- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#43
Jimbaran, 23 November 2018
Perkenalan
Sekitaran pukul 6 pagi aku dibangunkan oleh kedatangan perawat yang mengecek kondisiku. Setelah perawat pergi, dilanjutkan aku menerima kunjungan dari suster yang mengantarkan sarapan pagi.
Aku melihat Fandra masih tertidur meringkuk di sofa. Kupergunakan waktuku untuk bersih-bersih badan, mumpung Fandra masih tidur, ngga enak rasanya kalau dia sampai melihatku baru bangun dan acak-acakkan.
Sebenarnya tadi mbak perawatnya menawarkan bantuan untuk mengelap badanku karena aku hanya bisa mengandalkan tangan kananku saja, dan luka-luka di pelipis dan terutama kakiku belum boleh kena air, tapi tawaran itu aku tolak karena aku berpikir aku masih bisa melakukannya sendiri selain juga karena risih ada orang lain yang melihat tubuhku meski pun itu sesama wanita.
Begitu keluar dari kamar mandi, Fandra sudah bangun dan duduk di sofa sambil memegang ponselnya.
“Pagi, Fan,” sapaku.
Dia mendongak melihatku dan membalas sapaanku dengan sebuah senyuman. Wajahnya tampak masih mengantuk dan rambutnya acak-acakkan.
Aku menaikkan sandaran bed supaya aku bisa bersandar tegak. Kuambil beberapa kapas dan beberapa cairan dan obat oles yang diberikan oleh perawat tadi. Aku menuangkan cairan pembersih ke kapas dan membersihkan luka di kakiku. Dengan ekor mataku kulihat Fandra berdiri, tergesa masuk ke kamar mandi, dan tak sampai satu menit dia keluar dari kamar mandi dan langsung duduk di sisi kiriku dan mengambil alih kapas yang kupegang.
“Sini aku bantu, aku udah cuci tangan tadi, jadi jangan kuatir,” ujarnya.
“Aku bisa sendiri, Fan.”
Dia tidak menyahut, malah berdiri dan mengambil nampan yang berisi peralatan dan obat-obatan yang diberikan suster untuk merawat lukaku.
“Kamu senderan aja, ngga usah tegang gitu, kalau sakit teriak aja biar aku tahu.”
“Iya, tapi kamu ya pelan-pelan bersihinnya biar ngga sakit.”
“Iya, tuan putri!”
Mau ngga mau aku tersenyum mendengar gurauannya.
Selesai di kakiku, dia beralih membersihkan luka di pelipisku.
“Mudah-mudahan ntar ngga berbekas ya,” ujarnya sambil membersihkan lukaku
“Berbekas juga ngga apa-apa, Fan.”
“Buat bukti kecerobohan ya.”
“Kan aku udah bilang bukan aku yang salah,” protesku
“Tetep aja, salah ambil langkah.” Dia masih ngotot.
“Udah takdir.”
“Jangan nyalahin takdir.”
“Ngga nyalahin kok, kan aku bilang sudah takdirku harus kecelakaan dan luka-luka gini.”
“Berarti takdirku juga harus nemenin kamu.”
“Itu bukan takdir, kamu aja yang milih susah-susah nemenin aku.”
“Ya berarti emang takdirku harus nemenin kamu.”
“Terserah lo deh!” dengusku kesal
Dia tertawa kecil melihatku kesal.
“Sudah!” Dia meletakkan kembali nampannya di atas meja. Lalu mengambil nampan yang berisi sarapanku dan menarik meja makan dorong dan memposisikannya tepat di depanku. Dia meletakkan nampannya dan membuka satu persatu makanan yang ditutupi dengan plastik wrapping.
“Makan dulu.”
“Kamu juga makan ya, aku ngga habis lo ini, lagian ini juga kayaknya enak, mau ngga?”
“Iya kamu makan duluan.”
“Ngga ah, masa kamu makan sisa aku, barengan aja. Ini… “ aku memberikannya sendok makan
“Kamu pake apa?”
“Aku pake ini aja,” aku mengambil sendok teh yang ada di dalam gelas teh yang juga di sediakan dari rumah sakit.
“Masa pake sendok teh? Kan dikit dong makannya.”
“Bisa, udah ah, ayo makan.”
Jadilah aku share makananku ke Fandra, lagian makanan yang disediakan lumayan banyak dan tidak habis untukku sendiri.
***
Saat itu aku sedang di kamar sendirian, Fandra tadi keluar mau cari cemilan katanya, sebuah panggilan masuk dari Hanggara.
Aku melihat jam dinding yang tergantung tepat di depanku, pukul sembilan lewat sepuluh menit, berarti dia sudah di kantor.
Aku menggeser tanda hijau, menjawab panggilannya.
“Halo,” sapaku
“Kamu di mana?” Aku terdiam. Apa Mega ngga mengabarinya kalau aku kecelakaan dan di rumah sakit. Atau dia sedang mengujiku.
“Aku ngga bisa ke kantor dulu, tapi aku udah minta Mega kirim data-data yang aku perlukan.”
“Aku nanya, kamu di mana?”
“Aku di rumah sakit.”
“Rumah sakit mana? Kamar nomor berapa?”
Aku menyebutkan nama rumah sakit dan nomor kamarku, setelah itu sambungan telpon langsung di putus.
Oh, shit! Ngga tahu sopan santun bertelpon ini cowok.
Selang sekitar 25 menit, kudengar sebuah ketukan di pintu kamarku dan suara pintu terbuka, dan muncullah Hanggara di sana.
“Hai,” sapaku padanya yang muncul dengan wajah tampak tidak bersahabat.
Dia tidak menyahut tapi malah melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Lalu dia menatapku tajam, aku paling tidak suka diperlakukan seperti ini, aku balik menatapnya.
“Kenapa?” tanyaku kesal, percuma berusaha ramah kalau dia sudah bersikap seperti ini.
“Kamu kenapa?”
“Kecelakaan.”
“Kenapa kamu ngga ngabari aku?”
“Kan kamu di Lombok.”
“Setidaknya kamu bisa ngabari aku kan, selama kamu di sini kamu itu tanggung jawabku, Vio.”
“Aku ngga mau ganggu kerjaan kamu, dan aku juga udah ngelapor ke kantorku soal kecelakaan ini, dan satu lagi, kamu ngga perlu bertanggung jawab dengan keadaan aku di sini, yang lebih bertanggung jawab itu perusahanku. Aku ngga mau kamu terlalu berlebihan mengambil tanggung jawab.”
Dia mendengus kesal. “Ok tapi setidaknya kamu kan bisa kasi tahu aku.”
Kali ini nada suaranya sedikit melunak.
“Kan aku sudah bilang, aku ngga mau ganggu kamu, lagian aku ada temen yang bantuin di sini.”
Hanggara duduk di tepi bedku, mengusap wajahnya sejenak, dan setelah menarik nafas, dia berkata lagi, “Sepertinya kecelakaannya agak parah?”
“Ngga kok, cuma yang parah ini aja.” Aku mengangkat sedikit tanganku yang terbalut gips.
“Patah?”
Aku mengangguk.
“Lainnya?”
“Ngga apa-apa, cuma luka aja kok.”
Dia melihat kaki kiriku dan ketika dia hendak menyentuh luka di kepalaku, aku menghindari tangannya, “Jangan di pegang, tangan kamu harus disterilkan dulu.”
“Sorry,” sahutnya mengurungkan niatnya
“Bukan cuma kamu yang ngga aku kasih tahu, Ardi pun ngga tahu, aku ngga mau buat kalian khawatir karena aku tahu kalian harus fokus sama hal yang harus kalian selesaikan.”
Sebelum Hanggara menyahut, terdengar pintu kamarku terbuka, dan suara Fandra terdengar sebelum orangnya muncul.
“Vio, aku beliin jus ma….eh, ada tamu, sorry.... “ Fandra muncul dari balik dinding dan sedikit kaget kulihat dari wajahnya ketika menyadari ada orang lain selain aku di dalam kamar.
“Ini buat kamu, aku taruh di sini aja ya,” dia meletakkan segelas jus berwarna kuning terang di meja di samping bedku.
"Makasi Fan. Oh ya, Fan kenalin, ini Hanggara, manager di kantor tempat aku audit. Angga, ini Fandra, temenku di kostan yang nolongin aku waktu kecelakaan.”
Aku memperkenalkan mereka berdua, lalu keduanya berjabat tangan dan bertukar senyum.
“Makasi udah bantuin Vio,” ujar Hanggara pada Fandra.
“Ngga usah bilang makasi ke saya, banyak kok yang bantuin Vio di sana waktu itu.”
“Kamu sempet ketemu sama dokter yang nanganin Vio?” tanya Hanggara lagi.
Kenapa dia nanyain itu ke Fandra.
“Iya, ada, terakhir... kemarin kan ya?” kali ini Fandra menkonfirmasikan kepadaku.
“Hmm.. iya.” Aku menyahutinya dengan menatap ke arahnya, aku sedikit berkedip dan tersenyum sedikit berlebihan, berharap dia tidak terlalu jujur pada Hanggara tentang apa saja akibat kecelakaan itu.
“Tidak ada yang serius kan?” tanya Hanggara lagi pada Fandra.
“Ngga ada, cuma luka-luka ini dan yang perlu treatment lebih lanjut tanganku aja,” kali ini aku yang menyahut.
Hanggara menoleh melihatku.
“Mungkin sementara aku akan kerja dari rumah, dan aku perlu bantuan dari staff kamu buat kirim data-data ke emailku aja.”
“Aku ngga masalah kamu ngga ke kantor. Atau kalau bisa aku maunya kamu ngga usah kerja dulu, sampai benar-benar pulih.”
“Kalau nunggu sampai pulih semua ya ngga mungkin, bakalan lama banget.”
“Tapi inget kondisi kepala kamu perlu pemulihan juga, dokter kan nyaranin kamu ngga kerja dulu at least selama 2 minggu.”
Tiba-tiba fandra mengucapkan kata-kata yang tidak ingin kudengar ini. Rupanya dia tidak mengerti isyaratku tadi.
“Kepala kamu kenapa?”
“Ngga apa-apa, sakit aja setelah kecelakaan itu.”
“Dia gegar otak.” Fandra berkata cepat tepat ketika aku menyelesaikan kalimatku.
Aku melotot padanya tapi dia hanya tersenyum kecil. Sial!
“Bener Vi?” tanya Hanggara menatapku tajam.
Mau ngga mau aku mengangguk mengiyakan. Aku melihat reaksi wajahnya, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda marah.
“Apa kata dokter?” Dia bertanya lagi pada Fandra. Sepertinya dia sudah tidak mau mendengar apa pun dariku.
“Hmm… gegar otak ringan, karena sewaktu saya bawa Vio ke rumah sakit, dia sempat pingsan, kata dokter kemungkinan karena shock dan benturan itu. Tapi sejauh ini dokter bilang tidak ada luka di dalam atau pendarahan. Sarannya hanya istirahat, jangan berpikir terlalu berlebihan, dan tidak di sarankan bekerja. Tapi, kamu pasti tahu dia kan, semalem aja udah pegang laptop, kalau ngga di rampas, ngga dilepas-lepas laptopnya.” Fandra menjelaskan dengan sangat rinci pada Hanggara, sambil dia duduk santai di sofa.
Sedangkan Hanggara yang duduk di tepian bedku, tak sedikitpun melepaskan matanya dariku.
“Kenapa?” tanyaku padanya karena merasa risih di tatap seperti itu. Dia mengalihkan pandangannya sambil menghela nafas.
Belum sempat aku mendengar jawabannya, kembali pintu kamarku di ketuk, lalu terdengar suara pintu terbuka. Fandra melongok hendak melihat siapa yang datang
“Maaf, ini bener kamarnya Violetta ya?”
Sebuah suara yang sangat aku kenal. Monica.
Mampus untuk kedua kalinya aku saat ini, ketemu Monica jauh lebih mengerikan daripada ketemu Hanggara.
“Iya bener, masuk aja mbak,” sahut Fandra dengan ramahnya.
Aku melihat sosoknya muncul di balik dinding dan dia langsung berteriak histeris
“Viooooo!!!! Lo kenapa sampe begini?” matanya sibuk memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki
“Luka lo parah gini, lo keterlaluan banget ngga ngabari gw. Lo udah ngga anggep gw sodara ya. Jahat banget sih lo!!”
Monica ini anaknya gampang banget nangisan, jadilah dia nangis sekarang, mungkin antara kesal dan kaget melihat kondisiku. Aku mendekati dan memeluknya berusaha menenangkan.
“Lo kok nangis sih, Mon, gw ngga apa-apa kok.”
“Lo jahat, lo jahat….” Hanya itu yang terucap darinya ketika dalam pelukanku.
“Udah dong nangisnya. Iya, iya gw minta maaf, gw cuma ngga mau buat lo khawatir, sama gw juga ngga mau lo bilang ke tante, gw ngga mau semua jadi khawatir, lagian juga gw kan ngga apa-apa.”
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya yang masih berurai air mata.
“Udah dong, make up lo ilang ntar, jadi jelek deh lo,” bujukku setengah bercanda
“Ngga bakalan ilang, tanpa make up juga gw tetep cantik!” ujarnya lirih yang membuatku tersenyum geli. Dasar anak ini!
“Gw kesel tau! Lo itu keterlaluan banget!” lagi-lagi dia memasang wajah cemberut
“Iya gw tahu gw salah, maaf ya?”
“Tapi bener lukanya ngga ada yang parah kan?” kini pandangan matanya berubah menjadi khawatir
“Iya, beneran, gw ngga bohong. Lengan kiri gw aja yang patah, selain itu cuma luka-luka aja.”
“Udah sana lo baringan aja lagi,” ujarnya lalu menggandeng tanganku agar naik ke bed.
“Ngga apa-apa gw duduk di sini aja.” Aku duduk di tepi bed.
Hanggara membantuku mengambil selang infus dan memposisikannya di sampingku. Aku sampai lupa kalau di sana masih ada Hanggara dan Fandra.
“Mon, kenalin ini Fandra temen di kostan yang nolongin gw waktu kejadian dan ini Hanggara manager di tempat gw kerja di sini.” Aku memperkenalkan kedua lelaki itu pada Monica.
“Monica ini sepupuku,” ujarku lagi.
Monica menyalami keduanya dan saling melempar senyum.
“Lo ngga kerja?” tanyaku padanya, menilik dari pakaiannya yang menggunakan seragam, dia sepertinya harus bekerja.
“Gw udah ijin telat.”
“Udah lo kerja aja, gawat kan kalau lo sampe telat.”
“Iya masih ada waktu kok,” ujarnya dan kemudian wajahnya kaget ketika melihat kaki kiriku, “Astaga Vio, ini luka kok kayak gini.”
“hehehe iya, keseret motor itu, ciuman sama aspal.”
“Duh, kaki mulus lo jadi ternoda gini jadinya.”
“Hus, ngawur banget lo!”
“Wajah lo juga?” ternyata dia baru sadar kalau ada luka di pelipisku.
“Ngga parah kok. Oya, Mon, gw minta tolong, boleh?”
“Boleh lah, apa?”
“Jangan bilang sama tante ya."
“No way! Ngga bisa, mama harus tahu, gw ngga mau lo terlantar, abis ini lo nginep di rumah, ngga boleh di kostan lagi.”
Aduh, parah ini anak.
“Mon, please, gw mohon sama lo. Mon, kalau lo kasi tahu tante, nyokap gw pastinya bakalan di kasi tahu juga, dan lo tahu kan gimana nyokap gw?”
“Tapi…. Kalau tante Lani sampai tahu aku ngga ngabari mama, bisa-bisa dibunuh aku, Vi!”
“Tenang aja, gw yang tanggung jawab nanti, yang penting sekarang lo jangan bilang nyokap lo dulu, ya...please…”
“Iya deh… gw tutup mulut,” sahutnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya.
“Thanks a lot, babe!” Aku merentangkan tanganku dan kami kembali berpelukan.
“Lo ngga apa-apa kan sendiri, gw harus balik nih,” ujarnya kemudian sambil melihat ke jam tangannya.
“Dia ngga sendirian kok,” tiba-tiba suara Fandra menyela sebelum aku buka mulut.
Monica menoleh ke arahnya dan tersenyum
“Makasi ya udah bantuin Vio,” ujar Monica yang di balas Fandra hanya dengan senyuman.
“Gw balik ya, ntar malem gw ke sini, gw temenin lo.”
“Ngga usah. Gw tahu lo pasti cape, besoknya juga pasti kerja lagi kan.”
“Pokoknya ntar malem gw ke sini.”
“Iya terserah lo.” Aku mengalah sebelum dia ngambek lagi.
Setelah Monica pergi, jadilah ada kami bertiga di ruanganku. Dan aku bingung harus bagaimana dengan dua lelaki ini sekarang.
Aku maunya Hanggara balik ke kantor, mengingat dia harus bekerja, dan Fandra balik ke kostan, tapi ngga mungkin juga kalau aku mengusir mereka.
“Fan, kamu ngga kerja?” tanyaku ke Fandra yang tampak asik dengan ponselnya
“Masih libur aku.” Dia menyahut tanpa melepaskan pandangan dari ponselnya.
Aku beralih ke arah Hanggara yang juga menatapku.
“Kenapa?” tanyaku pelan
Dia tersenyum kecil, “Ngga apa-apa.”
Tiba-tiba dia meraih tanganku dan mengenggamnya erat. Aku ingin menarik tanganku tapi dia menggenggamnya dengan erat sehingga aku merasa tidak enak dan membiarkannya.
“Kamu udah makan?” tanyanya
“Udah tadi dapet dari rumah sakit.”
“Ntar siang mau aku bawakan apa?”
“Ngga usah, ntar juga dapet lagi kok.”
Dia terdiam masih menatapku
“Kamu ngga ke kantor?”
Dia menghela nafas, “Iya, harus buat laporan besok udah weekend, jadi harus sekarang.”
“Ya udah kamu balik ke kantor aja.”
Lagi dia terdiam.
“Angga?” panggilku ketika dia terdiam cukup lama dan hanya memandangiku
“Udah sana ke kantor,” ujarku mau ngga mau aku harus mengatakan ini. Dia berdiri perlahan.
“Ok, ntar aku ke sini lagi.”
“Iya. Hati-hati.”
Tanpa berkata-kata lagi baik padaku ataupun kepada Fandra, Hanggara keluar dari ruanganku.
Tanpa sadar aku menghela nafas setelah kepergiannya.
“Dia suka sama kamu ya?” tiba-tiba Fandra berdiri dan duduk di tepi bedku, menatapku dengan tatapan menggoda.
“Ini jus apa?” tanyaku sengaja tidak menjawabnya dan mengalihkan pembicaraan.
Aku mengambil jus yang dibelikannya tadi dan meminumnya.
“Bener kan dugaanku? Jangan bilang kamu ngga tahu, kamu pasti tahu.” Desaknya lagi
“Jangan sok tahu,” ujarku mendelik dan pura-pura kesal. Dia tertawa kecil
“Ya taulah, kebaca banget dari cara dia mandangin kamu tadi. Ngga lepas-lepas matanya dari kamu.”
“Iya, dia juga udah bilang kok.”
“Oh ya? Trus?”
“Terus… ya begitulah, nothing happen.”
Dia tertawa lagi. “Awas ntar nyesel lho.”
Aku tersenyum, “Nggalah.”
“Kamu yakin?”
“Yakin, yakin untuk tidak berkomitmen apapun karena aku belum yakin dengan perasaanku dan juga dia.”
“Emang kenapa dengannya?”
“Hmm… dia itu baru saja udahan sama ceweknya,” ujarku
Dia hanya mengangguk-angguk. “Ya terserah kamu aja, sih, asal kamu yakin aja dengan apa yang jadi keputusanmu.”
“Ngga usah khawatir, aku sangat yakin, untuk saat ini,” aku tersenyum dan menepuk bahunya yang membuatnya tersenyum.
Dia meraih tanganku dari dibahunya dan menggenggamnya.
Dia menatapku dan kemudian berkata, “Aku lihat tadi dia menggeggam tanganmu kayak gini. Kalau sekarang aku yang ngelakuinnya, apa ada yang berbeda yang kamu rasain?”
Aku menarik tanganku cepat dari genggamannya, “Apaan sih? Ngaco kamu!” dan dia tertawa terbahak melihat reaksiku.
Sial, dia ngerjain aku!
***
Saat jam makan siang Hanggara muncul di ruanganku, diikuti oleh beberapa suster dengan membawa kursi roda. Aku dan Fandra yang saat itu ada di sana menjadi agak kaget.
“Selamat siang, Mbak Vio, kita akan pindah ke kamar VIP karena kamarnya sudah siap,” ujar salah seorang perawat.
“Maaf, tapi saya ngga ada request pindah kamar, Sus, dan seingat saya memang kamar ini yang sesuai dengan asuransi dari kantor saya.”
Sekarang aku jadi bingung.
“Aku yang minta kamu pindah kamar.”
Sekarang Hanggara yang angkat bicara.
Aku memandang ke arahnya, “Kamu? Kenapa?”
Dia mendekat ke bed di mana aku kini duduk, “Aku hanya mau kamu dapat yang terbaik selama di sini,” ujarnya pelan padaku
“Ini udah sangat baik Angga, udah cukup banget,” balasku mulai tidak suka dengan caranya ini.
“Tapi, Vio, kalau kamu pindah kamar kan lebih baik lagi.”
“Ngga bisa, kalau naik level, aku harus ada tambah bayar lagi, lagian ini juga udah bagus banget pelayanannya.”
“Kalau soal pembayaran, biar aku yang urus.”
Dan aku mulai kesal
“Maaf, Sus, saya tetap di ruangan ini, dan saya minta sama suster kalau ada yang minta apapun atau mau tahu kondisi saya, harap suster dan dokter mengkonfirmasikan ke saya dulu.”
Kali ini suaraku agak gemetar karena saking kesalnya.
“Oh, maaf, baik kalau begitu, saya permisi.” Kemudian suster itu keluar dari ruanganku.
“Vi, aku ke kantin bentaran ya, mau nitip?” kini Fandra yang bertanya sepertinya dia paham kalau aku dan Hanggara perlu waktu bicara hanya berdua saja.
“Ngga ada,” sahutku singkat.
Tanpa berkata-kata lagi, Fandra segera keluar dari kamarku.
Sekarang hanya ada aku dan Hanggara.
“Kalau kamu ngga ada keperluan lagi, lebih baik kamu pergi aja.” Kali ini terang-terangan aku mengusirnya.
Bukannya pergi dia malah duduk di sampingku.
“Sorry, kalau buat kamu marah, aku hanya mau yang terbaik buat kamu.”
“Seharusnya kamu tanya aku dulu.”
“Iya, maaf ya….” Aku agak kaget dengan reaksinya aku pikir dia akan membantah dan tidak akan minta maaf semudah ini.
“Sekarang aku boleh di sini kan?” tanyanya berusaha melihat ke mataku.
“Kamu ngga balik ke kantor?”
“Kalau boleh sih, aku maunya kerja dari sini aja, sambil nemenin kamu. Boleh?”
“Lebih baik kamu ke kantor aja, kalau mau ke sini ntar malam aja.”
“Temen kamu itu, Fandra, dia tidur di sini semalam?” aku menoleh ke arahnya dan tatapan kami bertemu.
“Iya, kenapa?”
“Jadi kamu lebih memilih dia yang nemenin kamu?”
“Aku ngga milih siapa-siapa. Aku lebih milih sendirian aja, tapi dia bersikeras.”
“Kalau aku bersikeras juga, gimana?”
“Ya terserah kalian sih, yang jelas kondisi di sini ya seperti ini, ngga ada tempat tidur yang layak.”
“Karena itu aku minta kamu pindah kamar.”
“Jadi kamu mau aku pindah kamar, untuk memfasilitasi diri kamu sendiri?”
“Bukan begitu, Vi, kok gitu sih ngomongnya?!”
Aku hanya tersenyum kecil
“Udah ah, kamu balik kantor aja, aku mau tidur.”
Aku sudah tidak peduli dengannya, atau siapa pun yang datang nanti.
Aku benar-benar lelah dan ingin tidur.
Perkenalan
Sekitaran pukul 6 pagi aku dibangunkan oleh kedatangan perawat yang mengecek kondisiku. Setelah perawat pergi, dilanjutkan aku menerima kunjungan dari suster yang mengantarkan sarapan pagi.
Aku melihat Fandra masih tertidur meringkuk di sofa. Kupergunakan waktuku untuk bersih-bersih badan, mumpung Fandra masih tidur, ngga enak rasanya kalau dia sampai melihatku baru bangun dan acak-acakkan.
Sebenarnya tadi mbak perawatnya menawarkan bantuan untuk mengelap badanku karena aku hanya bisa mengandalkan tangan kananku saja, dan luka-luka di pelipis dan terutama kakiku belum boleh kena air, tapi tawaran itu aku tolak karena aku berpikir aku masih bisa melakukannya sendiri selain juga karena risih ada orang lain yang melihat tubuhku meski pun itu sesama wanita.
Begitu keluar dari kamar mandi, Fandra sudah bangun dan duduk di sofa sambil memegang ponselnya.
“Pagi, Fan,” sapaku.
Dia mendongak melihatku dan membalas sapaanku dengan sebuah senyuman. Wajahnya tampak masih mengantuk dan rambutnya acak-acakkan.
Aku menaikkan sandaran bed supaya aku bisa bersandar tegak. Kuambil beberapa kapas dan beberapa cairan dan obat oles yang diberikan oleh perawat tadi. Aku menuangkan cairan pembersih ke kapas dan membersihkan luka di kakiku. Dengan ekor mataku kulihat Fandra berdiri, tergesa masuk ke kamar mandi, dan tak sampai satu menit dia keluar dari kamar mandi dan langsung duduk di sisi kiriku dan mengambil alih kapas yang kupegang.
“Sini aku bantu, aku udah cuci tangan tadi, jadi jangan kuatir,” ujarnya.
“Aku bisa sendiri, Fan.”
Dia tidak menyahut, malah berdiri dan mengambil nampan yang berisi peralatan dan obat-obatan yang diberikan suster untuk merawat lukaku.
“Kamu senderan aja, ngga usah tegang gitu, kalau sakit teriak aja biar aku tahu.”
“Iya, tapi kamu ya pelan-pelan bersihinnya biar ngga sakit.”
“Iya, tuan putri!”
Mau ngga mau aku tersenyum mendengar gurauannya.
Selesai di kakiku, dia beralih membersihkan luka di pelipisku.
“Mudah-mudahan ntar ngga berbekas ya,” ujarnya sambil membersihkan lukaku
“Berbekas juga ngga apa-apa, Fan.”
“Buat bukti kecerobohan ya.”
“Kan aku udah bilang bukan aku yang salah,” protesku
“Tetep aja, salah ambil langkah.” Dia masih ngotot.
“Udah takdir.”
“Jangan nyalahin takdir.”
“Ngga nyalahin kok, kan aku bilang sudah takdirku harus kecelakaan dan luka-luka gini.”
“Berarti takdirku juga harus nemenin kamu.”
“Itu bukan takdir, kamu aja yang milih susah-susah nemenin aku.”
“Ya berarti emang takdirku harus nemenin kamu.”
“Terserah lo deh!” dengusku kesal
Dia tertawa kecil melihatku kesal.
“Sudah!” Dia meletakkan kembali nampannya di atas meja. Lalu mengambil nampan yang berisi sarapanku dan menarik meja makan dorong dan memposisikannya tepat di depanku. Dia meletakkan nampannya dan membuka satu persatu makanan yang ditutupi dengan plastik wrapping.
“Makan dulu.”
“Kamu juga makan ya, aku ngga habis lo ini, lagian ini juga kayaknya enak, mau ngga?”
“Iya kamu makan duluan.”
“Ngga ah, masa kamu makan sisa aku, barengan aja. Ini… “ aku memberikannya sendok makan
“Kamu pake apa?”
“Aku pake ini aja,” aku mengambil sendok teh yang ada di dalam gelas teh yang juga di sediakan dari rumah sakit.
“Masa pake sendok teh? Kan dikit dong makannya.”
“Bisa, udah ah, ayo makan.”
Jadilah aku share makananku ke Fandra, lagian makanan yang disediakan lumayan banyak dan tidak habis untukku sendiri.
***
Saat itu aku sedang di kamar sendirian, Fandra tadi keluar mau cari cemilan katanya, sebuah panggilan masuk dari Hanggara.
Aku melihat jam dinding yang tergantung tepat di depanku, pukul sembilan lewat sepuluh menit, berarti dia sudah di kantor.
Aku menggeser tanda hijau, menjawab panggilannya.
“Halo,” sapaku
“Kamu di mana?” Aku terdiam. Apa Mega ngga mengabarinya kalau aku kecelakaan dan di rumah sakit. Atau dia sedang mengujiku.
“Aku ngga bisa ke kantor dulu, tapi aku udah minta Mega kirim data-data yang aku perlukan.”
“Aku nanya, kamu di mana?”
“Aku di rumah sakit.”
“Rumah sakit mana? Kamar nomor berapa?”
Aku menyebutkan nama rumah sakit dan nomor kamarku, setelah itu sambungan telpon langsung di putus.
Oh, shit! Ngga tahu sopan santun bertelpon ini cowok.
Selang sekitar 25 menit, kudengar sebuah ketukan di pintu kamarku dan suara pintu terbuka, dan muncullah Hanggara di sana.
“Hai,” sapaku padanya yang muncul dengan wajah tampak tidak bersahabat.
Dia tidak menyahut tapi malah melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Lalu dia menatapku tajam, aku paling tidak suka diperlakukan seperti ini, aku balik menatapnya.
“Kenapa?” tanyaku kesal, percuma berusaha ramah kalau dia sudah bersikap seperti ini.
“Kamu kenapa?”
“Kecelakaan.”
“Kenapa kamu ngga ngabari aku?”
“Kan kamu di Lombok.”
“Setidaknya kamu bisa ngabari aku kan, selama kamu di sini kamu itu tanggung jawabku, Vio.”
“Aku ngga mau ganggu kerjaan kamu, dan aku juga udah ngelapor ke kantorku soal kecelakaan ini, dan satu lagi, kamu ngga perlu bertanggung jawab dengan keadaan aku di sini, yang lebih bertanggung jawab itu perusahanku. Aku ngga mau kamu terlalu berlebihan mengambil tanggung jawab.”
Dia mendengus kesal. “Ok tapi setidaknya kamu kan bisa kasi tahu aku.”
Kali ini nada suaranya sedikit melunak.
“Kan aku sudah bilang, aku ngga mau ganggu kamu, lagian aku ada temen yang bantuin di sini.”
Hanggara duduk di tepi bedku, mengusap wajahnya sejenak, dan setelah menarik nafas, dia berkata lagi, “Sepertinya kecelakaannya agak parah?”
“Ngga kok, cuma yang parah ini aja.” Aku mengangkat sedikit tanganku yang terbalut gips.
“Patah?”
Aku mengangguk.
“Lainnya?”
“Ngga apa-apa, cuma luka aja kok.”
Dia melihat kaki kiriku dan ketika dia hendak menyentuh luka di kepalaku, aku menghindari tangannya, “Jangan di pegang, tangan kamu harus disterilkan dulu.”
“Sorry,” sahutnya mengurungkan niatnya
“Bukan cuma kamu yang ngga aku kasih tahu, Ardi pun ngga tahu, aku ngga mau buat kalian khawatir karena aku tahu kalian harus fokus sama hal yang harus kalian selesaikan.”
Sebelum Hanggara menyahut, terdengar pintu kamarku terbuka, dan suara Fandra terdengar sebelum orangnya muncul.
“Vio, aku beliin jus ma….eh, ada tamu, sorry.... “ Fandra muncul dari balik dinding dan sedikit kaget kulihat dari wajahnya ketika menyadari ada orang lain selain aku di dalam kamar.
“Ini buat kamu, aku taruh di sini aja ya,” dia meletakkan segelas jus berwarna kuning terang di meja di samping bedku.
"Makasi Fan. Oh ya, Fan kenalin, ini Hanggara, manager di kantor tempat aku audit. Angga, ini Fandra, temenku di kostan yang nolongin aku waktu kecelakaan.”
Aku memperkenalkan mereka berdua, lalu keduanya berjabat tangan dan bertukar senyum.
“Makasi udah bantuin Vio,” ujar Hanggara pada Fandra.
“Ngga usah bilang makasi ke saya, banyak kok yang bantuin Vio di sana waktu itu.”
“Kamu sempet ketemu sama dokter yang nanganin Vio?” tanya Hanggara lagi.
Kenapa dia nanyain itu ke Fandra.
“Iya, ada, terakhir... kemarin kan ya?” kali ini Fandra menkonfirmasikan kepadaku.
“Hmm.. iya.” Aku menyahutinya dengan menatap ke arahnya, aku sedikit berkedip dan tersenyum sedikit berlebihan, berharap dia tidak terlalu jujur pada Hanggara tentang apa saja akibat kecelakaan itu.
“Tidak ada yang serius kan?” tanya Hanggara lagi pada Fandra.
“Ngga ada, cuma luka-luka ini dan yang perlu treatment lebih lanjut tanganku aja,” kali ini aku yang menyahut.
Hanggara menoleh melihatku.
“Mungkin sementara aku akan kerja dari rumah, dan aku perlu bantuan dari staff kamu buat kirim data-data ke emailku aja.”
“Aku ngga masalah kamu ngga ke kantor. Atau kalau bisa aku maunya kamu ngga usah kerja dulu, sampai benar-benar pulih.”
“Kalau nunggu sampai pulih semua ya ngga mungkin, bakalan lama banget.”
“Tapi inget kondisi kepala kamu perlu pemulihan juga, dokter kan nyaranin kamu ngga kerja dulu at least selama 2 minggu.”
Tiba-tiba fandra mengucapkan kata-kata yang tidak ingin kudengar ini. Rupanya dia tidak mengerti isyaratku tadi.
“Kepala kamu kenapa?”
“Ngga apa-apa, sakit aja setelah kecelakaan itu.”
“Dia gegar otak.” Fandra berkata cepat tepat ketika aku menyelesaikan kalimatku.
Aku melotot padanya tapi dia hanya tersenyum kecil. Sial!
“Bener Vi?” tanya Hanggara menatapku tajam.
Mau ngga mau aku mengangguk mengiyakan. Aku melihat reaksi wajahnya, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda marah.
“Apa kata dokter?” Dia bertanya lagi pada Fandra. Sepertinya dia sudah tidak mau mendengar apa pun dariku.
“Hmm… gegar otak ringan, karena sewaktu saya bawa Vio ke rumah sakit, dia sempat pingsan, kata dokter kemungkinan karena shock dan benturan itu. Tapi sejauh ini dokter bilang tidak ada luka di dalam atau pendarahan. Sarannya hanya istirahat, jangan berpikir terlalu berlebihan, dan tidak di sarankan bekerja. Tapi, kamu pasti tahu dia kan, semalem aja udah pegang laptop, kalau ngga di rampas, ngga dilepas-lepas laptopnya.” Fandra menjelaskan dengan sangat rinci pada Hanggara, sambil dia duduk santai di sofa.
Sedangkan Hanggara yang duduk di tepian bedku, tak sedikitpun melepaskan matanya dariku.
“Kenapa?” tanyaku padanya karena merasa risih di tatap seperti itu. Dia mengalihkan pandangannya sambil menghela nafas.
Belum sempat aku mendengar jawabannya, kembali pintu kamarku di ketuk, lalu terdengar suara pintu terbuka. Fandra melongok hendak melihat siapa yang datang
“Maaf, ini bener kamarnya Violetta ya?”
Sebuah suara yang sangat aku kenal. Monica.
Mampus untuk kedua kalinya aku saat ini, ketemu Monica jauh lebih mengerikan daripada ketemu Hanggara.
“Iya bener, masuk aja mbak,” sahut Fandra dengan ramahnya.
Aku melihat sosoknya muncul di balik dinding dan dia langsung berteriak histeris
“Viooooo!!!! Lo kenapa sampe begini?” matanya sibuk memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki
“Luka lo parah gini, lo keterlaluan banget ngga ngabari gw. Lo udah ngga anggep gw sodara ya. Jahat banget sih lo!!”
Monica ini anaknya gampang banget nangisan, jadilah dia nangis sekarang, mungkin antara kesal dan kaget melihat kondisiku. Aku mendekati dan memeluknya berusaha menenangkan.
“Lo kok nangis sih, Mon, gw ngga apa-apa kok.”
“Lo jahat, lo jahat….” Hanya itu yang terucap darinya ketika dalam pelukanku.
“Udah dong nangisnya. Iya, iya gw minta maaf, gw cuma ngga mau buat lo khawatir, sama gw juga ngga mau lo bilang ke tante, gw ngga mau semua jadi khawatir, lagian juga gw kan ngga apa-apa.”
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya yang masih berurai air mata.
“Udah dong, make up lo ilang ntar, jadi jelek deh lo,” bujukku setengah bercanda
“Ngga bakalan ilang, tanpa make up juga gw tetep cantik!” ujarnya lirih yang membuatku tersenyum geli. Dasar anak ini!
“Gw kesel tau! Lo itu keterlaluan banget!” lagi-lagi dia memasang wajah cemberut
“Iya gw tahu gw salah, maaf ya?”
“Tapi bener lukanya ngga ada yang parah kan?” kini pandangan matanya berubah menjadi khawatir
“Iya, beneran, gw ngga bohong. Lengan kiri gw aja yang patah, selain itu cuma luka-luka aja.”
“Udah sana lo baringan aja lagi,” ujarnya lalu menggandeng tanganku agar naik ke bed.
“Ngga apa-apa gw duduk di sini aja.” Aku duduk di tepi bed.
Hanggara membantuku mengambil selang infus dan memposisikannya di sampingku. Aku sampai lupa kalau di sana masih ada Hanggara dan Fandra.
“Mon, kenalin ini Fandra temen di kostan yang nolongin gw waktu kejadian dan ini Hanggara manager di tempat gw kerja di sini.” Aku memperkenalkan kedua lelaki itu pada Monica.
“Monica ini sepupuku,” ujarku lagi.
Monica menyalami keduanya dan saling melempar senyum.
“Lo ngga kerja?” tanyaku padanya, menilik dari pakaiannya yang menggunakan seragam, dia sepertinya harus bekerja.
“Gw udah ijin telat.”
“Udah lo kerja aja, gawat kan kalau lo sampe telat.”
“Iya masih ada waktu kok,” ujarnya dan kemudian wajahnya kaget ketika melihat kaki kiriku, “Astaga Vio, ini luka kok kayak gini.”
“hehehe iya, keseret motor itu, ciuman sama aspal.”
“Duh, kaki mulus lo jadi ternoda gini jadinya.”
“Hus, ngawur banget lo!”
“Wajah lo juga?” ternyata dia baru sadar kalau ada luka di pelipisku.
“Ngga parah kok. Oya, Mon, gw minta tolong, boleh?”
“Boleh lah, apa?”
“Jangan bilang sama tante ya."
“No way! Ngga bisa, mama harus tahu, gw ngga mau lo terlantar, abis ini lo nginep di rumah, ngga boleh di kostan lagi.”
Aduh, parah ini anak.
“Mon, please, gw mohon sama lo. Mon, kalau lo kasi tahu tante, nyokap gw pastinya bakalan di kasi tahu juga, dan lo tahu kan gimana nyokap gw?”
“Tapi…. Kalau tante Lani sampai tahu aku ngga ngabari mama, bisa-bisa dibunuh aku, Vi!”
“Tenang aja, gw yang tanggung jawab nanti, yang penting sekarang lo jangan bilang nyokap lo dulu, ya...please…”
“Iya deh… gw tutup mulut,” sahutnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya.
“Thanks a lot, babe!” Aku merentangkan tanganku dan kami kembali berpelukan.
“Lo ngga apa-apa kan sendiri, gw harus balik nih,” ujarnya kemudian sambil melihat ke jam tangannya.
“Dia ngga sendirian kok,” tiba-tiba suara Fandra menyela sebelum aku buka mulut.
Monica menoleh ke arahnya dan tersenyum
“Makasi ya udah bantuin Vio,” ujar Monica yang di balas Fandra hanya dengan senyuman.
“Gw balik ya, ntar malem gw ke sini, gw temenin lo.”
“Ngga usah. Gw tahu lo pasti cape, besoknya juga pasti kerja lagi kan.”
“Pokoknya ntar malem gw ke sini.”
“Iya terserah lo.” Aku mengalah sebelum dia ngambek lagi.
Setelah Monica pergi, jadilah ada kami bertiga di ruanganku. Dan aku bingung harus bagaimana dengan dua lelaki ini sekarang.
Aku maunya Hanggara balik ke kantor, mengingat dia harus bekerja, dan Fandra balik ke kostan, tapi ngga mungkin juga kalau aku mengusir mereka.
“Fan, kamu ngga kerja?” tanyaku ke Fandra yang tampak asik dengan ponselnya
“Masih libur aku.” Dia menyahut tanpa melepaskan pandangan dari ponselnya.
Aku beralih ke arah Hanggara yang juga menatapku.
“Kenapa?” tanyaku pelan
Dia tersenyum kecil, “Ngga apa-apa.”
Tiba-tiba dia meraih tanganku dan mengenggamnya erat. Aku ingin menarik tanganku tapi dia menggenggamnya dengan erat sehingga aku merasa tidak enak dan membiarkannya.
“Kamu udah makan?” tanyanya
“Udah tadi dapet dari rumah sakit.”
“Ntar siang mau aku bawakan apa?”
“Ngga usah, ntar juga dapet lagi kok.”
Dia terdiam masih menatapku
“Kamu ngga ke kantor?”
Dia menghela nafas, “Iya, harus buat laporan besok udah weekend, jadi harus sekarang.”
“Ya udah kamu balik ke kantor aja.”
Lagi dia terdiam.
“Angga?” panggilku ketika dia terdiam cukup lama dan hanya memandangiku
“Udah sana ke kantor,” ujarku mau ngga mau aku harus mengatakan ini. Dia berdiri perlahan.
“Ok, ntar aku ke sini lagi.”
“Iya. Hati-hati.”
Tanpa berkata-kata lagi baik padaku ataupun kepada Fandra, Hanggara keluar dari ruanganku.
Tanpa sadar aku menghela nafas setelah kepergiannya.
“Dia suka sama kamu ya?” tiba-tiba Fandra berdiri dan duduk di tepi bedku, menatapku dengan tatapan menggoda.
“Ini jus apa?” tanyaku sengaja tidak menjawabnya dan mengalihkan pembicaraan.
Aku mengambil jus yang dibelikannya tadi dan meminumnya.
“Bener kan dugaanku? Jangan bilang kamu ngga tahu, kamu pasti tahu.” Desaknya lagi
“Jangan sok tahu,” ujarku mendelik dan pura-pura kesal. Dia tertawa kecil
“Ya taulah, kebaca banget dari cara dia mandangin kamu tadi. Ngga lepas-lepas matanya dari kamu.”
“Iya, dia juga udah bilang kok.”
“Oh ya? Trus?”
“Terus… ya begitulah, nothing happen.”
Dia tertawa lagi. “Awas ntar nyesel lho.”
Aku tersenyum, “Nggalah.”
“Kamu yakin?”
“Yakin, yakin untuk tidak berkomitmen apapun karena aku belum yakin dengan perasaanku dan juga dia.”
“Emang kenapa dengannya?”
“Hmm… dia itu baru saja udahan sama ceweknya,” ujarku
Dia hanya mengangguk-angguk. “Ya terserah kamu aja, sih, asal kamu yakin aja dengan apa yang jadi keputusanmu.”
“Ngga usah khawatir, aku sangat yakin, untuk saat ini,” aku tersenyum dan menepuk bahunya yang membuatnya tersenyum.
Dia meraih tanganku dari dibahunya dan menggenggamnya.
Dia menatapku dan kemudian berkata, “Aku lihat tadi dia menggeggam tanganmu kayak gini. Kalau sekarang aku yang ngelakuinnya, apa ada yang berbeda yang kamu rasain?”
Aku menarik tanganku cepat dari genggamannya, “Apaan sih? Ngaco kamu!” dan dia tertawa terbahak melihat reaksiku.
Sial, dia ngerjain aku!
***
Saat jam makan siang Hanggara muncul di ruanganku, diikuti oleh beberapa suster dengan membawa kursi roda. Aku dan Fandra yang saat itu ada di sana menjadi agak kaget.
“Selamat siang, Mbak Vio, kita akan pindah ke kamar VIP karena kamarnya sudah siap,” ujar salah seorang perawat.
“Maaf, tapi saya ngga ada request pindah kamar, Sus, dan seingat saya memang kamar ini yang sesuai dengan asuransi dari kantor saya.”
Sekarang aku jadi bingung.
“Aku yang minta kamu pindah kamar.”
Sekarang Hanggara yang angkat bicara.
Aku memandang ke arahnya, “Kamu? Kenapa?”
Dia mendekat ke bed di mana aku kini duduk, “Aku hanya mau kamu dapat yang terbaik selama di sini,” ujarnya pelan padaku
“Ini udah sangat baik Angga, udah cukup banget,” balasku mulai tidak suka dengan caranya ini.
“Tapi, Vio, kalau kamu pindah kamar kan lebih baik lagi.”
“Ngga bisa, kalau naik level, aku harus ada tambah bayar lagi, lagian ini juga udah bagus banget pelayanannya.”
“Kalau soal pembayaran, biar aku yang urus.”
Dan aku mulai kesal
“Maaf, Sus, saya tetap di ruangan ini, dan saya minta sama suster kalau ada yang minta apapun atau mau tahu kondisi saya, harap suster dan dokter mengkonfirmasikan ke saya dulu.”
Kali ini suaraku agak gemetar karena saking kesalnya.
“Oh, maaf, baik kalau begitu, saya permisi.” Kemudian suster itu keluar dari ruanganku.
“Vi, aku ke kantin bentaran ya, mau nitip?” kini Fandra yang bertanya sepertinya dia paham kalau aku dan Hanggara perlu waktu bicara hanya berdua saja.
“Ngga ada,” sahutku singkat.
Tanpa berkata-kata lagi, Fandra segera keluar dari kamarku.
Sekarang hanya ada aku dan Hanggara.
“Kalau kamu ngga ada keperluan lagi, lebih baik kamu pergi aja.” Kali ini terang-terangan aku mengusirnya.
Bukannya pergi dia malah duduk di sampingku.
“Sorry, kalau buat kamu marah, aku hanya mau yang terbaik buat kamu.”
“Seharusnya kamu tanya aku dulu.”
“Iya, maaf ya….” Aku agak kaget dengan reaksinya aku pikir dia akan membantah dan tidak akan minta maaf semudah ini.
“Sekarang aku boleh di sini kan?” tanyanya berusaha melihat ke mataku.
“Kamu ngga balik ke kantor?”
“Kalau boleh sih, aku maunya kerja dari sini aja, sambil nemenin kamu. Boleh?”
“Lebih baik kamu ke kantor aja, kalau mau ke sini ntar malam aja.”
“Temen kamu itu, Fandra, dia tidur di sini semalam?” aku menoleh ke arahnya dan tatapan kami bertemu.
“Iya, kenapa?”
“Jadi kamu lebih memilih dia yang nemenin kamu?”
“Aku ngga milih siapa-siapa. Aku lebih milih sendirian aja, tapi dia bersikeras.”
“Kalau aku bersikeras juga, gimana?”
“Ya terserah kalian sih, yang jelas kondisi di sini ya seperti ini, ngga ada tempat tidur yang layak.”
“Karena itu aku minta kamu pindah kamar.”
“Jadi kamu mau aku pindah kamar, untuk memfasilitasi diri kamu sendiri?”
“Bukan begitu, Vi, kok gitu sih ngomongnya?!”
Aku hanya tersenyum kecil
“Udah ah, kamu balik kantor aja, aku mau tidur.”
Aku sudah tidak peduli dengannya, atau siapa pun yang datang nanti.
Aku benar-benar lelah dan ingin tidur.
Diubah oleh drupadi5 11-09-2020 09:32
JabLai cOY dan 6 lainnya memberi reputasi
7