Puspita1973Avatar border
TS
Puspita1973
KUMPULAN CERPEN HOROR: SUARA DARI MAKAM TUA
KISAH NYATA

Radar Solo

Dalam sebuah rumah berdinding kayu dengan banyak jendela kami tinggal. Di depan rumah berdiri kokoh sebuah pohon mangga yang berdaun cukup lebat, di samping jambu biji yang buahnya terasa lama sekali matang, dan belakang rumah asam Jawa. Sementara di kiri dan kanan rumah ditanami lamtoro. Ibu saya sangat menyukai buah tanaman itu. Untuk campuran membuat masakan tradisional.

Rumahku adalah surgaku. Begitulah. Dari dan sini beberapa kisah cerita saya yang "ugh" tersimpan.

Saat itu umur saya baru sembilan tahunan. Tepatnya kelas empat SD. Sedangkan adik saya, kelas satu. Kami berbeda tiga tahun.

Kami hanya tinggal bertiga. Dari Senin sampai Sabtu, Ibu saya bekerja dari jam setengah tujuh pagi hingga lima sore. Walaupun di rumah hanya berdua tanpa pengawasan orang dewasa, saya dan adik tetap hidup normal layaknya anak lain sebaya. Tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, perhatian dan yang sejenis dengan itu. Namanya juga anak-anak. Selalu bahagia. Bermain dan bermain itulah dunia saya.


99oo

Siang itu, saya bersama adik dan beberapa teman sedang bercengkrama di sekitar sumur yang diperuntukkan umum, meski sebenarnya milik pribadi tetangga sebelah rumah yang sangat baik hati. Saat itu belum ada PDAM. Dan, ketika musim kemarau, semua orang biasa mengambil air di sumur itu.

Dari sumur yang letaknya cukup tinggi, maksud saya sumur ini berada di atas tanah yang posisinya lebih tinggi dibandingkan sekitarnya, di tempat ini kami seolah bisa memandang lurus sejajar ke sebuah tempat yang kami sebut gunung. Yang dimaksud gunung di tempat saya ini, bukan seperti Merbabu, Merapi, Semeru, Lawu atau gunung-gunung lain yang sejenis itu. Apalagi Puncak Jaya. Namun, hanya dataran yang memiliki ketinggian dpl lebih dibanding tanah sekitarnya. Berupa padang ilalang luas dengan beberapa tanaman mangga yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Tempat ini jarang didatangi orang apalagi anak-anak. Namun tak demikian halnya dengan saya. Gunung yang sepi itu menjadi salah satu tempat favorit.

"Na, gunung, kan, keliatan dari sini. Berarti kalau aku ke sana, aku bisa melihat kamu di sini," ucap saya pada seorang teman.

"Iya."

"Kalau begitu kamu dan mereka," saya menunjuk beberapa teman yang kebetulan sedang berada di tempat itu,"tetap di sini, ya. Aku sama adikku mau ke gunung. Nanti aku lambaikan tangan dan panggil nama kalian, semua menyahut, yo!"

"Yaaa." Suara mereka terdengar kompak menyahut.

Saya dan adik pun dengan semangat empat lima berjalan ke arah selatan. Menuju gunung yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter. Setelah melewati jalan menurun, datar, dan menurun lagi sampailah di jalan terakhir yang harus kami tempuh. Tanah berumput liar, menanjak dengan kemiringan kurang lebih empat puluh lima derajat.


Gallery indah


Setelah kurang lebih lima meter kami melangkah dengan deru napas yang sedikit lebih cepat, sebuah makam tua seolah menyambut. Ya, makam yang terlihat sangat tua. Meskipun bersih beberapa kayunya tampak berjamur. Hanya ada beberapa makam di tempat itu. Hampir semuanya memiliki cungkup.* Dan, areal pemakaman ini dinaungi pohon-pohon tua dan besar. Meskipun matahari seolah membakar kerak bumi sekalipun, tempat itu tetap teduh. Rindang daun pohon-pohon di sana tak tertembus sinar matahari.

Menurut cerita orang-orang, hanya orang penting yang dimakamkan di situ. Mereka yang dianggap memiliki kelebihan. Kesaktian, kekuasaan atau yang sejenis dengan itu. Tentu saja, saya tidak bermaksud ke sana. Saya dan adik pun berjalan ke arah kiri. Walaupun pada akhirnya berhenti tak jauh dari makam, juga. Kurang lebih sepuluh meteran.

Dan benar saja, begitu saya melihat ke arah yang saya perkirakan sumur dan tempat Na dan kawan-kawan berada, saya melihat mereka. Saya pun langsung melambaikan tangan. Mereka membalas. Melompat dan bersorak kegirangan.

Selanjutnya, saya dan adik mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, setelah itu memanggil-manggil nama mereka. Awalnya dengan suara sedang, kemudian lebih keras, lebih keras lagi dan lagi, hingga berteriak sekeras-kerasnya. Saya berharap mereka mendengar dan menyahut, karena itu, saya berteriak dengan volume suara paling maksimal yang saya bisa. Berulang-ulang. Hingga akhirnya teriakan saya berhenti seketika, saat dari arah kuburan tua terdengar suara 'ssssttttt!' cukup keras! Saya dan adik sama-sama terkejut. Refleks kami berdua menoleh ke arah makam. Tak ada siapa-siapa. Dan memang makam itu jarang diziarahi atau dijamah orang.

Tanpa aba-aba, kami berdua langsung berlari tunggang langgang. Padahal posisi kami sedang berada di tanah yang miring dan terjal. Tak peduli apa pun, yang saya pikirkan hanya harus segera menjauh dari tempat itu.

Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Saya terantuk batu. Tubuh saya pun jatuh berguling lalu menggelinding di atas rumput liar. Beberapa bagian tubuh saya tergores alang-alang yang tajam dan entah benda apa. Pedih dan sakitnya luka yang berdarah tak lagi terasa. Yang penting saya dan adik harus segera sampai di rumah.

Setelah sampai di depan rumah penduduk terdekat, kami bisa bernapas sedikit lega. Dengan segala rasa tak menentu kami lanjutkan perjalanan dengan mencari jalan terdekat. Begitu kami sampai, Na dan kawan-kawan tak terlihat lagi di sekitar sumur. Mungkin mereka dipanggil lalu disuruh pulang oleh orang tua masing-masing.

Tak mengapa. Saya dan adik pun langsung menuju ke rumah. Sampai di dalam, rasanya benar-benar lega. Benar-benar merasa terbebas dari sesuatu. Kami segera memeriksa tubuh dengan seksama. Ternyata ada beberapa luka gores di lengan dan kaki kami. Bunga alang-alang pun tak mau kalah, seolah berebutan menempel pada pakaian kami. Rasanya gatal dan perih.

Meskipun telah berlalu lebih dari tiga puluh tahun, peristiwa ini tak lekang dari ingatan saya. Suara dari makam tua. Begitu juga rumah Ibu dan suasana kampung pada zaman itu. Sepertinya "alam lain" juga terganggu dengan suara berisik.

Sampai ketemu di cerpen horror saya berikutnya. emoticon-Angel

Foot note:
Cungkup, bangunan beratap di atas makam yang berfungsi sebagai
pelindung.
Diubah oleh Puspita1973 03-11-2020 02:15
NiningMeu
vannydayu
pulaukapok
pulaukapok dan 36 lainnya memberi reputasi
37
6.2K
290
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
Puspita1973Avatar border
TS
Puspita1973
#37
HANTU NONI BELANDA


"Her, besok tukar shift, yo?"

"La, kenapa to, Mas?"

"Mau ketemu 'biasa' tau sendiri lah." Saat mengucapkan kata 'biasa' Dayat menarik bola matanya ke atas.

"Walah, sepertinya sampean serius, Mas."

"Cantik banget, pokoknya! Tak ada yang sama seperti dia."

Hari itu Dayat meminta Heru--rekan kerjanya--agar dirinya hari Kamis besok, bisa bekerja malam. Begitulah, setiap malam Jumat Dayat selalu ingin berdinas malam. Mereka, para security biasa bekerja dalam tiga shift. Pagi, dari jam tujuh hingga jam tiga. Siang, dari jam tiga hingga jam sebelas dan shiftmalam dari jam sebelas hingga jam tujuh, pagi.

Shift malam, menjadi favorit Dayat karena ada "seseorang" yang harus ia temui, di jam itu. Seorang wanita berkulit putih, bermata biru turkois, berhidung mancung, rambut sandy blonde, dan memiliki tinggi badan di atas rata-rata perempuan Indonesia pada umumnya. Ia menyebut dan memanggilnya 'Nonik'. sejak pertemuannya dengan wanita ini membuat hidup Dayat sedikit berubah.

Laki-laki berpostur tinggi besar dengan kulit sedikit gelap ini lebih banyak senyum dan ramah dari biasanya. Bahkan tak jarang tersenyum sendiri. Pun demikian, rekan-rekan kerjanya tak merasa heran.

Walaupun tak senyaman tidur di springbed, meluruskan punggung lalu merenda mimpi di dalam pos security tempat ia bekerja--bank BUMN--adalah sesuatu yang selalu ingin Dayat lakukan. Jika hal itu memungkinkan. Dan, seandainya diberi tawaran, maka Dayat akan melakukan itu setiap malam. Hanya dengan cara itulah ia bisa berjumpa lalu memadu kasih dengan Nonik.

*

Malam itu Dayat dinas malam bersama Nanang. Telah menjadi kesepakatan berdua, jika setelah jam dua dini hari, salah satu dari mereka diperbolehkan tidur satu hingga dua jam, bergantian. Dan, Dayat mendapatkan giliran lebih dulu.

Tanpa harus menunggu hitungan menit, begitu kepala lelaki berambut hitam legam itu bersentuhan dengan tas pinggangnya yang ia gunakan sebagai bantal, langsung terdengar suara dengkur.

"Sudah lama menunggu?"

"Iya, Mas." Tak sabar, Dayat meraih pinggang ramping Nonik lalu mendudukkan wanitanya di salah satu paha.

Keduanya tengah menikmati sepoi angin di bawah rindang trembesi yang seolah merentangkan dua tangan. Memayungi mereka. Tak menyia-nyiakan kesempatan Dayat segera melingkarkan kedua lengannnya ke dada Nonik dari belakang.

Tak banyak berbicara, keduanya kemudian saling menatap. Mengalirkan sesuatu dalam dada. Dalam hitungan detik mereka berdua pun terbang ke awan. Meluahkan segala yang terpendam. Dunia milik berdua, seolah nyata di tangan mereka ....

"Mas. Mas Dayat, bangun Mas, sudah jam empat." Suara Heru membangunkan Dayat.

"Ehhh. Iyaa. Sebentar." Berat Dayat membuka matanya yang terasa melengket.

"Bagaimana Mas. Sudah mimpi basah sama Mbak Nonik Belanda, itu?"

Dayat menarik kedua sudut bibirnya, lalu melangkah ke kamar mandi.

Dayat, laki-laki ini baru saja melakukan "ritualnya". Setiap malam Selasa dan Jumat. Dan ia telah melakukan itu berbulan-bulan.

Semua dimulai ketika suatu sore menjelang maghrib, tanpa sengaja ia bertemu "seseorang" yang akhirnya dipanggil Nonik. Saat itu Dayat sedang memarkir sepeda motornya di basement.

Seorang wanita muda berpakaian gaun off shoulder dengan dominasi warna putih menghentikan langkahnya dengan sebuah senyuman. Dayat pun terkesiap! Bulu-bulu di sekujur tubuhnya meremang, seketika. Ia langsung bisa berpikir jika wanita itu bukan mahkuk normal.

Dari cara berpakaiannya, Dayat yakin wanita itu bukan orang zaman sekarang. Mungkin ini yang sering diceritakan teman-teman, pikirnya. Rasa penasaran dan ingin tahu lebih banyak telah mengikis 'dagdigdug' yang menyelinap ke dalam dada Dayat.

Nonik, salah satu korban pemerkosaan tentara Jepang yang saat itu mengusai kota tempat tinggal Dayat. Setelah menjadi pemuas syahwat para serdadu Nippon secara membabi buta, Nonik mengembuskan napas terakhirnya di ujung sebuah senjata. Tewas bersimbah darah di tempat yang akhirnya menjadi kantor tempat Dayat bekerja menjadi akhir cerita hidup Nonik.




Sebenarnya bukan hanya Dayat yang pernah bertemu Nonik. Wanita yang pada masa hidupnya dulu anak salah satu pejabat Belanda ini, biasa berjalan-jalan di sekitar kantor. Kadang-kadang duduk di dekat kamar mandi, tangga menuju lantai dua, dan basement. Dari semuanya hanya Dayat yang berani menyapa. Berkenalan dan akhirnya ....

Yang lain memilih berpura-pura tak melihat, pun berlari tunggang langgang jika terpaksa. Meskipun tak pernah mengganggu para karyawan, mereka memantapkan hati tak ingin "bersentuhan" lebih jauh dengan Nonik. Ini mereka lakukan, sebagai wujud kepatuhan pada nasehat seseorang yang dua minggu sekali menjadi pembimbing spiritual mereka.

"Jika melihat jin yang telah mengubah bentuk agar bisa terlihat oleh manusia jangan memedulikannya. Bersikaplah cuek, baca ayat kursi atau dzikir lainnya. Jangan mengajaknya berbicara apalagi mewawancarai. Itu membuat mereka merasa diladeni dengan permainan yang ia lakukan."

Wallahuallam Bissawab

Sampai jumpa di cerpen berikutnya emoticon-Angel
Diubah oleh Puspita1973 03-11-2020 02:32
evisukmaniati13
mayyarossa
embunsuci
embunsuci dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.