- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#321
Spoiler for Episode 35A (Extended):
"Seberapa sayang kamu dengan Tuhan-Mu?"
"Maksud pertanyaan kamu apa?" Tanya Renata.
"Kayaknya pertanyaan aku udah cukup jelas Ren." Kataku.
Renata terdiam memandang ke arahku, aku pun hanya bisa menunggu jawaban atas pertanyaanku. Ia menggenggam tanganku, aku hanya bisa mengikuti apa yang ia lakukan.
"Adrian, seberapa sayang aku dengan Tuhan-ku? Jawabannya akan sama kalau aku nanya pertanyaan itu ke kamu. Jawaban kita udah pasti sama, aku cuma ngga ngerti ke mana arah pertanyaan kamu." Jelasnya.
Renata menarikku untuk masuk ke dalam, lalu ia menutup pintu. Kami hanya saling berdiri berhadapan di belakang pintu, kemudian Renata kembali menggenggam tanganku. Ia sempat menyandarkan kepalanya di dadaku untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali menatap ke arahku.
"Apa mungkin..."
Renata memghentikan perkataannya untuk beberapa saat, aku sempat melihat ke dua matanya bergetar untuk sesaat. Matanya berkaca-kaca namun tak sampai menetes, ia pun mundur satu langkah secara perlahan.
"Apa kita... ngga bisa berjalan beriringan... meskipun kita ngga sama?" Tanya Renata.
Aku menggelengkan kepalaku dengan sangat pelan, namun Renata dapat melihatnya hingga ia tersenyum kecil. Ia melepaskan genggaman tangannya untuk mengusap air mata yang masih tertahan di matanya. Jari tangan kanannya masuk ke kerah baju yang ia kenakan, lalu ia mengeluarkan kalung yang ia kenakan.
"Adrian, kamu tau kan ini apa..."
Aku menganggukkan kepalaku dalam diam.
"...Dari kecil aku udah diajarin untuk selalu patuh sama Tuhan, aku mencoba sekuat mungkin untuk ngga melanggar aturan-aturan-Nya, sekalipun aku bukan anak yang patuh sama Ayah dan Ibu..."
Aku memandang Renata dalam diam.
"...Setelah sama kamu, dari awal kita ngga pernah nyinggung sedikitpun soal keyakinan kita. Aku pikir, semua yang udah kita jalanin akan baik-baik aja. Sampai hari ini, kamu dateng untuk mempertanyakan hal itu. Kenapa?..."
Renata menggenggam liontin kalungnya.
"...Kenapa akhirnya kamu bertanya setelah udah beberapa tahun kita ngejalanin ini semua? Kenapa ngga dari awal aja supaya semuanya jelas dari awal? Dan bodohnya lagi... aku pun ngga mempertanyakan itu, aku diam dan ikut ke mana arus akan membawaku. Sampailah aku di penghujung arus, mungkin kalau diibaratkan, saat ini aku cuma terapung di laut tenang dengan pergerakan yang sangat lama untuk berpindah ke suatu tempat. Tapi itu lebih baik, aku masih terlihat di permukaan. Mungkin semuanya berbeda jika aku tenggelam di dasar, sudah pasti tidak akan terlihat." Jelasnya.
Ku hela nafas secara pelan beberapa kali, aku hanya memandangi Renata dalam diam. Entah kenapa rasanya dadaku menjadi sesak, anehnya rasa sesak ini muncul setelah aku melihat Renata tersenyum di hadapanku.
"Adrian, apa pertanyaan kamu tadi? Seberapa sayang aku sama Tuhan-ku?" Tanya Renata.
Suasana benar-benar hening, hanya terdengar suara detak jam dinding dari kamar ini. Anggukan kepalaku cukup untuk menjawab pertanyaan Renata, lalu ia kembali tersenyum.
"Aku akan selalu sayang kepada Tuhan-Ku. Sekalipun kamu adalah orang yang berhasil bikin aku jatuh cinta lagi, aku akan tetap milih bersama Tuhan-Ku." Jawabnya.
Sesak yang ku rasa di dada hilang begitu saja, semuanya kembali berjalan normal seperti biasa. Seperti apa yang selama ini tertahankan bisa lepas dengan bebasnya, setelah aku mendengar apa yang Renata katakan. Dan kami pun saling melempar senyum satu sama lain.
"Renata, aku minta maaf buat..."
"Adrian..." Renata menggelengkan kepalanya, "ngga perlu ada yang minta maaf. Ini semua udah ada jalannya, dan ngga ada yang perlu disesali."
"Mungkin harus aku rubah perkataanku..." ku genggam kedua tangannya, "Renata, terima kasih untuk semuanya."
Ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Renata melangkah mendekat ke arahku, "Adrian, apa aku boleh mencium kamu untuk yang terakhir kalinya?"
Kali ini aku yang menganggukkan kepala. Renata melepas genggamanku, ia mengalungkan tangannya di belakang leherku. Beberapa saat ia hanya terdiam menatapku, hingga akhirnya ia pun menciumku. Sebuah ciuman terakhir.
Pada akhirnya kami pun bisa memilih, tidak lagi hanya mengikuti ke mana arus akan membawa kami. Kami memilih untuk tidak lagi melukai hati kami masing-masing, terlebih Renata yang ku pikir akan merasakan sakit yang lebih parah. Lalu kenapa tidak dari dulu kami memilih? Bukankah kami bisa memilih ketika semuanya belum terjadi? Aku berpikir bahwa ego kamilah yang membawa kami hingga ke titik ini, di mana akhirnya semuanya hanya tentang ego saja.
Banyak dari kalian yang mungkin beranggapan bahwa ini hanya masalah sepele, atau ada sebuah tanggapan tentang bagaimana dua orang yang berbeda keyakinan tetap bisa melaju hingga ke pernikahan. Aku hanya bisa menjawab, "Soal perasaan tidak ada yang tau. Aku iri kepada mereka yang berani untuk mengambil kesimpulan dengan cepat. Dan untuk pernikahan, aku tidak seberuntung mereka."
Renata menutup pintu kamarnya dari dalam setelah aku beranjak pergi meninggalkannya pada malam ini. Ia pun mengunci pintu lalu membalikan badannya. Bukan untuk berlalu menuju sofa untuk kembali menonton acara favoritnya, bukan untuk kembali ke tempat tidurnya, namun Renata hanya bersandar pada pintu dalam diam.
Ia menghela nafas cukup panjang, kakinya sudah tidak mampu menahan badan hingga ia pun duduk dengan masih bersandar. Air matanya tak terbendung, kali ini ia menangis dengan bebasnya.
"Tuhan..."
Ucapannya pun tidak dapat ia selesaikan, suaranya semakin parau dan tangisannya pun semakin menjadi. Renata benar-benar menangis sesenggukan, beban yang selama ini ia tahan terlepas begitu saja pada malam ini.
Pada akhirnya akan selalu ada yang menjadi korban, seperti apa yang dulu pernah aku katakan. Meskipun Renata tampak baik-baik saja hingga kami berpisah, namun tetap saja ia menjadi korban dari keegoisan perasaanku. Bagaimana rasa sakitnya mungkin dapat tergambarkan dengan tangisannya malam ini, lepas begitu saja tanpa ada lagi yang tertahankan.
*
Kaca jendela mobil dibuka, angin semilir masuk dengan leluasa hingga berhasil menutupi wajah Renata. Tangannya mulai menyeka rambut yang menutupi pandangannya, hingga sinar matahari sore kembali menyinari wajahnya. Dari balik kemudi, Renata melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melihat ke samping kanan, di mana laut terhampar dengan luas dan tenang. Laut pun terhalang, kali ini tertutupi oleh pepohonan rindang di sepanjang jalan yang Renata lewati. Bukan berarti buruk, pemandangan pun tampak berbeda namun masih dalam keindahan yang sama hingga membuatnya tersenyum simpul.
Pintu mobil ditutup, Renata sempat melihat ke arah sekeliling. Kosong, tak ada kendaraan lain di sekitarnya. Hanya mobilnya yang terparkir pada pagi ini, Renata pun kembali tersenyum.
Dengan santai ia berjalan sambil menggenggam tas kecil yang ia bawa, angin pun kembali menyambut kedatangannya setelah sekian lama. Rambut panjangnya bergerak mengikuti ke mana angin berhembus, hingga akhirnya Renata menghentikan langkahnya tepat di batas jembatan dermaga.
Ia memandang jauh ke arah laut yang terbentang luas dengan tenang, biru yang menampakkan keindahan, hingga nampak samar bayang-bayang pulau di seberang sana. Beberapa saat ia terdiam, hingga akhirnya Renata membuka tas kecil yang ia bawa. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia kembali menutup tas tersebut.
"Mungkin di mana semuanya bermula, di situ pula semuanya berakhir." Ucap Renata pelan seorang diri.
Renata membuka genggaman tangannya, ia melihat ke arah kalung tersebut. Ia sempat menggenggam kalung itu lagi, sebelum akhirnya ia melempar kalung tersebut ke arah laut dengan santainya. Kalung yang nampak jelas bentuknya, lama-lama samar hingga tak terlihat lagi dari permukaan. Benda itu pun tenggelam hingga ke dasar laut dengan bebasnya. Renata menghembuskan nafasnya, bersamaan dengan air matanya yang menetes di pipinya. Dengan cepat ia menghapus air matanya, lalu ia membalikkan badan dan berjalan santai menuju pantai.
Beberapa langkah sudah ia jalani, ia sempat melihat ke arah sekeliling. Hanya ada satu orang yang berjalan menuju ke arahnya dan berhasil membuat Renata menghentikan langkahnya ketika orang itu berlalu di sampingnya sambil berkata, "Hai Ren."
Renata dengan cepat membalikkan badannya, ia melihat orang tersebut terus berjalan hingga ujung jembatan dermaga. Belum sempat Renata melangkah, orang tersebut sudah berjalan kembali ke arah Renata.
"Apa kabar Ren?"
"Ka Widya..." Ucap Renata pelan.
Widya pun tersenyum. Mereka berdua pun sudah tidak berdiri di jembatan dermaga lagi, kali ini mereka sudah duduk beralaskan pasir pantai di bawah pohon yang rindang. Duduk bersampingan dalam diam, mereka hanya memandangi hamparan laut biru luas yang masih saja indah untuk dipandang mata.
"Ren..."
Renata menatap ke arah Widya yang masih menatap ke arah laut.
"...Apa kabar? Kamu belum jawab pertanyaanku." Kata Widya.
Renata sempat tersenyum, "Aku baik-baik aja Ka Wid, mungkin jawabannya akan berbeda kalau Ka Wid nanya itu beberapa minggu yang lalu."
"Beberapa minggu lalu?..." Widya menatap Renata, "jadi ini maksud pilihannya Adrian."
Renata sedikit terkejut, "Adrian? Ka Wid ketemu sama Adrian?"
Widya mengangguk, "Aku ketemu sama Adrian beberapa minggu yang lalu. Dia datang ke pemakaman untuk balikin dua buku yang pernah sama dia, dan ngga sengaja kita ketemu di sana. Adrian cerita, kalau akhirnya dia bisa untuk memilih. Sampai akhirnya aku ketemu kamu di sini, dan akhirnya semakin jelas pilihannya Adrian."
Renata tersenyum. Widya hanya menatapnya dalam diam, tangannya pun mengusap pundak Renata secara perlahan. Renata membuang pandangannya ke arah laut, bersamaan pula dengan senyumannya yang meredup.
"Pada akhirnya semua akan memilih, termasuk juga Adrian. Memang awalnya berat untuk menentukan, sekalipun dia tau apa jawabannya..."
Tangan Widya pun berhenti mengusap pundak Renata.
"...Aku tau Adrian punya maksud yang baik, dia mau berusaha sebaik mungkin buat hubungan kita. Selama ini aku berpikir, kenapa Adrian cuma keliatan diam aja. Apa dia ngga berusaha, atau jangan-jangan dia memang belum mau serius dengan hubungan ini. Sampai aku pernah berpikir kalau Adrian cuma mau main-main, Adrian itu jahat..."
Air mata Renata sempat menetes, namun dengan cepat ia menghapusnya. Renata pun akhirnya kembali menatap Widya, dan sempat ia menunjukkan senyum kecilnya.
"...Ternyata aku salah, Adrian udah berusaha dengan segala cara. Tapi sekeras apapun dia berusaha, memang ini jalan yang Tuhan kasih sama kita. Adrian itu laki-laki yang baik, cuma aku aja yang ngga berjodoh sama dia." Jelas Renata.
Bulan pun tersenyum setelah mendengar apa yang Renata katakan. Angin berhembus, menyejukan suasana pantai yang semakin panas pada siang ini.
"Ka Wid..."
Widya mengangkat alis matanya sedikit.
"Menurut Ka Widya, apa seharusnya dari dulu aku ngga perlu kenal sama Adrian?" Tanya Renata.
"Pertanyaan itu terlintas setelah kamu ngalamin ini semua?" Tanya Widya.
Renata mengangguk pelan, "Aku ngerasa bersalah sama Adrian. Mungkin aja kalau Adrian ngga kenal sama aku, dia ngga perlu ngelakuin ini semua. Mungkin semuanya akan berjalan lebih baik, dan semua ini ngga akan terjadi."
Widya sempat tersenyum, "Kamu pernah kepikiran ngga kalau misalkan kamu ngga pernah kenal sama Adrian, kira-kira kamu lagi apa sekarang?..."
Renata hanya menatap dalam diam.
"...Kamu lagi di rumah aja? Kamu lagi ngobrol sama pacar kamu? Kamu lagi jalan-jalan sama keluarga di sebuah tempat? Pernah ngga kamu kepikiran itu sekali aja selama sama Adrian?..."
Renata menggeleng pelan dan masih tetap diam.
"...Lalu buat apa kamu merasa bersalah setelah semua ini dan berharap ngga kejadian? Aku pun berani bertaruh kalau Adrian pun ngga pernah kepikiran apa yang lagi dia lakuin sekarang kalau ngga pernah kenal sama kamu. Semuanya udah suratan Ren, udah diatur sedemikian rupa sama Tuhan. Dan aku pun pernah merasa bersalah seperti kamu..."
Widya menghentikan perkataannya. Ia membuka tas kecil yang ia bawa untuk mencari sebuah benda. Dan setelah menemukan benda tersebut, ia memberikannya kepada Renata. Tangan Renata menerima dengan santainya, untuk beberapa saat ia hanya terdiam menatapi selembar foto milik Widya.
"Ini foto Ka Widya sama siapa?" Tanya Renata.
"Menurut kamu..." Widya membuang pandangannya ke arah laut, "siapa orang yang menjadi tokoh utama cerita Adrian?"
"Ka Bram?..."
Renata menatap foto itu lebih lama, mungkin ia baru menyadari bagaimana sosok Bram yang sebenarnya. Selama ini ia hanya tau dari cerita yang dibuat oleh Adrian, ditambah dengan cerita yang tidak pernah Adrian tulis di cerita mengenai siapa Bram yang sebenarnya.
"Mungkin ngga semuanya diceritain sama Adrian, gimana aku pernah ngerasa bersalah setelah apa yang terjadi sama Bram. Aku pun dulu beranggapan mungkin kalau dulu aku ngga dateng telat ke sekolah, aku ngga akan kenal sama Bram..."
Renata menatap Widya.
"...Terlebih setelah aku pergi meninggalkan Bram, kemudian aku kembali dengan harapan bahwa aku akhirnya bisa kembali bertemu dengan sosok yang sudah berjuang selama ini. Tapi kenyataannya sangat berbeda jauh, sangat berbanding terbalik. Aku hancur berantakan, dan merasa sangat bersalah kepada Bram..."
Widya kembali menatap Renata.
"...Pada akhirnya aku harus berdamai dan menerima semua yang udah ditakdirin sama Tuhan. Semua yang udah aku lewatin hingga saat ini adalah pewarna untuk kehidupan aku, sekalipun warnanya yang ngga aku suka. Aku percaya, akan bermunculan warna-warna lain yang akhirnya membuat warna sebelumnya jadi selaras dan juga indah. Dan aku pun percaya, kamu juga akan punya warna-warna yang lain Ren." Jelas Widya.
Renata tersenyum, kemudian ia mengembalikan foto tersebut kepada Widya. Renata menepuk pelan pundak Widya, "Makasih ya Ka Wid, sekarang aku punya alasan yang semakin kuat buat terus ngejalanin hidup ini seperti biasa."
Widya mengangguk, "Kita makan dulu yuk, aku laper daritadi ngomong terus."
Widya dan Renata pun tertawa, kemudian mereka bangun dari duduk sambil membersihkan pasir-pasir yang menempel. Mereka berjalan dengan santai sambil memandangi pantai ini, beberapa kali mereka mulai membahas perihal perempuan yang mungkin saja aku tidak mengerti.
Beberapa saat berlalu, mereka sudah selesai makan siang. Renata masih duduk memandangi pantai dari balik jendela tempat makan ini, tak lama berselang Widya kembali lalu duduk di depannya.
"Ka Wid, berapa totalnya?" Tanya Renata.
"Udah sama aku aja Ren." Jawab Widya.
"Eh jangan Ka Wid, ngga enak aku. Masa baru pertama ketemu udah dibayarin." Kata Renata.
"Anggep aja jadi momen perkenalan kita Ren..." Widya menepuk tangan Renata, "ngomong-ngomong, sekarang kegiatan kamu apa Ren?"
"Yang bisa aku pastiin sih untuk beberapa tahun ke depan, aku ada di CopenhagenKa Wid. Ada urusan yang belum selesai di sana, dan harus diselesaiin dulu." Jawab Renata.
"Copenhagen? Bisa mampir ngga ke Paris kalau ada waktu? Atau ngga aku yang ke sana, nanti kamu kirim alamat kamu di mana." Kata Widya.
"Bisa kok Ka Wid, kalau Ka Wid mau ke tempat aku juga bisa. Ka Wid ke Paris lagi kapan?" Ucap Renata.
"Minggu depan aku ke sana..." Widya menatap heran, "ngomong-ngomong kamu di Copenhagen ngapain Ren?"
*
"Maksud pertanyaan kamu apa?" Tanya Renata.
"Kayaknya pertanyaan aku udah cukup jelas Ren." Kataku.
Renata terdiam memandang ke arahku, aku pun hanya bisa menunggu jawaban atas pertanyaanku. Ia menggenggam tanganku, aku hanya bisa mengikuti apa yang ia lakukan.
"Adrian, seberapa sayang aku dengan Tuhan-ku? Jawabannya akan sama kalau aku nanya pertanyaan itu ke kamu. Jawaban kita udah pasti sama, aku cuma ngga ngerti ke mana arah pertanyaan kamu." Jelasnya.
Renata menarikku untuk masuk ke dalam, lalu ia menutup pintu. Kami hanya saling berdiri berhadapan di belakang pintu, kemudian Renata kembali menggenggam tanganku. Ia sempat menyandarkan kepalanya di dadaku untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali menatap ke arahku.
"Apa mungkin..."
Renata memghentikan perkataannya untuk beberapa saat, aku sempat melihat ke dua matanya bergetar untuk sesaat. Matanya berkaca-kaca namun tak sampai menetes, ia pun mundur satu langkah secara perlahan.
"Apa kita... ngga bisa berjalan beriringan... meskipun kita ngga sama?" Tanya Renata.
Aku menggelengkan kepalaku dengan sangat pelan, namun Renata dapat melihatnya hingga ia tersenyum kecil. Ia melepaskan genggaman tangannya untuk mengusap air mata yang masih tertahan di matanya. Jari tangan kanannya masuk ke kerah baju yang ia kenakan, lalu ia mengeluarkan kalung yang ia kenakan.
"Adrian, kamu tau kan ini apa..."
Aku menganggukkan kepalaku dalam diam.
"...Dari kecil aku udah diajarin untuk selalu patuh sama Tuhan, aku mencoba sekuat mungkin untuk ngga melanggar aturan-aturan-Nya, sekalipun aku bukan anak yang patuh sama Ayah dan Ibu..."
Aku memandang Renata dalam diam.
"...Setelah sama kamu, dari awal kita ngga pernah nyinggung sedikitpun soal keyakinan kita. Aku pikir, semua yang udah kita jalanin akan baik-baik aja. Sampai hari ini, kamu dateng untuk mempertanyakan hal itu. Kenapa?..."
Renata menggenggam liontin kalungnya.
"...Kenapa akhirnya kamu bertanya setelah udah beberapa tahun kita ngejalanin ini semua? Kenapa ngga dari awal aja supaya semuanya jelas dari awal? Dan bodohnya lagi... aku pun ngga mempertanyakan itu, aku diam dan ikut ke mana arus akan membawaku. Sampailah aku di penghujung arus, mungkin kalau diibaratkan, saat ini aku cuma terapung di laut tenang dengan pergerakan yang sangat lama untuk berpindah ke suatu tempat. Tapi itu lebih baik, aku masih terlihat di permukaan. Mungkin semuanya berbeda jika aku tenggelam di dasar, sudah pasti tidak akan terlihat." Jelasnya.
Ku hela nafas secara pelan beberapa kali, aku hanya memandangi Renata dalam diam. Entah kenapa rasanya dadaku menjadi sesak, anehnya rasa sesak ini muncul setelah aku melihat Renata tersenyum di hadapanku.
"Adrian, apa pertanyaan kamu tadi? Seberapa sayang aku sama Tuhan-ku?" Tanya Renata.
Suasana benar-benar hening, hanya terdengar suara detak jam dinding dari kamar ini. Anggukan kepalaku cukup untuk menjawab pertanyaan Renata, lalu ia kembali tersenyum.
"Aku akan selalu sayang kepada Tuhan-Ku. Sekalipun kamu adalah orang yang berhasil bikin aku jatuh cinta lagi, aku akan tetap milih bersama Tuhan-Ku." Jawabnya.
Sesak yang ku rasa di dada hilang begitu saja, semuanya kembali berjalan normal seperti biasa. Seperti apa yang selama ini tertahankan bisa lepas dengan bebasnya, setelah aku mendengar apa yang Renata katakan. Dan kami pun saling melempar senyum satu sama lain.
"Renata, aku minta maaf buat..."
"Adrian..." Renata menggelengkan kepalanya, "ngga perlu ada yang minta maaf. Ini semua udah ada jalannya, dan ngga ada yang perlu disesali."
"Mungkin harus aku rubah perkataanku..." ku genggam kedua tangannya, "Renata, terima kasih untuk semuanya."
Ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Renata melangkah mendekat ke arahku, "Adrian, apa aku boleh mencium kamu untuk yang terakhir kalinya?"
Kali ini aku yang menganggukkan kepala. Renata melepas genggamanku, ia mengalungkan tangannya di belakang leherku. Beberapa saat ia hanya terdiam menatapku, hingga akhirnya ia pun menciumku. Sebuah ciuman terakhir.
Pada akhirnya kami pun bisa memilih, tidak lagi hanya mengikuti ke mana arus akan membawa kami. Kami memilih untuk tidak lagi melukai hati kami masing-masing, terlebih Renata yang ku pikir akan merasakan sakit yang lebih parah. Lalu kenapa tidak dari dulu kami memilih? Bukankah kami bisa memilih ketika semuanya belum terjadi? Aku berpikir bahwa ego kamilah yang membawa kami hingga ke titik ini, di mana akhirnya semuanya hanya tentang ego saja.
Banyak dari kalian yang mungkin beranggapan bahwa ini hanya masalah sepele, atau ada sebuah tanggapan tentang bagaimana dua orang yang berbeda keyakinan tetap bisa melaju hingga ke pernikahan. Aku hanya bisa menjawab, "Soal perasaan tidak ada yang tau. Aku iri kepada mereka yang berani untuk mengambil kesimpulan dengan cepat. Dan untuk pernikahan, aku tidak seberuntung mereka."
Renata menutup pintu kamarnya dari dalam setelah aku beranjak pergi meninggalkannya pada malam ini. Ia pun mengunci pintu lalu membalikan badannya. Bukan untuk berlalu menuju sofa untuk kembali menonton acara favoritnya, bukan untuk kembali ke tempat tidurnya, namun Renata hanya bersandar pada pintu dalam diam.
Ia menghela nafas cukup panjang, kakinya sudah tidak mampu menahan badan hingga ia pun duduk dengan masih bersandar. Air matanya tak terbendung, kali ini ia menangis dengan bebasnya.
"Tuhan..."
Ucapannya pun tidak dapat ia selesaikan, suaranya semakin parau dan tangisannya pun semakin menjadi. Renata benar-benar menangis sesenggukan, beban yang selama ini ia tahan terlepas begitu saja pada malam ini.
Pada akhirnya akan selalu ada yang menjadi korban, seperti apa yang dulu pernah aku katakan. Meskipun Renata tampak baik-baik saja hingga kami berpisah, namun tetap saja ia menjadi korban dari keegoisan perasaanku. Bagaimana rasa sakitnya mungkin dapat tergambarkan dengan tangisannya malam ini, lepas begitu saja tanpa ada lagi yang tertahankan.
*
Kaca jendela mobil dibuka, angin semilir masuk dengan leluasa hingga berhasil menutupi wajah Renata. Tangannya mulai menyeka rambut yang menutupi pandangannya, hingga sinar matahari sore kembali menyinari wajahnya. Dari balik kemudi, Renata melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melihat ke samping kanan, di mana laut terhampar dengan luas dan tenang. Laut pun terhalang, kali ini tertutupi oleh pepohonan rindang di sepanjang jalan yang Renata lewati. Bukan berarti buruk, pemandangan pun tampak berbeda namun masih dalam keindahan yang sama hingga membuatnya tersenyum simpul.
Pintu mobil ditutup, Renata sempat melihat ke arah sekeliling. Kosong, tak ada kendaraan lain di sekitarnya. Hanya mobilnya yang terparkir pada pagi ini, Renata pun kembali tersenyum.
Dengan santai ia berjalan sambil menggenggam tas kecil yang ia bawa, angin pun kembali menyambut kedatangannya setelah sekian lama. Rambut panjangnya bergerak mengikuti ke mana angin berhembus, hingga akhirnya Renata menghentikan langkahnya tepat di batas jembatan dermaga.
Ia memandang jauh ke arah laut yang terbentang luas dengan tenang, biru yang menampakkan keindahan, hingga nampak samar bayang-bayang pulau di seberang sana. Beberapa saat ia terdiam, hingga akhirnya Renata membuka tas kecil yang ia bawa. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia kembali menutup tas tersebut.
"Mungkin di mana semuanya bermula, di situ pula semuanya berakhir." Ucap Renata pelan seorang diri.
Renata membuka genggaman tangannya, ia melihat ke arah kalung tersebut. Ia sempat menggenggam kalung itu lagi, sebelum akhirnya ia melempar kalung tersebut ke arah laut dengan santainya. Kalung yang nampak jelas bentuknya, lama-lama samar hingga tak terlihat lagi dari permukaan. Benda itu pun tenggelam hingga ke dasar laut dengan bebasnya. Renata menghembuskan nafasnya, bersamaan dengan air matanya yang menetes di pipinya. Dengan cepat ia menghapus air matanya, lalu ia membalikkan badan dan berjalan santai menuju pantai.
Beberapa langkah sudah ia jalani, ia sempat melihat ke arah sekeliling. Hanya ada satu orang yang berjalan menuju ke arahnya dan berhasil membuat Renata menghentikan langkahnya ketika orang itu berlalu di sampingnya sambil berkata, "Hai Ren."
Renata dengan cepat membalikkan badannya, ia melihat orang tersebut terus berjalan hingga ujung jembatan dermaga. Belum sempat Renata melangkah, orang tersebut sudah berjalan kembali ke arah Renata.
"Apa kabar Ren?"
"Ka Widya..." Ucap Renata pelan.
Widya pun tersenyum. Mereka berdua pun sudah tidak berdiri di jembatan dermaga lagi, kali ini mereka sudah duduk beralaskan pasir pantai di bawah pohon yang rindang. Duduk bersampingan dalam diam, mereka hanya memandangi hamparan laut biru luas yang masih saja indah untuk dipandang mata.
"Ren..."
Renata menatap ke arah Widya yang masih menatap ke arah laut.
"...Apa kabar? Kamu belum jawab pertanyaanku." Kata Widya.
Renata sempat tersenyum, "Aku baik-baik aja Ka Wid, mungkin jawabannya akan berbeda kalau Ka Wid nanya itu beberapa minggu yang lalu."
"Beberapa minggu lalu?..." Widya menatap Renata, "jadi ini maksud pilihannya Adrian."
Renata sedikit terkejut, "Adrian? Ka Wid ketemu sama Adrian?"
Widya mengangguk, "Aku ketemu sama Adrian beberapa minggu yang lalu. Dia datang ke pemakaman untuk balikin dua buku yang pernah sama dia, dan ngga sengaja kita ketemu di sana. Adrian cerita, kalau akhirnya dia bisa untuk memilih. Sampai akhirnya aku ketemu kamu di sini, dan akhirnya semakin jelas pilihannya Adrian."
Renata tersenyum. Widya hanya menatapnya dalam diam, tangannya pun mengusap pundak Renata secara perlahan. Renata membuang pandangannya ke arah laut, bersamaan pula dengan senyumannya yang meredup.
"Pada akhirnya semua akan memilih, termasuk juga Adrian. Memang awalnya berat untuk menentukan, sekalipun dia tau apa jawabannya..."
Tangan Widya pun berhenti mengusap pundak Renata.
"...Aku tau Adrian punya maksud yang baik, dia mau berusaha sebaik mungkin buat hubungan kita. Selama ini aku berpikir, kenapa Adrian cuma keliatan diam aja. Apa dia ngga berusaha, atau jangan-jangan dia memang belum mau serius dengan hubungan ini. Sampai aku pernah berpikir kalau Adrian cuma mau main-main, Adrian itu jahat..."
Air mata Renata sempat menetes, namun dengan cepat ia menghapusnya. Renata pun akhirnya kembali menatap Widya, dan sempat ia menunjukkan senyum kecilnya.
"...Ternyata aku salah, Adrian udah berusaha dengan segala cara. Tapi sekeras apapun dia berusaha, memang ini jalan yang Tuhan kasih sama kita. Adrian itu laki-laki yang baik, cuma aku aja yang ngga berjodoh sama dia." Jelas Renata.
Bulan pun tersenyum setelah mendengar apa yang Renata katakan. Angin berhembus, menyejukan suasana pantai yang semakin panas pada siang ini.
"Ka Wid..."
Widya mengangkat alis matanya sedikit.
"Menurut Ka Widya, apa seharusnya dari dulu aku ngga perlu kenal sama Adrian?" Tanya Renata.
"Pertanyaan itu terlintas setelah kamu ngalamin ini semua?" Tanya Widya.
Renata mengangguk pelan, "Aku ngerasa bersalah sama Adrian. Mungkin aja kalau Adrian ngga kenal sama aku, dia ngga perlu ngelakuin ini semua. Mungkin semuanya akan berjalan lebih baik, dan semua ini ngga akan terjadi."
Widya sempat tersenyum, "Kamu pernah kepikiran ngga kalau misalkan kamu ngga pernah kenal sama Adrian, kira-kira kamu lagi apa sekarang?..."
Renata hanya menatap dalam diam.
"...Kamu lagi di rumah aja? Kamu lagi ngobrol sama pacar kamu? Kamu lagi jalan-jalan sama keluarga di sebuah tempat? Pernah ngga kamu kepikiran itu sekali aja selama sama Adrian?..."
Renata menggeleng pelan dan masih tetap diam.
"...Lalu buat apa kamu merasa bersalah setelah semua ini dan berharap ngga kejadian? Aku pun berani bertaruh kalau Adrian pun ngga pernah kepikiran apa yang lagi dia lakuin sekarang kalau ngga pernah kenal sama kamu. Semuanya udah suratan Ren, udah diatur sedemikian rupa sama Tuhan. Dan aku pun pernah merasa bersalah seperti kamu..."
Widya menghentikan perkataannya. Ia membuka tas kecil yang ia bawa untuk mencari sebuah benda. Dan setelah menemukan benda tersebut, ia memberikannya kepada Renata. Tangan Renata menerima dengan santainya, untuk beberapa saat ia hanya terdiam menatapi selembar foto milik Widya.
"Ini foto Ka Widya sama siapa?" Tanya Renata.
"Menurut kamu..." Widya membuang pandangannya ke arah laut, "siapa orang yang menjadi tokoh utama cerita Adrian?"
"Ka Bram?..."
Renata menatap foto itu lebih lama, mungkin ia baru menyadari bagaimana sosok Bram yang sebenarnya. Selama ini ia hanya tau dari cerita yang dibuat oleh Adrian, ditambah dengan cerita yang tidak pernah Adrian tulis di cerita mengenai siapa Bram yang sebenarnya.
"Mungkin ngga semuanya diceritain sama Adrian, gimana aku pernah ngerasa bersalah setelah apa yang terjadi sama Bram. Aku pun dulu beranggapan mungkin kalau dulu aku ngga dateng telat ke sekolah, aku ngga akan kenal sama Bram..."
Renata menatap Widya.
"...Terlebih setelah aku pergi meninggalkan Bram, kemudian aku kembali dengan harapan bahwa aku akhirnya bisa kembali bertemu dengan sosok yang sudah berjuang selama ini. Tapi kenyataannya sangat berbeda jauh, sangat berbanding terbalik. Aku hancur berantakan, dan merasa sangat bersalah kepada Bram..."
Widya kembali menatap Renata.
"...Pada akhirnya aku harus berdamai dan menerima semua yang udah ditakdirin sama Tuhan. Semua yang udah aku lewatin hingga saat ini adalah pewarna untuk kehidupan aku, sekalipun warnanya yang ngga aku suka. Aku percaya, akan bermunculan warna-warna lain yang akhirnya membuat warna sebelumnya jadi selaras dan juga indah. Dan aku pun percaya, kamu juga akan punya warna-warna yang lain Ren." Jelas Widya.
Renata tersenyum, kemudian ia mengembalikan foto tersebut kepada Widya. Renata menepuk pelan pundak Widya, "Makasih ya Ka Wid, sekarang aku punya alasan yang semakin kuat buat terus ngejalanin hidup ini seperti biasa."
Widya mengangguk, "Kita makan dulu yuk, aku laper daritadi ngomong terus."
Widya dan Renata pun tertawa, kemudian mereka bangun dari duduk sambil membersihkan pasir-pasir yang menempel. Mereka berjalan dengan santai sambil memandangi pantai ini, beberapa kali mereka mulai membahas perihal perempuan yang mungkin saja aku tidak mengerti.
Beberapa saat berlalu, mereka sudah selesai makan siang. Renata masih duduk memandangi pantai dari balik jendela tempat makan ini, tak lama berselang Widya kembali lalu duduk di depannya.
"Ka Wid, berapa totalnya?" Tanya Renata.
"Udah sama aku aja Ren." Jawab Widya.
"Eh jangan Ka Wid, ngga enak aku. Masa baru pertama ketemu udah dibayarin." Kata Renata.
"Anggep aja jadi momen perkenalan kita Ren..." Widya menepuk tangan Renata, "ngomong-ngomong, sekarang kegiatan kamu apa Ren?"
"Yang bisa aku pastiin sih untuk beberapa tahun ke depan, aku ada di CopenhagenKa Wid. Ada urusan yang belum selesai di sana, dan harus diselesaiin dulu." Jawab Renata.
"Copenhagen? Bisa mampir ngga ke Paris kalau ada waktu? Atau ngga aku yang ke sana, nanti kamu kirim alamat kamu di mana." Kata Widya.
"Bisa kok Ka Wid, kalau Ka Wid mau ke tempat aku juga bisa. Ka Wid ke Paris lagi kapan?" Ucap Renata.
"Minggu depan aku ke sana..." Widya menatap heran, "ngomong-ngomong kamu di Copenhagen ngapain Ren?"
*
Diubah oleh beavermoon 21-06-2020 15:47
oktavp dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas
Tutup