Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
332.1K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2220
Candu Hebat
Prediksi gue dimana gue akan sangat repot dan ribet di rumah, benar saja kejadian. Di rumah, Mama, Kakek, dan Nenek terus menerus mengulang nasihat serta bahasan mengenai apa saja yang harus gue lakukan selama gue menjaga adik gue yang sedang hamil tua. Gue ulang lagi ya, ADIK GUE YANG SEDANG HAMIL TUA. Bukan adik gue yang masih sekolah, apalagi adik gue yang masih batita (bawah tiga tahun). Tetapi sekali lagi gue ulang, ADIK GUE YANG SEDANG HAMIL TUA. Which means, dia bukan anak kecil lagi yang harus selalu dipantau dan dipantengin terus 24jam.

Dia sudah menikah dan memiliki suami. Gue ulangi lagi deh, DIA SUDAH MEMILIKI SUAMI. Apa lagi yang kurang? Apa lagi yang membuat gue selalu diposisi salah sekarang? Apa lagi yang terus menerus Emi selalu dikambing hitamkan coba? Oh iya gue baru inget, ada tiga celah yang membuat semua ini beralasan (menurut mereka), keluarga kecil adik gue LDM, gue berubah karena Emi, dan gue belum menikah. Tiga celah tersebut menjadi alasan dimana umur gue, keputusan gue, dan mungkin hidup gue juga dirasakan tidak berguna sama sekali di mata mereka.

Gue paham dan gue tidak sebodoh itu untuk tidak bisa menempatkan diri gue ketika ditinggal sama Mama, Kakek, dan Nenek gue yang pergi umroh, dimana gue bisa saja lupa rumah, gue bisa saja lupa tanggung jawab, serta gue bisa saja nggak mau berangkat kerja. Sekalian saja doain gue untuk jadi anak berandalan yang kerjaannya hamilin anak orang, mabuk-mabukan, malingin rumah tetangga, atau jadi buronan.

Mereka nggak sadar ya kalau setiap suudzonmereka itu bisa berubah menjadi doa di hidup gue? Mereka nggak sadar juga ya kalau misalnya gue udah kesambet setan, gue bisa saja berubah seperti apa yang mereka pikirkan selama ini? Mereka memang selama ini nggak pernah merasa mendidik dan merawat gue dengan baik apa?

Oh iya, kembali lagi. Ini semua disebabkan gue yang berubah karena Emi dan gue belum menikah. Ya, gue paham. Gue memang harus segera pergi dari rumah ini. Apa gue nggak sekalian saja menghilang dari keluarga kecil gue ini kalau gue sudah menikah nanti? Harusnya Mama, Kakek, dan Nenek gue, termasuk Dania, sudah nggak bisa judge ataupun menuntut gue apapun lagi bukan kalau nanti gue sudah memiliki kehidupan dan keluarga yang baru? Itu kan yang mereka inginkan?

Perkara nanti kehidupan dan keluarga gue akan rusak atau nggak, itu urusan gue. Hidup mati gue, bukan urusan mereka lagi. Kecuali hubungan gue dan Mama. Gue nggak ada niat untuk memutus tali silaturahmi dengan Mama kok, gue hanya butuh sedikit apresiasi dan kebebasan untuk menentukan keputusan di hidup gue sendiri.

Satu yang bikin gue bingung juga, gue itu nggak pernah berpikir berubah karena Emi. Tetapi ini adalah diri gue yang sebenarnya. Setelah ketemu dengan Emi, gue akhirnya bisa menjadi diri gue sendiri. Gue juga akhirnya bisa melalukan apa yang gue mau selama ini. Dan gue bisa mengejar semua mimpi yang selama ini cuma ada diangan-angan gue. Seharusnya mereka tahu itu semua karena hidup bersama dengan mereka selama ini. Tetapi kenapa mereka malah menyalahkan Emi dan bersikap seolah Emi itu adalah bad influence di hidup gue ini? Mereka benar-benar tidak pernah mengenal siapa gue yang sebenarnya dan apa yang benar-benar gue inginkan (serta butuhkan) selama ini.

“Mama udah pernah coba tanya sama Adit belum? Kapan dia mau dateng hari ini Ma?” tanya gue di akhir pekan yang mendung.
Gue sengaja membahas ini ketika Mama sedang istirahat setelah packing-nya selesai. Kakek dan Nenek gue pun sedang istirahat di kamarnya. Gue nggak mau mereka mendengarkan obrolan gue dengan Mama.

“Udah. Dia lagi di perjalanan kayaknya. Palingan nanti sore juga udah dateng. Kan biasanya juga kalau weekend gini dia selalu datang. Apalagi lusa Mama dan Mbah mau berangkat. Paling dia di sini sampai hari Senin.” Ucap Mama.

“Oh bagus deh kalau gitu. Berarti dia bisa kan dateng dan tanggung jawab ke Dania sampai Mama dan Mbah berangkat nanti? Aku mau keluar soalnya.” Gue sengaja melempar isu ini duluan. Syukur-syukur gue memang bisa pergi keluar hari ini.

“Kan Aditnya belum datang. Paling lama dia dateng kan habis magrib. Lagian kamu mau kemana lagi sih?”

“Lah, mau dia datang abis magrib kek atau dini hari kek, emang itu urusan aku? Aku yang punya rencana dan acara sendiri kenapa jadi ketergantungan terhadap kedatangan orang lain yang bukan anggota keluarga kandung kita?”

“Dia juga anggota keluarga dong! Dia kan suami Dania! Gimana sih kamu ini?”

Yes, Mama kepancing. Obrolan ini sudah sesuai keinginan gue. “Nah, kalau dia anggota keluarga kita juga dan suami Dania, kenapa nggak dia aja yang repot? Kenapa aku terus yang disuruh repot apalagi ngurusin kebutuhan Dania ini? Aku kan sudah menyerahkan tanggung jawab dan seluruh hidup Dania ke dia. Oh nggak, KITA SEMUA KAN SUDAH MENGIKHLASKAN untuk menyerahkan tanggung jawab dan seluruh hidup Dania ke dia. Iya kan? Mereka sendiri yang memutuskan untuk LDM tanpa diskusi sama kita, eh ujung-ujungnya malah aku yang ketiban susahnya. Enak amat idupnya. Giliran nanti misalnya aku yang bikin keputusan yang nyusahin Mama dan Dania, apa Mama dan Dania mau? Pasti nggak mau kan? Yang ada aku yang diomelin pasti nanti.”

Mama akhirnya bisa full fokus dengan gue. “Kamu itu ngebahas ituuu terus. Mau kamu tuh apa sih kak?” Mama meletakkan kacamata yang ia gunakan untuk menatap gue lebih jelas. Saat itu kami sedang duduk berdua di ruang makan. Dania juga sedang tidur siang di kamarnya.

“Mama nanya apa mau aku? Mau aku itu aku bisa LEPAS DARI TANGGUNG JAWAB TERHADAP DANIA!” kata gue menegaskan. Gue nggak peduli, Dania bisa mendengar omongan gue atau nggak dari dalam kamarnya.

“Kamu udah gila ya, Kak? Kamu itu kakaknya! Masa kamu nggak ada kasian-kasiannya liat adik kamu sekarang? Kondisi lagi kayak begini masih aja mikirin diri sendiri sih!”

“Mikirin diri sendiri? Haha. Apa Mama dan Dania pernah mikirin aku? Nih ya Ma… Aku kasian mah kasian ngeliat kondisi mereka yang jauhan begitu saat kondisinya Dania hamil tua seperti ini. Tapi mereka yang mau kan? Mereka emang izin sama Mama pas mereka akhirnya mutusin untuk LDM? Nggak kan? Mereka bikin keputusan sendiri tanpa mikir apa mereka akan merepotkan orang lain! Paling mereka mikirnya, ‘Tenang aja ada si Kakak’. Itu tanpa mempertimbangkan aku punya kehidupan atau nggak! Di pikiran mereka mungkin aku memang nggak punya kehidupan dan masa depan hanya karena mereka sudah menikah lebih dulu daripada aku!”

“Kakak! Apa-apaan sih kamu? Bisa-bisanya kamu mikirnya kayak begitu sama adik kamu sendiri?”

“Sekarang, apa Adit pernah minta tolong secara langsung ke aku buat FULL 24 JAM jagain istrinya? Pernah emang? NGGAK PERNAH! Yang ada dia enak aja taunya istrinya udah dijagain dan diurus sama aku. Dia terima beres doang! Aku nggak tau nih, apa dia menganggap aku ini kakak iparnya apa nggak kalau sikap dia seperti itu! Nguntungin aku juga nggak.”

“Adit itu pasti anggap kamu kakak iparnya lah, Kak! Emang mau anggap apa lagi?”

Gue nggak menggubris pertanyaan terakhir Mama. “Terakhir. Emang Mama dan Dania pernah bilang SATU KALI AJA ‘makasih’ ke aku dan Emi selama ini? Kita selalu mengalah loh demi SELURUH kepentingan Dania? Ada nggak bilang makasih? Perasaan nggak pernah denger aku… Dania dan suaminya apa lagi. Mereka minta tolong secara langsung sama aku aja emang pernah? NGGAK PERNAH Ma! Selalu Mama yang dimintain tolong buat ngomong ke aku, biar aku nggak bisa nolak.”

“Kok kamu jadi pamrih gini sih kak sama adik kamu sendiri?”

“Ini bukan urusan pamrih Ma. Aku di sini juga punya banyak kepentingan dan urusan. Aku bukan orang yang nggak punya tujuan hidup sama sekali. Tetapi apa sekarang? Semuanya HARUS aku kalahkan demi permintaan Mama. Hebat banget Dania di sini. Kalau punya keinginan apapun dan butuh bantuan aku, dia langsung minta tolong Mama untuk nyuruh aku. Biar apa? Ya biar semuanya bisa sesuai keinginan dia. Karena aku anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini. Aku harus selalu patuh sama Mama. Mama sadar nggak?” Biar Dania dengar sendiri apa yang sebenarnya dia lakuin ke gue. Dia benar-benar memanipulasi Mama untuk kepentingan dia sendiri. Gue sudah sadar itu dari lama, tetapi baru kali ini gue utarakan ke Mama.

“……” Gue yakin Mama pasti bingung bagaimana harus merespon pernyataan gue itu.

“Mama akhirnya bersikap nggak adil antara aku dan Dania. Mama terus ngebelain Dania yang berujung Mama jadinya terus menyalahkan aku, hanya karena urusan hamil dan akhirnya muncul pemakluman-pemakluman terus. Apapun yang aku lakuin kalau di luar keinginan kalian, aku pasti salah di mata kalian! Apa Mama dan Dania pernah mikir kalau aku di sini juga punya kehidupan aku sendiri? Setelah akad Dania kemarin pun sudah jelas serta sah secara agama dan hukum, kalau sekarang aku sudah nggak ada tanggung jawab apapun di sini, kecuali hubungan aku dengan Mama.”

“Lah kok jadi kemana-mana ini? Bawa-bawa agama dan hukum segala?”

“OH IYA JELAS. Kalau ini jadinya HARUS bawa-bawa urusan agama dan hukum, aku geber sekarang juga! Semuanya udah ada undang-undangnya Ma. Dan itu juga dibilang dan dijelaskan waktu akad nikah. Emang Dania dan suaminya nggak sadar itu? Mereka cuma fokus dan menunggu kata ‘SAH’ doang gitu? Ustadz yang dipilih sama Mama juga bilang kan waktu itu, kalau urusan keluarga kecil Dania harus diselesaikan oleh pasangannya itu dulu baru melibatkan orang lain.”

“……”

“Mama dan aku adalah orang lain buat keluarga mereka. Walaupun ada ikatan darah, kita tetap orang lain bagi Dania sekarang. Semua keputusan dan perizinan segala hal yang dilakukan Dania harus izin ke suaminya. Masa Mama lupa yang begitu? Logikanya gini deh, aku yakin banget almarhum Papa pasti nggak akan mau kalau Om Dani masih ikut campur urusan keluarga Mama dan Papa kan?”

“……”

“Sekarang Mama malah minta aku untuk ikut campur urusan keluarga Dania dan Adit, apa jadinya itu langkah yang benar? Udah gitu ya kayak yang tadi aku bilang, Adit itu setiap kali ketemu sama aku pun nggak pernah minta tolong ataupun minta izin apapun terkait Dania. Jadinya buat apa malah Mama yang marahin aku terus dan menuntut aku untuk fokus sama Dania? Suaminya aja diem aja. Mau aku bilang suaminya Dania—yang jadi kebanggaan Mama dan Dania itu, adalah suami nggak bertanggung jawab? Soalnya kok dia terima dan mau aja aku ikut campur urusan keluarga kecil dia? Logis nggak perkataan aku?”

“……” Mama masih terus diam saja tanpa ekspresi.

“Gimana? Mau ngebantah apa lagi Ma? Mama masih mau bilang kalau aku anak jahat dan nggak jelas? Nih ya, urusan kayak begini bisa saja aku bawa ke ranah hukum. Jadinya kasus ini bisa perdata, bahkan bisa sampai ke pidana. Soalnya Mama merusak nama baik Emi juga. Keluarga Emi bisa saja nggak terima. Tapi sampe sekarang aku lakuin? Emi juga lakuin langkah hukum kayak gitu? Nggak Ma. Aku tetap menghargai Mama. Aku tetap menghargai Dania. Aku juga menghargai Adit yang sampai saat ini juga nggak berusaha mengenal aku. Emi aja masih terus membantu dan mengingatkan aku untuk memprioritaskan keluarga aku, sebagaimanapun kalian menilai dia. Kurang sering apa Emi main kesini dan berusaha akrab dengan Mama dan Dania coba?”

“Tapi …..”

Gue langsung memotong, “di sisi lain, Mama dan Dania terus nyalahin aku atas apapun yang aku lakukan? Aku mau kesana salah, kesini salah, mau ini itu salah. Bahkan urusan mau umroh aja rempongnya minta ampun, padahal semuanya bisa dibawa santai karena udah ada jadwal jelasnya semua. Kurang apa lagi aku belain keluarga daripada urusan aku sendiri?”

“……”

“Mama kalau udah gini bisanya cuma diam aja. Kemarin aku ngomong juga panjang lebar nggak didengerin. Mama diem aja eh Mama malah sibuk mikirin mau make mobil Emi buat nganter Mama dan Mbah pergi besok. Mama nggak peduli sama sekali dengan apa yang aku omongin. Iya kan? Apa ada yang Mama inget dari semua yang aku omongin saat itu? Ada? Aku nggak yakin.”

“Terserah kamu lah Kak! Kamu itu susah kalau dibilangin! Ada aja balesannya!”

“Aku dibilangin kayak gimana? Mama aja nggak ada ngerespon omongan aku sedikitpun! Mama itu cuma fokus sama urusan Dania, dibanding apapun yang aku bilang! Jadi, aku yang sekarang bilangin Mama, dengerin Ma tolong. Aku bilangin tentang segala macem fakta yang ada, yang mungkin Mama nggak sadar. Soalnya mau begini terus sampai kapan? Omongan aku nggak pernah didengerin, hidup aku nggak pernah dihargain. Aku dianggap nggak jelas hidupnya dan Mama seakan menganggap aku itu orang paling gobl*k yang nggak pernah punya prestasi seumur hidupnya. Cuma gara-gara aku freelance yang kerjanya fleksibel, semua yang udah aku raih jadi mentah. Nggak ada bekasnya. Tau gitu aku nggak usah sekolah dan kerja bener aja dari dulu kalau tau akhirnya bakalan tetep kayak begini.”

“Lah kok kamu malah jadi ngungkit jaman dulu sih? Kamu nggak bersyukur amat…”

“Siapa disini yang posisinya nggak bersyukur Ma? Mama itu melahirkan anak-anak yang nggak nyusahin orang tuanya dari dulu, kita nggak pernah susah nyari sekolah karena kita selalu bisa memenuhi standar kelulusan dan persyaratan masuk ke sekolah favorit dari jaman SMP, bahkan sampai aku S2 sekarang. Terus Mama mikir ‘Liat Dania yang kerja settle di perbankan, kamu malah jadi freelance?’ Tapi liat, apa aku yang notabene-nya freelance ini, dengan asumsi dimana penghasilan aku nggak tetap, pernah nyusahin Mama dan Dania? Apa aku pernah minta uang sama Mama dan Dania untuk kebutuhan hidup aku? Coba bilang. Kapan?" gue memukul meja makan marmer yang dingin itu.

"Yang ada aku dengan penghasilan yang nggak tetap ini malah ikut berkontribusi di rumah ini untuk uang bulanan. Aku juga bisa tetap ngurus kehidupan aku dan Emi berdua. Bahkan aku bisa biayain pendidikan aku sendiri plus beli mobil sendiri. Pernah mikir sampai kesana? Nggak pernah pasti. Karena standar di keluarga ini jadi bergeser. Nggak lagi logika dan fakta, tetapi Dania-sentris. Apa yang Dania lakuin, ya itu jadi standar yang terbaik.” kata gue berapi-api dan sangat gregetan.

“Mama nggak pernah mikir begitu.”

“Mama emang nggak pernah mikir begitu. Tetapi MAMA MELAKUKAN ITU! Aku sekarang udah tinggal membereskan S2 aku, dengan biaya aku sendiri dan nabung buat menikah---"

“Apa?? Nikah? Kamu mau nikah? Kamu punya modal apa emang sekarang? Kamu aja hidupnya nggak jelas, pikirannya nggak jelas juga---”

Sesuai dugaan gue. Pasti kayak begini. “Kan? Bener kan apa yang aku bilang barusan? Semua omongan aku yang tadi panjang lebar MENTAH SEMUANYA!”

Nggak butuh waktu lama, gue langsung keluar, membanting pintu rumah sekencang-kencangnya dan pergi dengan mobil Emi, soalnya motor gue masih ada di rumah Emi. Gue mencoba menenangkan diri gue sendiri dengan keliling sekitaran kota tempat tinggal gue saja. Siang hingga menjelang malam, gue habiskan di coffee shop seorang diri. Setelahnya gue pergi ke toko buku untuk menambah koleksi buku gue dengan Emi.

“Sepertinya kalau mendadak dateng ke rumah Emi sambil bawa buku, Emi pasti senang banget…” kata gue dalam hati. Mendadak gue jadi pingin banget ke rumah Emi malam itu, tetapi tetap ada rasa khawatir di diri gue kalau misalnya nanti gue berujung curhat, Emi malah jadi pelampiasan emosi gue. Jadi gue mencoba ngobrol sama dia dulu. Gue nggak tau, apa dia masih bangun atau nggak.

“Zy… Line kamu aktif kan?” ujarnya di layar HP gue. Tepat ketika gue mau mulai mengetik pesan untuknya.

Panjang umur. Ketika gue memikirkan dia, dia malah chat gue lebih dulu. Chemistry di antara kami inilah yang sulit untuk gue cari di cewek lain. Dia selalu ada sebagai obat di hidup gue yang sakit ini. Tetapi karena gue males menggunakan aplikasi Line, gue membalas chat dia menggunakan aplikasi Whatsapp. Terlalu banyak memori jahat gue di aplikasi tersebut.

Quote:


Nah ini yang membuat gue ragu kalau gue lagi emosional seperti ini dan gue berada di dekat Emi. Gue khawatir, gue bisa menyakiti Emi. Gue dan keluarga gue kurang jahat apa lagi untuk terus menyakiti Emi coba? Tetapi karena gue memang sedang membutuhkan Emi, tanpa pemberitahuan Emi, gue langsung pergi ke rumah Emi malam itu. Gue mau menenangkan diri di sana.
Diubah oleh yanagi92055 02-07-2020 00:31
kaduruk
namikazeminati
khodzimzz
khodzimzz dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.