- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2231
Sedikit Mengenang
Sesampainya di perpustakaan, gue terkejut karena bertemu dengan kawan lama gue di S1 dulu, Ray Sukmara. Seorang anak dari tanah batak yang ternyata sedang meniti karir sebagai dosen di salah satu universitas di daerah asalnya. Aneh juga melihat dia kembali ada di kampus ini dan ketemu di perpustakaan ini.
“Ja, lagi apa kau disini? Hahaha. Ayoklah gabung disini.” Ujarnya dengan logat khas batak dan suara yang berdesibel tinggi. Sepertinya dia lupa kalau dia sedang berada di dalam perpustakaan.
Untuk menghindari kebisingan dari dia, gue segera menghampirinya. “Oy, Ray! Ah gilaaa! Nggak nyangka gue bisa ketemu lo lagi di sini! Hahaha.” Gue berpelukan dengannya. Rindu juga gue sama kawan lama gue ini.
“Gimana bro? Tumben amat kau dateng ke kampus? Nggak kerja memang kau?”
“Haha. Lagi kosong gue. Maklum, namanya juga self-employed. Jadinya gue memang lebih banyak waktu lowong. Kalau ada proyek baru deh sibuk. Haha.” Ujar gue seraya duduk di bangku kosong di samping dia.
“Mantap lah kalau begitu. Ngatur waktu kerja sendiri enak ya. Kalau kayak saya ini kan mau jadi dosen, jadi ada kewajiban melanjutkan sekolah dulu. Banyak tahapan-tahapan ribet yang wajib diambil sebelum menjadi dosen. Pusing saya! Apalagi standarnya sekarang minimal S2. Jadi saya mesti kejar S2 saya dulu sebelum jadi dosen Ja….” Gue melihat beberapa buku yang bertebaran di meja yang Ray gunakan saat itu. Dia masih belum berubah, anak perantauan yang cerdas dan pekerja keras.
“Eh iya, lo jadinya ngambil S2 di sini Ray? Katanya lo mau cabut ngelanjutin ke luar negeri?”
“Nah itu masalahnya Ja. Saya sudah coba ikut itu punya beasiswa di kampus saya di sana, tapi nggak dapat. Padahal masing-masing saya rasa saya punya kualifikasi sudah pas. Tetapi ya jatah beasiswa saya itu diserobot sama anak yang kenal orang dalam.”
“Hah? Seriusan lo? Kok bisa urusan beasiswa gini juga pake acara dikorupsi? Segala main jatah-jatahan pula lagi. Wah gila nih. Gimana mau maju pendidikan di Indonesia kalau misalnya mental penerima beasiswanya aja maling gitu?”
“Entahlah Ja. Padahal saya sudah berusaha belajar untuk mengejar beasiswa itu, tapi tetap mentah. Saya nggak dapat. Yah namanya juga saya hanya anak seorang petani miskin begini. Kalau sudah urusan materi dan koneksi ke orang dalam, saya pasti kalah. Mungkin dipikirnya mereka nggak akan dapat keuntungan apapun kali dengan menyekolahkan anak petani tinggi-tinggi karena dia pikir paling ujung-ujungnya jadi petani-petani juga. Haha. Makanya saya bersyukur Ja, waktu saya bisa dapat beasiswa S1 saya di sini sampai saya selesai S1. Nah sekarang saya coba mendaftar beasiswa lagi di sini untuk S2 saya, alhamdulillah saya diterima.”
“Halah, keuntungan apa lagi emang yang didapetin dari ngasih beasiswa anak orang? Ini mah tetep aja korupsi namanya. Masalahnya, ini tuh beasiswa loh! Masa yang kayak gini aja masih dikorupsi juga? Kapitalis amat ini orang-orang perasaan? Gila asli deh.”
“Dulu mungkin saya masih bisa mendebat orang-orang yang nggak sejalan begitu. Dan dulu saya masih bisa meluruskan keadaan. Tapi sekarang ini terkait sama siapa yang punya kuasa atau siapa yang dekat dengan para pemangku kepentingan. Jadi sekuat apapun saya mendebat dan sebagaimanapun usaha saya untuk kembali menunjukkann mana yang salah dan benar, saya akan tetap kalah. Apalagi saya minoritas. Sekarang minoritas walaupun benar, akan tetap menjadi salah. Pasrah saja dengan keadaan ketika tahu fakta itu terjadi di depan mata saya. Mungkin memang bukan rezeki saya di sana. Bukan jalan saya juga untuk menuntut ilmu di sana.“ papar dia sambil tersenyum. Tersenyum menertawakan keadaannya yang bukan berasal dari keluarga penuh privilege.
Gue tersenyum miris mendengar penjelasan Ray. Gue paham bagaimana rasanya kita nggak bisa mendapatkan apa yang kita ingin capai hanya karena permainan politik mereka-mereka yang mencari keuntungan di dalam kesengsaraan orang lain. Tetapi melihat Ray yang tidak berputus asa dan tidak menyerah ini berdiri di hadapan gue sembari menertawakan nasib dia, gue bangga. Dia masih terus mengejar mimpinya itu apapun yang dia hadapi.
Seketika gue langsung mengingat bagaimana hebatnya kawan-kawan gue semasa kuliah S1 dulu. Terutama mereka-mereka yang berasal dari daerah di luar Pulau Jawa. Sebagian besar, mereka memiliki keadaan ekonomi yang bisa dibilang cukup lemah, ya seperti keluarga si Ray ini. Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga petani, buruh, atau nelayan kecil di daerahnya masing-masing. Daerah-daerah yang bahkan gue nggak pernah dengar sebelumnya.
Gue yang mereka anggap ‘anak dari kota’ karena domisili gue yang bertempat di Pulau Jawa nggak malah malu dan menjauhi mereka ketika mereka bersikap sungkan atau norak ketika gue ajak mereka melihat kawasan Jabodetabek. Tetapi gue malah bangga bisa mengenal dan berteman dengan mereka. Karena mereka ini adalah para pejuang dari daerahnya masing-masing. Mereka berjuang, mengorbankan, dan meninggalkan semua yang mereka miliki di daerah asal mereka untuk menimba ilmu di daerah lebih besar.
Mereka bermodalkan tekat dan doa dari keluarga mereka di daerah, berjuang mati-matian untuk mendapatkan hasil terbaik selama kuliah. Gue pun nggak kalah bangganya seperti bagaimana keluarga mereka penuh haru melihat darah daging mereka berdiri di Auditorium Utama menggunakan toga bergelar sarjana. Banyak di antara kawan-kawan gue yang menjadi sarjana pertama di seluruh keluarga mereka.
Tidak jarang karena kehebatan akademis mereka ini malah menjadikan ragam diskusi atau kerjasama menyelesaikan tugas semakin seru, dan berujung tidak menemui titik temu karena nggak ada yang mau kalah. Seperti contohnya ketika dulu gue bersama kakak-kakak kelas gue mengikuti perlombaan sains. Keket yang saat itu menjadi seorang yang netral saja tetap sulit sekali ditaklukan pendapatnya karena kepintarannya.
Salah satu alasan kenapa gue masuk adalah perbedaan pola pikir dan cara pandang gue dari orang-orang yang kemampuan akademisnya secara kasat mata jauh diatas gue. Padahal yang lebih cerdas dan pintar dari gue itu banyak banget, salah satunya Ray ini.
Tetapi ya itu tadi, mereka terlalu disibukkan oleh pemikiran mereka sendiri dan akhirnya mentah kerjasama timnya. Sudah begitu, mereka selalu konsisten dengan metode-metode yang sesuai dengan keilmuannya. Padahal ilmu itu selalu berkembang, dan kita harus bisa selalu berinovasi atau berpikir lebih maju lagi kalau nggak mau ketinggalan jaman. Ini yang nggak banyak dimiliki oleh kawan-kawan pintar gue selama di kampus S1 dulu.
Pada sudut pandang lain, kadang perjuangan mereka pun nggak serta merta hanya karena ingin membanggakan keluarga mereka. Mereka kadangkala disibukkan oleh pemikiran bagaimana cara mendapatkan nilai baik agar tidak mengecewakan pemberi beasiswa mereka. Mereka penuh rasa takut beasiswa mereka dicabut karena nilai mereka dinggap kurang, tidak sesuai keinginan si pemberi beasiswa.
Hal ini yang menyebabkan akhirnya banyak di antara kawan-kawan gue itu kepintaran dan kecerdasannya jadi nggak berkembang signifikan. Mereka dicetak menjadi robot yang kelak menjadi budak kapitalis di masa depan. Siapa yang akan mengira kalau suatu saat nanti mereka akan menjadi salah satu orang yang menggagalkan impian Ray yang tinggi?
Karena perkara uang, Ray yang begitu pintar aja gagal menggapai impiannya bersekolah di luar negeri. Koneksi atau orang dalam di sini juga gue yakin berkaitan dengan uang. Makanya gue bilang ini namanya korupsi. Siapa yang bayar lebih mahal, dia akan dipermudah jalannya.
Padahal seharusnya beasiswa itu adalah biaya sekolah gratis yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan dan tidak memiliki biaya. Eh ini malah sebaliknya, beasiswa diberikan kepada mereka yang memiliki biaya untuk ‘membeli’ beasiswa tersebut. Berarti mereka tidak membutuhkan beasiswa tersebut bukan? Terus buat kepentingan apa selain mengejar label ‘mahasiswa penerima beasiswa’ agar mendapatkan prediksi cerdas? Aneh, tapi itulah yang terjadi di dunia pendidikan kita.
Orang-orang cerdas macam Ray, Keket, dan Emi kadangkala terlihat sangat keren, bagi mereka yang tidak terlalu pintar. Seperti gue. Gue adalah orang yang kagum dengan kecerdasan otak orang-orang ini. Apalagi gue mengenal mereka luar dalam. Membayangkan mereka ada di satu tim, minimal satu tim tugas kelompok kuliah akan sangat menyenangkan dan memudahkan bukan? Tapi itu hanya angan-angan orang medioker seperti gue.
Kenyataannya? orang-orang super cerdas seperti ini sejatinya nggak bisa disatukan. Kerja tim mereka itu sangat minim. Apalagi ketika berbeda pendapat. Ketika seharusnya selesai dalam waktu satu jam, karena ribut-ribut nggak penting soal pendapat siapa yang terbaik dan layak dipakai, pengerjaan jadi molor nggak karuan, dan pada akhirnya malah jadi jelek nilainya karena terlambat dikumpulkan.
Belum lagi kalau ada anak-anak pintar tapi sok mau nampang. Kebanyakan anak kelas gue dulu dikampus modelnya begini. Contoh mudahnya adalah ketika dosen atau asisten dosen lupa akan tugas yang mereka berikan, tiba-tiba ada anak konyol sok keren yang mengingatkan. Itu rasanya mau gue siram pakai cairan H2SO4 pekat aja biar mampus sekalian. Bayangkan betapa menderitanya gue ketika kuliah berkumpul dengan anak-anak rese dari sekolah-sekolah berbeda yang tersebar di seluruh nusantara? Haha.
Emi dan Keket yang notabene sangat dekat dengan gue, juga hampir sama seperti itu pada dasarnya, sulit didebat dan nggak mau kalah. Bedanya, pikiran mereka lebih terbuka. Kalau Keket karena terbawa oleh pemikiran gue, sementara Emi memang dari awal berpikiran terbuka dan nggak rese kayak anak-anak pintar pada umumnya. Emi—sebagai contoh, nggak pernah bilang belum belajar tapi tau-tau ketika hari H ujian ngumpulin duluan dan akhirnya mendapat nilai terbaik. Setidaknya itu testimoni dari beberapa teman gue seperti Ami Rantiarni dan Ray ini yang pernah berkesempatan mengajar di kelas Emi ketika kuliah.
Gue melihat jam di tangan kiri gue.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Banyak sekali obrolan mengenai kawan-kawan lama gue dan Ray sewaktu kuliah dulu yang membuat gue lupa waktu. Gue segera berpamitan ke Ray. Sepertinya dia masih banyak aktivitas yang perlu diselesaikan.
Dari perpustakaan, gue nggak langsung ke motor gue. Gue berjalan kaki menuju ke gedung fakultas gue yang nggak terlalu jauh jaraknya. Ternyata jalan pintas yang dulu sering digunakan para mahasiswa Fakultas C menuju ke perpustakaan sudah ditutup permanen dan berganti dengan gedung baru Fakultas G.
Ketika gue akhirnya menginjakkan kaki di gedung fakultas gue, memori-memori masa lalu yang menyenangkan sekaligus menyedihkan kembali terlintas dibenak gue ketika memasuki gedung fakultas ini. Fakultas dimana gue berkenalan dengan seorang Zalina yang menjadi pacar pertama gue di kampus ini, memori ketika gue akhirnya bisa mengenal Keket dan Sofi yang kakak kelas gue, Harmi dan Dee adik kelas gue, sampai terakhir Tuhan mempertemukan gue kepada Emi yang notabenenya nggak pernah sempat berada di waktu yang sama dengan gue ketika gue masih di kampus. Belum lagi selingan-selingan yang juga seru dan bikin emosi juga untuk diingat.
Dinamika pendidikan tinggi bersama orang-orang dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, bercampur dinamika percintaan dengan mereka-mereka yang ketika SMA gue pikir nggak akan pernah gue dapatkan, menjadi seru untuk diceritakan di masa depan nanti. Soalnya selama ini di dalam mindset gue, orang-orang yang berada di ranking 1 sampai dengan 3 di sekolah, gue anggap sebagai orang yang nggak mungkin bisa gue pacarin karena pasti omongannya nggak akan nyambung. Lagipula, gue juga udah minder duluan karena mereka pintar sedangkan gue cuma anak medioker saja. Tetapi lihat siapa sosok yang menjadi pendamping gue saat ini. Haha.
Mood gue akhirnya terus berangsur membaik. Gue teringat kalau ada hal yang belum perlu gue selesaikan sejak lama. Gue berinisiatif untuk berdamai dengan Arko. Bagaimanapun juga, Arko itu adalah sahabat gue sejak gue duduk di bangku sekolah. Nggak akan mungkin gue tega untuk memutus silaturahmi gue dengan dia hanya karena urusan band saja. Lagipula gue juga sudah sangat rindu berkomunikasi dengan dia. Hubungan persahabatan yang telah terjalin lama ini lah yang melunturkan kerasnya ego gue terkait masalah yang kami hadapi di band.
CALL EMI
Gue sama sekali nggak ngehubungin Dania saat itu. Lagipula gue yakin, adik gue bakalan udah asumsi sendiri ada dimana kakaknya sekarang.
“Ja, lagi apa kau disini? Hahaha. Ayoklah gabung disini.” Ujarnya dengan logat khas batak dan suara yang berdesibel tinggi. Sepertinya dia lupa kalau dia sedang berada di dalam perpustakaan.
Untuk menghindari kebisingan dari dia, gue segera menghampirinya. “Oy, Ray! Ah gilaaa! Nggak nyangka gue bisa ketemu lo lagi di sini! Hahaha.” Gue berpelukan dengannya. Rindu juga gue sama kawan lama gue ini.
“Gimana bro? Tumben amat kau dateng ke kampus? Nggak kerja memang kau?”
“Haha. Lagi kosong gue. Maklum, namanya juga self-employed. Jadinya gue memang lebih banyak waktu lowong. Kalau ada proyek baru deh sibuk. Haha.” Ujar gue seraya duduk di bangku kosong di samping dia.
“Mantap lah kalau begitu. Ngatur waktu kerja sendiri enak ya. Kalau kayak saya ini kan mau jadi dosen, jadi ada kewajiban melanjutkan sekolah dulu. Banyak tahapan-tahapan ribet yang wajib diambil sebelum menjadi dosen. Pusing saya! Apalagi standarnya sekarang minimal S2. Jadi saya mesti kejar S2 saya dulu sebelum jadi dosen Ja….” Gue melihat beberapa buku yang bertebaran di meja yang Ray gunakan saat itu. Dia masih belum berubah, anak perantauan yang cerdas dan pekerja keras.
“Eh iya, lo jadinya ngambil S2 di sini Ray? Katanya lo mau cabut ngelanjutin ke luar negeri?”
“Nah itu masalahnya Ja. Saya sudah coba ikut itu punya beasiswa di kampus saya di sana, tapi nggak dapat. Padahal masing-masing saya rasa saya punya kualifikasi sudah pas. Tetapi ya jatah beasiswa saya itu diserobot sama anak yang kenal orang dalam.”
“Hah? Seriusan lo? Kok bisa urusan beasiswa gini juga pake acara dikorupsi? Segala main jatah-jatahan pula lagi. Wah gila nih. Gimana mau maju pendidikan di Indonesia kalau misalnya mental penerima beasiswanya aja maling gitu?”
“Entahlah Ja. Padahal saya sudah berusaha belajar untuk mengejar beasiswa itu, tapi tetap mentah. Saya nggak dapat. Yah namanya juga saya hanya anak seorang petani miskin begini. Kalau sudah urusan materi dan koneksi ke orang dalam, saya pasti kalah. Mungkin dipikirnya mereka nggak akan dapat keuntungan apapun kali dengan menyekolahkan anak petani tinggi-tinggi karena dia pikir paling ujung-ujungnya jadi petani-petani juga. Haha. Makanya saya bersyukur Ja, waktu saya bisa dapat beasiswa S1 saya di sini sampai saya selesai S1. Nah sekarang saya coba mendaftar beasiswa lagi di sini untuk S2 saya, alhamdulillah saya diterima.”
“Halah, keuntungan apa lagi emang yang didapetin dari ngasih beasiswa anak orang? Ini mah tetep aja korupsi namanya. Masalahnya, ini tuh beasiswa loh! Masa yang kayak gini aja masih dikorupsi juga? Kapitalis amat ini orang-orang perasaan? Gila asli deh.”
“Dulu mungkin saya masih bisa mendebat orang-orang yang nggak sejalan begitu. Dan dulu saya masih bisa meluruskan keadaan. Tapi sekarang ini terkait sama siapa yang punya kuasa atau siapa yang dekat dengan para pemangku kepentingan. Jadi sekuat apapun saya mendebat dan sebagaimanapun usaha saya untuk kembali menunjukkann mana yang salah dan benar, saya akan tetap kalah. Apalagi saya minoritas. Sekarang minoritas walaupun benar, akan tetap menjadi salah. Pasrah saja dengan keadaan ketika tahu fakta itu terjadi di depan mata saya. Mungkin memang bukan rezeki saya di sana. Bukan jalan saya juga untuk menuntut ilmu di sana.“ papar dia sambil tersenyum. Tersenyum menertawakan keadaannya yang bukan berasal dari keluarga penuh privilege.
Gue tersenyum miris mendengar penjelasan Ray. Gue paham bagaimana rasanya kita nggak bisa mendapatkan apa yang kita ingin capai hanya karena permainan politik mereka-mereka yang mencari keuntungan di dalam kesengsaraan orang lain. Tetapi melihat Ray yang tidak berputus asa dan tidak menyerah ini berdiri di hadapan gue sembari menertawakan nasib dia, gue bangga. Dia masih terus mengejar mimpinya itu apapun yang dia hadapi.
Seketika gue langsung mengingat bagaimana hebatnya kawan-kawan gue semasa kuliah S1 dulu. Terutama mereka-mereka yang berasal dari daerah di luar Pulau Jawa. Sebagian besar, mereka memiliki keadaan ekonomi yang bisa dibilang cukup lemah, ya seperti keluarga si Ray ini. Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga petani, buruh, atau nelayan kecil di daerahnya masing-masing. Daerah-daerah yang bahkan gue nggak pernah dengar sebelumnya.
Gue yang mereka anggap ‘anak dari kota’ karena domisili gue yang bertempat di Pulau Jawa nggak malah malu dan menjauhi mereka ketika mereka bersikap sungkan atau norak ketika gue ajak mereka melihat kawasan Jabodetabek. Tetapi gue malah bangga bisa mengenal dan berteman dengan mereka. Karena mereka ini adalah para pejuang dari daerahnya masing-masing. Mereka berjuang, mengorbankan, dan meninggalkan semua yang mereka miliki di daerah asal mereka untuk menimba ilmu di daerah lebih besar.
Mereka bermodalkan tekat dan doa dari keluarga mereka di daerah, berjuang mati-matian untuk mendapatkan hasil terbaik selama kuliah. Gue pun nggak kalah bangganya seperti bagaimana keluarga mereka penuh haru melihat darah daging mereka berdiri di Auditorium Utama menggunakan toga bergelar sarjana. Banyak di antara kawan-kawan gue yang menjadi sarjana pertama di seluruh keluarga mereka.
Tidak jarang karena kehebatan akademis mereka ini malah menjadikan ragam diskusi atau kerjasama menyelesaikan tugas semakin seru, dan berujung tidak menemui titik temu karena nggak ada yang mau kalah. Seperti contohnya ketika dulu gue bersama kakak-kakak kelas gue mengikuti perlombaan sains. Keket yang saat itu menjadi seorang yang netral saja tetap sulit sekali ditaklukan pendapatnya karena kepintarannya.
Salah satu alasan kenapa gue masuk adalah perbedaan pola pikir dan cara pandang gue dari orang-orang yang kemampuan akademisnya secara kasat mata jauh diatas gue. Padahal yang lebih cerdas dan pintar dari gue itu banyak banget, salah satunya Ray ini.
Tetapi ya itu tadi, mereka terlalu disibukkan oleh pemikiran mereka sendiri dan akhirnya mentah kerjasama timnya. Sudah begitu, mereka selalu konsisten dengan metode-metode yang sesuai dengan keilmuannya. Padahal ilmu itu selalu berkembang, dan kita harus bisa selalu berinovasi atau berpikir lebih maju lagi kalau nggak mau ketinggalan jaman. Ini yang nggak banyak dimiliki oleh kawan-kawan pintar gue selama di kampus S1 dulu.
Pada sudut pandang lain, kadang perjuangan mereka pun nggak serta merta hanya karena ingin membanggakan keluarga mereka. Mereka kadangkala disibukkan oleh pemikiran bagaimana cara mendapatkan nilai baik agar tidak mengecewakan pemberi beasiswa mereka. Mereka penuh rasa takut beasiswa mereka dicabut karena nilai mereka dinggap kurang, tidak sesuai keinginan si pemberi beasiswa.
Hal ini yang menyebabkan akhirnya banyak di antara kawan-kawan gue itu kepintaran dan kecerdasannya jadi nggak berkembang signifikan. Mereka dicetak menjadi robot yang kelak menjadi budak kapitalis di masa depan. Siapa yang akan mengira kalau suatu saat nanti mereka akan menjadi salah satu orang yang menggagalkan impian Ray yang tinggi?
Karena perkara uang, Ray yang begitu pintar aja gagal menggapai impiannya bersekolah di luar negeri. Koneksi atau orang dalam di sini juga gue yakin berkaitan dengan uang. Makanya gue bilang ini namanya korupsi. Siapa yang bayar lebih mahal, dia akan dipermudah jalannya.
Padahal seharusnya beasiswa itu adalah biaya sekolah gratis yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan dan tidak memiliki biaya. Eh ini malah sebaliknya, beasiswa diberikan kepada mereka yang memiliki biaya untuk ‘membeli’ beasiswa tersebut. Berarti mereka tidak membutuhkan beasiswa tersebut bukan? Terus buat kepentingan apa selain mengejar label ‘mahasiswa penerima beasiswa’ agar mendapatkan prediksi cerdas? Aneh, tapi itulah yang terjadi di dunia pendidikan kita.
Orang-orang cerdas macam Ray, Keket, dan Emi kadangkala terlihat sangat keren, bagi mereka yang tidak terlalu pintar. Seperti gue. Gue adalah orang yang kagum dengan kecerdasan otak orang-orang ini. Apalagi gue mengenal mereka luar dalam. Membayangkan mereka ada di satu tim, minimal satu tim tugas kelompok kuliah akan sangat menyenangkan dan memudahkan bukan? Tapi itu hanya angan-angan orang medioker seperti gue.
Kenyataannya? orang-orang super cerdas seperti ini sejatinya nggak bisa disatukan. Kerja tim mereka itu sangat minim. Apalagi ketika berbeda pendapat. Ketika seharusnya selesai dalam waktu satu jam, karena ribut-ribut nggak penting soal pendapat siapa yang terbaik dan layak dipakai, pengerjaan jadi molor nggak karuan, dan pada akhirnya malah jadi jelek nilainya karena terlambat dikumpulkan.
Belum lagi kalau ada anak-anak pintar tapi sok mau nampang. Kebanyakan anak kelas gue dulu dikampus modelnya begini. Contoh mudahnya adalah ketika dosen atau asisten dosen lupa akan tugas yang mereka berikan, tiba-tiba ada anak konyol sok keren yang mengingatkan. Itu rasanya mau gue siram pakai cairan H2SO4 pekat aja biar mampus sekalian. Bayangkan betapa menderitanya gue ketika kuliah berkumpul dengan anak-anak rese dari sekolah-sekolah berbeda yang tersebar di seluruh nusantara? Haha.
Emi dan Keket yang notabene sangat dekat dengan gue, juga hampir sama seperti itu pada dasarnya, sulit didebat dan nggak mau kalah. Bedanya, pikiran mereka lebih terbuka. Kalau Keket karena terbawa oleh pemikiran gue, sementara Emi memang dari awal berpikiran terbuka dan nggak rese kayak anak-anak pintar pada umumnya. Emi—sebagai contoh, nggak pernah bilang belum belajar tapi tau-tau ketika hari H ujian ngumpulin duluan dan akhirnya mendapat nilai terbaik. Setidaknya itu testimoni dari beberapa teman gue seperti Ami Rantiarni dan Ray ini yang pernah berkesempatan mengajar di kelas Emi ketika kuliah.
Gue melihat jam di tangan kiri gue.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Banyak sekali obrolan mengenai kawan-kawan lama gue dan Ray sewaktu kuliah dulu yang membuat gue lupa waktu. Gue segera berpamitan ke Ray. Sepertinya dia masih banyak aktivitas yang perlu diselesaikan.
Dari perpustakaan, gue nggak langsung ke motor gue. Gue berjalan kaki menuju ke gedung fakultas gue yang nggak terlalu jauh jaraknya. Ternyata jalan pintas yang dulu sering digunakan para mahasiswa Fakultas C menuju ke perpustakaan sudah ditutup permanen dan berganti dengan gedung baru Fakultas G.
Ketika gue akhirnya menginjakkan kaki di gedung fakultas gue, memori-memori masa lalu yang menyenangkan sekaligus menyedihkan kembali terlintas dibenak gue ketika memasuki gedung fakultas ini. Fakultas dimana gue berkenalan dengan seorang Zalina yang menjadi pacar pertama gue di kampus ini, memori ketika gue akhirnya bisa mengenal Keket dan Sofi yang kakak kelas gue, Harmi dan Dee adik kelas gue, sampai terakhir Tuhan mempertemukan gue kepada Emi yang notabenenya nggak pernah sempat berada di waktu yang sama dengan gue ketika gue masih di kampus. Belum lagi selingan-selingan yang juga seru dan bikin emosi juga untuk diingat.
Dinamika pendidikan tinggi bersama orang-orang dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, bercampur dinamika percintaan dengan mereka-mereka yang ketika SMA gue pikir nggak akan pernah gue dapatkan, menjadi seru untuk diceritakan di masa depan nanti. Soalnya selama ini di dalam mindset gue, orang-orang yang berada di ranking 1 sampai dengan 3 di sekolah, gue anggap sebagai orang yang nggak mungkin bisa gue pacarin karena pasti omongannya nggak akan nyambung. Lagipula, gue juga udah minder duluan karena mereka pintar sedangkan gue cuma anak medioker saja. Tetapi lihat siapa sosok yang menjadi pendamping gue saat ini. Haha.
Mood gue akhirnya terus berangsur membaik. Gue teringat kalau ada hal yang belum perlu gue selesaikan sejak lama. Gue berinisiatif untuk berdamai dengan Arko. Bagaimanapun juga, Arko itu adalah sahabat gue sejak gue duduk di bangku sekolah. Nggak akan mungkin gue tega untuk memutus silaturahmi gue dengan dia hanya karena urusan band saja. Lagipula gue juga sudah sangat rindu berkomunikasi dengan dia. Hubungan persahabatan yang telah terjalin lama ini lah yang melunturkan kerasnya ego gue terkait masalah yang kami hadapi di band.
CALL EMI
Quote:
Gue sama sekali nggak ngehubungin Dania saat itu. Lagipula gue yakin, adik gue bakalan udah asumsi sendiri ada dimana kakaknya sekarang.
itkgid dan 28 lainnya memberi reputasi
29