- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
...
TS
rendyprasetyyo
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
Quote:
TENANG, CERITA KITA, APAPUN UJUNGNYA, AKAN DIKENANG SELAMANYA.
SELAMAT DATANG DI CERITA KITA UNTUK SELAMANYA SERIES.
Quote:
Sinopsis:
Ditahun 2025 terjadi kekacauan besar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi virus yang semakin memburuk, serangan teror, unjuk rasa, banyak orang harus kehilangan keluarga dan mata pencarian, sampai akhirnya pemerintah menetapkan status darurat nasional untuk menghentikan semua aktifitas yang dapat membahayakan warga. Ditengah kekacauan ini, Rendy dan Bianca bertemu dengan Mr.Klaus yang akan merubah hidup mereka dan membawa mereka pada petualangan baru di Desa Praijing, Sumba. Siapakah yang akan memperbaiki keadaan tersebut? Apakah kekacauan tersebut bisa diselesaikan? Siapakah sebenernya Mr.Klaus?
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembukanya gak usah panjang-panjang. sebelum baca series ketiga ini gue rekomendasikan untuk baca dulu dua series sebelumnya ya biar gak bingung dan gak banyak nanya lagi. Tapi kalau mau lanjut kesini aja juga boleh. langsung aja, enjoy the story hehe.
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
The Carpenters - Yesterday Once More
Official Soundtrack
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Darmono - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
--------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita Kita Untuk Selamanya versi FULL SERIES :
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
The Carpenters - Yesterday Once More
Official Soundtrack
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Darmono - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Quote:
--------------------------------------------------------------------------------------------
CERITA KITA UNTUK SELAMANYA 3 : CATAPHILES
PROLOG
Tahun 2026
Disebuah negeri entah berantah.
“Bi..? ini beneran kamu?”
Gue buka mata gue perlahan sambil menegakkan tubuh gue yang serasa rontok disemua bagian. Tangan kiri gue berasa perih dan samar-samar terlihat aliran darah beku menghitam diarea pergelangannya. Bibir atas dan lutut kaki sebelah kanan gue juga menimbulkan sensasi sakit luar biasa tiap kali gue mencoba untuk menggerakkan tubuh. Samar-samar terlihat bayangan bibi ketika pertama kali gue membuka mata tadi. Sekarang setelah sepenuhnya sadar, gue makin bingung dengan keadaan yang tejadi karena gak cuma ada Bibi disini. Ada seorang wanita lain terlihat sedang membalut luka ditungkai kaki seorang pria yang terlihat mengeluarkan darah cukup banyak.
“Iya, Rendy. Ini aku” Bibi menjawab sambil mengulurkan beberapa obat penghilang rasa sakit dan penambah darah untuk gue minum. “Minum nih kalau masih kerasa sakit, untung aja gak apa-apa kan.”
“Gak apa-apa apanya sih bi?” gue mengambil obat dari tangan bibi dan segera meminum obat tersebut dengan beberapa teguk air yang ada digelas di sisi lain tubuh gue. “Emang kita dimana? Kenapa ada mereka juga?”
Gue dan Bibi sekarang ada disebuah pondok kayu kecil berukuran 3x4 m dengan satu jendela persegi kecil bertirai kain hitam lusuh jadi tempat lewat mentari pagi berada disisi belakang tubuh bibi. Sang wanita asing yang tadi sedang sibuk memperban seorang laki-laki sekarang terlihat menatap Bibi dari kejauhan. Luka yang sedang diperban dari tungkai cowok tersebut pun terlihat sudah berhenti mengalirkan darah. Ruangan kumuh ini lembab dengan hanya satu alas tidur jadi tempat beristirahat lelaki dengan perban didaerah tungkai. Samar gue lihat kalau laki-laki ini terlihat familiar dengan rambut ikal panjangnya.
“hufft” bibi menjawab sambil menghela nafas panjang dan membereskan beberapa peralatan yang sebelumnya dipakai untuk mengobati gue. “dugaan aku bener kan, kamu bakal lupa semuanya setelah semalam kepala kamu kebentur. Untung ada mereka yang nolongin”
Terlihat sang wanita tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kearah gue.
“Mereka siapa be?” gue bertanya pelan kearah bibi sambil meringis.
“Astaga Rendy kamu beneran gak inget apa-apa ya. Yang cewek namanya Sydney dan yang cowok namanya Will” Bibi menjawab. “Kita disini bareng-bareng karena harus ngumpulin informasi tentang apapun yang berhubungan sama organisasi Cataphiles, seenggaknya itu perintah yang dikasih atasan kemaren. Tapi karena kecerobohan kamu rencana kita gagal semalem dan harus sembunyi ditempat ini sekarang.”
Will? Sydney? Organisasi Cataphiles? Perintah atasan? Semua hal yang bibi bicarakan terdengar imajinatif karena seinget gue semalem sebelum tidur gue masih ada dikosan, ngobrol sama mas kosan tentang kemungkinan gue untuk pindah kerja. Gue dan bibipun udah lama gak ketemu dan sekarang tiba-tiba kita berdua sedang berada di tempat antah berantah sama dua orang asing dan katanya sedang menjalani sebuah misi.
“Bentar-bentar” gue mencoba menelaah perkataan bibi. “kamu bisa ceritain dari awal? Dari awal banget?”
“Dari awal kita ketemu?” bibi menjawab. “apa dari awal kita ada ditempat ini? by the way, kita sekarang lagi di perbatasan sisi timur kota Paris”
“Dari awal terbentuk galaksi bimasakti juga boleh aku dengerin” gue menjawab perkataan bibi sambil membenarkan posisi lutut kanan gue yang telihat lebam membiru dengan ukuran cukup besar. “semalem aku tidur masih dikosan kok tiba-tiba ada disini ya wajar dong bingung. Bentar, kamu bilang PARIS?”
“hah? Tidur dikosan?” bibi menjawab sambil mengernyitkan dahi.”bener-bener makin bodoh setelah kepalanya terbentur nih orang. ya udah sini diceritain dari awal...”
Dan bibi mulai bercerita tentang kejadian awal kenapa semua jadi seperti ini. Di kejauhan gue liat sydney terlihat tersenyum karena obrolan gue dan bibi barusan.
Index:
PART 1 :Tragedi
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
PART 2 : Preparasi
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
PART 3 : Akurasi
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27 - Special Chapter
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
PART 4 : Memori
Soon
PART 1 :Tragedi
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
PART 2 : Preparasi
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
PART 3 : Akurasi
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27 - Special Chapter
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
PART 4 : Memori
Soon
Cerita Kita Untuk Selamanya versi FULL SERIES :
BUDAYAKAN MENINGGALKAN JEJAK SUPAYA KITA BISA SALING KENAL
Quote:
Quote:
Polling
0 suara
lebih enak baca di kaskus atau wattpad?
Diubah oleh rendyprasetyyo 11-06-2023 20:12
nomorelies dan 39 lainnya memberi reputasi
38
20.9K
524
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rendyprasetyyo
#80
Chapter 23
Suatu hari di tahun 2018
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
“Gimana kerjaan kamu, Mas?” Ibu mencoba membuka pembicaraan di mobil. Gue, Ayah, Ibu sedang diperjalanan menuju rumah setelah sebelumnya Ayah dan Ibu menjemput gue di Jakarta. Ibu yang lahir di Jakarta sejak kecil selalu memanggil gue dengan panggilan “Mas” walaupun darah keturunan jawa gak ada dikeluarga gue. “Temen-temen kerja kamu dikasih oleh-oleh semua? Mereka bilang apa setelah kamu pulang dari Khatmandu?”
Lalu lintas mobil di tol terlihat lancar setelah sebelumnya terjadi kemacetan cukup lama menjelang keluar pintu tol lingkar luar. Langit mulai menguning, pepohonan dan area sawah yang sedang dilewati terlihat bergoyang ditiup angin sore. Ayah dan Ibu duduk dibangku depan sedangkan gue duduk sendiri dibangku tengah bersama dengan tas ransel kecil yang gue bawah dari kosan.
“Lancar, Bu” gue menjawab perkataan Ibu sambil tetap menatap keluar jendela. Gue belum menceritakan detail perjalanan gue ke Khatmandu pada Ibu dan Ayah karena tepat di tanggal 31 Desember menjelang tahun baru, 3 hari setelah kepulangan gue dari Khatmandu, Ayah dan Ibu pergi menyelesaikan urusan pekerjaan disuatu tempat yang gue gak tau dimana, sementara Ina sibuk merayakan tahun baru bersama teman-temannya. “Dikasih semua kok, oleh-oleh buat Ibu sama Ina juga udah disimpen dirumah. Mereka gak bilang apa-apa, cuma bilang makasih.”
“Kamu beliin oleh-oleh apa emang?” Ibu meneruskan pembicaraan. “Kamu kesana sama siapa? Sama Bianca yang waktu itu?”
Iya, Ibu sedikit banyak tahu tentang Bibi karena dihari gue bantu Bibi untuk beres-beres sebelum pindahan ibu sempat menelfon dan sejak saat itu topik Bibi sesekali ibu bawa diantara obrolan-obrolan telfon yang membuat perasaan rindu gue ke Bibi semakin besar. Ibu belum tahu kalau Bibi sudah pindah dan gue sudah lost contact dengan Bibi dalam waktu yang cukup lama.
“Ada yang mas beliin teh” gue menjawab. “Ada yang mas beliin slayer, terus ada juga mainan magnet, pin, banyak Bu. Gak, Mas kesana sama temen kuliah bukan sama Bianca.”
“Ooh, temen kuliah yang mana?” Ibu meneruskan pertanyaan. Area persawahan mulai berganti dengan deretan rumah-rumah penduduk yang berada disisi tol. “Bianca apa kabar? Sehat?”
Ini pertanyaan yang gue takutkan bakal ibu tanyakan. Gue harus jawab gimana kalau ibu udah menanyakan kabar Bibi kayak gini coba?
“E-eeh, ibu gak kenal. Bianca? dia sehat Bu” gue jawab singkat. “Sehat banget”
“Oh iya udah syukur kalau gitu” Ibu berkata lagi. “Kapan-kapan ajak kerumah bilang Ayah sama Ibu pengen ketemu”
Gak, ini gak boleh berlanjut. Ibu gak boleh salah paham terhadap bagaimana status hubungan gue dan Bibi yang sebenernya. Gue harus jelasin kenyataan yang terjadi kalau sekarang Bibi udah pindah sebelum semua terlambat.
“Iya ajak dia ke rumah” Ayah tiba-tiba berkata datar. “Kamu belum pernah ajak satu cewek pun kerumah selama ini”
Telat, semua udah terlambat. Disaat kayak gini kalau gue kasih tahu kebeneran yang sebenernya nasib gue bakal jadi lebih buruk. Gue udah gak ada pilihan lain selain mencari keberadaan Bibi dan ngajak dia buat ketemu Ayah dan Ibu atau gue terancam dicoret dari kartu keluarga sekarang.
“I-Iya nanti diajak” gue menjawab lemah sambil membuka handphone dan melihat foto terakhir Bibi yang gue tandai “love” di gallery handphone gue. “Dia lagi sibuk”
Bibi mungkin benar-benar sedang sibuk. Bibi mungkin bener-bener udah lupa sama keberadaan gue sekarang. Kecil kemungkinan gue bisa ketemu lagi sama Bibi dalam waktu dekat. Walaupun ketemu lagi dia pasti udah jadi pribadi baru yang gak gue kenal sebelumnya.
Ayah dan Ibu belum tahu kalau kebanyakan waktu gue di Jakarta gue habiskan sendiri dengan datang ketempat-tempat tenang bergaul dengan msyarakat-masyarakat yang gak gue kenal sama sekali. Ayah dan Ibu gak tahu kalau semenjak Bibi pergi gue mengalami pergolakan batin yang belum pernah gue alamin sebelumnya dan gue berjuang sendiri buat mengatasi kecemasan gue dengan melakukan meditasi-meditasi bermodalkan aplikasi di handphone. Ayah dan Ibu gak tahu kalau setiap kali mereka membawa Bibi ke topik pembicaraan, hati gue terasa remuk dan teriris-iris karena bisa jadi gue gak akan pernah ketemu Bibi lagi untuk selamanya.
Gue gak pernah benar-benar jujur tentang perasaan hati gue ke siapapun, bahkan keorang tua gue. Gue sebisa mungkin gak mau untuk minta tolong atau menyusahkan orang lain selama urusan pribadi bisa gue selesaikan sendiri. Bahkan disaat-saat terlemah, dimana orang yang normal akan berusaha mencari bantuan, gue memilih untuk berdiam sendiri dikamar menuliskan cerita tentang gue dan Bibi sambil melawan perasaan-perasaan lemah tadi, sendiri.
“Ya sudah” Ibu tiba-tiba berkata. “Ayah dan Ibu mau pergi lagi besok, kamu pulang ke Jakarta sendiri dulu aja, naik bis”
Gue udah biasa ditinggal, gue udah biasa sendiri. Mendengar kalau orang tua gue bakal ninggalin gue sendiri besok di long weekend kayak gini membuat gue menyesali keputusan gue untuk ikut mereka pulang sekarang dan bakal lebih milih buat stay di Jakarta, ke Kalijodo dan ngeskate disana menghabiskan libur panjang.
Benar-benar gak ada yang kenal gue bahkan orang tua gue sendiri dan gue mulai ngerasa kalau gue capek menjalani hidup kayak gini terus.
When they get to the part
Where he's breakin' her heart
It can really make me cry, just like before
It's yesterday once more
Suatu hari di tahun 2018
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
“Gimana kerjaan kamu, Mas?” Ibu mencoba membuka pembicaraan di mobil. Gue, Ayah, Ibu sedang diperjalanan menuju rumah setelah sebelumnya Ayah dan Ibu menjemput gue di Jakarta. Ibu yang lahir di Jakarta sejak kecil selalu memanggil gue dengan panggilan “Mas” walaupun darah keturunan jawa gak ada dikeluarga gue. “Temen-temen kerja kamu dikasih oleh-oleh semua? Mereka bilang apa setelah kamu pulang dari Khatmandu?”
Lalu lintas mobil di tol terlihat lancar setelah sebelumnya terjadi kemacetan cukup lama menjelang keluar pintu tol lingkar luar. Langit mulai menguning, pepohonan dan area sawah yang sedang dilewati terlihat bergoyang ditiup angin sore. Ayah dan Ibu duduk dibangku depan sedangkan gue duduk sendiri dibangku tengah bersama dengan tas ransel kecil yang gue bawah dari kosan.
“Lancar, Bu” gue menjawab perkataan Ibu sambil tetap menatap keluar jendela. Gue belum menceritakan detail perjalanan gue ke Khatmandu pada Ibu dan Ayah karena tepat di tanggal 31 Desember menjelang tahun baru, 3 hari setelah kepulangan gue dari Khatmandu, Ayah dan Ibu pergi menyelesaikan urusan pekerjaan disuatu tempat yang gue gak tau dimana, sementara Ina sibuk merayakan tahun baru bersama teman-temannya. “Dikasih semua kok, oleh-oleh buat Ibu sama Ina juga udah disimpen dirumah. Mereka gak bilang apa-apa, cuma bilang makasih.”
“Kamu beliin oleh-oleh apa emang?” Ibu meneruskan pembicaraan. “Kamu kesana sama siapa? Sama Bianca yang waktu itu?”
Iya, Ibu sedikit banyak tahu tentang Bibi karena dihari gue bantu Bibi untuk beres-beres sebelum pindahan ibu sempat menelfon dan sejak saat itu topik Bibi sesekali ibu bawa diantara obrolan-obrolan telfon yang membuat perasaan rindu gue ke Bibi semakin besar. Ibu belum tahu kalau Bibi sudah pindah dan gue sudah lost contact dengan Bibi dalam waktu yang cukup lama.
“Ada yang mas beliin teh” gue menjawab. “Ada yang mas beliin slayer, terus ada juga mainan magnet, pin, banyak Bu. Gak, Mas kesana sama temen kuliah bukan sama Bianca.”
“Ooh, temen kuliah yang mana?” Ibu meneruskan pertanyaan. Area persawahan mulai berganti dengan deretan rumah-rumah penduduk yang berada disisi tol. “Bianca apa kabar? Sehat?”
Ini pertanyaan yang gue takutkan bakal ibu tanyakan. Gue harus jawab gimana kalau ibu udah menanyakan kabar Bibi kayak gini coba?
“E-eeh, ibu gak kenal. Bianca? dia sehat Bu” gue jawab singkat. “Sehat banget”
“Oh iya udah syukur kalau gitu” Ibu berkata lagi. “Kapan-kapan ajak kerumah bilang Ayah sama Ibu pengen ketemu”
Gak, ini gak boleh berlanjut. Ibu gak boleh salah paham terhadap bagaimana status hubungan gue dan Bibi yang sebenernya. Gue harus jelasin kenyataan yang terjadi kalau sekarang Bibi udah pindah sebelum semua terlambat.
“Iya ajak dia ke rumah” Ayah tiba-tiba berkata datar. “Kamu belum pernah ajak satu cewek pun kerumah selama ini”
Telat, semua udah terlambat. Disaat kayak gini kalau gue kasih tahu kebeneran yang sebenernya nasib gue bakal jadi lebih buruk. Gue udah gak ada pilihan lain selain mencari keberadaan Bibi dan ngajak dia buat ketemu Ayah dan Ibu atau gue terancam dicoret dari kartu keluarga sekarang.
“I-Iya nanti diajak” gue menjawab lemah sambil membuka handphone dan melihat foto terakhir Bibi yang gue tandai “love” di gallery handphone gue. “Dia lagi sibuk”
Bibi mungkin benar-benar sedang sibuk. Bibi mungkin bener-bener udah lupa sama keberadaan gue sekarang. Kecil kemungkinan gue bisa ketemu lagi sama Bibi dalam waktu dekat. Walaupun ketemu lagi dia pasti udah jadi pribadi baru yang gak gue kenal sebelumnya.
Ayah dan Ibu belum tahu kalau kebanyakan waktu gue di Jakarta gue habiskan sendiri dengan datang ketempat-tempat tenang bergaul dengan msyarakat-masyarakat yang gak gue kenal sama sekali. Ayah dan Ibu gak tahu kalau semenjak Bibi pergi gue mengalami pergolakan batin yang belum pernah gue alamin sebelumnya dan gue berjuang sendiri buat mengatasi kecemasan gue dengan melakukan meditasi-meditasi bermodalkan aplikasi di handphone. Ayah dan Ibu gak tahu kalau setiap kali mereka membawa Bibi ke topik pembicaraan, hati gue terasa remuk dan teriris-iris karena bisa jadi gue gak akan pernah ketemu Bibi lagi untuk selamanya.
Gue gak pernah benar-benar jujur tentang perasaan hati gue ke siapapun, bahkan keorang tua gue. Gue sebisa mungkin gak mau untuk minta tolong atau menyusahkan orang lain selama urusan pribadi bisa gue selesaikan sendiri. Bahkan disaat-saat terlemah, dimana orang yang normal akan berusaha mencari bantuan, gue memilih untuk berdiam sendiri dikamar menuliskan cerita tentang gue dan Bibi sambil melawan perasaan-perasaan lemah tadi, sendiri.
“Ya sudah” Ibu tiba-tiba berkata. “Ayah dan Ibu mau pergi lagi besok, kamu pulang ke Jakarta sendiri dulu aja, naik bis”
Gue udah biasa ditinggal, gue udah biasa sendiri. Mendengar kalau orang tua gue bakal ninggalin gue sendiri besok di long weekend kayak gini membuat gue menyesali keputusan gue untuk ikut mereka pulang sekarang dan bakal lebih milih buat stay di Jakarta, ke Kalijodo dan ngeskate disana menghabiskan libur panjang.
Benar-benar gak ada yang kenal gue bahkan orang tua gue sendiri dan gue mulai ngerasa kalau gue capek menjalani hidup kayak gini terus.
When they get to the part
Where he's breakin' her heart
It can really make me cry, just like before
It's yesterday once more
Diubah oleh rendyprasetyyo 19-06-2020 23:22
regmekujo dan maresad memberi reputasi
2


