul gue dan gue mendapatkan apresiasi karenanya. Seperti Gantar bilang, nggak apa-apa hanya diapresiasi satu sampai lima orang yang penting diapresiasi karena skill yang kita punya. Daripada skill kita keliatan melempem karena kita nggak mainin lagu sesuai soul kita. Kesenangan nggak dapet, apresiasi seadanya. Jadi itu syarat dari gue kalau perjanjian dari lo demikian.”
“Ko, lo itu buta apa gimana sih? Jelas Gantar itu mau ngerusak band kita! Dia nggak bisa dapet apapun dari Emi eh malah nyamperin lo! Masa begitu aja lo nggak paham sih?” Adityo mendadak ikut nimbrung.
“Ija boleh bikin perjanjian dan keputusan begitu. Gue di sini punya hak yang sama kan? Jadi gue mau minta syarat begitu.”
Kami pun berdebat panjang urusan persyaratan yang diminta Arko ini. Arko ini nggak bodoh, tapi entah kenapa dia kok bisa begitu saja percaya dengan omongan Gantar yang jelas-jelas ingin menjatuhkan dan merusak band kami ini.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya dibuat sebuah keputusan : Kami akan tetap memainkan konsep band seperti biasa tetapi dengan menambahkan satu lagu sesuai pegangan kami di setiap playlist kami. Prediksi gue, kami nggak akan bertahan lama di Komunitas Jejepangan ini.
“Oke, sekarang kita salaman semua ya. Utamanya lo sama Bang Arko ya, Bang Ija… Masalah kalian berdua udah selesai. Gue nggak mau liat lagi ada ribut-ribut antara lo berdua.” Perintah Emi ke gue. “Begitu juga sama semua yang ada di sini. Kalaupun amit-amit suatu saat nanti ada masalah di antara kita, gue nggak mau berlama-lama lagi. Kita langsung selesaikan saat itu juga. Bunuh-bunuhan sekalian dah, yang penting cepet selesai. Haha.”
Gue beranjak dari kursi tempat gue duduk yang berhadapan dengan Arko. Arko segera berdiri menyambut gue dan memeluk gue erat. “Kangen juga gue sama lo Ja.”
“Berasa homo pas denger lo ngomong begitu Ko. Apalagi lo ngomong begitu di depan bini-bini kita. Haha.” Bisik gue ke Arko.
“Bini? Lo udah ngawinin Emi?”
“Belom…. Dalam rencana. Doain aja ya, kalau tesis gue udah beres, gue langsung kimpoiin doi.”
“Bagus! Gue siap ngebantu lo!” Perasaan canggung tapi senang bercampur dalam hati gue. Entah Arko bagaimana. Tapi gue meyakini kalau si Arko punya perasaan lega dan senang, sama dengan gue.
Suasana haru sangat terasa sore itu. Semua yang kami lewati bersama selama belasan tahun sangat sayang kalau dihancurkan begitu aja hanya karena urusan perbedaan persepsi yang sebenarnya bisa didiskusikan.
Gue merasa sangat lega. Otak gue seperti dikosongkan beberapa blok setelah urusan dengan band ini selesai. Kedepannya pun Emi sudah mempersiapkan comeback-nya band gue di panggungan. Walaupun sulit karena vakumnya kami yang cukup lama sementara banyak band baru yang bermunculan dan tambahan syarat dari Arko tersebut, tetapi gue tetap optimis dengan adanya Emi serta kemampuan manajerialnya.
Jelang pulang, gue mendapatkan pesan di chat. Ternyata Dania chat gue. Dia bilang katanya Mama akan dijemput oleh Om Dani besok. Tentu aja gue kaget karena rencananya nggak begitu di awal.
Lagipula Dania pun tahu kalau gue yang bakalan jemput mereka di bandara ketika gue dan Emi merapihkan rumah kemarin. Gue cuma ijin hari ini karena gue mau menyelesaikan urusan gue dengan band gue. Entah gimana ceritanya tau-tau malah jadi Om Dani yang jemput. Gue nggak mau merepotkan Om Dani.
CALLING OM DANI.
“Halo Om Dani. Ija tau dari Dania katanya Om Dani ada rencana buat jemput Mama dan Mbah di bandara besok ya Om?”
“Iya Ja. Soalnya adik kamu bilang katanya kamu lagi banyak urusan dan banyak acara, jadinya agak susah waktunya untuk jemput Mama. Adik kamu juga takut kalau maksain kamu yang jemput, takutnya kamu terlambat datang kesana. Kasian kan Mama, Kakek, dan Nenek udah cape diperjalanan eh harus nunggu kamu jadinya kelamaan nunggu di bandara.”
Sejak kapan gue banyak urusan dan banyak acara? Gue kayaknya biasa aja. Gue bahkan nyempetin persiapan di rumah dan udah sengaja kosongin waktu gue untuk ketemu mereka. Walaupun gue dan Mama nggak komunikasi dengan baik selama kami berjauhan, tetapi gue tetep rindu sama Mama. Siapa yang nggak rindu orang tua mereka yang pergi ke Tanah Suci bukan?
“Oh gitu ya Om. Padahal…. Hmm.”
“Kenapa Ja?”
“Hmm. Nggak apa-apa Om….”
Gue nggak mau urusan jemput menjemput ini jadi bertambahan panjang dan jadi debat nggak jelas hanya karena gue bilang kalau ini mah Dania saja yang memang bermasalah sama gue. Gue nggak mau Om Dani tahu apa yang sebenarnya terjadi antara gue dengan Dania. Biar ini menjadi urusan gue dengan dia. Ya mungkin dengan campur tangan Mama juga. Gue nggak mau kalau Om Dani juga ikutan salah paham, Om Dani jadi berpikir kalau Emi itu biang pertengkaran kami.
“Besok Ija nunggu di rumah aja, sekalian jagain Dania. Nitip Mama sama Mbah ya Om.”
“Beres Ja. Kamu siap-siap aja di rumah sekalian jagain Dania yang bener ya Ja.”
Gue menutup telpon dengan keadaan mood yang seketika hancur lebur. Dania ngomong apaan ini sampai Om Dani bisa bilang gue sibuk dan banyak acara? Lah gue kan nggak kemana-mana. Perginya juga hari ini bukan besok. Bangs*t juga ini namanya.
Cuma gara-gara gue nggak banyak berada di rumah, bukan berarti gue lalai gitu aja dong sama janji gue untuk jemput Mama. Pakai acara ngarang cerita gue sibuk dan sebagainya itu, itu gila menurut gue.
Baru kemarin ini gue bilang kalau gue yang mau jemput mereka, masa dia nggak percaya dan berpikir gue bakalan lupa sama omongan gue sendiri?
Tapi, gue udah terlalu lelah untuk emosi setiap harinya. Gue lelah harus berkonfrontasi dengan adik dan Ibu gue sendiri. Jadi gue lebih memilih untuk pulang ke rumah Emi aja. Gue minta menginap semalam disana. Gue balik besok paginya aja.
Gue bener-bener capek sama keadaan ini. Asli.
Mereka semua mengangguk tanda setuju. Ketika gue akan melanjutkan omongan gue, Arko meminta izin untuk memulai omongan.
“Sebelumnya gue minta maaf yang sebesar-besarnya sama kalian semua karena mungkin ada kesalahan gue yang cukup fatal selama ini dan gue seolah nggak sadar akan hal tersebut. Gue kenal Ija udah lama banget dan gue tau banget sifatnya seperti apa. Dia nggak akan pernah minta maaf jika dia merasa benar. Dan memang harus gue akui, ada kesalahan gue disini dimana gue selalu membuat keputusan di akhir karena ada miskomunikasi antara gue dan istri gue ketika kita belum membuat keputusan. Gue paham, nggak sekali atau dua kali, keputusan dadakan gue tersebut sangat merugikan band ini. Sekali lagi gue minta maaf. Kita udah sama-sama dewasa dan bahkan gue udah menikah, jadi gue mau ini diakhiri dengan baik. Gue nggak mau merusak silaturahmi gue, Ija, dan Drian yang udah belasan tahun terikat. Gue nggak mau hanya karena band, kita jadi bermusuhan. Apalagi kali ini kita udah punya keluarga yang lebih besar lagi di band, gue nggak mau itu rusak begitu aja. Jadi, kalau masih dibutuhkan, gue pribadi pun masih ingin menjadi bagian dari band ini.” Arko secara mengejutkan melontarkan permintaan maaf duluan tanpa gue sentil dulu.
“Wah, ini baru luar biasa. Memang seharusnya kayak gini dong. Semangat kita di awal pembentukan band ini kan bukan cari popularitas atau sok profesional, tapi mau menjalin kembali silaturahmi yang sempat renggang karena kesibukan masing-masing. Gini kan enak.” Tiba-tiba Vino bersuara dan semua orang kaget dibuatnya. Drian, Adityo, Emi, istrinya Vino dan istrinya istrinya Arko kompak tersenyum senang. Gue masih bersikap biasa saja, tapi dalam hati gue pun sangat senang dengan keadaan seperti ini. Tapi sepertinya ada yang perlu kembali ditegaskan kembali.
“Gue coba bikin garis besar pertemuan ini ya… Semua permasalahan yang ada di sini adalah adanya bentrok antara band dengan keluarga yang sepertinya dirasakan oleh banyak band di luar sana. Nggak cuma kita doang. Tapi band ini adalah keluarga kedua kita, gue nggak mau menjadi hal yang ‘lumrah terjadi di band’ itu begitu saja. Gue nggak mau ketika terjadi bentrok, kita jadi harus memilih antara band dan keluarga. Family comes first itu sudah pasti.” simpul gue.
“Emang udah begitu kan?” tanya Drian.
“Iya, tetapi bedanya di sini kita akan jauh lebih tegas dari sebelumnya. NGGAK ADA LAGI NAMANYA PEMBATALAN KEPUTUSAN ATAS MUSYAWARAH YANG SUDAH DISEPAKATI APAPUN ALASANNYA, TERMASUK DENGAN ALASAN KELUARGA KECUALI KEMATIAN ATAU KESEHATAN YA! Jadi Emi akan memberi waktu lebih lama untuk didiskusikan dengan keluarga atau pasangan masing-masing sebelum dibuat keputusan bersama. Emi akan memastikan semua sudah setuju dengan keputusan dan konsekuensi yang akan terjadi kalau kita sudah bikin keputusannya. Nggak boleh diganggu gugat! Nggak boleh ada yang intervensi keputusan lagi apalagi intervensi ke Emi secara langsung! Kita harus hormati keputusan dia sebagai manajer kita.....” gue menjelaskan dengan lantang dan sedikit menunjuk-nunjuk meja makan didepan gue dengan telunjuk kanan gue.
“……..” Semua diam.
“Intervensi band dengan bikin keputusan baru sesuka hati, sedangkan intervensi ke Emi dengan maksa Emi membuat keputusan baru. Gue yang berperan sebagai pacar Emi nggak suka pacar gue diintervensi untuk membuat keputusan yang nggak bijak untuk band dia. Nah perjanjiannya….” Gue menjeda sejenak omongan gue.
“……..” Mereka kembali diam, menunggu gue melanjutkan omongan gue.
“Kalau suatu hari nanti, kasus ini terjadi lagi dimana ada keputusan baru di luar keputusan yang sudah kita setujui sebelumnya, mending kita bubarin aja band ini ya?”
Gue melihat mereka terkejut dengan keputusan gue. “Kenapa harus bubar sih Ja?” Adityo menyela karena keheranan.
“Kalau kita nggak kasih konsekuensi yang tegas begini, akan selalu ada excuse yang diambil untuk membuat kita nggak bisa tegas. Kalau begitu kan, kita jadi sama-sama paham konsekuensi yang bakalan diambil dan dirasakan semua member kalau salah satu dari kita memang nggak bijak membuat keputusan… Gimana?”
“Gue punya satu syarat…. Ini tambahan syarat dari istri gue.” Arko mendadak interupsi. “Jujur, gue agak struggling ketika Emi terus menerus memberi materi baru yang bukan pegangan gue. Melihat potensi apresiasi dan bagaimana kita semua ternyata bisa beradaptasi dengan ide plus materi Emi tersebut, gue bisa ikut dengan flow yang ada. TETAPI, istri gue di sini yang paling paham bagaimana gue berjuang untuk ikut flow dan rules yang dibuat Emi tersebut… Jujur lagi nih, kadang memang membuat gue agak kurang nyaman ketika kita harus melakukan atau membawakan ide plus materi yang di luar kebiasaan kita. Istri gue di sini pun tau gimana potensi gue, gimana gue sangat diapresiasi sebagai seorang drumer.” Gue kurang suka arah pembicaraan Arko ini. “Apalagi ketika gue membawakan lagu-lagu yang sesuai dengan soul gue. Istri gue meminta gue untuk menambahkan syarat untuk kita tetap membawakan lagu-lagu itu di setiap panggungan kita….”
“Sesuai soul Bang? Bang Gantar ya yang ngomong begitu?” Gue nggak paham kenapa Emi mendadak nanya begitu dan cukup kaget juga sebenarnya.
“Kenapa sama Gantar?” Tanya gue. Drian dan Vino juga kelihatan bingung.
“Bang Gantar itu udah lama negur aku untuk jangan merusak ‘pasar’. Aku diminta untuk jangan jadi band yang mau gratisan terus. Aku diminta untuk jangan masang fee yang terlalu rendah. Aku juga diminta untuk jangan merusak potensi band aku dengan ngebawain MATERI RECEHAN YANG MAINSTREAM. Aku diminta untuk mainin lagu yang sesuai soul band aku. Aku nggak nyangka, ternyata Bang Gantar segitu seriusnya sama omongannya sampe ngomong sama Bang Arko juga.”
“Mungkin karena Gantar paham potensi gue Mi. Makanya dia nggak mau menyia-nyiakan potensi gue itu…..”
Gue nggak nyangka Emi diem-diem menahan masalah ini sendirian. Dia ditegor oleh sesepuh di dunia Komunitas Jejepangan karena konsep band yang dia usung? Setelah urusan pribadi gue sama dia, urusan dia dengan keluarga gue, urusan dia dengan keluarga dia, urusan dia dengan teman-teman kantornya, sekarang urusan dia dengan Gantar? Apalagi yang Emi nggak ceritakan sama gue selama ini?
Arko lagi nih kelakuan. Jelas Gantar itu bukan cuma bermaksud mengapresiasi dia. Tetapi Gantar itu lagi berusaha untuk meninggikan Arko saat Arko sedang jauh dari kami biar Arko bisa merusak skema yang dibuat Emi. Pernah dengar ditinggikan untuk dijadtuhkan sedalam-dalamnya? Nah Arko sepertinya nggak membaca situasi ini.
“Lo yakin emang Gantar itu jujur sama lo? Apa dia nggak cuma kepingin merusak band ini aja?” tanya Drian.
“Terlepas apapun maksud Gantar, menurut gue Gantar ada benarnya. Ija selalu bilang kan kalau band ini nggak perlu bayaran tetapi yang penting kita dapet kesenangan dan dapat apresiasi? Di sini gue lebih senang ketika bisa membawakan lagu-lagu sesuai soul gue dan gue mendapatkan apresiasi karenanya. Seperti Gantar bilang, nggak apa-apa hanya diapresiasi satu sampai lima orang yang penting diapresiasi karena skill yang kita punya. Daripada skill kita keliatan melempem karena kita nggak mainin lagu sesuai soul kita. Kesenangan nggak dapet, apresiasi seadanya. Jadi itu syarat dari gue kalau perjanjian dari lo demikian.”
“Ko, lo itu buta apa gimana sih? Jelas Gantar itu mau ngerusak band kita! Dia nggak bisa dapet apapun dari Emi eh malah nyamperin lo! Masa begitu aja lo nggak paham sih?” Adityo mendadak ikut nimbrung.
“Ija boleh bikin perjanjian dan keputusan begitu. Gue di sini punya hak yang sama kan? Jadi gue mau minta syarat begitu.”
Kami pun berdebat panjang urusan persyaratan yang diminta Arko ini. Arko ini nggak bodoh, tapi entah kenapa dia kok bisa begitu saja percaya dengan omongan Gantar yang jelas-jelas ingin menjatuhkan dan merusak band kami ini.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya dibuat sebuah keputusan : Kami akan tetap memainkan konsep band seperti biasa tetapi dengan menambahkan satu lagu sesuai pegangan kami di setiap playlist kami. Prediksi gue, kami nggak akan bertahan lama di Komunitas Jejepangan ini.
“Oke, sekarang kita salaman semua ya. Utamanya lo sama Bang Arko ya, Bang Ija… Masalah kalian berdua udah selesai. Gue nggak mau liat lagi ada ribut-ribut antara lo berdua.” Perintah Emi ke gue. “Begitu juga sama semua yang ada di sini. Kalaupun amit-amit suatu saat nanti ada masalah di antara kita, gue nggak mau berlama-lama lagi. Kita langsung selesaikan saat itu juga. Bunuh-bunuhan sekalian dah, yang penting cepet selesai. Haha.”
Gue beranjak dari kursi tempat gue duduk yang berhadapan dengan Arko. Arko segera berdiri menyambut gue dan memeluk gue erat. “Kangen juga gue sama lo Ja.”
“Berasa homo pas denger lo ngomong begitu Ko. Apalagi lo ngomong begitu di depan bini-bini kita. Haha.” Bisik gue ke Arko.
“Bini? Lo udah ngawinin Emi?”
“Belom…. Dalam rencana. Doain aja ya, kalau tesis gue udah beres, gue langsung kimpoiin doi.”
“Bagus! Gue siap ngebantu lo!” Perasaan canggung tapi senang bercampur dalam hati gue. Entah Arko bagaimana. Tapi gue meyakini kalau si Arko punya perasaan lega dan senang, sama dengan gue.
Suasana haru sangat terasa sore itu. Semua yang kami lewati bersama selama belasan tahun sangat sayang kalau dihancurkan begitu aja hanya karena urusan perbedaan persepsi yang sebenarnya bisa didiskusikan.
Gue merasa sangat lega. Otak gue seperti dikosongkan beberapa blok setelah urusan dengan band ini selesai. Kedepannya pun Emi sudah mempersiapkan comeback-nya band gue di panggungan. Walaupun sulit karena vakumnya kami yang cukup lama sementara banyak band baru yang bermunculan dan tambahan syarat dari Arko tersebut, tetapi gue tetap optimis dengan adanya Emi serta kemampuan manajerialnya.
Jelang pulang, gue mendapatkan pesan di chat. Ternyata Dania chat gue. Dia bilang katanya Mama akan dijemput oleh Om Dani besok. Tentu aja gue kaget karena rencananya nggak begitu di awal.
Lagipula Dania pun tahu kalau gue yang bakalan jemput mereka di bandara ketika gue dan Emi merapihkan rumah kemarin. Gue cuma ijin hari ini karena gue mau menyelesaikan urusan gue dengan band gue. Entah gimana ceritanya tau-tau malah jadi Om Dani yang jemput. Gue nggak mau merepotkan Om Dani.
CALLING OM DANI.
“Halo Om Dani. Ija tau dari Dania katanya Om Dani ada rencana buat jemput Mama dan Mbah di bandara besok ya Om?”
“Iya Ja. Soalnya adik kamu bilang katanya kamu lagi banyak urusan dan banyak acara, jadinya agak susah waktunya untuk jemput Mama. Adik kamu juga takut kalau maksain kamu yang jemput, takutnya kamu terlambat datang kesana. Kasian kan Mama, Kakek, dan Nenek udah cape diperjalanan eh harus nunggu kamu jadinya kelamaan nunggu di bandara.”
Sejak kapan gue banyak urusan dan banyak acara? Gue kayaknya biasa aja. Gue bahkan nyempetin persiapan di rumah dan udah sengaja kosongin waktu gue untuk ketemu mereka. Walaupun gue dan Mama nggak komunikasi dengan baik selama kami berjauhan, tetapi gue tetep rindu sama Mama. Siapa yang nggak rindu orang tua mereka yang pergi ke Tanah Suci bukan?
“Oh gitu ya Om. Padahal…. Hmm.”
“Kenapa Ja?”
“Hmm. Nggak apa-apa Om….”
Gue nggak mau urusan jemput menjemput ini jadi bertambahan panjang dan jadi debat nggak jelas hanya karena gue bilang kalau ini mah Dania saja yang memang bermasalah sama gue. Gue nggak mau Om Dani tahu apa yang sebenarnya terjadi antara gue dengan Dania. Biar ini menjadi urusan gue dengan dia. Ya mungkin dengan campur tangan Mama juga. Gue nggak mau kalau Om Dani juga ikutan salah paham, Om Dani jadi berpikir kalau Emi itu biang pertengkaran kami.
“Besok Ija nunggu di rumah aja, sekalian jagain Dania. Nitip Mama sama Mbah ya Om.”
“Beres Ja. Kamu siap-siap aja di rumah sekalian jagain Dania yang bener ya Ja.”
Gue menutup telpon dengan keadaan mood yang seketika hancur lebur. Dania ngomong apaan ini sampai Om Dani bisa bilang gue sibuk dan banyak acara? Lah gue kan nggak kemana-mana. Perginya juga hari ini bukan besok. Bangs*t juga ini namanya.
Cuma gara-gara gue nggak banyak berada di rumah, bukan berarti gue lalai gitu aja dong sama janji gue untuk jemput Mama. Pakai acara ngarang cerita gue sibuk dan sebagainya itu, itu gila menurut gue.
Baru kemarin ini gue bilang kalau gue yang mau jemput mereka, masa dia nggak percaya dan berpikir gue bakalan lupa sama omongan gue sendiri?
Tapi, gue udah terlalu lelah untuk emosi setiap harinya. Gue lelah harus berkonfrontasi dengan adik dan Ibu gue sendiri. Jadi gue lebih memilih untuk pulang ke rumah Emi aja. Gue minta menginap semalam disana. Gue balik besok paginya aja.
Gue bener-bener capek sama keadaan ini. Asli.
itkgid dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup