- Beranda
- Stories from the Heart
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity
...
TS
abangruli
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity

Note from Author
Salam! Gue ucapin banyak terima kasih buat yang masih melanjutkan baca kisah tentang Danang dan Rhea. Sorry banget untuk dua chapter awal sempat gue masukin di The Second yang pertama. Soalnya waktu itu gue belum sempat bikin cover dll, hehe...
Nah berhubung sekarang dah sempat bikin cover, akhirnya gue bisa secara resmi memboyong The Second – Session 2 ke trit baru. Session kedua ini gue cukup lama nyari inspirasinya. Soalnya gue gak mau terjebak kembali menyamai alur cerita lama, jadi terpaksa nyari sesuatu yang rada-rada shocking. Harus cukup heboh untuk bisa membawa nuansa baru ke cerita Danang dan Rhea ini.
Apa itu?
Ya dengan ada Killing Rain.
Apa itu Killing Rain?
Ah ente kebanyakan nanya nih.. hehe.. Baca aja di tiga chapter awal. Yang jelas di cerita kali ini, tetap ada nuansa magis dengan adanya sosok Wulan (ternyata dulu pernah jadi pacarnya Danang lhooo... Haaaa?! Kok bisaaa.....).
Tetap ada romansa full of love dengan hadirnya Rhea.
Tetap ada unsur horror karena adanya Emon. Lho? Maaf salah. Maksudnya ada unsur komed dengan adanya Emon. Yaa.. kalau ente bisa liat mukanya Emon, emang jadi komedi seram sih.. wkwkwkw..
Dan ditambah lagi ada tokoh baru yang kemaren hanya cameo sekarang jadi bakal sering muncul. Siapakah dia??
Jeng jeng..
Upin Ipin!
Haaaaa???
Ya bukanlah!
Tapii... Yoga! Si anak indigo!
Tau lah kalo indigo gini senengnya apa.. liat demit dan kawan-kawannya! Hehehe..
So! Siap-siap ngerasain manis asem asin di cerita ini!
Akhirul kalam,
Selamat ‘menyaksikan’ yaa!
Ruli Amirullah
Bagi yang belum baca The Second Session 1.. klik dibawah ini yaa
The Second Session 1 - Jadikan Aku yang Kedua
The Second
Session 2 – The Killing Rain
Spoiler for Chapter 1 - Back to the Past:
Index
Chapter 2 - Live From New York
Chapter 3 - The Killing Rain
Chapter 4 - Death Experience
Chapter 5 - Kesurupan
Chapter 6 - Mata dibalas Mata
Chapter 7 - Chaos
Chapter 8 - Contingency Plan
Chapter 9 - Kemelut di Tengah Kemelut
Chapter 10 - Please Welcome, Khamaya!
Chapter 11 - Mengundi Nasib
Chapter 12 - Vision
Chapter 13 - First Rain
Chapter 14 - Between Dream and Rhea
Chapter 15 - Dilema
Chapter 16 - Ready to Take Off
Chapter 17 - Melayang di Tengah Maut
Chapter 18 - Walking in Dream
Chapter 19 - In The Middle of The War
Chapter 20 - Missing
Chapter 21 - Yoga
Chapter 22 - Sleeping with The Enemy
Chapter 23 - Who is Mya?
Chapter 24 – I Miss You Rhea
Chapter 25 - Telepati
Chapter 26 - Next Level of Telephaty
Announcement New Index & Format
Diubah oleh abangruli 02-06-2021 20:27
fblackid dan 36 lainnya memberi reputasi
33
24.1K
1.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#2
Chapter 3 – The Killing Rain
Dilayar terlihat seorang lelaki dengan rambut putih melangkah. Matanya sipit dan kulitnya sungguh bersih. Dengan bahasa Inggris fasih, sang ketua PBB berkebangsaan Jepang mulai berkata. Tanpa naskah apapun. Setelah berbasa basi dengan sangat singkat, ia mulai masuk ke inti berita yang kami tunggu-tunggu, “Saudara-saudarku sekalian, saat ini kemanusiaan kembali menemui cobaan. Setelah dulu kita disatukan oleh COVID-19, kali ini kita kembali menghadapi ujian yang tak bisa dielakkan..”
