- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
343K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2181
HEADACHE MAN
Gue sudah super frustasi dengan keadaan yang ada. Gue mendapatkan tekanan dari sana sini. Apalagi pembahasan urusan pernikahan ini, membuat gue semakin nggak nyaman. Gilanya, rasa ketidaknyamanan tersebut kenyataannya datang dari orang yang sangat gue sayangi, yaitu ibu gue sendiri. Tekanan ini makin terasa berat dan menyakitkan karena gue harus berkonfrontasi dengan Mama.
Di sisi lain ketika gue sedang tertimpa musibah karena laptop gue yang hilang, pekerjaan gue di kantor malah lagi banyak-banyaknya. Banyak data gue yang hilang, sehingga membuat gue harus kembali menyusun dan mengumpulkan ulang data yang gue butuhkan untuk penyelesaian pekerjaan gue.
Saat itu pun, gue sedang mengerjakan proyek besar dari salah satu BUMN terkemuka di negeri ini yang tentunya ada tekanan tersendiri juga. Apalagi gue diharapkan untuk standby terus di kantor, bahkan selepas office hour.
Efek domino dari segala masalah di atas membuat urusan tesis gue pun terbengkalai. Gue ngerasa buntu. Ide gue banyak yang mentok. Gue ga bisa diskusi dengan siapapun dan ga tau gimana cara solving problem yang ada saat itu.
Gue bener-bener keabisan ide untuk nyelesein tesis gue. Bayang-bayang horor dimana gue harus membayar denda keterlambatan lulus (yang nominalnya bisa mencapai puluhan juta kalau gue semakin lama lulus) pun terus datang.
Di sini gue sangat rindu Emi. Biasanya ketika gue sedang kebingungan, buntu, dan banyak masalah, akan ada dia yang bisa membantu gue mencari solusi atau bahkan memberikan solusi terbaik untuk semua permasalahan gue. Kali ini, gue harus berusaha mencari jalan keluarnya sendiri.
Dulu, biasanya ketika suntuk gue bisa mencari pelarian dengan coba latihan band dengan anak-anak. Walaupun memang belum ada panggungan lagi, tapi latihan band di studio akan cukup membuat diri gue sedikit refreshing.
Tapi kali ini gue nggak bisa. Kenapa? Karena band gue masih vakum karena urusan dengan Arko belum menemukan titik terang. Selain itu ya kembali lagi, di band ini nggak ada Emi yang membantu menyelesaikan masalah band gue.
Sebelum kejadian cekcok antara gue dan Emi di Coffee Shop, dia mengajak gue untuk menurunkan ego gue dengan mengusulkan pertemuan bersama Arko dan juga keluarganya. Gue yang merasa nggak dalam posisi bersalah masih belum mau untuk mengiyakan ide Emi ini. Gue masih berpikir, yang salah itu Arko dan anak-anak lainnya pun beranggapan yang sama.
Dalam hal ini, keluarga yang gue maksud adalah istrinya. Karena band ini adalah keluarga kedua bagi kami, jadi pasangan masing-masing dari personil adalah anggota band juga (secara non-teknis). Kecuali gue dan Emi yang notabene-nya adalah sama-sama anggota band. Walaupun Emi adalah Manajer, tapi Emi adalah anggota ke-6 di band.
Keinginan gue untuk fokus menyelesaikan masalah gue satu per satu menjadi semakin buyar. Gue benar-benar butuh sosok Emi. Tapi Emi sendiri sedang sengaja gue jauhi dulu, untuk menghindari keributan-keributan yang sebetulnya nggak penting. Di saat ini pulalah akhirnya gue nggak kuat. Gue berserah diri kepada Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya tempat gue curhat.
Ini pula yang membuat emosi gue menjadi sangat tidak stabil. Mungkin bagi sebagian orang, mendapati beberapa masalah dalam satu waktu dapat mereka selesaikan dengan baik. Mereka memiliki cara-caranya tersendiri untuk menyelesaikan masalah mereka tersebut. Tapi tidak dengan gue. Ketika gue merasa sangat capek dan frustasi seperti saat ini, yang ada di pikiran gue hanya : semuanya akan berakhir pada kegagalan.
Gue mengeluh kepada Tuhan. Tetapi bukan untuk menanyakan kenapa segala cobaan seperti ini dialamatkan ke diri gue. Melainkan gue ingin menanyakan, kenapa gue nggak bisa menyelesaikan segala sesuatu yang menjadi konsekuensi tindakan yang gue ambil. Pada titik ini pulalah tingkat ketergantungan gue dengan Emi terasa sangat besar.
Di sini gue akhirnya semakin sadar bagaimana berharganya seorang Emi di hidup gue. Ketika gue dan dia berpisah untuk beberapa waktu, hidup gue jadi terasa kacau. Nggak ada teman diskusi dan orang yang memberikan solusi untuk setiap permasalahan gue.
“….Emi belum bisa gue hubungi. Gue nggak mau ribut dengan dia. Kondisi mental dan emosi gue sangat labil. Nanti adanya bukannya dapat solusi, Emi malah akan semakin sakit hati.” Ujar gue dalam hati.
Tanpa memperkeruh suasan, gue jatuh ke pilihan terakhir gue dengan lebih banyak berdiam diri di rumah. Gue bener-bener berdiam diri. Gue nggak bertegur sapa dengan Mama maupun Dania, walaupun ketika kami berada di satu atap yang sama. Gue lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk bermain game, menulis artikel atau sekedar menulis unek-unek gue, atau malah menonton beberapa film dari DVD yang gue beli.
“Kamu itu kok makin nggak jelas aja sih kak?” kata Mama suatu siang.
“Nggak jelas gimana sih?” tanya gue heran.
“Sekarang kamu malah ada di rumah terus. Kamu nggak kerja sama sekali. Cuma main game, tiduran, nonton mulu. Kamu itu kerjanya niat nggak?”
“Nggak bosen amat Ma ngebahas kerjaan aku terus? Emang kerja aku kenapa sih? Aku lagi pegang proyek gede di BUMN. Emang harus banget diliatin dan dikasih tau ke semua orang kalau aku lagi kerjain ini itu? Terus kalaupun aku jelasin apa yang lagi aku kerjain, emang Mama bakalan ngerti? Nggak juga kan?”
“Ya bagus kalau kamu emang ada yang dikerjain. Tapi ya kalau misalnya mau kerja itu yang bener. Liat orang-orang kalau kerja. Mereka kalau berangkat ya pagi, terus pulangnya sore. Jangan kayak kamu sekarang, kadang kerja kadang nggak. Gimana orang ga mikir kamu kerja beneran apa nggak.”
“Lah, aku begini kan karena aku nggak terikat sama perusahaan manapun. Status aku freelance di kantor. Jadi ya bebas. Aku bisa ngerjain kerjaan aku dimana aja. Di rumah bisa, di kantor juga bisa. Yang penting pekerjaan aku kelar sesuai deadline. Kehadiran aku di kantor mah ga perlu di pikirin, santai-santai aja. Kantor aku fleksibel.”
“Ya itu mah sama aja nggak jelas namanya.”
“Perlu berapa kali lagi sih aku jelasin ke Mama soal kerjaan aku? Aku freelance, Ma. Bukan sama kayak tetangga yang pada kerja jadi PNS atau Dania yang kerja di bank. Lagipula aku kerja juga jujur, aku dapet kantor yang jam kerjanya fleksibel. Masa segitu aku masih dibilang nggak jelas? Tapi coba Mama pikir, dari hasil KERJA NGGAK JELAS yang Mama pikirin itu, aku sekarang udah punya mobil sendiri dari hasil jerih payah aku. CASH! NGGAK NYICIL! Kurang jelas apa lagi Ma?”
“Ya pokoknya orang kerja itu ya berangkat ke kantor walaupun jam kerjanya fleksibel sekalipun. Itu namanya niat kerja. Bukan tidur-tiduran sambil main game kayak kamu begini. Udah tidurnya tengah malem, bangunnya juga siang. Kerja apaan coba kayak begitu?”
“Lah kalau developer game gimana? Kerjaan dia tiap hari main game loh. Dapet duit dari bikin game. Terus berarti kalau Mama berpikir begitu, Mama liat mereka nggak kerja serius dong? Nggak kerja yang bener. Soalnya kerjaan mereka cuman main game melulu di depan TV.”
“…..” Mama diam saja.
“Main game itu ada tim nya bahkan sekarang. Kalau ikut kejuaran, hadiahnya ratusan juta, bahkan miliaran. Terus itu namanya nggak berhasil? Punya duit miliaran hasil bikin game atau main game itu namanya tetep gagal? Terus yang berhasil yang gimana? Yang pake kemeja dan dasi terus berangkat pagi pulang sore gitu? Ma, sales panci juga suka begitu dandanannya.”
“Kamu kalau dikasih tau suka ngebales.”
“Coba Mama inget, bahkan dulu Papa kalau berangkat kerja kadang-kadang cuma pake kaos polo dan celana pendek. Baru deh di kantor Papa ganti celana panjang dan kemeja kan? Udah gitu emang Papa kalau kerja berangkatnya pasti pagi? Nggak kan? Papa kadang kerjain kerjaan di rumah tanpa berangkat ke kantor juga kayak aku searang. Soalnya kadang aku pulang sekolah sore aja ternyata Papa di rumah…”
“Ya beda dong, papamu kan yang punya kantor.”
“Nah, sama aja kan? Mama kan mempermasalahkan ‘kerja nggak bener, nggak serius’. Jadi mau CEO, Direktur Utama, Office Boy, pegawai tetap, atau freelance harusnya sama aja dong? Semuanya harus sesuai standar ‘berangkat pagi, pulang sore’ sama kayak yang Mama bilang tadi. Kenapa sekarang jadi menilai orang dari kegiatannya?”
“Capek Mama ribut sama kamu.”
“Ma, sekarang beda bidang dan posisi ya beda jam kerjanya. Bahkan jaman sekarang, bisa namanya kerja mobile alias kerja tanpa harus ada di kantor tanpa terikat waktu tertentu. Mama tau? Lagipula kalaupun aku jadi pegawai tetap di kantor, aku nggak selalu harus datang jam 9 pagi pulang jam 5 sore Ma. Terus kalau aku nanti beneran jadi pegawai tetap dan kebiasaannya masih tetep kayak begini, aku tetep dianggep kerja nggak bener? Bagaimanapun cara kerja masing-masing pekerjaan saat ini, semuanya menghasilkan uang yang bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari loh.”
“Ya beda dong. Orang kerja bener itu nggak akan banyakan dikamar.”
“Ini kok jadi muter-muter aja? Kan tadi udah aku jelasin analoginya. Mama itu umur aku satu tahun udah jadi istri Direktur Utama kan? Masa nggak bisa bedain penjelasan aku tadi?” Nada bicara gue mulai meninggi dan gue mulai nggak sabar.
“Mama ngerti. Tapi Papamu dulu nggak kayak kamu gini waktu awal-awal membangun kantor.”
“Kan aku bilang tadi. Setiap orang punya cara kerjanya masing-masing Ma. Mungkin cara aku ini salah kalau ditakar dengan standar jaman dulu. Cara kerja orang dulu sama sekarang juga udah beda. Dulu teknologi masih belum secanggih sekarang. Kalau sekarang kerjaan aku pun bisa aku kirim sekarang juga dari rumah, tanpa aku harus datang ke kantor. Sedangkan dulu, Papa harus memeriksa segalanya manual setiap kerjaan yang masuk. Papa harus pake kertas, corat coret sana sini, ngitung pake kalkulator manual, dan sebagainya. Sedangkan sekarang, ku bisa ngelakuin itu semua bahkan dari HP ini doang Ma. Jaman udah beda.”
“Kamu kalau di bilangin sekarang ini makin susah. Capek Mama ngomong sama kamu. Gimana nanti kamu mau nikah kak? Mama aja kamu giniin, istri kamu bisa nggak kamu dengerin. Emang ada yang mau nikah sama cowok yang kerjanya nggak jelas kayak kamu gini?”
“Lah kenapa jadi bawa-bawa urusan nikah lagi sih? Lagian emang dengan aku begini udah pasti aku bakalan gagal ngurusin rumah tangga? Tau darimana Mama teori begini?”
“Ya soalnya kamu aja ngurus diri kamu sendiri aja nggak jelas begini gimana mau ngurusin anak orang nanti? Tanggung jawab kamu gimana ke keluarganya?”
“Nggak jelas? Mau muter gimana lagi aku jelasinnya? Terserah Mama aja deh kalo gitu. Aku jelasin kayak apapun juga, aku bakalan tetep dibilang nggak jelas cuma karena aku jadi freelance. Intinya mah. Nanti giliran aku jadi pegawai tetap, tetep dibilang nggak jelas juga kan karena jam kerja aku fleksibel. Yaudah sekalian aja anggep aku nggak bisa kerja. Toh bagaimanapun usaha aku, aku bakalan terus dibilang nggak jelas sama orang tua aku sendiri.” Gue sangat emosional menghadapi Mama yang terus menerus seperti ini.
Gue membanting pintu kamar gue dengan amat kencang, padahal di depan pintu masih ada Mama berdiri. Gue tau itu salah dan sangat nggak sopan. Nggak baik untuk dilakuin, apalagi ke orang tua sendiri. Gue merasa sangat bersalah karena melakukan hal ini.
Tapi gue juga nggak bisa terus menerus berada dalam posisi seperti ini. Gue selalu disalahkan orang tua gue, apapun yang gue lakukan. Hanya karena gue nggak menjalani hidup seperti yang mereka inginkan. Gue seakan nggak boleh menentukan jalan hidup gue sendiri.
Dulu, Mama nggak pernah seperti ini. Memang ada kecenderungan untuk meminta Papa menjadi seperti apa yang menurut Mama benar, tapi nggak gini-gini amat. Dari dulu memang kedua orang tua gue membiasakan diri untuk hormat kepada orang lain.
Kalau ada kesalahan apapun, pasti yang disalahkan gue dulu di depan orang lain, barulah mereka akan meminta penjelasan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Itu karena kedua orang tua gue sangat peduli terhadap perasaan orang lain. Gue yakin, Mama bersikap kayak begini karena nggak enak dengerin omongan orang dan dapet masukan dari orang tentang masa depan gue.
Hal ini pulalah yang akhirnya menjadi bumerang. Sikap nggak enakan sama orang lain inilah yang membuat Papa seringkali dimanfaatkan sebagian orang. Akhirnya malah menyisakan kesusahan bagi Mama. Perusahaan habis, harta benda habis, semua-semua habis tapi mereka-mereka yang dulu ditolong Papa dan dipikirkan benar-benar perasaan dan nasibnya oleh Papa, malah menyusahkan keluarga Papa pada saat ini.
Ibaratnya, orang-orang yang dulu dibelain abis-abisan supaya tetap bertahan di tengah gempuran krisis finansial negara saat itu malah menyusahkan keluarga Papa sendiri pada akhirnya. Papa ngebelain mereka agar keluarga mereka tetap bisa makan, anak-anaknya bisa tetap sekolah, bahkan bapaknya (yang saat itu notabenenya sedang bekerja untuk Papa) juga akhirnya disekolahkan agar bisa jadi sarjana dan mendapatkan kehidupan yang layaknya di masa depan nanti.
Gue dan Dania hampir aja putus sekolah karena nggak ada lagi yang tersisa dari peninggalan Papa karena semuanya habis akibat ulah anj*ng-anj*ng yang selalu dipikirkan oleh Papa tersebut. Urusan perusahaan dulu itu pun akhirnya sangat membuat gue trauma.
Orang-orang yang pernah ditolong sama Papa bisa sebegitu jahatnya sama kami. Apa ada di antara mereka yang mikirin perasaan, masa depan, dan hidup gue, Mama, dan adik gue sepeninggal Papa? Nggak ada. Mereka mencoba menjaga silaturahmi dengan kami aja nggak. Bangs*t emang.
Nah, sekarang, hal ini masa mau diulang lagi? Tapi datangnya sekarang dari Mama sendiri. Berawal dari Mama yang malah lebih mikirin kepentingan dan perasaan saudara-saudara gue yang sebenarnya nggak peduli-peduli amat dengan keberadaan gue.
Kemudian gue selalu berakhir disalahkan ketika gue mengutarakan perasaan gue ke Mama. Bukannya gue ditenangkan atau dibela, gue malah langsung disalahkan karena gue dianggap nggak tau berterima kasih masih dianggap keluarga oleh mereka dan pernah dibantu dulu ketika Papa baru saja meninggal.
Serangan ke gue dari Mama, nggak berhenti sampai disitu. Mama selalu berpikir kalau pekerjaan yang gue jalani saat ini dianggap nggak jelas terus. Puncaknya ketika Mama mempertanyakan hubungan gue dengan Emi. Gue nggak mau ribut terus sama Mama. Tapi keadaanlah yang membuat gue harus melalui fase kontra dengan Ibu gue sendiri. Eh ketika gue ingin mencoba mencari pencerahan dan kenyamanan di keluarga Emi, ibunya Emi pun menanyakan ke gue mengenai hubungan gue dengan Emi.
Kepala gue rasa-rasanya mau pecah.
---
Beberapa hari ini Emi menanyakan keadaan gue dan mencari keberadaan gue. Tapi nggak satupun gue balas. Gue nggak mau kondisi emosi gue yang kacau ini memperkeruh keadaan gue dan Emi. Dia satu-satunya tempat gue mencari kenyamanan. Gue nggak mau dia yang seharusnya gue lindungi, malah jadi sakit hati karena sikap gue yang sedang emosional ini.
Sampai pada satu bahasan telpon di sore hari yang mendung, jelang gue pulang dari kantor.
EMI CALL
See, benar kan? Pasti akan seperti ini sesuai dengan dugaan gue. ini yang membuat gue semakin kacau aja. Emang ini salah gue, nggak langsung cerita ke Emi tentang apa saja yang sudah gue lalui selama gue jauh dari Emi. Gue bertambah salah ketika gue nggak bisa kasih alasan kenapa gue masih juga belum dateng ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Emi.
Andai Emi tau kalau gue sangat amat nggak tega melihat orang-orang yang dekat dengan gue dirawat di rumah sakit. Apalagi gue sudah diberitahu kalau ibunya Emi ini masuk rumah sakit karena terkena serangan stroke. Hancur hati gue mendengar ini. Gue juga bisa membayangkan bagaimana perasaan hancurnya Emi dan bagaimana dia sangat membutuhkan support dari gue.
Tapi kondisi diri gue saat itu sedang nggak karuan. Gue saja butuh support untuk diri gue sendiri. Bagaimana bisa gue juga memberikan support ke Emi. Gue hanya takut gue malah berakhir menyakiti Emi.
Kondisi mental gue yang sedang drop ini pun membuat gue flashback kejadian dulu ketika Papa pernah dirawat satu minggu karena diabetes, hingga akhirnya Papa meninggal karena penyakitnya itu. Selama Papa di rumah sakit, gue hanya menjenguk satu kali saja. Itu semua karena gue nggak pernah tega melihat orang-orang dirawat di rumah sakit.
Akhirnya malam itu, gue pun menyerah. Gue menangis sejadi-jadinya ditengah curhat gue kepada Tuhan. Satu hal yang amat langka untuk gue lakukan dalam kehidupan gue. “Laki-laki juga boleh menangis.” Itu yang ada dalam pikiran gue.
Lagu yang Pas menggambarkan perasaan gue, HEADACHE MAN by the GazettE
Di sisi lain ketika gue sedang tertimpa musibah karena laptop gue yang hilang, pekerjaan gue di kantor malah lagi banyak-banyaknya. Banyak data gue yang hilang, sehingga membuat gue harus kembali menyusun dan mengumpulkan ulang data yang gue butuhkan untuk penyelesaian pekerjaan gue.
Saat itu pun, gue sedang mengerjakan proyek besar dari salah satu BUMN terkemuka di negeri ini yang tentunya ada tekanan tersendiri juga. Apalagi gue diharapkan untuk standby terus di kantor, bahkan selepas office hour.
Efek domino dari segala masalah di atas membuat urusan tesis gue pun terbengkalai. Gue ngerasa buntu. Ide gue banyak yang mentok. Gue ga bisa diskusi dengan siapapun dan ga tau gimana cara solving problem yang ada saat itu.
Gue bener-bener keabisan ide untuk nyelesein tesis gue. Bayang-bayang horor dimana gue harus membayar denda keterlambatan lulus (yang nominalnya bisa mencapai puluhan juta kalau gue semakin lama lulus) pun terus datang.
Di sini gue sangat rindu Emi. Biasanya ketika gue sedang kebingungan, buntu, dan banyak masalah, akan ada dia yang bisa membantu gue mencari solusi atau bahkan memberikan solusi terbaik untuk semua permasalahan gue. Kali ini, gue harus berusaha mencari jalan keluarnya sendiri.
Dulu, biasanya ketika suntuk gue bisa mencari pelarian dengan coba latihan band dengan anak-anak. Walaupun memang belum ada panggungan lagi, tapi latihan band di studio akan cukup membuat diri gue sedikit refreshing.
Tapi kali ini gue nggak bisa. Kenapa? Karena band gue masih vakum karena urusan dengan Arko belum menemukan titik terang. Selain itu ya kembali lagi, di band ini nggak ada Emi yang membantu menyelesaikan masalah band gue.
Sebelum kejadian cekcok antara gue dan Emi di Coffee Shop, dia mengajak gue untuk menurunkan ego gue dengan mengusulkan pertemuan bersama Arko dan juga keluarganya. Gue yang merasa nggak dalam posisi bersalah masih belum mau untuk mengiyakan ide Emi ini. Gue masih berpikir, yang salah itu Arko dan anak-anak lainnya pun beranggapan yang sama.
Dalam hal ini, keluarga yang gue maksud adalah istrinya. Karena band ini adalah keluarga kedua bagi kami, jadi pasangan masing-masing dari personil adalah anggota band juga (secara non-teknis). Kecuali gue dan Emi yang notabene-nya adalah sama-sama anggota band. Walaupun Emi adalah Manajer, tapi Emi adalah anggota ke-6 di band.
Keinginan gue untuk fokus menyelesaikan masalah gue satu per satu menjadi semakin buyar. Gue benar-benar butuh sosok Emi. Tapi Emi sendiri sedang sengaja gue jauhi dulu, untuk menghindari keributan-keributan yang sebetulnya nggak penting. Di saat ini pulalah akhirnya gue nggak kuat. Gue berserah diri kepada Tuhan. Tuhan menjadi satu-satunya tempat gue curhat.
Ini pula yang membuat emosi gue menjadi sangat tidak stabil. Mungkin bagi sebagian orang, mendapati beberapa masalah dalam satu waktu dapat mereka selesaikan dengan baik. Mereka memiliki cara-caranya tersendiri untuk menyelesaikan masalah mereka tersebut. Tapi tidak dengan gue. Ketika gue merasa sangat capek dan frustasi seperti saat ini, yang ada di pikiran gue hanya : semuanya akan berakhir pada kegagalan.
Gue mengeluh kepada Tuhan. Tetapi bukan untuk menanyakan kenapa segala cobaan seperti ini dialamatkan ke diri gue. Melainkan gue ingin menanyakan, kenapa gue nggak bisa menyelesaikan segala sesuatu yang menjadi konsekuensi tindakan yang gue ambil. Pada titik ini pulalah tingkat ketergantungan gue dengan Emi terasa sangat besar.
Di sini gue akhirnya semakin sadar bagaimana berharganya seorang Emi di hidup gue. Ketika gue dan dia berpisah untuk beberapa waktu, hidup gue jadi terasa kacau. Nggak ada teman diskusi dan orang yang memberikan solusi untuk setiap permasalahan gue.
“….Emi belum bisa gue hubungi. Gue nggak mau ribut dengan dia. Kondisi mental dan emosi gue sangat labil. Nanti adanya bukannya dapat solusi, Emi malah akan semakin sakit hati.” Ujar gue dalam hati.
Tanpa memperkeruh suasan, gue jatuh ke pilihan terakhir gue dengan lebih banyak berdiam diri di rumah. Gue bener-bener berdiam diri. Gue nggak bertegur sapa dengan Mama maupun Dania, walaupun ketika kami berada di satu atap yang sama. Gue lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk bermain game, menulis artikel atau sekedar menulis unek-unek gue, atau malah menonton beberapa film dari DVD yang gue beli.
“Kamu itu kok makin nggak jelas aja sih kak?” kata Mama suatu siang.
“Nggak jelas gimana sih?” tanya gue heran.
“Sekarang kamu malah ada di rumah terus. Kamu nggak kerja sama sekali. Cuma main game, tiduran, nonton mulu. Kamu itu kerjanya niat nggak?”
“Nggak bosen amat Ma ngebahas kerjaan aku terus? Emang kerja aku kenapa sih? Aku lagi pegang proyek gede di BUMN. Emang harus banget diliatin dan dikasih tau ke semua orang kalau aku lagi kerjain ini itu? Terus kalaupun aku jelasin apa yang lagi aku kerjain, emang Mama bakalan ngerti? Nggak juga kan?”
“Ya bagus kalau kamu emang ada yang dikerjain. Tapi ya kalau misalnya mau kerja itu yang bener. Liat orang-orang kalau kerja. Mereka kalau berangkat ya pagi, terus pulangnya sore. Jangan kayak kamu sekarang, kadang kerja kadang nggak. Gimana orang ga mikir kamu kerja beneran apa nggak.”
“Lah, aku begini kan karena aku nggak terikat sama perusahaan manapun. Status aku freelance di kantor. Jadi ya bebas. Aku bisa ngerjain kerjaan aku dimana aja. Di rumah bisa, di kantor juga bisa. Yang penting pekerjaan aku kelar sesuai deadline. Kehadiran aku di kantor mah ga perlu di pikirin, santai-santai aja. Kantor aku fleksibel.”
“Ya itu mah sama aja nggak jelas namanya.”
“Perlu berapa kali lagi sih aku jelasin ke Mama soal kerjaan aku? Aku freelance, Ma. Bukan sama kayak tetangga yang pada kerja jadi PNS atau Dania yang kerja di bank. Lagipula aku kerja juga jujur, aku dapet kantor yang jam kerjanya fleksibel. Masa segitu aku masih dibilang nggak jelas? Tapi coba Mama pikir, dari hasil KERJA NGGAK JELAS yang Mama pikirin itu, aku sekarang udah punya mobil sendiri dari hasil jerih payah aku. CASH! NGGAK NYICIL! Kurang jelas apa lagi Ma?”
“Ya pokoknya orang kerja itu ya berangkat ke kantor walaupun jam kerjanya fleksibel sekalipun. Itu namanya niat kerja. Bukan tidur-tiduran sambil main game kayak kamu begini. Udah tidurnya tengah malem, bangunnya juga siang. Kerja apaan coba kayak begitu?”
“Lah kalau developer game gimana? Kerjaan dia tiap hari main game loh. Dapet duit dari bikin game. Terus berarti kalau Mama berpikir begitu, Mama liat mereka nggak kerja serius dong? Nggak kerja yang bener. Soalnya kerjaan mereka cuman main game melulu di depan TV.”
“…..” Mama diam saja.
“Main game itu ada tim nya bahkan sekarang. Kalau ikut kejuaran, hadiahnya ratusan juta, bahkan miliaran. Terus itu namanya nggak berhasil? Punya duit miliaran hasil bikin game atau main game itu namanya tetep gagal? Terus yang berhasil yang gimana? Yang pake kemeja dan dasi terus berangkat pagi pulang sore gitu? Ma, sales panci juga suka begitu dandanannya.”
“Kamu kalau dikasih tau suka ngebales.”
“Coba Mama inget, bahkan dulu Papa kalau berangkat kerja kadang-kadang cuma pake kaos polo dan celana pendek. Baru deh di kantor Papa ganti celana panjang dan kemeja kan? Udah gitu emang Papa kalau kerja berangkatnya pasti pagi? Nggak kan? Papa kadang kerjain kerjaan di rumah tanpa berangkat ke kantor juga kayak aku searang. Soalnya kadang aku pulang sekolah sore aja ternyata Papa di rumah…”
“Ya beda dong, papamu kan yang punya kantor.”
“Nah, sama aja kan? Mama kan mempermasalahkan ‘kerja nggak bener, nggak serius’. Jadi mau CEO, Direktur Utama, Office Boy, pegawai tetap, atau freelance harusnya sama aja dong? Semuanya harus sesuai standar ‘berangkat pagi, pulang sore’ sama kayak yang Mama bilang tadi. Kenapa sekarang jadi menilai orang dari kegiatannya?”
“Capek Mama ribut sama kamu.”
“Ma, sekarang beda bidang dan posisi ya beda jam kerjanya. Bahkan jaman sekarang, bisa namanya kerja mobile alias kerja tanpa harus ada di kantor tanpa terikat waktu tertentu. Mama tau? Lagipula kalaupun aku jadi pegawai tetap di kantor, aku nggak selalu harus datang jam 9 pagi pulang jam 5 sore Ma. Terus kalau aku nanti beneran jadi pegawai tetap dan kebiasaannya masih tetep kayak begini, aku tetep dianggep kerja nggak bener? Bagaimanapun cara kerja masing-masing pekerjaan saat ini, semuanya menghasilkan uang yang bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari loh.”
“Ya beda dong. Orang kerja bener itu nggak akan banyakan dikamar.”
“Ini kok jadi muter-muter aja? Kan tadi udah aku jelasin analoginya. Mama itu umur aku satu tahun udah jadi istri Direktur Utama kan? Masa nggak bisa bedain penjelasan aku tadi?” Nada bicara gue mulai meninggi dan gue mulai nggak sabar.
“Mama ngerti. Tapi Papamu dulu nggak kayak kamu gini waktu awal-awal membangun kantor.”
“Kan aku bilang tadi. Setiap orang punya cara kerjanya masing-masing Ma. Mungkin cara aku ini salah kalau ditakar dengan standar jaman dulu. Cara kerja orang dulu sama sekarang juga udah beda. Dulu teknologi masih belum secanggih sekarang. Kalau sekarang kerjaan aku pun bisa aku kirim sekarang juga dari rumah, tanpa aku harus datang ke kantor. Sedangkan dulu, Papa harus memeriksa segalanya manual setiap kerjaan yang masuk. Papa harus pake kertas, corat coret sana sini, ngitung pake kalkulator manual, dan sebagainya. Sedangkan sekarang, ku bisa ngelakuin itu semua bahkan dari HP ini doang Ma. Jaman udah beda.”
“Kamu kalau di bilangin sekarang ini makin susah. Capek Mama ngomong sama kamu. Gimana nanti kamu mau nikah kak? Mama aja kamu giniin, istri kamu bisa nggak kamu dengerin. Emang ada yang mau nikah sama cowok yang kerjanya nggak jelas kayak kamu gini?”
“Lah kenapa jadi bawa-bawa urusan nikah lagi sih? Lagian emang dengan aku begini udah pasti aku bakalan gagal ngurusin rumah tangga? Tau darimana Mama teori begini?”
“Ya soalnya kamu aja ngurus diri kamu sendiri aja nggak jelas begini gimana mau ngurusin anak orang nanti? Tanggung jawab kamu gimana ke keluarganya?”
“Nggak jelas? Mau muter gimana lagi aku jelasinnya? Terserah Mama aja deh kalo gitu. Aku jelasin kayak apapun juga, aku bakalan tetep dibilang nggak jelas cuma karena aku jadi freelance. Intinya mah. Nanti giliran aku jadi pegawai tetap, tetep dibilang nggak jelas juga kan karena jam kerja aku fleksibel. Yaudah sekalian aja anggep aku nggak bisa kerja. Toh bagaimanapun usaha aku, aku bakalan terus dibilang nggak jelas sama orang tua aku sendiri.” Gue sangat emosional menghadapi Mama yang terus menerus seperti ini.
Gue membanting pintu kamar gue dengan amat kencang, padahal di depan pintu masih ada Mama berdiri. Gue tau itu salah dan sangat nggak sopan. Nggak baik untuk dilakuin, apalagi ke orang tua sendiri. Gue merasa sangat bersalah karena melakukan hal ini.
Tapi gue juga nggak bisa terus menerus berada dalam posisi seperti ini. Gue selalu disalahkan orang tua gue, apapun yang gue lakukan. Hanya karena gue nggak menjalani hidup seperti yang mereka inginkan. Gue seakan nggak boleh menentukan jalan hidup gue sendiri.
Dulu, Mama nggak pernah seperti ini. Memang ada kecenderungan untuk meminta Papa menjadi seperti apa yang menurut Mama benar, tapi nggak gini-gini amat. Dari dulu memang kedua orang tua gue membiasakan diri untuk hormat kepada orang lain.
Kalau ada kesalahan apapun, pasti yang disalahkan gue dulu di depan orang lain, barulah mereka akan meminta penjelasan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Itu karena kedua orang tua gue sangat peduli terhadap perasaan orang lain. Gue yakin, Mama bersikap kayak begini karena nggak enak dengerin omongan orang dan dapet masukan dari orang tentang masa depan gue.
Hal ini pulalah yang akhirnya menjadi bumerang. Sikap nggak enakan sama orang lain inilah yang membuat Papa seringkali dimanfaatkan sebagian orang. Akhirnya malah menyisakan kesusahan bagi Mama. Perusahaan habis, harta benda habis, semua-semua habis tapi mereka-mereka yang dulu ditolong Papa dan dipikirkan benar-benar perasaan dan nasibnya oleh Papa, malah menyusahkan keluarga Papa pada saat ini.
Ibaratnya, orang-orang yang dulu dibelain abis-abisan supaya tetap bertahan di tengah gempuran krisis finansial negara saat itu malah menyusahkan keluarga Papa sendiri pada akhirnya. Papa ngebelain mereka agar keluarga mereka tetap bisa makan, anak-anaknya bisa tetap sekolah, bahkan bapaknya (yang saat itu notabenenya sedang bekerja untuk Papa) juga akhirnya disekolahkan agar bisa jadi sarjana dan mendapatkan kehidupan yang layaknya di masa depan nanti.
Gue dan Dania hampir aja putus sekolah karena nggak ada lagi yang tersisa dari peninggalan Papa karena semuanya habis akibat ulah anj*ng-anj*ng yang selalu dipikirkan oleh Papa tersebut. Urusan perusahaan dulu itu pun akhirnya sangat membuat gue trauma.
Orang-orang yang pernah ditolong sama Papa bisa sebegitu jahatnya sama kami. Apa ada di antara mereka yang mikirin perasaan, masa depan, dan hidup gue, Mama, dan adik gue sepeninggal Papa? Nggak ada. Mereka mencoba menjaga silaturahmi dengan kami aja nggak. Bangs*t emang.
Nah, sekarang, hal ini masa mau diulang lagi? Tapi datangnya sekarang dari Mama sendiri. Berawal dari Mama yang malah lebih mikirin kepentingan dan perasaan saudara-saudara gue yang sebenarnya nggak peduli-peduli amat dengan keberadaan gue.
Kemudian gue selalu berakhir disalahkan ketika gue mengutarakan perasaan gue ke Mama. Bukannya gue ditenangkan atau dibela, gue malah langsung disalahkan karena gue dianggap nggak tau berterima kasih masih dianggap keluarga oleh mereka dan pernah dibantu dulu ketika Papa baru saja meninggal.
Serangan ke gue dari Mama, nggak berhenti sampai disitu. Mama selalu berpikir kalau pekerjaan yang gue jalani saat ini dianggap nggak jelas terus. Puncaknya ketika Mama mempertanyakan hubungan gue dengan Emi. Gue nggak mau ribut terus sama Mama. Tapi keadaanlah yang membuat gue harus melalui fase kontra dengan Ibu gue sendiri. Eh ketika gue ingin mencoba mencari pencerahan dan kenyamanan di keluarga Emi, ibunya Emi pun menanyakan ke gue mengenai hubungan gue dengan Emi.
Kepala gue rasa-rasanya mau pecah.
---
Beberapa hari ini Emi menanyakan keadaan gue dan mencari keberadaan gue. Tapi nggak satupun gue balas. Gue nggak mau kondisi emosi gue yang kacau ini memperkeruh keadaan gue dan Emi. Dia satu-satunya tempat gue mencari kenyamanan. Gue nggak mau dia yang seharusnya gue lindungi, malah jadi sakit hati karena sikap gue yang sedang emosional ini.
Sampai pada satu bahasan telpon di sore hari yang mendung, jelang gue pulang dari kantor.
EMI CALL
Quote:
See, benar kan? Pasti akan seperti ini sesuai dengan dugaan gue. ini yang membuat gue semakin kacau aja. Emang ini salah gue, nggak langsung cerita ke Emi tentang apa saja yang sudah gue lalui selama gue jauh dari Emi. Gue bertambah salah ketika gue nggak bisa kasih alasan kenapa gue masih juga belum dateng ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Emi.
Andai Emi tau kalau gue sangat amat nggak tega melihat orang-orang yang dekat dengan gue dirawat di rumah sakit. Apalagi gue sudah diberitahu kalau ibunya Emi ini masuk rumah sakit karena terkena serangan stroke. Hancur hati gue mendengar ini. Gue juga bisa membayangkan bagaimana perasaan hancurnya Emi dan bagaimana dia sangat membutuhkan support dari gue.
Tapi kondisi diri gue saat itu sedang nggak karuan. Gue saja butuh support untuk diri gue sendiri. Bagaimana bisa gue juga memberikan support ke Emi. Gue hanya takut gue malah berakhir menyakiti Emi.
Kondisi mental gue yang sedang drop ini pun membuat gue flashback kejadian dulu ketika Papa pernah dirawat satu minggu karena diabetes, hingga akhirnya Papa meninggal karena penyakitnya itu. Selama Papa di rumah sakit, gue hanya menjenguk satu kali saja. Itu semua karena gue nggak pernah tega melihat orang-orang dirawat di rumah sakit.
Akhirnya malam itu, gue pun menyerah. Gue menangis sejadi-jadinya ditengah curhat gue kepada Tuhan. Satu hal yang amat langka untuk gue lakukan dalam kehidupan gue. “Laki-laki juga boleh menangis.” Itu yang ada dalam pikiran gue.
itkgid dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup