"Apa yang kamu lakukan di tempat ini nak?" belum hilang rasa keterkejutan Angga, sebuah suara serak dan berat kembali membuat jantungnya nyaris copot. Pelan pemuda itu membalikkan badan.
"Ah, mbah Mo rupanya." Angga menghela nafas lega. "Enggak mbah, cuma sekedar jalan jalan saja, mencari angin."
"Sudah malam, kembalilah ke rumah. Kalau hanya sekedar jalan jalan mencari angin, sebaiknya besok saja," kata mbah Mo sambil berlalu meninggalkan Angga. Namun baru beberapa tindak, laki laki tua itu menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap ke arah Angga dengan tatapan tajam.
"Ingat pesanku nak, jangan pernah lagi keluar saat hari sudah menjelang malam. Berbahaya buat kalian. Saya membuat pagar janur kuning yang mengelilingi rumah tempat kalian menginap itu bukan tanpa alasan. Harus ada batasan antara dunia yang nyata dan yang gaib, agar tidak saling bersinggungan. Dan pagar janur kuning itu adalah pembatasnya. Dan satu lagi, jangan pernah sekalipun kalian mendekati hutan, baik siang ataupun malam hari. Ingat itu baik baik."
"Baik mbah," jawab Angga pelan. Laki laki itu segera berlalu dan menghilang dalam kegelapan. Angga mendesah, lalu melihat ke arah rumah mbok Tonah. Sosok perempuan berbaju putih dengan wajah menyeramkan itu telah menghilang entah kemana. Disana, di tepian hutan yang berkabut tebal, sosok bayangan hitam tinggi besar yang tadi ia lihat juga telah lenyap, seolah menghilang ditelan kabut.
Pelan Angga melangkah kembali ke arah rumah tempat ia menginap, dengan benak yang dipenuhi oleh berjuta pertanyaan. Pertanyaan yang membuatnya penasaran untuk segera menemukan jawabannya.
Setelah memastikan bahwa keadaan telah benar benar aman, pemuda itu segera masuk ke dalam rumah, bermaksud untuk segera beristirahat. Tak lupa ia memastikan bahwa semua pintu dan jendela telah terkunci dengan benar.
Saat pemuda itu melihat ke arah dipan di sudut ruangan, ia tertegun. Anggi yang tadi saat ia tinggalkan telah tertidur lelap di atas dipan itu, kini tak ada. Hanya bantal dan selimutnya yang teronggok di atas dipan.
"Nggi!" Angga memanggil dengan suara sedikit keras. Namun tak ada jawaban. Diulanginya panggilan itu beberapa kali, sambil berkeliling mencari ke setiap sudut rumah. Namun hasilnya nihil. Di ruang dapurpun tak didapatinya sosok sang adik. Angga mulai sedikit resah. Apalagi saat dilihatnya pintu dapur yang mengarah ke kebun belakang sedikit terbuka.
"Anggi.....!!!" Angga membuka pintu belakang dan melangkah dengan cepat ke arah kebun belakang.
"Ah, disitu kamu rupanya!" seru Angga lega, saat mendapati sosok sang adik berdiri membelakanginya.
"Ngapain kamu disitu Nggi?" tanya Angga sembari mendekat. Namun sosok itu hanya diam, seolah tak mendengar pertanyaan sang kakak. Angga menjulurkan tangan, mencoba menyentuh bahunya. Namun beberapa senti sebelum tangan Angga berhasil menyentuh bahu sang adik, sebuah suara terdengar dari arah belakangnya.
"Bang, sedang apa disitu?" deg! Jantung Angga berdetak cepat. Itu jelas suara Anggi. Dan jika Anggi berada di belakangnya, lalu yang di depannya itu.........
Angga mematung, dengan tangan tetap menjulur ke arah sosok yang pelan pelan mulai memutar badannya menghadap ke arah Angga.
"Sial!" umpat Angga pelan saat menyadari bahwa wajah sosok yang mirip Anggi itu ternyata sama dengan wajah yang tadi ditemuinya di depan rumah mbok Tonah. Wajah yang rusak membusuk, penuh dengan belatung dan berbau sangat busuk.
Angga segera berbalik dan menghampiri Anggi yang berdiri di depan pintu belakang dapur.
"Abang kenapa?" Anggi menyadari kalau wajah kakaknya terlihat sedikit pucat.
"Justru aku yang harusnya bertanya," jawab Angga menutupi kegugupannya. "Kamu darimana, pergi nggak bilang bilang."
"Tadi aku terbangun karena kebelet pipis bang, aku cari cari abang nggak ada, ya sudah, aku ke kali saja sendirian," jawab Anggi.
"Ya sudah, ayo masuk. Nggak baik malam malam diluar begini. Kamu ingat kan pesan mbah Mo tadi siang? Lain kali kalau mau keluar malam jangan sendirian." Angga mengajak adiknya masuk, lalu mengunci pintu.
Setelah memastikan sekali lagi bahwa pintu dan jendela telah terkunci dengan benar, Angga segera merebahkan tubuhnya di atas dipan di sudut yang berseberangan dengan dipan yang ditiduri Anggi. Soal apa yang dialaminya tadi, lebih baik besok saja ia bicarakan dengan sang adik.
Anggi sendiri, dibalik selimutnya, ternyata juga memiliki pikiran yang sama. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada sang kakak. Karena saat tadi ia bilang bahwa ia keluar karena kebelet pipis, itu hanyalah bohong belaka. Ada sesuatu yang membuatnya nekat keluar rumah, meski tanpa sepengetahuan sang kakak.
*****