- Beranda
- Stories from the Heart
Bilik Pribadi True Story
...
TS
qoni77
Bilik Pribadi True Story

PROLOG
"Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup sebab tanpa cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada hari perhitungan nanti." (Maulana Jalaludin Rumi)
Hai, halo, halo ... readers!
Kali ini ane bakal bercerita kisah nyata loh. Mohon untuk jangan baperan, hehe.
Semua yang bakal ditulis ini hanya fatamorgana kok. Kok gitu, Sist? Begini nding, semua cerita bersifat subjektif sahaja. Menurut pengalaman hidup dan keyakinan yang dimiliki si empunya pelaku dalam cerita ini.
Penulis hidup di lingkungannya yang heterogen. Nah, dengan adanya alasan ini kedepannya, semoga tidak ada tuntutan atau perdepatan yang hanya akan menghabiskan waktu sahaja ya?
Perspektif dan cara hitup satu orang dengan yang lainnya tentu berbeda. Akan banyak hal yang membuat kita memiliki banyak perbedaan. Sejatinya yang paling sensitif adalah menyangkut urusan keyakinan, jangan pernah berdebat soal ini ya!
Hidup gue ya gue, hidup elo ya elo!
Wala antum ngabidzunama aghbudzh, wala anangabidzumangabadztum, wala antum ngabidzunama aghbudzh.
Lakum dzinukum waliyadin!
Penulis kelahiran kampung ini, akan menyajikan hal yang berbeda nantinya. Hobi melakoni percakapan dengan para orang tua, membuat penulis memiliki pandangan untuk membuat sketsa cerita dalam bilik dan alur yang tentu berbeda dengan penulis pada umumnya.
Segala sesuatu hendaknya dilihat dengan kaca mata CINTA sahaja. Kalau ada baik ambil dan kalau ada buruk kagak perlulah diambil. Persaudaraan dan kerukunan untuk keutuhan bangsa Indonesia harus tetap dijunjung tinggi serta setinggi-tingginya oleh benak setiap warga Indonesia yang berkelakuan baik
Warna Pelangi bisa saja berwarna-warni, tak pernah bersungguh-sungguh untuk bercerai antar satu warna dengan warna yang lainnya. Akan sangat nampak berwibawa dan sangat manis karena mampu bergandengan tangan.
Laju nian bapak bertapak
Lalu ibu tersenyum canggung
Lilin-lilin kecil telah dinyalakan berserak
Lipat dagu memandangi punggung
Semoga hikmah tetap ada
Kukeluarkan uneg-uneg dalam dada
Hanya cinta yang mampu kubawa
Menyelami kembali rasa
INDEKS LINK (Perpustakaan Bilik Pribadi True Story)
Ngawi, 30082019
#Warna_Senja
Diubah oleh qoni77 05-06-2020 21:57
bukhorigan dan 49 lainnya memberi reputasi
48
9.9K
173
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
qoni77
#148
Jadi Tumbal?

Minggu pagi seperti biasanya saya menjenguk adik di ponpes. Ponpes tersebut terletak di kabupaten Ngawi Jawa Timur. Kami bertemu dan melepas rindu di teras Masjid yang masih berada di lingkungan ponpes.
Ada yang menarik .... Seorang nenek yang merupakan kakak dari ibunya pak Kyai Abdul Aziz membaur bersama kami. (Berarti kyai tersebut merupakan keponakan si nenek)
Nenek tersebut berjalan menggunakan bantuan tongkat. Biasanya beliau hanya duduk di bangku panjang depan rumahnya. Kali ini ada sesuatu yang beliau ingin bagikan.
"Nduk, pak kyaine lagi medal."(Nak(perempuan) pak kyai saat ini sedang keluar)
Beliau menerangkan.
"Oh injih Mbah, kulo wau pun disanjangi."(Oh iya mbah, saya tadi sudah diberitahu)
Percakapan demi percakapan mulai terjadi. Sampai di mana kutangkap beliau hanya ingin bercerita dan hanya ingin didengarkan. Aku terdiam dan memasang telinga.
"Ponakkanku nduwe bojo, Nduk. Bojone iku dadi tumbal."(Keponakanku punya isteri dan isterinya jadi tumbal). Cerita dimulai.
Keponakan beliau yang lain sebut saja pak Husein. Maaf di part sebelum revisi saya tidak memberi nama ini.
"Asrumi iku jenenge bojone. Sakjane ngunu deweke ki seregep sholat lan ngaji."
(Asrumi nama isterinya. Sebenarnya dia rajin sholat dan ngaji)
"Lamun ngunu lo kok sih kalah karo pesugihan gunung Kawi?"
(Akan tetapi dia kalah dengan pesugihan gunung Kawi)
Setelah saya lihat youtoube tadi. Gunung Kawi ada yang letaknya di Malang pun ada yang di Bali. Seseorang yang menginginkan kekayaan biasanya akan bersemedi di sana. Tak jarang juga akan dimintai tumbal nyawa sebagai ganti harta yang diberikan oleh penunggu gunung Kawi. Untuk cerita ini, saya tidak tanya ke mbah tersebut yang beliau maksudkan gunung yang di mana.
"Lo Mbah, menawi sing dadosake bu Asrumi tumbal sinten njih?"(Lo mbah, yang menjadikan bu Asrumi tumbal itu siapa?) tanyaku kemudian.
"Yo ibuke lo, Nduk!" jawabnya.
"Kok saget ngoten to, Mbah?" (Kok bisa begitu to, Mbah?)
"Yo iso to Nduk. Wong yen sugeh ndunyo ki yo penak tenan. Diajeni saben uwong. Arep pingin opo wae keturutan. Masalah besok mboh ...." (Ya bisa to Nduk(panggilan perempuan Jawa). Orang kaya di dunia itu ya benar enaknya. Dihormati orang. Mau apa saja bisa. Masalah di akhirat ndak tahu ....)
Nenek ini bercerita dengan mata yang berkaca-kaca.
"Husein wes golekne tombo teko endi-endi. Nanging akhire kalah karo pesugihan gunung Kawi."(Husein sudah mencari obat ke mana-mana tapi akhirnya kalah dengan pesugihan gunung Kawi)
"Kalah pripun to, Mbah?" (kalah bagaimana to mbah) tanyaku.
"Yo kalah to? wong saiki Asrumi wes mati." (ya kalah kan? Orang sekarang Asrumi sudah meninggal." terangnya.
Aku terdiam dan menahan sesak di dada.
"Mboke Asrumi iku tangane belang. Wes akeh wong ngomong nak uwong sing golek pesugihan di gunung Kawi iku tangane pasti belang ..." (Ibunya Asrumi itu tangannya belang. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang yang mencari pesugihan di gunung Kawi itu pasti tangannya belang) Beliau menunjukkan pada batas jari jemari sampai ruas pengelangan tangan. "Bagian keneki lo sing belang." (bagian sini lo yang belang)
Jemari tangan sampai ruas pergelangan tangan itu akan tampak lebih putih dari kulit di bagian lengan. Itu yang saya tangkap dari penjelasan beliau. Jika pembaca budiman punya pendapat lain boleh berbagi.
"Uwes pasti Nduk. Uwes pasti nak mboke Asrumi sing golek pesugihan lan Asrumi sing didadekne tumbal!"(Sudah pasti, sudah pasti ibunya Asrumi yang mencari pesugihan dan Asrumilah yang dijadikan tumbal)
Sebenarnya saya takut jika ini hanya suudzon. Namun saya masih belajar menjadi pendengar yang baik. Sekarang juga sedang belajar mmenulis dengan memperhatikan pesan apa yang ingin saya sampaikan.
"Asrumi kuwi ndleming terus selama loro." (Asrumi itu bicara tak beraturan waktu sakit)
'Tibo apesku, piye nasibe anak lan putuku?' (Datang sialku, bagaimana nasib anak dan cucuku?)
'Aku wes kalah janji. Gunung Kawi nagih janjine' (Aku sudah kalah dalam perjanjian. Gunung Kawi menagih janjinya)
Kurang lebih dua kalimat itulah yang sering diucapkan bu Asrumi selama sakit. Nenek tersebut kekeh kalau yang menjadikan tumbal bu Asrumi adalah ibunya sendiri.
Bu Asrumi ini sudah memiliki dua cucu dan beliau adalah anak ke lima dari keluarganya. Saya kurang faham juga apakah tumbal bisa diambil bahkan ketika seseorang berusia paruh baya.
Sebelum meninggal beliau dibawa salah satu anaknya yang sudah menikah di RSJ Magelang. Anak beliau ini berdomisili di Salatiga. Dua hari di RSJ bu Asrumi meninggal. Innalillahiwainnalillahirajiun.
Berdasar kisah nyata pernah saya publish di kbm
#repost
#Warna_Senja
0