Emon menyenggol-nyenggol lenganku minta bantuan agar aku menterjemahkan apa yang sedang dikatakan oleh ketua PBB. Rasanya di ruangan ini cuma Emon yang tidak paham, “ngomong apa sih dia? Kasih tau eike duunk..”
“Sssst....” jawabku sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir, “brisik lu ah. Masih pembukaan. Makanya lu jangan banyak tanya dulu...”
Emon mengangguk pasrah. Aku kembali memasang kuping baik-baik agar bisa paham. Bagaimanapun bahasa inggris bukan bahasa utamaku, jadi aku tetap harus fokus untuk bisa mengerti yang ia ucapkan.
“Kini, yang kita hadapi adalah hujan meteor. Laporan dari terima dari beberapa lembaga antariksa menyatakan bahwa dalam beberapa waktu kedepan orbit bumi bersinggungan dengan jalur lintasan sekumpulan meteor...” Ketua PBB itu berhenti sejenak sembari membenarkan letak kacamatanya. Sebenarnya tak ada yang salah dengan posisi kacamatanya. Aku merasa ia hanya sedang grogi, “sayangnya, kali ini hujan meteor yang kita hadapi bukan sekedar melintasi langit bumi kita. Mereka akan masuk menembus atmofser kita. Sebagian akan hangus terbakar oleh perisai alami yang kita miliki, namun sebagian lainnya tidak akan habis terbakar karena memiliki ukuran yang cukup besar.
Kembali ia terdiam. Begitu pula aku, Rhea, Firdaus, Pak Wahyu dan para undangan lain. Hanya Emon yang terlihat gelisah seperti orang sedang menahan pipis. Keterkejutanku menjadikan aku lupa bahwa aku sudah berjanji untuk memberi tahu apa yang sedang diucapkan.
“Kenapa bro? Kasih tau dong..” bisiknya lagi.
“Ntar!” sentakku pada Emon. Bukannya aku gak mau ngasih tau sekarang, tapi aku khawatir melewatkan informasi penting. Emon kembali terdiam, tapi ia seperti hendak menangis.
“Saudara-saudaraku.. ini bukanlah film Hollywood. Ini adalah ancaman nyata. Pada tahun 2013 lampau, sebuah meteor berukuran 20 meter masuk ke atmofser bumi dan meledak di Chelyabinsk, Russia. Meteoritnya, atau bagian-bagian kecil dari meteor besar, jatuh di berbagai daerah dan bola-bola api melaju di langit Russia. Suara ledakan kencang yang memecahkan jendela dan merusak gedung-gedung. Lebih dari 4000 gedung melaporkan kerusakan pada jendelanya. Ledakan meteor itu disebut-sebut punya kekuatan 30 kali lebih besar dari bom atom di Hiroshima. Itu dampak dari satu meteor saja. Sementara yang kita hadapi saat ini adalah lebih dari satu. Jumlahnya cukup banyak. Puluhan mungkin juga ratusan. Bila hanya satu atau dua kita masih bisa membelokkan arah meteor. Tapi dengan jumlahnya yang ratusan maka pilihannya adalah mengevakuasi penduduk. Tapi... kembali lagi ke masalah utama tadi, kemanakah akan kita evakuasi bila jumlah meteor tersebut ratusan? Mereka akan datang secara bergelombang. Gempuran pertama kami duga jumlahnya tidak terlalu banyak. Tapi tetap saja merusak. Setelah itu akan mereda beberapa saat. Tapi bukan berarti kita beristirahat. Pola kehidupan akan berubah drastis bagi yang masih bertahan hidup. Cuaca, sumber kehidupan, budaya, peradaban. Semua akan berubah.”
Ia terdiam lagi untuk beberapa detik, dan kemudian kembali melanjutkan, “Yang kedua adalah waktu tumbukan. Saya bukan bicara tentang ancaman dalam beberapa tahun kedepan, beberapa bulan kedepan. Bukan. Deep impact pertama akan terjadi dalam hitungan hari. Waktu kita hanya sekitar 30 hari. Paling lama sebulan waktu yang kita miliki untuk menikmati sinar mentari, menikmati semilir angin yang sejuk, sayuran yang segar, air yang jernih. Karena setelah itu, tumbukan bisa terjadi kapan saja. Bisa siang ataupun malam. Bisa dibelahan bumi Amerika ataupun di Eropa, bisa di Asia bisa mana saja. Dan saat itu terjadi, saya tegaskan. Itu bukan akhir dari bumi kita. Karena ukurannya tidak ada yang cukup besar untuk menghancurkan bumi. Bumi tidak akan hancur, bumi tetap ada hanya saja bumi akan menjadi merana. Populasi tidak akan musnah. Memang akan ada yang mati. Tapi akan ada pula yang selamat. Hanya saja sayangnya, saya tak tahu mana yang lebih beruntung apakah yang tewas atau yang berhasil bertahan hidup...”
Ketua PBB terhenti. Ia terguncang oleh ucapan spontan yang keluar dari mulutnya sendiri. Tampak dari bibirnya yang bergetar. Aku sendiri tertegun. Ini seperti vonis mati massal. Dan dalam sekejap keriuhan terjadi di lobby KBRI. Beberapa orang menggemakan takbir.
“Aduuh ada apa sihhh..... kasih tau Emon doong..” jerit Emon panik. Melihat kegaduhan ruangan Emon ikut tersulut tanpa tahu apa yang terjadi.
“Bumi mau ancur bro..”
“Aaaaaaaah.... “ jeritnya lagi, “Ancur gimana?? Elu jangan becanda, gak lucu!!”
Hilang sudah yey yey nya Emon. Baru kali ini aku mendengar ia berteriak dengan elu-eluan pakai suara berat. Tapi aku tak terlalu minat untuk membahas itu. Aku ceritakan pada Emon dengan nada getir tentang hujan meteor. Ia mendengarkan dengan seksama. Setelah itu Emon pingsan.
***
Aku berada di ruang workshop yang kini kosong melompong. Acaraku dibatalkan. Hanya ada aku dan Rhea. Berdua Sama-sama bengong. Kabar tadi sepertinya terlalu berat bagi otak kami. Emon sendiri tadi masih belum siuman.
“Any comment?” tanya Rhea pelan.Sebenarnya Ia sendiri tak berniat bertanya, pandangannya kosong. Memandang ke arahku pun tidak.
Aku hanya menghela nafas. Tak juga berniat menjawab. Masalah ini terlalu berat untuk dibahas sekarang.
“Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Vania..” tiba-tiba Rhea berkata
“Tentang apa?” tanyaku heran. Terpancing juga untuk berkata-kata.
“Tentang divonis mati.. saat ia menderita penyakit dan divonis mati oleh dokter, ternyata seperti inilah rasanya..”
Aku paham. Tadi akupun sempat merasakan itu. Saat hidup tinggal 30 hari. Bagaimana rasanya? Aneh, untuk saat ini terasa aneh. Mungkin sama saat seperti kita baru menabrak sesuatu. Masih berasa kaget. Sakit belum menjalar. Tapi dalam beberapa hari kedepan mungkin akan ada reaksi yang extrem atas kenyataan ini, “tapi kita belum tentu mati. Bisa saja kita bagian dari yang selamat. Ini kan bukan kehancuran total...”
Rhea hanya terdiam mendengar jawabanku. Aku yang akhirnya kembali bertanya,“Oiya Rhea.. kamu memilih selamat atau mati?”
“Maksud kamu apa?”
“Ingat ucapan ketua PBB tadi? Bagi yang selamat saat tumbukan terjadi dan tetap hidup, mungkin akan mengalami suatu pola kehidupan baru yang luar biasa beratnya. Kamu bayangkan, bisa jadi langit tertutup asap tebal hingga matahari tidak bisa menembus langit bumi. Kita hidup dalam gelap. Suhu mungkin akan turun drastis. Sumber makanan alami akan menyusut. Air bersih mungkin jadi langka.. karena itulah dia tadi berkata, tak tahu mana yang lebih beruntung. Mereka yang tewas atau mereka yang bertahan hidup...”
Rhea kembali terdiam.
“Andai kamu bisa memilih, kamu memilih hidup atau mati?”
“Udah lah mas.. gak baik berandai-andai. Kadang aku merasa hidup itu bukan pilihan kok. Seolah-olah saja itu suatu pilihan, tapi tak jarang pula kita sebenarnya sedang dipaksa untuk tunduk pada takdir. Jalani saja hidup ini...” jawabnya bijak. Sama seperti Rhea yang aku kenal dulu.
Tiba-tiba Rhea menatapku dan bertanya, “Oh iya Mas Danang.. aku boleh ikut pulang ke Jakarta?”
“Boleh lah.. kapan? Lusa ya?”
“Iya.. aku boleh pinjam uang mas Danang untuk beli tiket pulang?”
“Boleh lah.. apa gunanya uang sekarang?” tanyaku penuh ironi. Sepertinya aku mulai meninggalkan tahapan kaget dan mulai masuk ke tahap merasakan sakit, “kamu beli aja tiketnya. Berapapun harganya”
“Makasih mas.. aku ingin ketemu orang tuaku..”
“Aku juga. Aku mau lamar kamu secepatnya..”
“Kita jadi nikah mas?”
“Jadilah.. emang kenapa?”
“Dengan kondisi saat ini?”
“Lha emang kenapa? Dibatalin aja? Trus emang Kamu mau mati sebagai perawan?” tanyaku padanya sambil tersenyum. Menyatakan bahwa aku tak bermaksud serius.
“Ih mas mah pertanyaannya nyebelin. Mentang-mentang udah gak perjaka.. sombooong...” rajuknya dengan wajah yang menggemaskan. Melihat wajahnya seperti tadi menjadi hal paling menyenangkan sejak pengumuman dari ketua PBB yang merusak hari semua orang.
“Lho iya lho.. daripada mati perawan, gawat. Ntar tali pocong kamu ada yang nyuri..” lanjutku menggodanya. Kami butuh hiburan ditengah kabar buruk yang ada. Dan menggodanya bisa jadi hiburan yang terbaik bagiku.
“Iiih maas jahaaaaat....”
Kami tergelak.
“Jadi Rhea.. kita sepakat ya untuk bertahan hidup..” tanyaku sambil genggam jemarinya
“Iyalah.. masalah hidup atau mati itu bukan urusan kita. Urusan kita hanya berusaha. Kita gak boleh takut mati, tapi kita jangan cari mati...”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Singkat tapi dalem. Aku merasa 30 hari kedepan akan menjadi kisah seru yang mendebarkan. Huff... menyongsong bencana besar dengan ditemani oleh calon istri yang mantan jin, beserta seorang manajer yang ajaib. Kurang seru apa coba? Dan... aku teringat tentang pengalaman kemarin saat menembus masa lalu. Wulan. Aku ternyata pernah punya episode kehidupan dengan Wulan. Jin misterius yang berwajah peri. Wulan sebagai apa ya dimasa itu? Apa perlu aku kembali memasuki pintu kenangan itu. Tapi apa manfaatnya?
Aduh.. ini jadi terlalu ribet.
Aku sudah tua, kebanyakan mikir gak baek buat jantungku.
“Hey ngelamun aja!” kata Rhea sambil menepuk lenganku, “dah yuk kita gabung keluar sana. Lagi pada masih heboh kayaknya..”
Aku setuju dan kemudian melangkah keluar menuju lobby. Sepertinya di lobby sana banyak orang yang tidak sebijak Rhea. Terdengar suara tangis dari beberapa orang. Salah satunya ternyata Emon. Oh sudah siuman tampaknya. Malah saat ini tangisnya terdengar yang paling kencang.
Aku sendiri masih terlalu bingung untuk merespon kejadian ini. Sambil melangkah aku terus berpikir. Berpikir apa aku pun tak pasti. Karena tak tahu apa yang akan terjadi dalam 30 hari kedepan. Yang jelas aku dan Rhea sudah sepakat, untuk hadapi ketidak pastian ini secara bersama-sama. We will face the Killing Rain with the spirit to survive. Aku dan Rhea. Together.
Mengingat ini, membuat aku tersenyum.
Sampai di Lobby aku segara disambut oleh Emon sambil menangis meraung-raung, “Yey kemana aja siiih...jangan tinggalin Emoooooon.... Emon takuuuuut.... ayo pulang buruan ke Jakarta..”
Aduh aduuh....
Sepertinya perjuangan kami untuk tetap bertahan hidup dalam harus menyertakan Emon.
Mengingat ini, membuat aku menangis.
Huhuhu....
[Bersambung]
Dilayar terlihat seorang lelaki dengan rambut putih melangkah. Matanya sipit dan kulitnya sungguh bersih. Dengan bahasa Inggris fasih, sang ketua PBB berkebangsaan Jepang mulai berkata. Tanpa naskah apapun. Setelah berbasa basi dengan sangat singkat, ia mulai masuk ke inti berita yang kami tunggu-tunggu, “Saudara-saudarku sekalian, saat ini kemanusiaan kembali menemui cobaan. Setelah dulu kita disatukan oleh COVID-19, kali ini kita kembali menghadapi ujian yang tak bisa dielakkan..”
Emon menyenggol-nyenggol lenganku minta bantuan agar aku menterjemahkan apa yang sedang dikatakan oleh ketua PBB. Rasanya di ruangan ini cuma Emon yang tidak paham, “ngomong apa sih dia? Kasih tau eike duunk..”
“Sssst....” jawabku sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir, “brisik lu ah. Masih pembukaan. Makanya lu jangan banyak tanya dulu...”
Emon mengangguk pasrah. Aku kembali memasang kuping baik-baik agar bisa paham. Bagaimanapun bahasa inggris bukan bahasa utamaku, jadi aku tetap harus fokus untuk bisa mengerti yang ia ucapkan.
“Kini, yang kita hadapi adalah hujan meteor. Laporan dari terima dari beberapa lembaga antariksa menyatakan bahwa dalam beberapa waktu kedepan orbit bumi bersinggungan dengan jalur lintasan sekumpulan meteor...” Ketua PBB itu berhenti sejenak sembari membenarkan letak kacamatanya. Sebenarnya tak ada yang salah dengan posisi kacamatanya. Aku merasa ia hanya sedang grogi, “sayangnya, kali ini hujan meteor yang kita hadapi bukan sekedar melintasi langit bumi kita. Mereka akan masuk menembus atmofser kita. Sebagian akan hangus terbakar oleh perisai alami yang kita miliki, namun sebagian lainnya tidak akan habis terbakar karena memiliki ukuran yang cukup besar.
Kembali ia terdiam. Begitu pula aku, Rhea, Firdaus, Pak Wahyu dan para undangan lain. Hanya Emon yang terlihat gelisah seperti orang sedang menahan pipis. Keterkejutanku menjadikan aku lupa bahwa aku sudah berjanji untuk memberi tahu apa yang sedang diucapkan.
“Kenapa bro? Kasih tau dong..” bisiknya lagi.
“Ntar!” sentakku pada Emon. Bukannya aku gak mau ngasih tau sekarang, tapi aku khawatir melewatkan informasi penting. Emon kembali terdiam, tapi ia seperti hendak menangis.
“Saudara-saudaraku.. ini bukanlah film Hollywood. Ini adalah ancaman nyata. Pada tahun 2013 lampau, sebuah meteor berukuran 20 meter masuk ke atmofser bumi dan meledak di Chelyabinsk, Russia. Meteoritnya, atau bagian-bagian kecil dari meteor besar, jatuh di berbagai daerah dan bola-bola api melaju di langit Russia. Suara ledakan kencang yang memecahkan jendela dan merusak gedung-gedung. Lebih dari 4000 gedung melaporkan kerusakan pada jendelanya. Ledakan meteor itu disebut-sebut punya kekuatan 30 kali lebih besar dari bom atom di Hiroshima. Itu dampak dari satu meteor saja. Sementara yang kita hadapi saat ini adalah lebih dari satu. Jumlahnya cukup banyak. Puluhan mungkin juga ratusan. Bila hanya satu atau dua kita masih bisa membelokkan arah meteor. Tapi dengan jumlahnya yang ratusan maka pilihannya adalah mengevakuasi penduduk. Tapi... kembali lagi ke masalah utama tadi, kemanakah akan kita evakuasi bila jumlah meteor tersebut ratusan? Mereka akan datang secara bergelombang. Gempuran pertama kami duga jumlahnya tidak terlalu banyak. Tapi tetap saja merusak. Setelah itu akan mereda beberapa saat. Tapi bukan berarti kita beristirahat. Pola kehidupan akan berubah drastis bagi yang masih bertahan hidup. Cuaca, sumber kehidupan, budaya, peradaban. Semua akan berubah.”
Ia terdiam lagi untuk beberapa detik, dan kemudian kembali melanjutkan, “Yang kedua adalah waktu tumbukan. Saya bukan bicara tentang ancaman dalam beberapa tahun kedepan, beberapa bulan kedepan. Bukan. Deep impact pertama akan terjadi dalam hitungan hari. Waktu kita hanya sekitar 30 hari. Paling lama sebulan waktu yang kita miliki untuk menikmati sinar mentari, menikmati semilir angin yang sejuk, sayuran yang segar, air yang jernih. Karena setelah itu, tumbukan bisa terjadi kapan saja. Bisa siang ataupun malam. Bisa dibelahan bumi Amerika ataupun di Eropa, bisa di Asia bisa mana saja. Dan saat itu terjadi, saya tegaskan. Itu bukan akhir dari bumi kita. Karena ukurannya tidak ada yang cukup besar untuk menghancurkan bumi. Bumi tidak akan hancur, bumi tetap ada hanya saja bumi akan menjadi merana. Populasi tidak akan musnah. Memang akan ada yang mati. Tapi akan ada pula yang selamat. Hanya saja sayangnya, saya tak tahu mana yang lebih beruntung apakah yang tewas atau yang berhasil bertahan hidup...”
Ketua PBB terhenti. Ia terguncang oleh ucapan spontan yang keluar dari mulutnya sendiri. Tampak dari bibirnya yang bergetar. Aku sendiri tertegun. Ini seperti vonis mati massal. Dan dalam sekejap keriuhan terjadi di lobby KBRI. Beberapa orang menggemakan takbir.
“Aduuh ada apa sihhh..... kasih tau Emon doong..” jerit Emon panik. Melihat kegaduhan ruangan Emon ikut tersulut tanpa tahu apa yang terjadi.
“Bumi mau ancur bro..”
“Aaaaaaaah.... “ jeritnya lagi, “Ancur gimana?? Elu jangan becanda, gak lucu!!”
Hilang sudah yey yey nya Emon. Baru kali ini aku mendengar ia berteriak dengan elu-eluan pakai suara berat. Tapi aku tak terlalu minat untuk membahas itu. Aku ceritakan pada Emon dengan nada getir tentang hujan meteor. Ia mendengarkan dengan seksama. Setelah itu Emon pingsan.
***
Aku berada di ruang workshop yang kini kosong melompong. Acaraku dibatalkan. Hanya ada aku dan Rhea. Berdua Sama-sama bengong. Kabar tadi sepertinya terlalu berat bagi otak kami. Emon sendiri tadi masih belum siuman.
“Any comment?” tanya Rhea pelan.Sebenarnya Ia sendiri tak berniat bertanya, pandangannya kosong. Memandang ke arahku pun tidak.
Aku hanya menghela nafas. Tak juga berniat menjawab. Masalah ini terlalu berat untuk dibahas sekarang.
“Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Vania..” tiba-tiba Rhea berkata
“Tentang apa?” tanyaku heran. Terpancing juga untuk berkata-kata.
“Tentang divonis mati.. saat ia menderita penyakit dan divonis mati oleh dokter, ternyata seperti inilah rasanya..”
Aku paham. Tadi akupun sempat merasakan itu. Saat hidup tinggal 30 hari. Bagaimana rasanya? Aneh, untuk saat ini terasa aneh. Mungkin sama saat seperti kita baru menabrak sesuatu. Masih berasa kaget. Sakit belum menjalar. Tapi dalam beberapa hari kedepan mungkin akan ada reaksi yang extrem atas kenyataan ini, “tapi kita belum tentu mati. Bisa saja kita bagian dari yang selamat. Ini kan bukan kehancuran total...”
Rhea hanya terdiam mendengar jawabanku. Aku yang akhirnya kembali bertanya,“Oiya Rhea.. kamu memilih selamat atau mati?”
“Maksud kamu apa?”
“Ingat ucapan ketua PBB tadi? Bagi yang selamat saat tumbukan terjadi dan tetap hidup, mungkin akan mengalami suatu pola kehidupan baru yang luar biasa beratnya. Kamu bayangkan, bisa jadi langit tertutup asap tebal hingga matahari tidak bisa menembus langit bumi. Kita hidup dalam gelap. Suhu mungkin akan turun drastis. Sumber makanan alami akan menyusut. Air bersih mungkin jadi langka.. karena itulah dia tadi berkata, tak tahu mana yang lebih beruntung. Mereka yang tewas atau mereka yang bertahan hidup...”
Rhea kembali terdiam.
“Andai kamu bisa memilih, kamu memilih hidup atau mati?”
“Udah lah mas.. gak baik berandai-andai. Kadang aku merasa hidup itu bukan pilihan kok. Seolah-olah saja itu suatu pilihan, tapi tak jarang pula kita sebenarnya sedang dipaksa untuk tunduk pada takdir. Jalani saja hidup ini...” jawabnya bijak. Sama seperti Rhea yang aku kenal dulu.
Tiba-tiba Rhea menatapku dan bertanya, “Oh iya Mas Danang.. aku boleh ikut pulang ke Jakarta?”
“Boleh lah.. kapan? Lusa ya?”
“Iya.. aku boleh pinjam uang mas Danang untuk beli tiket pulang?”
“Boleh lah.. apa gunanya uang sekarang?” tanyaku penuh ironi. Sepertinya aku mulai meninggalkan tahapan kaget dan mulai masuk ke tahap merasakan sakit, “kamu beli aja tiketnya. Berapapun harganya”
“Makasih mas.. aku ingin ketemu orang tuaku..”
“Aku juga. Aku mau lamar kamu secepatnya..”
“Kita jadi nikah mas?”
“Jadilah.. emang kenapa?”
“Dengan kondisi saat ini?”
“Lha emang kenapa? Dibatalin aja? Trus emang Kamu mau mati sebagai perawan?” tanyaku padanya sambil tersenyum. Menyatakan bahwa aku tak bermaksud serius.
“Ih mas mah pertanyaannya nyebelin. Mentang-mentang udah gak perjaka.. sombooong...” rajuknya dengan wajah yang menggemaskan. Melihat wajahnya seperti tadi menjadi hal paling menyenangkan sejak pengumuman dari ketua PBB yang merusak hari semua orang.
“Lho iya lho.. daripada mati perawan, gawat. Ntar tali pocong kamu ada yang nyuri..” lanjutku menggodanya. Kami butuh hiburan ditengah kabar buruk yang ada. Dan menggodanya bisa jadi hiburan yang terbaik bagiku.
“Iiih maas jahaaaaat....”
Kami tergelak.
“Jadi Rhea.. kita sepakat ya untuk bertahan hidup..” tanyaku sambil genggam jemarinya
“Iyalah.. masalah hidup atau mati itu bukan urusan kita. Urusan kita hanya berusaha. Kita gak boleh takut mati, tapi kita jangan cari mati...”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Singkat tapi dalem. Aku merasa 30 hari kedepan akan menjadi kisah seru yang mendebarkan. Huff... menyongsong bencana besar dengan ditemani oleh calon istri yang mantan jin, beserta seorang manajer yang ajaib. Kurang seru apa coba? Dan... aku teringat tentang pengalaman kemarin saat menembus masa lalu. Wulan. Aku ternyata pernah punya episode kehidupan dengan Wulan. Jin misterius yang berwajah peri. Wulan sebagai apa ya dimasa itu? Apa perlu aku kembali memasuki pintu kenangan itu. Tapi apa manfaatnya?
Aduh.. ini jadi terlalu ribet.
Aku sudah tua, kebanyakan mikir gak baek buat jantungku.
“Hey ngelamun aja!” kata Rhea sambil menepuk lenganku, “dah yuk kita gabung keluar sana. Lagi pada masih heboh kayaknya..”
Aku setuju dan kemudian melangkah keluar menuju lobby. Sepertinya di lobby sana banyak orang yang tidak sebijak Rhea. Terdengar suara tangis dari beberapa orang. Salah satunya ternyata Emon. Oh sudah siuman tampaknya. Malah saat ini tangisnya terdengar yang paling kencang.
Aku sendiri masih terlalu bingung untuk merespon kejadian ini. Sambil melangkah aku terus berpikir. Berpikir apa aku pun tak pasti. Karena tak tahu apa yang akan terjadi dalam 30 hari kedepan. Yang jelas aku dan Rhea sudah sepakat, untuk hadapi ketidak pastian ini secara bersama-sama. We will face the Killing Rain with the spirit to survive. Aku dan Rhea. Together.
Mengingat ini, membuat aku tersenyum.
Sampai di Lobby aku segara disambut oleh Emon sambil menangis meraung-raung, “Yey kemana aja siiih...jangan tinggalin Emoooooon.... Emon takuuuuut.... ayo pulang buruan ke Jakarta..”
Aduh aduuh....
Sepertinya perjuangan kami untuk tetap bertahan hidup dalam harus menyertakan Emon.
Mengingat ini, membuat aku menangis.
Huhuhu....
[Bersambung]
namakuve dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup