- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#329
Spoiler for Episode 35B (Extended):
Tin!Renata bangun dari duduknya setelah menekan bel, bus yang ia naiki pun turun di sebuah halte. Ia pun keluar dari bus lalu berjalan santai sambil melihat sekeliling. Beberapa langkah sudah ia tempuh, hingga akhirnya ia masuk ke dalam sebuah toko yang menjajakan roti.
"Selamat datang..." Pemilik toko melihat ke arah Renata, "hai Renata, sudah lama tidak berjumpa."
Renata tersenyum, "Halo Vey. Iya, aku baru kembali setelah mengurus beberapa urusan. Ngomong-ngomong, apa ada yang baru? Atau masih dengan andalanmu?"
"Percayalah Renata, kamu tidak akan bisa berpaling dari menu andalanku. Tapi kalau kamu mau mencoba yang lain, aku punya Brioche yang sudah beberapa minggu ini terjual habis." Katanya.
"Brioche?.." Renata melihat roti tersebut, "kalau begitu aku mau Brioche dua dan Pastry dua untuk ku bawa."
Vey pun memasukkan pesanan Renata ke dalam kotak untuk Renata. Setelah selesai, ia pun memberikan kotak tersebut dan menerima uang dari Renata.
"Ngomong-ngomong..." Vey memberikan kembalian uang, "apa nafsu makanmu semakin besar? Biasanya kamu hanya membawa satu Pastry saja, namun kali ini kamu membawa pulang empat."
"Akan ada tamu spesial yang datang hari ini." Jawab Renata.
Akhirnya Renata meninggalkan toko tersebut. Ia berjalan dengan santai, sesekali ia melihat-lihat deretan toko yang menjual berbagai macam benda. Pagi ini, cuaca sangat sejuk dan sangat cocok untuk berjalan-jalan. Beberapa waktu berlalu, hingga Renata tiba di sebuah taman di pusat kota. Ia melihat ke arah sebuah bangku yang sudah diduduki oleh seseorang, setelah tersenyum ia pun bergegas untuk menghampiri orang tersebut.
"Ka Widya..."
Widya pun menoleh dengan cepat, "Hai Ren."
Renata duduk di samping Widya, "Gimana Ka Wid? Susah ngga buat ke sini?"
"Ngga kok, tadi naik taksi dan supirnya tau lokasi taman ini. Ternyata Copenhagen cantik banget ya Ren, aku pikir selama ini cuma Paris yang bisa bikin aku tertarik." Kata Widya.
"Kalau menurut aku sih mungkin Paris lebih ke arah modern, tapi untuk Copenhagen masih semi-modern. Kita masih bisa ngerasain gimana tinggal di daerah peralihan ke arah modern. Oh iya, ini aku bawain buat Ka Wid mumpung ada di sini." Kata Renata.
Widya pun mencoba roti yang dibawa Renata, "Ini enak banget Ren."
"Iya, itu roti khas orang Denmark. Sebenernya kalau mau yang lebih enak lagi, kita harus ke kota asalnya. Sayangnya butuh sekitar enam jam dari sini kalau mau ke sana." Jelas Renata.
"Serius? Menurut aku ini aja udah enak banget, apalagi kalau di sana. Mungkin aku bisa lupa diri buat makan ini terus." Kata Widya.
Renata dan Widya pun tertawa. Beberapa saat berlalu hingga makanan mereka pun habis. Renata mengajak Widya untuk berjalan-jalan mengelilingi daerah sekitar di mana ia tinggal. Mereka berjalan dengan santai, Renata mulai menjelaskan apa saja yang ada di hadapan mereka saat ini. Widya pun tertarik dengan pemandangan yang nampak berbeda jika dibandingkan dengan Paris, di mana ia tinggal.
Beberapa jam sudah berlalu, Renata dan Widya pun turun dari bus yang mereka naiki. Dengan santai, Renata menggandeng tangan Widya untuk berada di sisinya.
"Kita mau ke mana Ren?" Tanya Widya.
"Sebelum kita makan siang, aku mau ajak Ka Wid ke tempat di mana urusan-urusanku harus aku selesaikan dulu, Ka Wid masih inget ngga aku pernah ngomong itu dulu waktu di pantai?" Kata Renata.
"Oh iya aku inget. Kita mau ke sana sekarang?" Tanya Widya.
Renata mengangguk dengan pasti. Mereka pun melanjutkan perjalanan menjelang siang ini. Sampailah mereka di sebuah gerbang besar berwarna merah, Renata pun mendekat ke arah pos keamanan. Setelah itu pintu gerbang pun terbuka, Renata kembali ke arah di mana Widya berdiri.
"Ini tempat apa Ren?" Tanya Widya heran.
Renata hanya tersenyum lalu kembali menggandeng tangan Widya untuk mengajaknya masuk ke dalam. Widya dibuat terkejut, di dalam gerbang ini ada sebuah komplek yang besar dan terdiri dari beberapa bangunan. Mereka pun menuju bangunan yang paling dekat dengan pintu gerbang. Belum sempat mereka tiba di bangunan tersebut, keluarlah seorang perempuan dari bangunan itu dan melihat ke arah Renata.
"Selamat siang Suster Kepala." Kata Renata.
"Selamat siang Renata. Bukankah hari ini kamu mengambil libur?" Katanya.
"Ada temanku yang ingin melihat tempat ini, makanya aku membawanya ke sini hari ini." Jelas Renata.
Setelah penjelasan singkat, akhirnya Renata dan Widya diperbolehkan untuk melihat-lihat komplek ini setelah mengenakan tanda pengunjung. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat lain.
"Jadi tempat ini panti asuhan?" Tanya Widya.
"Bukan cuma panti asuhan Ka Wid..." Renata menunjuk ke sebuah taman, "tapi untuk orang tua juga, dan untuk orang-orang yang ngga punya tempat tinggal dan mau untuk ditampung di sini."
Bukan hanya banyak anak-anak, melainkan banyak juga orang-orang tua seperti apa yang Renata katakan. Tempat ini adalah sarana yang dibuat oleh dinas sosial dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang kurang beruntung, kemudian tempat ini pun dikelola dari bantuan para biarawati yang ada di kota ini. Setelah mengelilingi komplek ini, akhirnya Renata pun mengajak Widya untuk duduk di sebuah bangku panjang di tepi salah satu gedung.
"Jadi, di sini aku harus beresin beberapa urusan itu Ka Wid." Kata Renata.
"Aku pikir kamu tuh sekolah bisnis di sini, soalnya ada satu sekokah bisnis yang terkenal di kota ini. Ternyata semuanya di luar ekspektasi aku Ren, dan sekarang aku jadi bertanya-tanya kenapa kamu memilih tempat ini." Ucap Widya.
"Dari sebuah ketidak sengajaan yang akhirnya bisa bikin aku ngerasa sebuah kedamaian, mungkin itu jawabannya Ka Wid." Jawab Renata.
"Kenapa Copenhagen?" Tanya Widya singkat.
"Kenapa Copenhagen? Percaya atau ngga, sebenernya kota ini tuh pilihan acak aja. Aku butuh tempat sendiri dan benar-benar jauh dari jangkauan siapapun, termasuk Adrian..."
Widya menatap Renata dalam kebingungan.
"...Beberapa tahun lalu, aku pergi begitu aja ninggalin kehidupan aku di Indonesia. Aku ngerasa udah muak sama semuanya, dan secara acak aja aku milih Copenhagen. Aku iseng jalan-jalan sampai akhirnya ketemu tempat ini..."
Widya mengangguk secara perlahan.
"...Dan ngga aku sangka, aku ngerasa damai aja di sini. Kegiatan-kegiatan sehari-hari, terus suka ngadain acara buat menghibur, sampai kegiatan keagamaan di sini bisa bikin aku ngerasain damai. Terlebih setelah aku kembali ke Indonesia, aku rasa memang aku harus ke sini lagi." Jelas Renata.
"Aku paham sekarang. Tapi, apa mungkin kamu akan menjadi..."
Renata tersenyum meskipun Widya belum menyelesaikan perkataannya, hingga membuat Widya menghentikan perkataannya. Ia lebih memilih untuk menunggu apa yang akan Renata jawab terlebih dahulu.
"Pernah terlintas dipikiranku untuk menjadi salah satu dari mereka, aku ngerasain kedamaian kayak yang aku bilang sebelumnya. Kalau menurut Suster Kepala, lebih baik aku pertimbangin lagi pilihanku terlebih dia tau semua ceritanya. Jadi aku belum bisa mastiin apa aku akan jadi Biarawati juga atau sekedar sukarelawan di sini." Jelas Renata.
Widya kembali menganggukkan kepalanya, "Ada benernya juga sih, lebih baik kamu pikirin lagi sebelum..."
"Ka Renata..."
Widya dan Renata menatap ke arah sumber suara, "Hai Sebastian. Bagaimana kabarmu?"
"Bukankah kamu libur hari ini? Kenapa kamu ada di sini?" Tanya Sebastian.
"Perkenalkan ini temanku, namanya Ka Widya. Aku ke sini untuk mengajaknya ke sini." Jelas Renata.
Widya dan Sebastian pun berjabat tangan, "Suster Kepala menyuruhku untuk mengajak kalian makan siang bersama, jadi ayo kita pergi ke aula utama di sana."
Sebastian menggandeng tangan Widya yang membuatnya dengan cepat berdiri dari duduknya. Mereka pun berjalan bersama menuju aula utama, "Ren, anak ini lucu banget ya."
Renata mengangguk sambil tersenyum. Sebastian pun menatap Renata, "Ka Renata, apa yang Ka Widya katakan? Aku tidak mengerti."
"Dia berkata kamu anak yang lucu." Ucap Renata.
Sebastian pun tersenyum ke arah Widya. Mereka pun makan siang bersama di aula bersama, sesekali Widya melihat ke arah Renata yang sedang berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Tak jarang pula Renata berbincang dengan orang-orang tua di sana, Widya pun berhasil dibuat tersenyum olehnya.
Waktu pun berlalu, matahari sudah berada di ufuk barat dan akan segera tenggelam. Pintu lift terbuka, Renata dan Widya keluar menuju kamar di mana Renata tinggal. Setelah membuka pintu, mereka pun masuk ke dalam sebuah apartemen.
"Maaf ya Ka Wid kalau berantakan." Ucap Renata.
"Ngga kok, ini termasuk rapih dibandingin sama tempat tinggal aku." Sahut Widya.
Renata beranjak menuju dapur untuk membuatkan minuman, Widya sempat melihat-lihat seisi kamar Renata. Akhirnya mereka pun menuju balkon kamar sesuai rekomendasi Renata.
"Pemandangan paling pas kalau sore ya di sini Ka Wid." Kata Renata.
Widya pun duduk di bangku, "Oh iya bagus banget Ren."
Renata dan Widya minum secara bersamaan. Beberapa saat mereka larut dalam diam hanya memandangi matahari yang akan segera terbenam.
"Akhirnya kamu bisa memilih juga." Ucap Widya.
Renata tersenyum, "Pada akhirnya mungkin aku bukan memilih, tapi aku menerima sebuah pilihan dari pertanyaan yang selama ini hanya terdiam tanpa ada jawaban. Mungkin kata-kata yang tepat itu aku sekarang bisa berdamai dengan jawaban itu Ka Wid. Dan sekarang aku semakin percaya, semuanya akan indah pada waktunya."
"Semua akan indah pada waktunya..." Widya mengulang perkataan Renata, "aku pun setuju sama kata-kata itu, meskipun harus ada pengorbanan terlebih dahulu."
Renata kembali tersenyum, mereka pun kembali menatapi matahari yang semakin meredup. Semua akan indah pada waktunya, mungkin bagi kalian terdengar sangat klise. Ada beberapa dari kalian yang mungkin saja beranggapan bahwa kalimat itu hanya untuk orang-orang yang tidak berhasil meraih apa yang mereka inginkan, munculah kalimat tersebut hanya untuk sekedar memotivasi kegagalan.
Namun untuk kami, kalimat itu akhirnya memiliki makna lain. Dari semua pengalaman yang sudah terjadi, kalimat itu terdengar seperti sebuah janji. Berusahalah sekeras yang kamu bisa, sesuatu yang indah akan menanti di depan meskipun kamu harus mengalami kepahitan dalam proses mencapai keindahan tersebut.
Lalu bagaimana dengan keadaanku saat ini?
*
"Mas Adrian, untuk minggu depan kayaknya kita harus minta jumlah susu lebih banyak deh kalau diliat dari laporan ini. Udah beberapa kali kita kehabisan di pertengahan minggu." Kata Bella.
"Coba liat Bel." Kataku.
Bella memberikan catatannya kepadaku, "Liat deh Mas, setiap di pertengahan pasti selalu abis dan kita harus minta pengiriman lagi. Apa ngga sekalian kita perbanyak aja buat sekali pengiriman?"
"Aku setuju, nanti hubungin aja terus minta dua kali dari jumlah yang sekarang Bel." Kataku.
Bella pun mengangguk lalu mengambil kembali catatan tersebut. Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah sekeliling rumah ini, kemudian aku mengangguk begitu saja. Memang benar setelah beberapa bulan lalu kami memutuskan untuk berpindah dari ruko menuju rumah yang kami beli, semakin banyak pengunjung yang datang karena kapasitas dari rumah ini beberapa kali lebih banyak jika dibandingkan dengan ruko saat itu.
Aku pun berlalu menuju halaman belakang, aku masuk ke ruang penyangrai biji kopi. Beberapa kilo biji kopi sudah ku masukkan, lalu mesin ku nyalakan. Aku mulai memperhatikan detil-detil pergerakan mesin penyangrai secara teliti sebelum aku bisa melepas kendali mesin ini.
Ferdi pun masuk ke dalam ruangan ini, "Dri, lusa ada yang minta buat reservasi ulang tahun kapasitas 20 orang. Menurut lu gimana nih?"
"Reservasi?..." aku memandang Ferdi, "sejak kapan kita bisa reservasi?"
"Makanya gue nanya sama lu, gimana kalau misalkan ada yang minta reservasi? Gue kan ngga bisa ambil keputusan sepihak." Kata Ferdi.
"Jangan deh ngga adil buat pelanggan yang lain, mau mereka bayar berapapun juga. Kalau misalkan mereka dateng, ada bangku kosong dan mereka mau pesta ulang tahun, itu nggapapa." Kataku.
Mesin penyangrai berhenti beroperasi, katup mesin ku buka lalu keluarlah kopi yang sudah ku masukkan sebelumnya. Butuh waktu lebih lama untuk menurunkan suhu biji kopi yang baru matang, aku dan Ferdi pun keluar dari ruangan tersebut sambil menyalakan rokok kami masing-masing.
"Ngomong-ngomong, gimana perkembangannya Dri?" Tanya Ferdi.
Ku hembuskan asap putih dari mulut, "Perkembangan? Pertanyaan lu tuh masih tumpul banget, gue jadi bingung arahnya ke mana Fer."
"Oke deh gue langsung aja, gimana kabar Renata?" Tanya Ferdi lagi.
Aku memandang ke arah Ferdi, "Setelah pertanyaan gila itu, dia juga menghilang. Tapi belum lama ini gue dapet kabar dari Ari, katanya Renata balik lagi ke Copenhagen."
"Copenhagen? Gue sampai lupa, dia tuh ngapain Dri di sana?" Tanya Ferdi.
"Entah, jujur aja gue pun ngga tau..." aku melihat ke arah pintu, "tuh pacar lu dateng."
Bella datang ke arah kami, "Bang Fer ada yang nyariin, katanya temen pas SMP."
"SMP? Siapa ya temen SMP gue yang tau tempat ini?" Kata Ferdi.
"Ya mana gue tau cuk, kita aja beda SMP. Udah sana samperin." Kataku.
Ferdi pun mematikan rokoknya lalu masuk ke dalam. Secara bergantian, Bella pun berdiri di sampingku. Ia pun menyalakan rokok setelah meminjam korek milikku.
"Mas Adrian, aku boleh nanya ngga?" Ucapnya.
Aku memandangnya heran, "Kamu kenapa Bel? Kalau mau nanya ya silahkan aja, tumben banget minta izin segala."
"Ka Bulan apa kabar Mas?" Tanyanya.
"Kamu janjian ya sama Ferdi buat nanyain ini?" Kataku.
"Maksudnya gimana Mas?" Bella keheranan.
"Tadi pas Ferdi di sini, dia nanyain gimana kabar Renata. Sekarang gantian pas kamu di sini, nanyain kabarnya Bulan. Kayaknya udah diatur sedemikian rupa pertanyaan ini." Kataku.
"He? Sumpah Mas, aku sama Bang Fer ngga janjian buat nanyain ini. Makanya aku bingung pas Mas Adrian bilang janjian." Jawabnya.
Aku pun tersenyum, "Aku kira janjian. Kalau kamu nanya gimana kabarnya Bulan, mungkin aku bisa jawab kalau semua orang akhirnya akan menentukan pilihannya masing-masing. Aku udah memilih, Renata udah memilih, begitu juga dengan Bulan."
"Artinya Mas ngga tau gimana kabarnya Ka Bulan?" Tanya Bella lagi.
Aku mengangguk, "Setelah aku ceritain semuanya waktu itu, mungkin hari itu juga terakhir kalinya aku ngeliat dia. Setelah itu aku udah ngga pernah ketemu sama dia."
"Mas Adrian ngga mau ke rumahnya?" Tanya Bella.
"Jangankan untuk ke rumahnya Bel, aku pun udah ngga berani buat hubungin dia lewat handphone. Aku juga harus tau diri Bel, setelah semua yang udah aku lakuin ke dia, apa iya aku masih berani buat hubungin dia..."
Bella menatapku dalam diam.
"...Mungkin udah waktunya untuk berhenti, dan lebih baik aku ngga menyakiti hati siapapun lagi. Dan untuk saat ini, mungkin aku harus fokus sama tempat ini." Jelasku.
"Tapi suatu saat Mas Adrian akan hubungin Ka Bulan lagi?" Tanya Bella.
"Mungkin..." aku menatap Bella, "atau ngga sama sekali."
Aku tidak punya keberanian untuk sekedar menghubungi Bulan kembali, terlebih setelah apa yang sudah ku lakukan kepadanya. Rasanya semuanya sudah cukup, aku harus tau diri. Tidak ada lagi sakit yang harus ia rasakan, tidak ada lagi salah yang ku perbuat. Mungkin semuanya lebih baik begini.
Hari terus berlanjut, semua yang sudah terjadi tidak akan pernah terulang lagi. Langkah demi langkah yang sudah ku ambil tidak akan pernah kembali, aku harus tetap berjalan maju sekalipun pilihan yang ku ambil akan ku sesali di kemudian hari. Namun itu semuanya memiliki resiko, entah datangnya langsung atau berangsur kemudian. Dan dibalik itu semua, akan juga bermunculan sebuah keindahan meski hanya terlihat setitik saja.
Beberapa hari pun sudah berlalu begitu saja, malam pun datang ditemani hujan. Aku, Bella dan juga Rara masih merapihkan tempat ini sementara yang lain termasuk Ferdi sudah pulang terlebih dahulu.
"Mas, kita nggapapa tinggal di sini?" Tanya Rara.
Aku mengangguk, "Emang sengaja aku siapin, jadi kalian-kalian bisa tidur di atas. Terlebih kalau udah capek banget, tinggal naik ke atas selesai tutup."
"Makasih ya Mas Adrian." Ucap Bella.
Aku pun tersenyum membalasnya. Setelah selesai, aku memutuskan untuk pulang ke rumah menggunakan payung. Gerbang pun ku tutup, aku berjalan dengan santainya kembali ke rumah yang letaknya persis di sebelah rumah ini.
"Tumben ya hujan jam segini." Kataku seorang diri.
Langkahku pun melambat, hingga akhirnya aku berhenti di depan garasi rumah. Di bawah sinar lampu jalanan, aku hanya memandangi pintu gerbang rumahku dalam diam. Aku tidak sama sekali menyangka semuanya akan terjadi pada malam ini.
"Bubu..."
Bulan pun mengalihkan pandangannya ke arahku, dengan payung yang ia kenakan dan koper yang ia bawa. Ia pun tersenyum simpul kepadaku, aku pun mendekat ke arahnya.
"Kamu... kok..."
"Ayi..." Bulan memotong pembicaraanku, "kenapa kamu ngga bilang kalau kedai udah pindah?"
Aku pun terpaku menatap Bulan.
"Kenapa kamu ngga ngabarin kalau kedai pindah ke sini? Kenapa kamu ngga ngabarin waktu itu? Kamu masih simpen nomor aku kan, belum dihapus?" Tanyanya.
Aku menggelengkan kepalaku secara perlahan.
"Terus kenapa ngga ngabarin Yi?" Tanyanya lagi.
Ku genggam gagang payung lebih kuat, "Aku takut buat ngabarin kamu, terlebih setelah kamu tau semuanya. Aku ngerasa bersalah, dan itu yang bikin aku takut buat ngabarin kamu lagi."
Bulan mendekat, "Kamu masih inget perkataan aku waktu itu kan? Kalau kamu merasa salah, kenapa kamu diem aja? Aku udah bilang kalau kamu masih bisa jalan mundur untuk milih jalan yang satunya, kamu masih bisa memperbaiki semuanya kalau kamu mau. Jangan merasa takut untuk memperbaiki kesalahan kamu. Dan asal kamu tau, dari malam itu sampai hari ini aku masih nunggu kabar kamu."
Aku melepas payung yang ku pegang. Aku berjalan lebih dekat ke arah Bulan, lalu ku genggam tangan Bulan yang sedang memegang payung. Aku sempat tertunduk dalam diam, hingga aku bisa menegakkan kepalaku lagi.
"Aku mau minta maaf, tentang kejadian waktu itu, tentang ngga ada kabarnya aku, dan untuk semua kesalahan yang mungkin pernah aku perbuat sama kamu..."
Bulan menatapku dalam diam.
"...Dan satu lagi, ada yang mau aku bilang sama kamu." Kataku.
"Kamu mau bilang apa?" Tanyanya.
"Rembulan Putri Dinata... maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku.
Bulan pun tersenyum setelah mendengar apa yang ku katakan. Ia melepas genggamanya, lalu tangannya pun mengalung di leherku. Di bawah sinaran lampu jalan, di bawah rintik-rintik hujan, di balik payung yang melindungi, sebuah kenangan kembali terukir.
Ada kalanya aku merasa tersesat, hingga aku salah mengambil jalan. Aku pun berjalan, semakin dalam dan semakin tersesat entah di mana. Rasanya muak jika aku harus kembali ke persimpangan untuk memperbaiki jalan yang ku pilih, namun semua itu adalah pilihan. Aku masih punya waktu untuk memperbaiki keadaan, asalkan aku mau dan bersabar. Butuh tenaga dan waktu lebih untuk memperbaiki semuanya.
"Aku mau."
***
"Selamat datang..." Pemilik toko melihat ke arah Renata, "hai Renata, sudah lama tidak berjumpa."
Renata tersenyum, "Halo Vey. Iya, aku baru kembali setelah mengurus beberapa urusan. Ngomong-ngomong, apa ada yang baru? Atau masih dengan andalanmu?"
"Percayalah Renata, kamu tidak akan bisa berpaling dari menu andalanku. Tapi kalau kamu mau mencoba yang lain, aku punya Brioche yang sudah beberapa minggu ini terjual habis." Katanya.
"Brioche?.." Renata melihat roti tersebut, "kalau begitu aku mau Brioche dua dan Pastry dua untuk ku bawa."
Vey pun memasukkan pesanan Renata ke dalam kotak untuk Renata. Setelah selesai, ia pun memberikan kotak tersebut dan menerima uang dari Renata.
"Ngomong-ngomong..." Vey memberikan kembalian uang, "apa nafsu makanmu semakin besar? Biasanya kamu hanya membawa satu Pastry saja, namun kali ini kamu membawa pulang empat."
"Akan ada tamu spesial yang datang hari ini." Jawab Renata.
Akhirnya Renata meninggalkan toko tersebut. Ia berjalan dengan santai, sesekali ia melihat-lihat deretan toko yang menjual berbagai macam benda. Pagi ini, cuaca sangat sejuk dan sangat cocok untuk berjalan-jalan. Beberapa waktu berlalu, hingga Renata tiba di sebuah taman di pusat kota. Ia melihat ke arah sebuah bangku yang sudah diduduki oleh seseorang, setelah tersenyum ia pun bergegas untuk menghampiri orang tersebut.
"Ka Widya..."
Widya pun menoleh dengan cepat, "Hai Ren."
Renata duduk di samping Widya, "Gimana Ka Wid? Susah ngga buat ke sini?"
"Ngga kok, tadi naik taksi dan supirnya tau lokasi taman ini. Ternyata Copenhagen cantik banget ya Ren, aku pikir selama ini cuma Paris yang bisa bikin aku tertarik." Kata Widya.
"Kalau menurut aku sih mungkin Paris lebih ke arah modern, tapi untuk Copenhagen masih semi-modern. Kita masih bisa ngerasain gimana tinggal di daerah peralihan ke arah modern. Oh iya, ini aku bawain buat Ka Wid mumpung ada di sini." Kata Renata.
Widya pun mencoba roti yang dibawa Renata, "Ini enak banget Ren."
"Iya, itu roti khas orang Denmark. Sebenernya kalau mau yang lebih enak lagi, kita harus ke kota asalnya. Sayangnya butuh sekitar enam jam dari sini kalau mau ke sana." Jelas Renata.
"Serius? Menurut aku ini aja udah enak banget, apalagi kalau di sana. Mungkin aku bisa lupa diri buat makan ini terus." Kata Widya.
Renata dan Widya pun tertawa. Beberapa saat berlalu hingga makanan mereka pun habis. Renata mengajak Widya untuk berjalan-jalan mengelilingi daerah sekitar di mana ia tinggal. Mereka berjalan dengan santai, Renata mulai menjelaskan apa saja yang ada di hadapan mereka saat ini. Widya pun tertarik dengan pemandangan yang nampak berbeda jika dibandingkan dengan Paris, di mana ia tinggal.
Beberapa jam sudah berlalu, Renata dan Widya pun turun dari bus yang mereka naiki. Dengan santai, Renata menggandeng tangan Widya untuk berada di sisinya.
"Kita mau ke mana Ren?" Tanya Widya.
"Sebelum kita makan siang, aku mau ajak Ka Wid ke tempat di mana urusan-urusanku harus aku selesaikan dulu, Ka Wid masih inget ngga aku pernah ngomong itu dulu waktu di pantai?" Kata Renata.
"Oh iya aku inget. Kita mau ke sana sekarang?" Tanya Widya.
Renata mengangguk dengan pasti. Mereka pun melanjutkan perjalanan menjelang siang ini. Sampailah mereka di sebuah gerbang besar berwarna merah, Renata pun mendekat ke arah pos keamanan. Setelah itu pintu gerbang pun terbuka, Renata kembali ke arah di mana Widya berdiri.
"Ini tempat apa Ren?" Tanya Widya heran.
Renata hanya tersenyum lalu kembali menggandeng tangan Widya untuk mengajaknya masuk ke dalam. Widya dibuat terkejut, di dalam gerbang ini ada sebuah komplek yang besar dan terdiri dari beberapa bangunan. Mereka pun menuju bangunan yang paling dekat dengan pintu gerbang. Belum sempat mereka tiba di bangunan tersebut, keluarlah seorang perempuan dari bangunan itu dan melihat ke arah Renata.
"Selamat siang Suster Kepala." Kata Renata.
"Selamat siang Renata. Bukankah hari ini kamu mengambil libur?" Katanya.
"Ada temanku yang ingin melihat tempat ini, makanya aku membawanya ke sini hari ini." Jelas Renata.
Setelah penjelasan singkat, akhirnya Renata dan Widya diperbolehkan untuk melihat-lihat komplek ini setelah mengenakan tanda pengunjung. Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat lain.
"Jadi tempat ini panti asuhan?" Tanya Widya.
"Bukan cuma panti asuhan Ka Wid..." Renata menunjuk ke sebuah taman, "tapi untuk orang tua juga, dan untuk orang-orang yang ngga punya tempat tinggal dan mau untuk ditampung di sini."
Bukan hanya banyak anak-anak, melainkan banyak juga orang-orang tua seperti apa yang Renata katakan. Tempat ini adalah sarana yang dibuat oleh dinas sosial dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang kurang beruntung, kemudian tempat ini pun dikelola dari bantuan para biarawati yang ada di kota ini. Setelah mengelilingi komplek ini, akhirnya Renata pun mengajak Widya untuk duduk di sebuah bangku panjang di tepi salah satu gedung.
"Jadi, di sini aku harus beresin beberapa urusan itu Ka Wid." Kata Renata.
"Aku pikir kamu tuh sekolah bisnis di sini, soalnya ada satu sekokah bisnis yang terkenal di kota ini. Ternyata semuanya di luar ekspektasi aku Ren, dan sekarang aku jadi bertanya-tanya kenapa kamu memilih tempat ini." Ucap Widya.
"Dari sebuah ketidak sengajaan yang akhirnya bisa bikin aku ngerasa sebuah kedamaian, mungkin itu jawabannya Ka Wid." Jawab Renata.
"Kenapa Copenhagen?" Tanya Widya singkat.
"Kenapa Copenhagen? Percaya atau ngga, sebenernya kota ini tuh pilihan acak aja. Aku butuh tempat sendiri dan benar-benar jauh dari jangkauan siapapun, termasuk Adrian..."
Widya menatap Renata dalam kebingungan.
"...Beberapa tahun lalu, aku pergi begitu aja ninggalin kehidupan aku di Indonesia. Aku ngerasa udah muak sama semuanya, dan secara acak aja aku milih Copenhagen. Aku iseng jalan-jalan sampai akhirnya ketemu tempat ini..."
Widya mengangguk secara perlahan.
"...Dan ngga aku sangka, aku ngerasa damai aja di sini. Kegiatan-kegiatan sehari-hari, terus suka ngadain acara buat menghibur, sampai kegiatan keagamaan di sini bisa bikin aku ngerasain damai. Terlebih setelah aku kembali ke Indonesia, aku rasa memang aku harus ke sini lagi." Jelas Renata.
"Aku paham sekarang. Tapi, apa mungkin kamu akan menjadi..."
Renata tersenyum meskipun Widya belum menyelesaikan perkataannya, hingga membuat Widya menghentikan perkataannya. Ia lebih memilih untuk menunggu apa yang akan Renata jawab terlebih dahulu.
"Pernah terlintas dipikiranku untuk menjadi salah satu dari mereka, aku ngerasain kedamaian kayak yang aku bilang sebelumnya. Kalau menurut Suster Kepala, lebih baik aku pertimbangin lagi pilihanku terlebih dia tau semua ceritanya. Jadi aku belum bisa mastiin apa aku akan jadi Biarawati juga atau sekedar sukarelawan di sini." Jelas Renata.
Widya kembali menganggukkan kepalanya, "Ada benernya juga sih, lebih baik kamu pikirin lagi sebelum..."
"Ka Renata..."
Widya dan Renata menatap ke arah sumber suara, "Hai Sebastian. Bagaimana kabarmu?"
"Bukankah kamu libur hari ini? Kenapa kamu ada di sini?" Tanya Sebastian.
"Perkenalkan ini temanku, namanya Ka Widya. Aku ke sini untuk mengajaknya ke sini." Jelas Renata.
Widya dan Sebastian pun berjabat tangan, "Suster Kepala menyuruhku untuk mengajak kalian makan siang bersama, jadi ayo kita pergi ke aula utama di sana."
Sebastian menggandeng tangan Widya yang membuatnya dengan cepat berdiri dari duduknya. Mereka pun berjalan bersama menuju aula utama, "Ren, anak ini lucu banget ya."
Renata mengangguk sambil tersenyum. Sebastian pun menatap Renata, "Ka Renata, apa yang Ka Widya katakan? Aku tidak mengerti."
"Dia berkata kamu anak yang lucu." Ucap Renata.
Sebastian pun tersenyum ke arah Widya. Mereka pun makan siang bersama di aula bersama, sesekali Widya melihat ke arah Renata yang sedang berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Tak jarang pula Renata berbincang dengan orang-orang tua di sana, Widya pun berhasil dibuat tersenyum olehnya.
Waktu pun berlalu, matahari sudah berada di ufuk barat dan akan segera tenggelam. Pintu lift terbuka, Renata dan Widya keluar menuju kamar di mana Renata tinggal. Setelah membuka pintu, mereka pun masuk ke dalam sebuah apartemen.
"Maaf ya Ka Wid kalau berantakan." Ucap Renata.
"Ngga kok, ini termasuk rapih dibandingin sama tempat tinggal aku." Sahut Widya.
Renata beranjak menuju dapur untuk membuatkan minuman, Widya sempat melihat-lihat seisi kamar Renata. Akhirnya mereka pun menuju balkon kamar sesuai rekomendasi Renata.
"Pemandangan paling pas kalau sore ya di sini Ka Wid." Kata Renata.
Widya pun duduk di bangku, "Oh iya bagus banget Ren."
Renata dan Widya minum secara bersamaan. Beberapa saat mereka larut dalam diam hanya memandangi matahari yang akan segera terbenam.
"Akhirnya kamu bisa memilih juga." Ucap Widya.
Renata tersenyum, "Pada akhirnya mungkin aku bukan memilih, tapi aku menerima sebuah pilihan dari pertanyaan yang selama ini hanya terdiam tanpa ada jawaban. Mungkin kata-kata yang tepat itu aku sekarang bisa berdamai dengan jawaban itu Ka Wid. Dan sekarang aku semakin percaya, semuanya akan indah pada waktunya."
"Semua akan indah pada waktunya..." Widya mengulang perkataan Renata, "aku pun setuju sama kata-kata itu, meskipun harus ada pengorbanan terlebih dahulu."
Renata kembali tersenyum, mereka pun kembali menatapi matahari yang semakin meredup. Semua akan indah pada waktunya, mungkin bagi kalian terdengar sangat klise. Ada beberapa dari kalian yang mungkin saja beranggapan bahwa kalimat itu hanya untuk orang-orang yang tidak berhasil meraih apa yang mereka inginkan, munculah kalimat tersebut hanya untuk sekedar memotivasi kegagalan.
Namun untuk kami, kalimat itu akhirnya memiliki makna lain. Dari semua pengalaman yang sudah terjadi, kalimat itu terdengar seperti sebuah janji. Berusahalah sekeras yang kamu bisa, sesuatu yang indah akan menanti di depan meskipun kamu harus mengalami kepahitan dalam proses mencapai keindahan tersebut.
Lalu bagaimana dengan keadaanku saat ini?
*
"Mas Adrian, untuk minggu depan kayaknya kita harus minta jumlah susu lebih banyak deh kalau diliat dari laporan ini. Udah beberapa kali kita kehabisan di pertengahan minggu." Kata Bella.
"Coba liat Bel." Kataku.
Bella memberikan catatannya kepadaku, "Liat deh Mas, setiap di pertengahan pasti selalu abis dan kita harus minta pengiriman lagi. Apa ngga sekalian kita perbanyak aja buat sekali pengiriman?"
"Aku setuju, nanti hubungin aja terus minta dua kali dari jumlah yang sekarang Bel." Kataku.
Bella pun mengangguk lalu mengambil kembali catatan tersebut. Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah sekeliling rumah ini, kemudian aku mengangguk begitu saja. Memang benar setelah beberapa bulan lalu kami memutuskan untuk berpindah dari ruko menuju rumah yang kami beli, semakin banyak pengunjung yang datang karena kapasitas dari rumah ini beberapa kali lebih banyak jika dibandingkan dengan ruko saat itu.
Aku pun berlalu menuju halaman belakang, aku masuk ke ruang penyangrai biji kopi. Beberapa kilo biji kopi sudah ku masukkan, lalu mesin ku nyalakan. Aku mulai memperhatikan detil-detil pergerakan mesin penyangrai secara teliti sebelum aku bisa melepas kendali mesin ini.
Ferdi pun masuk ke dalam ruangan ini, "Dri, lusa ada yang minta buat reservasi ulang tahun kapasitas 20 orang. Menurut lu gimana nih?"
"Reservasi?..." aku memandang Ferdi, "sejak kapan kita bisa reservasi?"
"Makanya gue nanya sama lu, gimana kalau misalkan ada yang minta reservasi? Gue kan ngga bisa ambil keputusan sepihak." Kata Ferdi.
"Jangan deh ngga adil buat pelanggan yang lain, mau mereka bayar berapapun juga. Kalau misalkan mereka dateng, ada bangku kosong dan mereka mau pesta ulang tahun, itu nggapapa." Kataku.
Mesin penyangrai berhenti beroperasi, katup mesin ku buka lalu keluarlah kopi yang sudah ku masukkan sebelumnya. Butuh waktu lebih lama untuk menurunkan suhu biji kopi yang baru matang, aku dan Ferdi pun keluar dari ruangan tersebut sambil menyalakan rokok kami masing-masing.
"Ngomong-ngomong, gimana perkembangannya Dri?" Tanya Ferdi.
Ku hembuskan asap putih dari mulut, "Perkembangan? Pertanyaan lu tuh masih tumpul banget, gue jadi bingung arahnya ke mana Fer."
"Oke deh gue langsung aja, gimana kabar Renata?" Tanya Ferdi lagi.
Aku memandang ke arah Ferdi, "Setelah pertanyaan gila itu, dia juga menghilang. Tapi belum lama ini gue dapet kabar dari Ari, katanya Renata balik lagi ke Copenhagen."
"Copenhagen? Gue sampai lupa, dia tuh ngapain Dri di sana?" Tanya Ferdi.
"Entah, jujur aja gue pun ngga tau..." aku melihat ke arah pintu, "tuh pacar lu dateng."
Bella datang ke arah kami, "Bang Fer ada yang nyariin, katanya temen pas SMP."
"SMP? Siapa ya temen SMP gue yang tau tempat ini?" Kata Ferdi.
"Ya mana gue tau cuk, kita aja beda SMP. Udah sana samperin." Kataku.
Ferdi pun mematikan rokoknya lalu masuk ke dalam. Secara bergantian, Bella pun berdiri di sampingku. Ia pun menyalakan rokok setelah meminjam korek milikku.
"Mas Adrian, aku boleh nanya ngga?" Ucapnya.
Aku memandangnya heran, "Kamu kenapa Bel? Kalau mau nanya ya silahkan aja, tumben banget minta izin segala."
"Ka Bulan apa kabar Mas?" Tanyanya.
"Kamu janjian ya sama Ferdi buat nanyain ini?" Kataku.
"Maksudnya gimana Mas?" Bella keheranan.
"Tadi pas Ferdi di sini, dia nanyain gimana kabar Renata. Sekarang gantian pas kamu di sini, nanyain kabarnya Bulan. Kayaknya udah diatur sedemikian rupa pertanyaan ini." Kataku.
"He? Sumpah Mas, aku sama Bang Fer ngga janjian buat nanyain ini. Makanya aku bingung pas Mas Adrian bilang janjian." Jawabnya.
Aku pun tersenyum, "Aku kira janjian. Kalau kamu nanya gimana kabarnya Bulan, mungkin aku bisa jawab kalau semua orang akhirnya akan menentukan pilihannya masing-masing. Aku udah memilih, Renata udah memilih, begitu juga dengan Bulan."
"Artinya Mas ngga tau gimana kabarnya Ka Bulan?" Tanya Bella lagi.
Aku mengangguk, "Setelah aku ceritain semuanya waktu itu, mungkin hari itu juga terakhir kalinya aku ngeliat dia. Setelah itu aku udah ngga pernah ketemu sama dia."
"Mas Adrian ngga mau ke rumahnya?" Tanya Bella.
"Jangankan untuk ke rumahnya Bel, aku pun udah ngga berani buat hubungin dia lewat handphone. Aku juga harus tau diri Bel, setelah semua yang udah aku lakuin ke dia, apa iya aku masih berani buat hubungin dia..."
Bella menatapku dalam diam.
"...Mungkin udah waktunya untuk berhenti, dan lebih baik aku ngga menyakiti hati siapapun lagi. Dan untuk saat ini, mungkin aku harus fokus sama tempat ini." Jelasku.
"Tapi suatu saat Mas Adrian akan hubungin Ka Bulan lagi?" Tanya Bella.
"Mungkin..." aku menatap Bella, "atau ngga sama sekali."
Aku tidak punya keberanian untuk sekedar menghubungi Bulan kembali, terlebih setelah apa yang sudah ku lakukan kepadanya. Rasanya semuanya sudah cukup, aku harus tau diri. Tidak ada lagi sakit yang harus ia rasakan, tidak ada lagi salah yang ku perbuat. Mungkin semuanya lebih baik begini.
Hari terus berlanjut, semua yang sudah terjadi tidak akan pernah terulang lagi. Langkah demi langkah yang sudah ku ambil tidak akan pernah kembali, aku harus tetap berjalan maju sekalipun pilihan yang ku ambil akan ku sesali di kemudian hari. Namun itu semuanya memiliki resiko, entah datangnya langsung atau berangsur kemudian. Dan dibalik itu semua, akan juga bermunculan sebuah keindahan meski hanya terlihat setitik saja.
Beberapa hari pun sudah berlalu begitu saja, malam pun datang ditemani hujan. Aku, Bella dan juga Rara masih merapihkan tempat ini sementara yang lain termasuk Ferdi sudah pulang terlebih dahulu.
"Mas, kita nggapapa tinggal di sini?" Tanya Rara.
Aku mengangguk, "Emang sengaja aku siapin, jadi kalian-kalian bisa tidur di atas. Terlebih kalau udah capek banget, tinggal naik ke atas selesai tutup."
"Makasih ya Mas Adrian." Ucap Bella.
Aku pun tersenyum membalasnya. Setelah selesai, aku memutuskan untuk pulang ke rumah menggunakan payung. Gerbang pun ku tutup, aku berjalan dengan santainya kembali ke rumah yang letaknya persis di sebelah rumah ini.
"Tumben ya hujan jam segini." Kataku seorang diri.
Langkahku pun melambat, hingga akhirnya aku berhenti di depan garasi rumah. Di bawah sinar lampu jalanan, aku hanya memandangi pintu gerbang rumahku dalam diam. Aku tidak sama sekali menyangka semuanya akan terjadi pada malam ini.
"Bubu..."
Bulan pun mengalihkan pandangannya ke arahku, dengan payung yang ia kenakan dan koper yang ia bawa. Ia pun tersenyum simpul kepadaku, aku pun mendekat ke arahnya.
"Kamu... kok..."
"Ayi..." Bulan memotong pembicaraanku, "kenapa kamu ngga bilang kalau kedai udah pindah?"
Aku pun terpaku menatap Bulan.
"Kenapa kamu ngga ngabarin kalau kedai pindah ke sini? Kenapa kamu ngga ngabarin waktu itu? Kamu masih simpen nomor aku kan, belum dihapus?" Tanyanya.
Aku menggelengkan kepalaku secara perlahan.
"Terus kenapa ngga ngabarin Yi?" Tanyanya lagi.
Ku genggam gagang payung lebih kuat, "Aku takut buat ngabarin kamu, terlebih setelah kamu tau semuanya. Aku ngerasa bersalah, dan itu yang bikin aku takut buat ngabarin kamu lagi."
Bulan mendekat, "Kamu masih inget perkataan aku waktu itu kan? Kalau kamu merasa salah, kenapa kamu diem aja? Aku udah bilang kalau kamu masih bisa jalan mundur untuk milih jalan yang satunya, kamu masih bisa memperbaiki semuanya kalau kamu mau. Jangan merasa takut untuk memperbaiki kesalahan kamu. Dan asal kamu tau, dari malam itu sampai hari ini aku masih nunggu kabar kamu."
Aku melepas payung yang ku pegang. Aku berjalan lebih dekat ke arah Bulan, lalu ku genggam tangan Bulan yang sedang memegang payung. Aku sempat tertunduk dalam diam, hingga aku bisa menegakkan kepalaku lagi.
"Aku mau minta maaf, tentang kejadian waktu itu, tentang ngga ada kabarnya aku, dan untuk semua kesalahan yang mungkin pernah aku perbuat sama kamu..."
Bulan menatapku dalam diam.
"...Dan satu lagi, ada yang mau aku bilang sama kamu." Kataku.
"Kamu mau bilang apa?" Tanyanya.
"Rembulan Putri Dinata... maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku.
Bulan pun tersenyum setelah mendengar apa yang ku katakan. Ia melepas genggamanya, lalu tangannya pun mengalung di leherku. Di bawah sinaran lampu jalan, di bawah rintik-rintik hujan, di balik payung yang melindungi, sebuah kenangan kembali terukir.
Ada kalanya aku merasa tersesat, hingga aku salah mengambil jalan. Aku pun berjalan, semakin dalam dan semakin tersesat entah di mana. Rasanya muak jika aku harus kembali ke persimpangan untuk memperbaiki jalan yang ku pilih, namun semua itu adalah pilihan. Aku masih punya waktu untuk memperbaiki keadaan, asalkan aku mau dan bersabar. Butuh tenaga dan waktu lebih untuk memperbaiki semuanya.
"Aku mau."
***
-Tamat-
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:28
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup