- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2186
Penerangan_Part 1
Gue memutuskan untuk menemui Emi hari ini. Gue langsung berangkat ke rumah sakit tanpa bilang sama dia. Sengaja gue datang nggak bilang dulu sebelumnya sama dia kalau gue mau dateng ke ke rumah sakit. Karena kalau gue bilang, Emi pasti akan langsung menghindari gue. Dia nggak akan mau nemuin gue. Gue hapal kebiasaan Emi yang satu ini. Dia selalu kayak gitu kalau lagi ribut-ribut sama gue.
Sebenernya gue udah berusaha untuk menghubungi Emi dari hari kemarin. Sekedar untuk ngobrol dan coba tanya sama dia bagaimana kondisi ibunya Emi. Tapi Emi sama sekali nggak bisa dihubungi. Nomornya nggak aktif. Berulang kali gue coba, tetap aja nggak nyambung. Bahkan ketika gue sudah di rumah sakit, nomornya masih nggak aktif juga.
Gue coba baca ulang chat dengan Emi dan gue datangi ruang rawat inap yang dikasih tau oleh Emi di chat. Tetapi ternyata Mama Emi sudah nggak ada di tempat. Kemungkinan sudah pindah ke kamar lain. Suster yang menghantarkan gue juga keliatan kaget kalau pasien atas nama Mama Emi sudah nggak ada di tempat. Ketika gue menanyakan kira-kira dipindah ke kamar yang mana dan di sebelah mana ke suster tersebut. Dia malah menjawab tidak tau sama sekali. Gue diminta menghubungi keluarga dari Mama Emi atau gue coba bertanya ke Resepsonis Utama yang berada di paling depan. Gue males banget harus ke depan lagi, soalnya rame dan ngantri.
Lagipula, ini administrasi rumah sakitnya gimana? Kok ada pasien dengan penyakit berat begitu bisa nggak ketauan kalau sudah pindah kamar? Bukannya membantu gue, mereka malah meminta gue menghubungi keluarga dari Mama Emi sendiri. Gue paham, gampang aja sebenarnya. Tinggal menghubungi Papanya Emi saja. Tapi kan akan lebih baik dibantu oleh mereka juga. Aneh banget kan? Tapi seharusnya gue nggak heran lah, namanya juga di Indonesia. Haha.
Setelah gue baca ulang, ternyata Emi pun sudah memberitahu kalau kamar ibunya sudah dipindah. Gue coba menelusuri dimana kamar baru Mamanya Emi, tetapi kurang jelas. Akhirnya gue mencoba untuk menelpon Papanya Emi. Gue memang punya nomor Papa dan Mamanya. Untungnya Papanya angkat telepon gue dan akhirnya memberi tahu gue dimana letak pastinya Mamanya Emi. Papanya pun bilang kalau Emi sedang bersama beliau. Papanya heran kenapa gue nggak menghubungi Emi saja. Gue akhirnya cerita kalau HP-nya Emi mati sejak kemarin.
Dari Papanya juga akhirnya gue diberi tahu kalau Mamanya sudah bisa pulang. Gue berpikir agak aneh awalnya. Masa iya stroke bisa cepat banget dibawa pulangnya. Gue khawatir mereka mempersingkat perawatan di rumah sakit atas kehendak mereka. Gue khawatir itu membahayakan Mamanya Emi. Gue sempatkan diri gue untuk browsing mengenai penyakit stroke, dan ternyata memang ada yang seperti itu. Dilanjutkan rawat jalan di rumah dan dilanjutkan fisioterapi. Intinya untuk menyembuhkan penyakit ini harus sering-sering dilatih lagi bergerak. Kalau dirawat terus di RS malah akan menghabiskan banyak biaya.
Sebenarnya di rumah sakit yang merawat Mamanya Emi, sudah ada bagian fisioterapis yang menangani. Jadi sambil dirawat inap, juga sekalian terapi. Tetapi sepertinya Papanya Emi berpikiran kalau fisioterapi bisa dijalankan sembari rawat jalan. Gue yakin ini terkait sama biaya. Soalnya mereka menginap di rumah sakit setiap harinya hanya untuk menunggu kedatangan fisioterapis dan melakukan terapi kurang lebih satu jam. Setelah itu, Papa dan Mamanya Emi istirahat lagi dan menunggu keesokan harinya lagi. Biaya rumah sakitnya itu yang sepertinya memberatkan Papanya Emi. Makanya mereka bertanya pada dokter apa sudah diperbolehkan untuk bawa pulang Mamanya Emi atau belum.
Papa dan Mamanya Emi ini sudah pensiun. Mereka mengandalkan tabungan yang mereka punya untuk membiayai hidup mereka sehari-hari dan biaya Mamanya di rumah sakit ini. Gue yakin uang mereka lambat laun akan habis karena keduanya sama sekali nggak bekerja lagi atau nggak melakukan kegiatan yang dapat memutar uang yang tersisa.
Dari cerita dan selama ini gue mengenal keluarganya Emi, tambahan dari luar ya uang pensiun yang masih diterima Mamanya Emi setiap bulan yang nggak seberapa dan pemasukan dari kontrakan yang mereka miliki. Kalau biaya perawatan Mamanya Emi membengkak, gue khawatir uangnya habis sebelum Mamanya Emi benar-benar sembuh.
Ketika gue menyusuri lorong rumah sakit, gue berpapasan dengan satu orang cowok yang diliatin sama beberapa orang. Gue perhatiin dia sesaat, kayaknya gue mengenal dia. Dia baru sadar ternyata dia adalah tetangganya Emi. Dia terlihat sedang mengangkat telepon dan tidak menyadari kalau papasan dengan gue. Gue juga nggak tau sih dia kenal gue apa nggak atau dia sadar nggak kalau gue itu pacarnya Emi.
“Iya gue abis ketemu sama Emi. Abis ini gue kesana. Haha. Apaan sih gue nggak balikan kok. Belum balikan sih pastinya. Haha. Ngaco lo! Bentar gue kesana.” Kata dia ketika melewati gue. Dia ternyata mantan pacarnya Emi.
“Jadi ini mantan pacarnya yang selama ini Emi ceritain.” Yang gue tau, cowok ini bersama teman-teman Emi di komplek lainnya suka pada nongkrong menghabiskan malam minggunya bersama didepan rumah, di jalan lingkungan komplek. Biasanya anak-anak ini suka menggelar tikar dan biasanya main kartu, entah remi atau gaple. Bodo amat juga sebenarnya gue. Gue nggak pernah ketemu langsung atau dikasih fotonya sama Emi.
Gue lebih peduli adalah fakta yang baru gue tau kalau ternyata mantan pacarnya Emi yang satu ini ganteng pake banget. Beda banget sama mantannya yang sebelum gue, si Fani itu. Emi cuma bilang kalau salah satu cowok-cowok yang suka nongkrong itu adalah mantan pacarnya dia. Dia nggak bilang kalau mantannya adalah orang ini, orang seganteng ini.
Perawakannya tinggi, kurang lebih setinggi gue dan badannya berisi. Kulitnya putih, serta potongan rambutnya selalu cepak. Hal ini juga yang membuat gue langsung ngeh kalau dia adalah tetangga Emi karena perawakannya ini. Dia terlihat beda sendiri dengan teman-teman yang suka nongkrong, yang rata-rata kulitnya coklat kayak gue.
Gimana perasaan gue saat itu? Nggak usah ditanya. Ada rasa jealous yang besar di diri gue saat ini. Gimana nggak? Emi yang lagi jauh sama gue dan nggak bisa gue hubungi, ternyata malah ketemu sama mantan pacarnya? Gue nggak tau berapa kali mereka ketemu selama gue jauh dari Emi. Gue paham kalau ini salah gue yang menghindar dari dia sehingga posisi gue diisi oleh mantan pacar yang dateng lagi. Gue hanya nggak merasa nyaman dengan fakta yang gue rasakan saat ini.
---
Singkat cerita, gue kembali ke rumah Emi bersama Emi. Malamnya kami makan di sebuah rumah makan yang menyediakan masakan padang. Tempat favorit kami makan malam dikala semua tempat makan sudah tutup karena di sini mereka buka sampai dini hari. Saat perjalanan, gue cerita ke Emi kalau gue berpapasan dengan cowok yang setau gue itu tetangga dia. Gue jelaskan semua ciri-cirinya ke Emi.
Di sanalah Emi akhirnya mengaku, kalau Emi memang bertemu dengan mantan pacarnya itu tepat sebelum kedatangan gue. Gue diam, nggak berkata-kata lagi. Gue minta dia menjelaskan mengenai mantannya itu. Gue emang nggak suka kalau Emi diem-diem masih ketemu sama mantannya tanpa bilang sama gue. Tapi gue nggak adil kalau gue marah sama Emi. Karena di belakang Emi, gue sadar kalau gue pun masih punya rahasia yang nggak gue kasih tau ke Emi.
Gue bersyukur Emi masih mau jujur dan menceritakan tentang pertemuan dia dengan mantannya ini? Sedangkan gue di sisi lain nggak pernah mau menceritakan lebih dulu karena gue nggak mau Emi tersakiti kalau dia tau bagaimana diri gue di luar sana. Apalagi kasus yang terakhir, bagaimana Fani dan Mila akhirnya bisa suka sama gue.
Gue minta Emi cerita tentang cowok ini. Namanya Fazli. Dia adalah mantan Emi sewaktu mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bah! Gue kaget. Emi pas SD sudah pacaran? Haha. Dulu memang sempat gue pacaran pas SMP. Tapi nggak gue hitung sebagai pacaran beneran karena kami nggak pernah jalan bareng, nggak pernah makan bareng, apalagi belajar bareng.
Gue akhirnya menghabiskan waktu bareng dengan pacar gue di SMP dulu ya cuma saat pulang sekolah aja. Itu pun karena kebetulan komplek dia tetanggaan sama komplek gue. Plus lagi, gue yang ditembak sama dia kala itu. Pertama kali berhubungan sama cewek, gue ditembak, bukan nembak. Haha. Makanya jadi nggak ada rasa yang gimana-gimana. Nggak ada perjuangannya sama sekali.
Begitupun saat gue duduk di bangku SMA. Makin banyak lagi suka-sukaan sama cewek. Tapi gue masih belum kepikiran buat pacaran yang serius. Mungkin adalah beberapa kali yang coba gue seriusin sedikit, tapi tetap aja nggak pacaran bagi gue karena zaman gue dulu, baru dibilang resmi pacaran ketika ada proses menyatakan alias menembak calon pasangan.
Kegiatan gue yang cukup padat waktu SMA membuat gue lebih banyak menghabiskan waktu ngurus itu daripada ngurus cinta-cintaan. Mulai dari ekskul paskib, teater, futsal, ngurus OSIS, sampai ngeband. Dan di hampir seluruh kegiatan gue selama SMA, selalu ada satu nama yang terus nempel dan deket sama gue, Kiara Fitria atau biasa dipanggil Ara.
Mantan pacar Emi ini amat sangat ganteng. Gue aja minder, kalau boleh jujur. Kalau gue disandingkan dengan mantannya Emi, mungkin akan lebih banyak yang memilih dia dibandingkan gue. Tapi dari Emi pun gue tau, kalau ternyata dia nggak sehebat tampilan luarnya, terutama di sisi akademis. Emi memang tidak mempermasalahkan kecerdasan dari mantannya itu, tetapi mantannya sendiri yang memilih untuk mundur dari Emi ketika dia nggak bisa mengejar Emi ketika mereka masuk SMP hingga Emi menyelesaikan pendidikannya. Beda sekolah, ya beda lagi kisah cinta. Mungkin gitu ya menurut mereka. Haha.
Emi menjelaskan bagaimana sifat mantannya itu. Dia kayak flashback masa lalu mereka yang membuat gue sedikit gusar. Gue nggak suka aja Emi begitu. Fakta kalau hubungan gue dan Emi yang kurang baik dan Emi kembali dekat dengan mantannya, membuat hati gue nggak tenang. Apalagi ketika Emi menjelaskan kalau mantannya ini ternyata memiliki sifat yang identik dengan gue.
Gue nggak tau Emi sadar atau nggak. Emi bilang kalau mantannya tempramen, orangnya vokal, dan suka to the point sama pendapatnya. Mantannya pun jago di beberapa bidang olahraga dan suka traveling. Bedanya di selera musik. Musik kesukaan mantannya ini adalah musik kesukaan anak Selatan Jakarta. Musik-musik indie label. Di sana perbedaannya dengan gue. Tentu fakta ini sangat membahayakan buat hubungan kami.
Obrolan terhenti ketika kami tiba di rumah makan tersebut. Gue dan Emi memesan langsung makanan favorit kami. Gue memesan gulai otak, sementara Emi memesan soto padang.
Awalnya gue ragu mau membahas apa sama dia setelah dia selesai menceritakan tentang mantan pacarnya itu. Tetapi gue nggak mau kami terus diem-dieman begitu. Gue coba merancang bahasan di benak gue. Kami pun terlibat obrolan yang sebenarnya udah gue tunggu.
“Kamu nggak ada yang mau diomongin sama aku?” Emi membuka obrolan kami.
“Ada kok.” ujar gue santai
“Oh, apaan?”
“Kamu pingin ngomongin apaan dulu? Nanti aku kasih jawabannya.” Gue sengaja memancing Emi untuk melontarkan pertanyaan ke gue.
“Kok malah aku yang ditanyain mau ngomongin apaan? Kan kamu yang mau ngomong sama aku bukan?”
“Aku yakin kamu udah tau apa yang pengen aku omongin.”
“Apaan sih.”
“………” Gue ngeliatin dia. Gue yakin dia punya banyak pertanyaan dan bahan obrolan yang mau dia bahas ke gue.
“Teserah kamu lah. Malah diem lagi.”
“………” Gue masih menunggu dia.
“Kenapa? Bingung ya mau mulai darimana? Apa mau minta putus sama aku sekarang karena disuruh sama Mila? Atau kali ini mau ngomong duluan kalau ada cewek lain lagi? Udah ngomong aja jujur sama aku.”
“Tuh kan. Segini aku diem aja loh. Tapi kamu asumsi serenceng udah kayak kopi sachet grosiran. Gimana tadi aku bilang kalau aku mau ngomongin cewek, pasti asumsinya satu karung kali. Haha.”
“Nggak lucu.”
“Dih, siapa yang ngelucu? Orang aku ketawain kamu. Kan kamu yang lucu.”
“Nggak-lu-cu.”
Raut muka cemberutnya benar-benar membuat gue kangen.
“Mi, ada kalanya aku nggak bisa ceritain apa aja yang aku alami selama aku jauh dari kamu, Mi… Maafin aku. Aku ga bisa jujur tentang kejadian apa aja yang terjadi sama aku selama kemaren aku pisah dari kamu.”
“Tentang cewek? Kamu putus sama Mila?”
“Mila melulu. Kenapa sih sama Mila?”
“Kamu nggak ngerasa aneh aku perkarain Mila lagi?”
“Udah nggak usah bahas Mila dulu. Mi, aku minta maaf banget. Kemarin pas kamu benar-benar lagi butuh support aku, aku nggak ada di samping kamu. Maaf, karena saat itu aku egois malah lebih mikir gimana aku butuh support kamu karena aku lagi frustasi banget kemarin.”
“………”
“Aku kemarin lagi ngerasa down karena diterpa masalah yang bersamaan. Ribut sama kamu, laptop hilang, aku nggak ada ide buat ngelanjutin dan ngembangin tesis aku, aku mesti ngulang kerjaan aku dari awal, ditambah kemarin… Hmm. Aku juga ribut sama nyokap. Aku frustasi Mi. Aku ngerasa benar-benar jadi orang yang gagal. Nggak guna. Sama kayak apa yang nyokap aku suka tuduhin ke aku. Dalam sekejap, aku ngerasa hidup aku berantakan.”
“………”
“………cuma karena aku jauh dari kamu. Di sini aku sadar. Aku butuh kamu. Aku butuh support kamu. Aku sadar, betapa berharganya kamu di hidup aku pas kita berdua lagi jauh begitu. Padahal aku sengaja jauhin kamu, biar aku bisa coba nyelesein semua masalah aku sendiri, tanpa nyusahin atau nyakitin kamu. Tapi faktanya? Emang dasar aku orang bodoh nggak bisa apa-apa, aku malah nggak bisa nyelesein satupun masalah aku.”
“Zy…”
“Sampe akhirnya aku nangis. Aku berserah diri, pasrah. Aku buntu. Aku nggak tau harus gimana lagi di hidup aku.”
“Untung aja kamu nggak sampe bunuh diri ya.”
“Sempet kepikiran, ngilang dari kalian semua. Tapi mendadak aku kangen sama kamu. Aku mau nemuin kamu. Aku pingin ada di samping kamu dan coba nyelesein masalahnya satu per satu, bukan malah ngehindar kayak sekarang. Soalnya aku ingat, gimana kamu selalu bisa nyelesein masalah kamu sendiri, kadang tanpa bantuan aku. Gimana kamu bisa nyelesein masalah kita, tanpa aku kasih clue apapun. Gimana kamu tetep menghadapi aku, biang masalah di hidup kamu, walaupun kamu tau, aku pasti akan nyakitin dan ngecewain kamu. Cuman karena, kamu sayang aku dan ngerasa bertanggungjawab untuk ngurus aku…”
“………”
“Mi, maafin aku… Pas aku butuh kamu, kamu selalu ada buat aku. Tapi pas kamu butuh aku, aku malah mikirin diri aku sendiri. Maafin aku…”
“Kamu nggak usah minta maaf sama aku… Aku cuman butuh kesetiaan sama kejujuran kamu aja. Percuma kamu ngaku salah, kalau kamu-nya nanti bikin salah lagi.”
“Aku coba ya…”
Sebenernya gue udah berusaha untuk menghubungi Emi dari hari kemarin. Sekedar untuk ngobrol dan coba tanya sama dia bagaimana kondisi ibunya Emi. Tapi Emi sama sekali nggak bisa dihubungi. Nomornya nggak aktif. Berulang kali gue coba, tetap aja nggak nyambung. Bahkan ketika gue sudah di rumah sakit, nomornya masih nggak aktif juga.
Gue coba baca ulang chat dengan Emi dan gue datangi ruang rawat inap yang dikasih tau oleh Emi di chat. Tetapi ternyata Mama Emi sudah nggak ada di tempat. Kemungkinan sudah pindah ke kamar lain. Suster yang menghantarkan gue juga keliatan kaget kalau pasien atas nama Mama Emi sudah nggak ada di tempat. Ketika gue menanyakan kira-kira dipindah ke kamar yang mana dan di sebelah mana ke suster tersebut. Dia malah menjawab tidak tau sama sekali. Gue diminta menghubungi keluarga dari Mama Emi atau gue coba bertanya ke Resepsonis Utama yang berada di paling depan. Gue males banget harus ke depan lagi, soalnya rame dan ngantri.
Lagipula, ini administrasi rumah sakitnya gimana? Kok ada pasien dengan penyakit berat begitu bisa nggak ketauan kalau sudah pindah kamar? Bukannya membantu gue, mereka malah meminta gue menghubungi keluarga dari Mama Emi sendiri. Gue paham, gampang aja sebenarnya. Tinggal menghubungi Papanya Emi saja. Tapi kan akan lebih baik dibantu oleh mereka juga. Aneh banget kan? Tapi seharusnya gue nggak heran lah, namanya juga di Indonesia. Haha.
Setelah gue baca ulang, ternyata Emi pun sudah memberitahu kalau kamar ibunya sudah dipindah. Gue coba menelusuri dimana kamar baru Mamanya Emi, tetapi kurang jelas. Akhirnya gue mencoba untuk menelpon Papanya Emi. Gue memang punya nomor Papa dan Mamanya. Untungnya Papanya angkat telepon gue dan akhirnya memberi tahu gue dimana letak pastinya Mamanya Emi. Papanya pun bilang kalau Emi sedang bersama beliau. Papanya heran kenapa gue nggak menghubungi Emi saja. Gue akhirnya cerita kalau HP-nya Emi mati sejak kemarin.
Dari Papanya juga akhirnya gue diberi tahu kalau Mamanya sudah bisa pulang. Gue berpikir agak aneh awalnya. Masa iya stroke bisa cepat banget dibawa pulangnya. Gue khawatir mereka mempersingkat perawatan di rumah sakit atas kehendak mereka. Gue khawatir itu membahayakan Mamanya Emi. Gue sempatkan diri gue untuk browsing mengenai penyakit stroke, dan ternyata memang ada yang seperti itu. Dilanjutkan rawat jalan di rumah dan dilanjutkan fisioterapi. Intinya untuk menyembuhkan penyakit ini harus sering-sering dilatih lagi bergerak. Kalau dirawat terus di RS malah akan menghabiskan banyak biaya.
Sebenarnya di rumah sakit yang merawat Mamanya Emi, sudah ada bagian fisioterapis yang menangani. Jadi sambil dirawat inap, juga sekalian terapi. Tetapi sepertinya Papanya Emi berpikiran kalau fisioterapi bisa dijalankan sembari rawat jalan. Gue yakin ini terkait sama biaya. Soalnya mereka menginap di rumah sakit setiap harinya hanya untuk menunggu kedatangan fisioterapis dan melakukan terapi kurang lebih satu jam. Setelah itu, Papa dan Mamanya Emi istirahat lagi dan menunggu keesokan harinya lagi. Biaya rumah sakitnya itu yang sepertinya memberatkan Papanya Emi. Makanya mereka bertanya pada dokter apa sudah diperbolehkan untuk bawa pulang Mamanya Emi atau belum.
Papa dan Mamanya Emi ini sudah pensiun. Mereka mengandalkan tabungan yang mereka punya untuk membiayai hidup mereka sehari-hari dan biaya Mamanya di rumah sakit ini. Gue yakin uang mereka lambat laun akan habis karena keduanya sama sekali nggak bekerja lagi atau nggak melakukan kegiatan yang dapat memutar uang yang tersisa.
Dari cerita dan selama ini gue mengenal keluarganya Emi, tambahan dari luar ya uang pensiun yang masih diterima Mamanya Emi setiap bulan yang nggak seberapa dan pemasukan dari kontrakan yang mereka miliki. Kalau biaya perawatan Mamanya Emi membengkak, gue khawatir uangnya habis sebelum Mamanya Emi benar-benar sembuh.
Ketika gue menyusuri lorong rumah sakit, gue berpapasan dengan satu orang cowok yang diliatin sama beberapa orang. Gue perhatiin dia sesaat, kayaknya gue mengenal dia. Dia baru sadar ternyata dia adalah tetangganya Emi. Dia terlihat sedang mengangkat telepon dan tidak menyadari kalau papasan dengan gue. Gue juga nggak tau sih dia kenal gue apa nggak atau dia sadar nggak kalau gue itu pacarnya Emi.
“Iya gue abis ketemu sama Emi. Abis ini gue kesana. Haha. Apaan sih gue nggak balikan kok. Belum balikan sih pastinya. Haha. Ngaco lo! Bentar gue kesana.” Kata dia ketika melewati gue. Dia ternyata mantan pacarnya Emi.
“Jadi ini mantan pacarnya yang selama ini Emi ceritain.” Yang gue tau, cowok ini bersama teman-teman Emi di komplek lainnya suka pada nongkrong menghabiskan malam minggunya bersama didepan rumah, di jalan lingkungan komplek. Biasanya anak-anak ini suka menggelar tikar dan biasanya main kartu, entah remi atau gaple. Bodo amat juga sebenarnya gue. Gue nggak pernah ketemu langsung atau dikasih fotonya sama Emi.
Gue lebih peduli adalah fakta yang baru gue tau kalau ternyata mantan pacarnya Emi yang satu ini ganteng pake banget. Beda banget sama mantannya yang sebelum gue, si Fani itu. Emi cuma bilang kalau salah satu cowok-cowok yang suka nongkrong itu adalah mantan pacarnya dia. Dia nggak bilang kalau mantannya adalah orang ini, orang seganteng ini.
Perawakannya tinggi, kurang lebih setinggi gue dan badannya berisi. Kulitnya putih, serta potongan rambutnya selalu cepak. Hal ini juga yang membuat gue langsung ngeh kalau dia adalah tetangga Emi karena perawakannya ini. Dia terlihat beda sendiri dengan teman-teman yang suka nongkrong, yang rata-rata kulitnya coklat kayak gue.
Gimana perasaan gue saat itu? Nggak usah ditanya. Ada rasa jealous yang besar di diri gue saat ini. Gimana nggak? Emi yang lagi jauh sama gue dan nggak bisa gue hubungi, ternyata malah ketemu sama mantan pacarnya? Gue nggak tau berapa kali mereka ketemu selama gue jauh dari Emi. Gue paham kalau ini salah gue yang menghindar dari dia sehingga posisi gue diisi oleh mantan pacar yang dateng lagi. Gue hanya nggak merasa nyaman dengan fakta yang gue rasakan saat ini.
---
Singkat cerita, gue kembali ke rumah Emi bersama Emi. Malamnya kami makan di sebuah rumah makan yang menyediakan masakan padang. Tempat favorit kami makan malam dikala semua tempat makan sudah tutup karena di sini mereka buka sampai dini hari. Saat perjalanan, gue cerita ke Emi kalau gue berpapasan dengan cowok yang setau gue itu tetangga dia. Gue jelaskan semua ciri-cirinya ke Emi.
Di sanalah Emi akhirnya mengaku, kalau Emi memang bertemu dengan mantan pacarnya itu tepat sebelum kedatangan gue. Gue diam, nggak berkata-kata lagi. Gue minta dia menjelaskan mengenai mantannya itu. Gue emang nggak suka kalau Emi diem-diem masih ketemu sama mantannya tanpa bilang sama gue. Tapi gue nggak adil kalau gue marah sama Emi. Karena di belakang Emi, gue sadar kalau gue pun masih punya rahasia yang nggak gue kasih tau ke Emi.
Gue bersyukur Emi masih mau jujur dan menceritakan tentang pertemuan dia dengan mantannya ini? Sedangkan gue di sisi lain nggak pernah mau menceritakan lebih dulu karena gue nggak mau Emi tersakiti kalau dia tau bagaimana diri gue di luar sana. Apalagi kasus yang terakhir, bagaimana Fani dan Mila akhirnya bisa suka sama gue.
Gue minta Emi cerita tentang cowok ini. Namanya Fazli. Dia adalah mantan Emi sewaktu mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bah! Gue kaget. Emi pas SD sudah pacaran? Haha. Dulu memang sempat gue pacaran pas SMP. Tapi nggak gue hitung sebagai pacaran beneran karena kami nggak pernah jalan bareng, nggak pernah makan bareng, apalagi belajar bareng.
Gue akhirnya menghabiskan waktu bareng dengan pacar gue di SMP dulu ya cuma saat pulang sekolah aja. Itu pun karena kebetulan komplek dia tetanggaan sama komplek gue. Plus lagi, gue yang ditembak sama dia kala itu. Pertama kali berhubungan sama cewek, gue ditembak, bukan nembak. Haha. Makanya jadi nggak ada rasa yang gimana-gimana. Nggak ada perjuangannya sama sekali.
Begitupun saat gue duduk di bangku SMA. Makin banyak lagi suka-sukaan sama cewek. Tapi gue masih belum kepikiran buat pacaran yang serius. Mungkin adalah beberapa kali yang coba gue seriusin sedikit, tapi tetap aja nggak pacaran bagi gue karena zaman gue dulu, baru dibilang resmi pacaran ketika ada proses menyatakan alias menembak calon pasangan.
Kegiatan gue yang cukup padat waktu SMA membuat gue lebih banyak menghabiskan waktu ngurus itu daripada ngurus cinta-cintaan. Mulai dari ekskul paskib, teater, futsal, ngurus OSIS, sampai ngeband. Dan di hampir seluruh kegiatan gue selama SMA, selalu ada satu nama yang terus nempel dan deket sama gue, Kiara Fitria atau biasa dipanggil Ara.
Mantan pacar Emi ini amat sangat ganteng. Gue aja minder, kalau boleh jujur. Kalau gue disandingkan dengan mantannya Emi, mungkin akan lebih banyak yang memilih dia dibandingkan gue. Tapi dari Emi pun gue tau, kalau ternyata dia nggak sehebat tampilan luarnya, terutama di sisi akademis. Emi memang tidak mempermasalahkan kecerdasan dari mantannya itu, tetapi mantannya sendiri yang memilih untuk mundur dari Emi ketika dia nggak bisa mengejar Emi ketika mereka masuk SMP hingga Emi menyelesaikan pendidikannya. Beda sekolah, ya beda lagi kisah cinta. Mungkin gitu ya menurut mereka. Haha.
Emi menjelaskan bagaimana sifat mantannya itu. Dia kayak flashback masa lalu mereka yang membuat gue sedikit gusar. Gue nggak suka aja Emi begitu. Fakta kalau hubungan gue dan Emi yang kurang baik dan Emi kembali dekat dengan mantannya, membuat hati gue nggak tenang. Apalagi ketika Emi menjelaskan kalau mantannya ini ternyata memiliki sifat yang identik dengan gue.
Gue nggak tau Emi sadar atau nggak. Emi bilang kalau mantannya tempramen, orangnya vokal, dan suka to the point sama pendapatnya. Mantannya pun jago di beberapa bidang olahraga dan suka traveling. Bedanya di selera musik. Musik kesukaan mantannya ini adalah musik kesukaan anak Selatan Jakarta. Musik-musik indie label. Di sana perbedaannya dengan gue. Tentu fakta ini sangat membahayakan buat hubungan kami.
Obrolan terhenti ketika kami tiba di rumah makan tersebut. Gue dan Emi memesan langsung makanan favorit kami. Gue memesan gulai otak, sementara Emi memesan soto padang.
Awalnya gue ragu mau membahas apa sama dia setelah dia selesai menceritakan tentang mantan pacarnya itu. Tetapi gue nggak mau kami terus diem-dieman begitu. Gue coba merancang bahasan di benak gue. Kami pun terlibat obrolan yang sebenarnya udah gue tunggu.
“Kamu nggak ada yang mau diomongin sama aku?” Emi membuka obrolan kami.
“Ada kok.” ujar gue santai
“Oh, apaan?”
“Kamu pingin ngomongin apaan dulu? Nanti aku kasih jawabannya.” Gue sengaja memancing Emi untuk melontarkan pertanyaan ke gue.
“Kok malah aku yang ditanyain mau ngomongin apaan? Kan kamu yang mau ngomong sama aku bukan?”
“Aku yakin kamu udah tau apa yang pengen aku omongin.”
“Apaan sih.”
“………” Gue ngeliatin dia. Gue yakin dia punya banyak pertanyaan dan bahan obrolan yang mau dia bahas ke gue.
“Teserah kamu lah. Malah diem lagi.”
“………” Gue masih menunggu dia.
“Kenapa? Bingung ya mau mulai darimana? Apa mau minta putus sama aku sekarang karena disuruh sama Mila? Atau kali ini mau ngomong duluan kalau ada cewek lain lagi? Udah ngomong aja jujur sama aku.”
“Tuh kan. Segini aku diem aja loh. Tapi kamu asumsi serenceng udah kayak kopi sachet grosiran. Gimana tadi aku bilang kalau aku mau ngomongin cewek, pasti asumsinya satu karung kali. Haha.”
“Nggak lucu.”
“Dih, siapa yang ngelucu? Orang aku ketawain kamu. Kan kamu yang lucu.”
“Nggak-lu-cu.”
Raut muka cemberutnya benar-benar membuat gue kangen.
“Mi, ada kalanya aku nggak bisa ceritain apa aja yang aku alami selama aku jauh dari kamu, Mi… Maafin aku. Aku ga bisa jujur tentang kejadian apa aja yang terjadi sama aku selama kemaren aku pisah dari kamu.”
“Tentang cewek? Kamu putus sama Mila?”
“Mila melulu. Kenapa sih sama Mila?”
“Kamu nggak ngerasa aneh aku perkarain Mila lagi?”
“Udah nggak usah bahas Mila dulu. Mi, aku minta maaf banget. Kemarin pas kamu benar-benar lagi butuh support aku, aku nggak ada di samping kamu. Maaf, karena saat itu aku egois malah lebih mikir gimana aku butuh support kamu karena aku lagi frustasi banget kemarin.”
“………”
“Aku kemarin lagi ngerasa down karena diterpa masalah yang bersamaan. Ribut sama kamu, laptop hilang, aku nggak ada ide buat ngelanjutin dan ngembangin tesis aku, aku mesti ngulang kerjaan aku dari awal, ditambah kemarin… Hmm. Aku juga ribut sama nyokap. Aku frustasi Mi. Aku ngerasa benar-benar jadi orang yang gagal. Nggak guna. Sama kayak apa yang nyokap aku suka tuduhin ke aku. Dalam sekejap, aku ngerasa hidup aku berantakan.”
“………”
“………cuma karena aku jauh dari kamu. Di sini aku sadar. Aku butuh kamu. Aku butuh support kamu. Aku sadar, betapa berharganya kamu di hidup aku pas kita berdua lagi jauh begitu. Padahal aku sengaja jauhin kamu, biar aku bisa coba nyelesein semua masalah aku sendiri, tanpa nyusahin atau nyakitin kamu. Tapi faktanya? Emang dasar aku orang bodoh nggak bisa apa-apa, aku malah nggak bisa nyelesein satupun masalah aku.”
“Zy…”
“Sampe akhirnya aku nangis. Aku berserah diri, pasrah. Aku buntu. Aku nggak tau harus gimana lagi di hidup aku.”
“Untung aja kamu nggak sampe bunuh diri ya.”
“Sempet kepikiran, ngilang dari kalian semua. Tapi mendadak aku kangen sama kamu. Aku mau nemuin kamu. Aku pingin ada di samping kamu dan coba nyelesein masalahnya satu per satu, bukan malah ngehindar kayak sekarang. Soalnya aku ingat, gimana kamu selalu bisa nyelesein masalah kamu sendiri, kadang tanpa bantuan aku. Gimana kamu bisa nyelesein masalah kita, tanpa aku kasih clue apapun. Gimana kamu tetep menghadapi aku, biang masalah di hidup kamu, walaupun kamu tau, aku pasti akan nyakitin dan ngecewain kamu. Cuman karena, kamu sayang aku dan ngerasa bertanggungjawab untuk ngurus aku…”
“………”
“Mi, maafin aku… Pas aku butuh kamu, kamu selalu ada buat aku. Tapi pas kamu butuh aku, aku malah mikirin diri aku sendiri. Maafin aku…”
“Kamu nggak usah minta maaf sama aku… Aku cuman butuh kesetiaan sama kejujuran kamu aja. Percuma kamu ngaku salah, kalau kamu-nya nanti bikin salah lagi.”
“Aku coba ya…”
itkgid dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup