- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2221
Perjalanan Religi
Hari keberangkatan Umroh Mama, Kakek, dan Nenek gue sudah tiba. Ada rasa haru dan kesedihan dalam benak gue. Tapi itu semua berubah menjadi kekesalan yang tertahan karena rempongnya nggak habis-habis. Gue pikir dengan gue pergi selama kemarin, semua kehebohan persiapan di rumah sudah selesai. Eh yang ada, malah makin kebingungan. Sepertinya keberadaan Adit di rumah pun nggak merubah apapun.
Gue sudah bilang kalau urusan umroh ini sudah terjadwal. Semua kebutuhan dan persiapan di sana, sudah diatur dengan baik oleh penyedia jasa travel ini, yang dimasa depan ternyata terkena masalah penggelapan uang jamaah. Hahaha. Ya karena gue sudah berpengalaman sebelumnya, makanya gue bisa bilang seperti itu. Gue pun sudah memperkirakan kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk jarak tempuh ke hotel dekat bandara, tempat berkumpulnya para calon jamaah umroh.
Dulu gue sempat diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan serupa. Kala itu gue masih bersama dengan Dee. Gue pergi dengan beberapa orang termasuk Om Reza sekeluarga, serta Mas Sigit, salah satu staf kepercayaan Om Reza dan Papa. Waktu itu masih lebih murah biaya kesananya dan gue menggunakan uang tabungan gue.
Rute gue adalah ke Madinah dulu, baru ke Makkah. Gue berada disana selama 10 hari. Sepanjang waktu gue disana, gue lebih banyak menghabiskan waktu untuk ibadah. Travel sudah menawarkan untuk jalan-jalan ke Mesir atau Turki, tapi kami menolak.
Sayang kalau ibadah yang bisa menambah banyak amal dihabiskan waktunya ke tempat lain. Perjalanan ini adalah perjalan religi yang benar-benar untuk ibadah, bukan wisata. Soalnya katanya kalau Salat di Tanah Haram satu kali, itu sama dengan seratus ribu kali salat di tempat lain. Mohon koreksi kalau salah.
Perjalanan dari Jakarta ke Dammam—gue transit di kota ini dulu sebelum ke Madinah, sekitar 14-15 jam. Sementara dari Dammam ke Madinah sekitar 2 jam naik pesawat lagi, gue lupa. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Intinya gue lebih banyak menghabiskan waktu di Masjid Nabawi ketimbang di hotel yang sebenarnya sangat nyaman itu.
Cuaca disana juga lagi panas-panasnya. Cuaca tengah malam disana sama dengan cuaca ibukota pada jam 12 siang. Bayangin aja siangnya kayak apa panasnya disana. Haha. Disana juga gue melihat dan kagum terhadap para penghafal Al-Quran yang sedari subuh sudah mulai menghafal, dengan metode-metode unik. Sama sekali nggak kaku dan seperti pikiran orang-orang fanatik di negeri ini.
Disana juga gue banyak melihat perempuan bercadar. Tujuan utama mereka mengenakan pakaian ini adalah menghindari banyaknya debu pasir. Setidaknya dari beberapa orang yang gue tanyakan ketika sedang santai di mall atau rumah makan, seperti itu bilangnya.
Diantara dua kota, Madinah dan Makkah, gue merasakan perbedaan yang signifikan. Kota Madinah serta masjid Nabawi-nya itu sangat teduh dan tenang, sementara di Makkah, hiruk pikuk dan dinamisnya sebuah kota sangat terasa. Di Kota Makkah juga gue melihat fenomena unik yang nggak pernah gue temui di Indonesia. Mereka adalah joki untuk orang-orang difabel yang beroperasi di sekitar Masjidil Haram. Mereka menawarkan jasa mendorong kursi roda untuk jamaah difabel atau lansia.
Awalnya gue berpikir ini adalah orang-orang mulia. Ternyata memang itu adalah sebuah pekerjaan. Tawar-tawaran juga untuk harganya. Haha. Ketika di Masjidil Haram, gue boleh Salat dimanapun, bercampur pula antara Laki-laki dan perempuan. Nah, mereka (joki) seringkali meminta minggir orang yang sedang salat ini. Logika aja, masa iya orang lagi salat disuruh minggir. Haha. Tapi itu unik sih menurut gue. Mending pada ke Indonesia aja, dengan pakaian sama (mereka kebanyakan memakai gamis dan peci putih), modal muka timur tengah, nanti pasti banyak yang cium tangan deh. Terus sekalian ngomongnya tetap dengan bahasa asli saja, nanti ada sound effect ‘AMIN’ dari banyak orang lain sebagai pengiring. Keren kan?
Selama disana pun gue sempat mengunjungi beberapa tempat seperti Bir Ali, kemudian perkebunan kurma terbesar di Saudi, lalu ke pabrik percetakan Al-Qur’an yang ternyata banyak sekali orang Indonesia yang bekerja disana, dan ke Jabbal Magnit. Tempat yang terakhir gue sebut ini luar biasa, karena benar-benar seperti magnet yang menarik besi-besi. Bis yang gue tumpangi bersama rombongan ketika keluar dari wilayah ini—jika nggak di gas terus sekuat tenaga, maka akan kembali mundur. Tertarik kembali ke wilayah ini.
Perjalanan yang menyenangkan sekaligus religius yang pernah gue lalui selama hidup, dan selalu ada kerinduan kembali kesana. Apalagi ketika melakukan tawaf didepan Ka’bah. Sensasi luar biasa serta ingat terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan membuat gue berulang kali menitikkan air mata. Gue juga sempat mencium Hajar Aswad padahal saingan gue banyak orang-orang bule yang badannya segede-gede sapi buat Qurban.
Kembali ke urusan keluarga gue.
Mama dan Mbah itu nggak langsung kumpul di bandara. Mereka itu diminta untuk berkumpul dulu di hotel sebelum keberangkatannya, biar penyedia jasa travel bisa memeriksa kelengkapan dan keadaan masing-masing jamaah terlebih dahulu sebelum keberangkatan. Kalaupun ada kekurangan, mereka akan bantu untuk melengkapi. Jadi, seharusnya Mama nggak perlu seheboh ini juga. Tetapi ini Mama yang gue bahas. Mama selalu seperti ini.
Saat itu masih pagi banget, jam 10 pagi juga belum. Tetapi Mama sudah heboh meminta gue siap-siap biar kami segera berangkat sebelum jam 12 siang. Sedangkan jadwal mereka itu berkumpul di hotel itu jam 6 sore dan paling lambat jam 8 malam. Karena panitia khawatir ada kekurangan, seperti yang gue sebut sebelumnya. Jadi, sebelum keberangkatan mereka tengah malam, kekurangan masing-masing jamaah masih bisa dilengkapi kembali.
Selain itu, rumah gue itu bukan antah berantah dimana perjalanan dari rumah gue ke bandara nggak akan menghabiskan 5-10 jam sendiri. Satu jam juga sudah sampe ke bandara. Lah ini? Berangkat jam 12 siang terus sampe di hotel jam 1 mau ngapain kalau panitia nya juga belum nyiapin apa-apa? 6 jam luntang lantung di hotel ngapain? Mama itu nggak kasian sama Mbah apa? Mama jadi nggak logis kalau lagi repot begini. Kebiasaan seperti ini yang gue nggak suka dari dulu.
Seringkali gue harus diburu-buru oleh Mama untuk datang ke acara keluarga, padahal pas sampai ditujuan, saudara-saudara lain belum datang. Ketika dibalik posisinya, yakni keluarga gue yang ketempatan, malah pada ngeluh dengan alasan jauh perjalanannya. Lah gue selalu disuruh datang ke acara-acara keluarga ke rumah mereka dan seperti nggak boleh telat, giliran mereka datang kerumah gue alasannya jauh, jadi pada suka telat bahkan nggak datang. Bangs*t emang. Inilah salah satu penyebab juga gue malas kalau kumpul keluarga dari pihak Papa. Tapi kalau ke rumah Emir, mau nyebrang pulau juga pasti dijabanin anjeeeng.
Gue menolak untuk berangkat siang itu. Gue bilang kalau gue mau berangkat sore dan mampir ke kantor Emi dulu yang letaknya nggak jauh dari bandara. Gue mau Emi ikut mengantarkan Mama, Kakek, dan Nenek gue. Lagipula ini mobil Emi, jadi seharusnya suka-suka gue juga kan? Kalau misalnya Mama dan yang lain mau berangkat duluan ya silahkan. Siapapun yang mau diangkut dengan keluarga gue, silahkan ikut aturan gue.
Dan berujung mereka ikut keputusan gue karena memang pemikiran gue itu paling logis saat itu. Gue kembali istirahat di kamar. Entah Mama dan yang lain sibuk persiapan apa lagi di luar kamar, gue nggak peduli. Percuma juga gue ingetin ini itu, mereka pasti nggak akan mau dengerin omongan gue.
Ternyata ketika sore tiba, keadaan menjadi kacau. Yang sudah repot malah semakin repot. Kenapa? Mobil gue yang ada di rumah, nggak bisa distarter. Katanya dari siang udah dicoba distarter, mobilnya tetep nggak mau nyala. Sudah nggak mungkin lagi kita harus menunggu orang bengkel untuk dateng ke rumah. Jadi, kami semua memutuskan untuk mengangkut semua orang plus seluruh barang di mobil Emi. Padahal mobil Emi nggak sebesar mobil gue dirumah, jadinya ngepas banget.
“Emi suruh naik taksi aja kenapa sih Kak? Katanya mandiri, eh malah manja. Nggak tau apa lagi repot begini.” tanya Dania dengan nada sinis selama perjalanan ke kantor Emi. Bukannya nurut aja, eh malah masih nuntut gue.
“Ini mobil dia, tapi lo suruh dia naik taksi? Lo lagi ngelawak apa gimana? Terus emang lo repot apaan? Tinggal duduk doang. Yang nyetir juga gue….” jawab gue dengan pertanyaan retoris.
“Mobil dia? Ini itu mobil kamu kak. Kamu yang susah payah beli kok malah dia yang bikin aturan sendiri?” Sahut Mama.
“Iya emang aku yang beli mobilnya. Tapi ini aku hadiahin buat dia. Ya itung-itung buat rencana ngelamar dia nanti.” Gue sengaja melempar bahasan ini di mobil, biar Kakek dan Nenek gue juga ikut dengar. Biar Dania juga nggak banyak nyalahin Emi terus.
“Yakin emang kamu sama dia Kak?” Tanya Mama.
“Aku udah bahas berapa kali sama Mama. Mama masih aja terus nanya kayak begini.”
“Apa kamu nggak mau pikir-pikir dulu?”
“Sudah, sudah… Ijanya udah mau sama Emi mbok ya biarkan saja. Kenapa malah kamu seperti itu toh Nduk?” Potong Kakek gue dengan suara lembut tapi tegas.
“Iya, kamu ini jangan kasih tekanan terus ke Ija Nduk. Mbah denger dari kemarin kalian begitu terus.” Kata Nenek gue ke Mama.
“…….” Mama diam saja dibalas begitu oleh Kakek dan Nenek gue.
Gue hanya bisa tersenyum dalam hati. Kakek dan Nenek gue sepertinya mengerti apa yang ada dalam hati gue dan pikiran gue. Gue nggak nyangka kalau mereka lebih peka dibandingkan keluarga kecil gue sendiri. Mereka sadar kalau dengan keberadaan Emi, hidup gue jadi lebih berwarna. Mereka juga seperti mengerti kalau gue memang cocoknya sama Emi.
Mungkin awalnya Mama berpikiran seperti itu, sampai akhirnya menemukan fakta bahwa ada beberapa kebiasaan gue yang berubah setelah Emi ada di hidup gue. Sebenarnya di sini ada sedihnya juga gue. Ya seperti yang gue bilang sebelumnya, mereka secara nggak langsung menunjukkan kalau mereka sebenarnya nggak tau apa yang gue butuhkan dan apa yang gue inginkan.
Gue itu sedari dulu sangat senang yang namanya jalan-jalan, karena Papa sering mengajak kami sekeluarga traveling, entah di dalam kota ataupun sampai keluar kota. Papa pun nggak ragu menginap selama di akhir pekan sekedar untuk quality time bersama keluarga, jauh dari hiruk pikuk ibu kota dan pekerjaannya yang hectic.
Itulah yang membuat gue juga jadi senang jalan-jalan, terutama jalan-jalan yang bersifat menikmati keindahan alam. Mungkin mereka taunya semenjak gue LDR dengan Dee, gue adalah seorang anak rumahan yang kerjaannya hanya main game, tidur, dan nonton film di rumah. Begitu terus kegiatan gue selama akhir pekan. Gue sama sekali nggak pergi kemana-mana. Ya mau pergi kemana lagi kalau nggak ada yang diajak pergi? Ya sesekali gue memang ada pergi dengan Feni dan Ara.
Kalaupun gue nggak pergi dengan Dee, gue juga nggak menemukan teman yang tepat untuk diajak jalan-jalan seperti yang gue mau itu. Drian dan Arko bukan tipikal orang yang suka jalan-jalan. Kalaupun mereka mau diajak jalan-jalan, mereka nggak akan mau diajak pergi jauh yang perjalanannya sendiri bisa menghabiskan waktu setengah hari. Nggak banyak orang yang suka diajak seperti itu. Palingan solusinya ya pergi ke mall terdekat yang menurut gue itu bisa didatengin kapapun.
Apalagi semenjak Arko pindah ke Ibukota dan sudah berkeluarga, jadi agak sulit untuk menemukan waktu yang tepat. Sementara Drian ini orangnya letoy dan klamar-klemer. Fisiknya agak lemah karena nggak pernah dilatih berolahraga. Diajak jalan kaki dikit aja udah capek, apalagi hangout ke tempat wisata alam, bisa KO dia. Haha. Jadi ya gue lebih banyak berdiam diri di rumah dan bermain game, notnon film atau menulis.
--
Akhirnya sepanjang sisa perjalanan ke kantor Emi, gue hanya diam saja dan menikmati lagu-lagu yang terputar di pemutar musik mobil. Kebetulan saat itu jalanan cukup lengang sehingga gue bisa datang ke kantor Emi lebih cepat.
Sesampainya gue di sana, gue mencoba chat Emi tetapi nggak ada balasan. Gue pun akhirnya mencoba menelpon Emi dan ternyata juga nggak diangkat. Gue sengaja menunggu sebentar. Gue takut dia lagi meeting atau masih ada di lapang.
Gue memutuskan keluar mobil dan masuk ke dalam kantornya. Gue menuju lobi kantor yang bercat putih dengan pintu kaca rangka alumunium. Gue kemudian bertanya ke sekuriti yang di dada kanannya tertulis bernama Fajar—oh, orang ini yang sempat Emi ceritakan terlibat cinlok dengan Debby, dan dia menjawab kalau Emi masih di dalam. Gue menitipkan pesan untuk disampaikan kalau gue sudah sampai.
Satu orang satpam bernama Ratno naik ke lantai 3 untuk menyampaikan pesan tersebut. Cukup lama gue menunggu, bahkan sampai akhirnya Mama pun ikut gabung dengan gue di lobi. Mama yang ikut dengan gue ini bukannya mencoba tenang, malah sangat membuat gue kesal. Kenapa nggak bisa sabar sedikit untuk menunggu Emi? Bahkan Mama malah ikutan terus menerus menghubungi Emi padahal sudah gue bilang kalau Emi memang sedang meeting.
Akhirnya Pak Ratno sudah berada di depan gue lagi. Dia mengatakan kalau Emi sudah beres meeting dan akan segera keluar kantor. Setelah lega sudah mendapatkan kabar, gue mengajak Mama untuk menunggu di dalam mobil.
Emi menampakkan diri dengan tergopoh-gopoh menggendong tasnya dari dalam kantor. Wajahnya agak kusam. Selain itu ekspresinya juga menyiratkan kekhawatiran. Entah apa itu gue nggak tau. Yang jelas, dengan ekspresi wajah seperti ini, dia pasti sedang nggak enak hati. Gue paham, sikap keluarga gue ke dia pun memang nggak baik. Kasian dia.
Penuhnya mobil saat itu membuat Emi duduk di bagian belakang mobil yang sudah sangat penuh dengan barang-barang bawaan. Gue sangat nggak enak sama dia, karena ini adalah mobilnya. Kabin mobil seperti diselimuti kabut mendung yang nggak enak buat Emi. Semuanya berasal dari Dania dan juga Mama. Mereka terus menerus membuat Emi nggak nyaman, seakan Emi jadi penyebab mereka semakin repot.
“Buru, Kak!” Mama berujar tegas.
“Apaan sih diburu-buru? Ini tuh cuman buat check-in hotel doang. Pesawatnya berangkat tengah malem nanti. Ini Magrib aja belum. Paling lambat nyampe sana jam 8 malem kan? Kenapa ribet banget sekarang hah?” kata gue nggak kalah sewot dari kursi driver.
“Kan siapa tau ada hal lain---” balas Mama.
“Udah deh, Ma. Nggak usah jadi mikir ribet….” Gue buru-buru memotong omongan.
“IJA!” gue kaget kakek gue membentak gue. “Udah jangan ribut terus. Mama kamu itu mau berangkat umroh. Jangan sampe kamu nyesel karena kata-kata terakhir yang kamu ucapin ke Mama malah hal-hal yang nggak enak!”
“……” gue diam seribu bahasa.
Memang nggak enak dapat omongan bernada ancaman seperti itu. Bagaimanapun gue tetap sayang Mama. Karena gue sayang ini lah makanya gue sering ribut dengannya. Gue nggak mau Mama pikirannya jadi keganggu karena selalu melabeli gue dengan hal negatif dan nggak sesuai kemauannya.
Ternyata, perjalanan dari kantor Emi ke hotel itu hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja. Singkat banget kan? Inilah yang gue nggak terima dari awal itu. Gue udah bilang kalau perjalanannya dari kantor Emi singkat dan nggak akan ketinggalan apapun. Tapi Mama nggak percaya dengan omongan gue.
Begitu kami sampai di hotel pun, semua belum ngapa-ngapain. Panitia belum siap. Bahkan bis yang akan mengangkut Mama, Kakek, dan Nenek gue ke bandara pun belum datang. Maklum, kepergian mereka itu masih dini hari. Masih banyak waktu. Gue hanya bisa menggerutu dalam hati. Gue nggak mau berdebat lagi dengan keluarga gue, apalagi di depan Emi. Gue sangat yakin kalau gue terlihat berdebat lagi, Emi pasti akan merasa sangat bersalah.
Kami akhirnya menghabiskan waktu dengan membeli makanan dari resto yang ada di sekitar hotel. Hanya gue, Emi, Dania, dan Adit. Mama, Kakek, dan Nenek gue minta untuk menunggu di lobi hotel, di sana mereka bisa lebih nyaman. Panitia pun ternyata sudah mulai melayani mereka yang datang lebih dulu.
Kami pun jalan kembali ke lobi hotel tepat ketika Mama menelpon kalau mereka sudah bisa masuk ke dalam kamar yang disediakan. Selanjutnya, gue sibuk meminta maaf dengan keadaan yang nggak enak ini ke Emi. Emi tentu aja bete, mana ada orang yang nggak bete kalau dijudesin seperti itu oleh keluarga orang lain, keluarga pacar lebih tepatnya. Gue sangat merasa bersalah. Tau gitu mendingan Emi nggak usah ikut aja kalau tau bakalan ribet dan kena marah, padahal dia nggak ngapa-ngapain.
Sekitar pukul 20.00, akhirnya setelah briefing, semua sudah beres. Mama memeluk gue dan nggak lupa mengulangi kalimat yang intinya disuruh menjaga Dania. Gue hanya diam aja nggak berkata-kata apapun. Gue nggak mau memulai pertengkaran dengan Mama dimomen penting seperti ini.
Gue juga melihat Emi dipeluk dengan erat dibisikkan sesuatu oleh Nenek gue. entah apa itu. Yang jelas cukup lama bisikan tersebut. Dari jauh gue melihat Emi banyak tersenyum dan mengangguk. Semoga hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang positif. Mama pun berpamitan dengan Emi. Momen yang langka, tapi sebenarnya ya normal. Emi kan juga lumayan sering gue ajak main kerumah gue. Semoga Mama tulus berpamitan dengan Emi tersebut.
Dan gue pun melepas kepergian Mama, Kakek, dan Nenek gue ke Tanah Suci malam itu.
Gue sudah bilang kalau urusan umroh ini sudah terjadwal. Semua kebutuhan dan persiapan di sana, sudah diatur dengan baik oleh penyedia jasa travel ini, yang dimasa depan ternyata terkena masalah penggelapan uang jamaah. Hahaha. Ya karena gue sudah berpengalaman sebelumnya, makanya gue bisa bilang seperti itu. Gue pun sudah memperkirakan kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk jarak tempuh ke hotel dekat bandara, tempat berkumpulnya para calon jamaah umroh.
Dulu gue sempat diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan serupa. Kala itu gue masih bersama dengan Dee. Gue pergi dengan beberapa orang termasuk Om Reza sekeluarga, serta Mas Sigit, salah satu staf kepercayaan Om Reza dan Papa. Waktu itu masih lebih murah biaya kesananya dan gue menggunakan uang tabungan gue.
Rute gue adalah ke Madinah dulu, baru ke Makkah. Gue berada disana selama 10 hari. Sepanjang waktu gue disana, gue lebih banyak menghabiskan waktu untuk ibadah. Travel sudah menawarkan untuk jalan-jalan ke Mesir atau Turki, tapi kami menolak.
Sayang kalau ibadah yang bisa menambah banyak amal dihabiskan waktunya ke tempat lain. Perjalanan ini adalah perjalan religi yang benar-benar untuk ibadah, bukan wisata. Soalnya katanya kalau Salat di Tanah Haram satu kali, itu sama dengan seratus ribu kali salat di tempat lain. Mohon koreksi kalau salah.
Perjalanan dari Jakarta ke Dammam—gue transit di kota ini dulu sebelum ke Madinah, sekitar 14-15 jam. Sementara dari Dammam ke Madinah sekitar 2 jam naik pesawat lagi, gue lupa. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Intinya gue lebih banyak menghabiskan waktu di Masjid Nabawi ketimbang di hotel yang sebenarnya sangat nyaman itu.
Cuaca disana juga lagi panas-panasnya. Cuaca tengah malam disana sama dengan cuaca ibukota pada jam 12 siang. Bayangin aja siangnya kayak apa panasnya disana. Haha. Disana juga gue melihat dan kagum terhadap para penghafal Al-Quran yang sedari subuh sudah mulai menghafal, dengan metode-metode unik. Sama sekali nggak kaku dan seperti pikiran orang-orang fanatik di negeri ini.
Disana juga gue banyak melihat perempuan bercadar. Tujuan utama mereka mengenakan pakaian ini adalah menghindari banyaknya debu pasir. Setidaknya dari beberapa orang yang gue tanyakan ketika sedang santai di mall atau rumah makan, seperti itu bilangnya.
Diantara dua kota, Madinah dan Makkah, gue merasakan perbedaan yang signifikan. Kota Madinah serta masjid Nabawi-nya itu sangat teduh dan tenang, sementara di Makkah, hiruk pikuk dan dinamisnya sebuah kota sangat terasa. Di Kota Makkah juga gue melihat fenomena unik yang nggak pernah gue temui di Indonesia. Mereka adalah joki untuk orang-orang difabel yang beroperasi di sekitar Masjidil Haram. Mereka menawarkan jasa mendorong kursi roda untuk jamaah difabel atau lansia.
Awalnya gue berpikir ini adalah orang-orang mulia. Ternyata memang itu adalah sebuah pekerjaan. Tawar-tawaran juga untuk harganya. Haha. Ketika di Masjidil Haram, gue boleh Salat dimanapun, bercampur pula antara Laki-laki dan perempuan. Nah, mereka (joki) seringkali meminta minggir orang yang sedang salat ini. Logika aja, masa iya orang lagi salat disuruh minggir. Haha. Tapi itu unik sih menurut gue. Mending pada ke Indonesia aja, dengan pakaian sama (mereka kebanyakan memakai gamis dan peci putih), modal muka timur tengah, nanti pasti banyak yang cium tangan deh. Terus sekalian ngomongnya tetap dengan bahasa asli saja, nanti ada sound effect ‘AMIN’ dari banyak orang lain sebagai pengiring. Keren kan?
Selama disana pun gue sempat mengunjungi beberapa tempat seperti Bir Ali, kemudian perkebunan kurma terbesar di Saudi, lalu ke pabrik percetakan Al-Qur’an yang ternyata banyak sekali orang Indonesia yang bekerja disana, dan ke Jabbal Magnit. Tempat yang terakhir gue sebut ini luar biasa, karena benar-benar seperti magnet yang menarik besi-besi. Bis yang gue tumpangi bersama rombongan ketika keluar dari wilayah ini—jika nggak di gas terus sekuat tenaga, maka akan kembali mundur. Tertarik kembali ke wilayah ini.
Perjalanan yang menyenangkan sekaligus religius yang pernah gue lalui selama hidup, dan selalu ada kerinduan kembali kesana. Apalagi ketika melakukan tawaf didepan Ka’bah. Sensasi luar biasa serta ingat terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan membuat gue berulang kali menitikkan air mata. Gue juga sempat mencium Hajar Aswad padahal saingan gue banyak orang-orang bule yang badannya segede-gede sapi buat Qurban.
Kembali ke urusan keluarga gue.
Mama dan Mbah itu nggak langsung kumpul di bandara. Mereka itu diminta untuk berkumpul dulu di hotel sebelum keberangkatannya, biar penyedia jasa travel bisa memeriksa kelengkapan dan keadaan masing-masing jamaah terlebih dahulu sebelum keberangkatan. Kalaupun ada kekurangan, mereka akan bantu untuk melengkapi. Jadi, seharusnya Mama nggak perlu seheboh ini juga. Tetapi ini Mama yang gue bahas. Mama selalu seperti ini.
Saat itu masih pagi banget, jam 10 pagi juga belum. Tetapi Mama sudah heboh meminta gue siap-siap biar kami segera berangkat sebelum jam 12 siang. Sedangkan jadwal mereka itu berkumpul di hotel itu jam 6 sore dan paling lambat jam 8 malam. Karena panitia khawatir ada kekurangan, seperti yang gue sebut sebelumnya. Jadi, sebelum keberangkatan mereka tengah malam, kekurangan masing-masing jamaah masih bisa dilengkapi kembali.
Selain itu, rumah gue itu bukan antah berantah dimana perjalanan dari rumah gue ke bandara nggak akan menghabiskan 5-10 jam sendiri. Satu jam juga sudah sampe ke bandara. Lah ini? Berangkat jam 12 siang terus sampe di hotel jam 1 mau ngapain kalau panitia nya juga belum nyiapin apa-apa? 6 jam luntang lantung di hotel ngapain? Mama itu nggak kasian sama Mbah apa? Mama jadi nggak logis kalau lagi repot begini. Kebiasaan seperti ini yang gue nggak suka dari dulu.
Seringkali gue harus diburu-buru oleh Mama untuk datang ke acara keluarga, padahal pas sampai ditujuan, saudara-saudara lain belum datang. Ketika dibalik posisinya, yakni keluarga gue yang ketempatan, malah pada ngeluh dengan alasan jauh perjalanannya. Lah gue selalu disuruh datang ke acara-acara keluarga ke rumah mereka dan seperti nggak boleh telat, giliran mereka datang kerumah gue alasannya jauh, jadi pada suka telat bahkan nggak datang. Bangs*t emang. Inilah salah satu penyebab juga gue malas kalau kumpul keluarga dari pihak Papa. Tapi kalau ke rumah Emir, mau nyebrang pulau juga pasti dijabanin anjeeeng.
Gue menolak untuk berangkat siang itu. Gue bilang kalau gue mau berangkat sore dan mampir ke kantor Emi dulu yang letaknya nggak jauh dari bandara. Gue mau Emi ikut mengantarkan Mama, Kakek, dan Nenek gue. Lagipula ini mobil Emi, jadi seharusnya suka-suka gue juga kan? Kalau misalnya Mama dan yang lain mau berangkat duluan ya silahkan. Siapapun yang mau diangkut dengan keluarga gue, silahkan ikut aturan gue.
Dan berujung mereka ikut keputusan gue karena memang pemikiran gue itu paling logis saat itu. Gue kembali istirahat di kamar. Entah Mama dan yang lain sibuk persiapan apa lagi di luar kamar, gue nggak peduli. Percuma juga gue ingetin ini itu, mereka pasti nggak akan mau dengerin omongan gue.
Ternyata ketika sore tiba, keadaan menjadi kacau. Yang sudah repot malah semakin repot. Kenapa? Mobil gue yang ada di rumah, nggak bisa distarter. Katanya dari siang udah dicoba distarter, mobilnya tetep nggak mau nyala. Sudah nggak mungkin lagi kita harus menunggu orang bengkel untuk dateng ke rumah. Jadi, kami semua memutuskan untuk mengangkut semua orang plus seluruh barang di mobil Emi. Padahal mobil Emi nggak sebesar mobil gue dirumah, jadinya ngepas banget.
“Emi suruh naik taksi aja kenapa sih Kak? Katanya mandiri, eh malah manja. Nggak tau apa lagi repot begini.” tanya Dania dengan nada sinis selama perjalanan ke kantor Emi. Bukannya nurut aja, eh malah masih nuntut gue.
“Ini mobil dia, tapi lo suruh dia naik taksi? Lo lagi ngelawak apa gimana? Terus emang lo repot apaan? Tinggal duduk doang. Yang nyetir juga gue….” jawab gue dengan pertanyaan retoris.
“Mobil dia? Ini itu mobil kamu kak. Kamu yang susah payah beli kok malah dia yang bikin aturan sendiri?” Sahut Mama.
“Iya emang aku yang beli mobilnya. Tapi ini aku hadiahin buat dia. Ya itung-itung buat rencana ngelamar dia nanti.” Gue sengaja melempar bahasan ini di mobil, biar Kakek dan Nenek gue juga ikut dengar. Biar Dania juga nggak banyak nyalahin Emi terus.
“Yakin emang kamu sama dia Kak?” Tanya Mama.
“Aku udah bahas berapa kali sama Mama. Mama masih aja terus nanya kayak begini.”
“Apa kamu nggak mau pikir-pikir dulu?”
“Sudah, sudah… Ijanya udah mau sama Emi mbok ya biarkan saja. Kenapa malah kamu seperti itu toh Nduk?” Potong Kakek gue dengan suara lembut tapi tegas.
“Iya, kamu ini jangan kasih tekanan terus ke Ija Nduk. Mbah denger dari kemarin kalian begitu terus.” Kata Nenek gue ke Mama.
“…….” Mama diam saja dibalas begitu oleh Kakek dan Nenek gue.
Gue hanya bisa tersenyum dalam hati. Kakek dan Nenek gue sepertinya mengerti apa yang ada dalam hati gue dan pikiran gue. Gue nggak nyangka kalau mereka lebih peka dibandingkan keluarga kecil gue sendiri. Mereka sadar kalau dengan keberadaan Emi, hidup gue jadi lebih berwarna. Mereka juga seperti mengerti kalau gue memang cocoknya sama Emi.
Mungkin awalnya Mama berpikiran seperti itu, sampai akhirnya menemukan fakta bahwa ada beberapa kebiasaan gue yang berubah setelah Emi ada di hidup gue. Sebenarnya di sini ada sedihnya juga gue. Ya seperti yang gue bilang sebelumnya, mereka secara nggak langsung menunjukkan kalau mereka sebenarnya nggak tau apa yang gue butuhkan dan apa yang gue inginkan.
Gue itu sedari dulu sangat senang yang namanya jalan-jalan, karena Papa sering mengajak kami sekeluarga traveling, entah di dalam kota ataupun sampai keluar kota. Papa pun nggak ragu menginap selama di akhir pekan sekedar untuk quality time bersama keluarga, jauh dari hiruk pikuk ibu kota dan pekerjaannya yang hectic.
Itulah yang membuat gue juga jadi senang jalan-jalan, terutama jalan-jalan yang bersifat menikmati keindahan alam. Mungkin mereka taunya semenjak gue LDR dengan Dee, gue adalah seorang anak rumahan yang kerjaannya hanya main game, tidur, dan nonton film di rumah. Begitu terus kegiatan gue selama akhir pekan. Gue sama sekali nggak pergi kemana-mana. Ya mau pergi kemana lagi kalau nggak ada yang diajak pergi? Ya sesekali gue memang ada pergi dengan Feni dan Ara.
Kalaupun gue nggak pergi dengan Dee, gue juga nggak menemukan teman yang tepat untuk diajak jalan-jalan seperti yang gue mau itu. Drian dan Arko bukan tipikal orang yang suka jalan-jalan. Kalaupun mereka mau diajak jalan-jalan, mereka nggak akan mau diajak pergi jauh yang perjalanannya sendiri bisa menghabiskan waktu setengah hari. Nggak banyak orang yang suka diajak seperti itu. Palingan solusinya ya pergi ke mall terdekat yang menurut gue itu bisa didatengin kapapun.
Apalagi semenjak Arko pindah ke Ibukota dan sudah berkeluarga, jadi agak sulit untuk menemukan waktu yang tepat. Sementara Drian ini orangnya letoy dan klamar-klemer. Fisiknya agak lemah karena nggak pernah dilatih berolahraga. Diajak jalan kaki dikit aja udah capek, apalagi hangout ke tempat wisata alam, bisa KO dia. Haha. Jadi ya gue lebih banyak berdiam diri di rumah dan bermain game, notnon film atau menulis.
--
Akhirnya sepanjang sisa perjalanan ke kantor Emi, gue hanya diam saja dan menikmati lagu-lagu yang terputar di pemutar musik mobil. Kebetulan saat itu jalanan cukup lengang sehingga gue bisa datang ke kantor Emi lebih cepat.
Sesampainya gue di sana, gue mencoba chat Emi tetapi nggak ada balasan. Gue pun akhirnya mencoba menelpon Emi dan ternyata juga nggak diangkat. Gue sengaja menunggu sebentar. Gue takut dia lagi meeting atau masih ada di lapang.
Gue memutuskan keluar mobil dan masuk ke dalam kantornya. Gue menuju lobi kantor yang bercat putih dengan pintu kaca rangka alumunium. Gue kemudian bertanya ke sekuriti yang di dada kanannya tertulis bernama Fajar—oh, orang ini yang sempat Emi ceritakan terlibat cinlok dengan Debby, dan dia menjawab kalau Emi masih di dalam. Gue menitipkan pesan untuk disampaikan kalau gue sudah sampai.
Satu orang satpam bernama Ratno naik ke lantai 3 untuk menyampaikan pesan tersebut. Cukup lama gue menunggu, bahkan sampai akhirnya Mama pun ikut gabung dengan gue di lobi. Mama yang ikut dengan gue ini bukannya mencoba tenang, malah sangat membuat gue kesal. Kenapa nggak bisa sabar sedikit untuk menunggu Emi? Bahkan Mama malah ikutan terus menerus menghubungi Emi padahal sudah gue bilang kalau Emi memang sedang meeting.
Akhirnya Pak Ratno sudah berada di depan gue lagi. Dia mengatakan kalau Emi sudah beres meeting dan akan segera keluar kantor. Setelah lega sudah mendapatkan kabar, gue mengajak Mama untuk menunggu di dalam mobil.
Emi menampakkan diri dengan tergopoh-gopoh menggendong tasnya dari dalam kantor. Wajahnya agak kusam. Selain itu ekspresinya juga menyiratkan kekhawatiran. Entah apa itu gue nggak tau. Yang jelas, dengan ekspresi wajah seperti ini, dia pasti sedang nggak enak hati. Gue paham, sikap keluarga gue ke dia pun memang nggak baik. Kasian dia.
Penuhnya mobil saat itu membuat Emi duduk di bagian belakang mobil yang sudah sangat penuh dengan barang-barang bawaan. Gue sangat nggak enak sama dia, karena ini adalah mobilnya. Kabin mobil seperti diselimuti kabut mendung yang nggak enak buat Emi. Semuanya berasal dari Dania dan juga Mama. Mereka terus menerus membuat Emi nggak nyaman, seakan Emi jadi penyebab mereka semakin repot.
“Buru, Kak!” Mama berujar tegas.
“Apaan sih diburu-buru? Ini tuh cuman buat check-in hotel doang. Pesawatnya berangkat tengah malem nanti. Ini Magrib aja belum. Paling lambat nyampe sana jam 8 malem kan? Kenapa ribet banget sekarang hah?” kata gue nggak kalah sewot dari kursi driver.
“Kan siapa tau ada hal lain---” balas Mama.
“Udah deh, Ma. Nggak usah jadi mikir ribet….” Gue buru-buru memotong omongan.
“IJA!” gue kaget kakek gue membentak gue. “Udah jangan ribut terus. Mama kamu itu mau berangkat umroh. Jangan sampe kamu nyesel karena kata-kata terakhir yang kamu ucapin ke Mama malah hal-hal yang nggak enak!”
“……” gue diam seribu bahasa.
Memang nggak enak dapat omongan bernada ancaman seperti itu. Bagaimanapun gue tetap sayang Mama. Karena gue sayang ini lah makanya gue sering ribut dengannya. Gue nggak mau Mama pikirannya jadi keganggu karena selalu melabeli gue dengan hal negatif dan nggak sesuai kemauannya.
Ternyata, perjalanan dari kantor Emi ke hotel itu hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja. Singkat banget kan? Inilah yang gue nggak terima dari awal itu. Gue udah bilang kalau perjalanannya dari kantor Emi singkat dan nggak akan ketinggalan apapun. Tapi Mama nggak percaya dengan omongan gue.
Begitu kami sampai di hotel pun, semua belum ngapa-ngapain. Panitia belum siap. Bahkan bis yang akan mengangkut Mama, Kakek, dan Nenek gue ke bandara pun belum datang. Maklum, kepergian mereka itu masih dini hari. Masih banyak waktu. Gue hanya bisa menggerutu dalam hati. Gue nggak mau berdebat lagi dengan keluarga gue, apalagi di depan Emi. Gue sangat yakin kalau gue terlihat berdebat lagi, Emi pasti akan merasa sangat bersalah.
Kami akhirnya menghabiskan waktu dengan membeli makanan dari resto yang ada di sekitar hotel. Hanya gue, Emi, Dania, dan Adit. Mama, Kakek, dan Nenek gue minta untuk menunggu di lobi hotel, di sana mereka bisa lebih nyaman. Panitia pun ternyata sudah mulai melayani mereka yang datang lebih dulu.
Kami pun jalan kembali ke lobi hotel tepat ketika Mama menelpon kalau mereka sudah bisa masuk ke dalam kamar yang disediakan. Selanjutnya, gue sibuk meminta maaf dengan keadaan yang nggak enak ini ke Emi. Emi tentu aja bete, mana ada orang yang nggak bete kalau dijudesin seperti itu oleh keluarga orang lain, keluarga pacar lebih tepatnya. Gue sangat merasa bersalah. Tau gitu mendingan Emi nggak usah ikut aja kalau tau bakalan ribet dan kena marah, padahal dia nggak ngapa-ngapain.
Sekitar pukul 20.00, akhirnya setelah briefing, semua sudah beres. Mama memeluk gue dan nggak lupa mengulangi kalimat yang intinya disuruh menjaga Dania. Gue hanya diam aja nggak berkata-kata apapun. Gue nggak mau memulai pertengkaran dengan Mama dimomen penting seperti ini.
Gue juga melihat Emi dipeluk dengan erat dibisikkan sesuatu oleh Nenek gue. entah apa itu. Yang jelas cukup lama bisikan tersebut. Dari jauh gue melihat Emi banyak tersenyum dan mengangguk. Semoga hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang positif. Mama pun berpamitan dengan Emi. Momen yang langka, tapi sebenarnya ya normal. Emi kan juga lumayan sering gue ajak main kerumah gue. Semoga Mama tulus berpamitan dengan Emi tersebut.
Dan gue pun melepas kepergian Mama, Kakek, dan Nenek gue ke Tanah Suci malam itu.
Diubah oleh yanagi92055 05-07-2020 22:08
itkgid dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup