- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2176
Sekilas
Fani adalah Anak yang selalu ceria dan kalau ngomong itu ceplas ceplos. Fani kemampuannya standar aja dikelas, tapi kalau persentasi dia bisa diandalkan karena cara dia bicara dan public speaking-nya sangat terlatih. Pemilihan diksinya juga enak untuk didengarkan.
Fani pernah bilang kalau dia hanya menceritakan urusan pribadinya ini ke gue, dan tidak ke orang lain. Entah itu sebenarnya hanya untuk menarik perhatian gue atau dia memang menganggap gue sebagai teman dekatnya dikelas. Jelasnya adalah, kisah cintanya ini cukup miris.
Fani berusia 5 tahun lebih muda dari gue. Seangkatan dengan Alya. Seumuran juga dengan Nurul. Dia bercerita sekitar setahun lalu kalau dirinya akan segera menikah. Tapi gagal ditengah jalan karena calon suaminya nggak terima dengan kejujuran Fani.
Fani jujur-jujuran dengan calonnya ketika itu, kalau sebelumnya dengan mantannya dia pernah melakukan ‘itu’. Nggak cuma sekali, tapi rutin. Gue bilang sebenernya itu bukan masalah. Karena menikah itu menatap masa depan, bukan mengingat masa lalu. Semua orang punya masa lalu yang jelek pasti. Kalau itu jadi tolok ukur terus, ya kapan mau majunya?
Ternyata calonnya ini nggak terima rupanya. Jadinya semua dibatalkan sepihak. Mau tau sampai mana persiapan mereka? Mereka bahkan sudah bayar full untuk gedung, dekorasi serta kateringnya. Nggak lupa juga home band serta sudah menyebar undangan. Istilahnya, udah tinggal nunggu hari H.
Hal ini tentunya aja membuat gempar kedua keluarga. Gue sempat bertanya, apakah si calonnya juga pernah melakukan hal yang sama dengan mantan-mantannya? Dia bilang katanya pernah juga. Nah disinilah menurut gue ada ketidakadilan. Fani pernah begituan, tapi nggak terima calonnya, sedangkan si calon suami sendiri begitu juga kelakuannya. Aneh banget.
Finalnya, pernikahan mereka batal dan setelahnya pun Fani belum menjalin hubungan dengan siapapun. Ternyata dari cerita tersebut, gue menjadi lebih dekat lagi dengannya. Tujuan gue untuk menghibur sebenarnya. Tapi nyatanya Fani merasakan hal yang lain. Dia seperti menemukan sosok pengganti yang tepat. Hanya saja, dia nggak berani mengungkapkan sejak dulu karena gue terlihat sangat dekat dengan Mila.
Fani juga mengatakan minder berat dengan Mila karena intelektualitasnya. Sudah mana punya bodi yang semampai, manis, cerdas pula. Idaman para pria Indonesia lah pokoknya. Berangkat dari hal tersebut, Fani nggak berusaha lagi untuk maju.
Kenapa dia akhirnya mengungkapkan juga perasaannya? Karena dia merasa waktu kita bersama akan segera berakhir. Dia pun ada rencana untuk dipindahkan keluar negeri, ke Qatar, oleh perusahaan tempatnya bekerja. Jadi, kalau nggak sekarang, kapan lagi?
Tapi gue nggak jawab sama sekali. Biarin aja ngegantung. Gue hanya nggak mau pertemanan gue yang asyik dengan Fani malah rusak kalau ternyata gue jawab nggak. Gue nggak mau kehilangan teman karena jadi korban perasaan. Dengan diamnya gue, buktinya Fani masih bisa asyik kan sama gue jadinya?
Gue teringat kalau orang yang tepat untuk gue ajak diskusi salah satu hasil pengambilan sampel gue adalah Fani. Dia menggunakan metode yang sama, walaupun kasus yang dia ambil berbeda. Kami memang sama-sama pendalaman di Manajemen Strategik, jadi masih ada urusannya. Sementara kalau Mila pendalamannya ke Manajemen Finansial. Gue pusing kalau kearah pelajaran pendalaman yang dipilih Mila itu.
“Fan, lo dimana? Ini mumpung masih jam 15.00, gue mau minta tolong buat diskusi sebentar bisa nggak?” kata gue ditelepon.
“Haha. Baru gue cium dikit udah kangen lo. Bisa-bisa kok, apa sih yang nggak buat lo, Ja? Mau dimana?” sahut dia disebrang telepon.
“Yeee, t*i juga lo. Hahaha. Sape yang kangen sik? Gue mau diskusi soal metode Fan. Di common classroom aja deh, yang kecil aja biar enak diskusinya. Ntar gue yang urus ke akademik buat make kelasnya.”
“Yang dipojokan apa yang deket ruang direktur?”
“Yang pojok aja, itu yang deket ruang direktur lagi dipake kayaknya, keliatan dari sini.”
“Yaudah, atur aja Ja. Ntar kalau udah, gue langsung cabut kesana oke?”
“Sip. Thank you Faniiiiii…..”
Gue pun mengurus ke akademik dan nggak lama perizinan beres. Gue bisa memakai kelas kecil yang hanya bisa berisi sekitar 10 orang itu beserta semua fasilitas yang ada. Gue nggak perlu proyektor juga sebenarnya, karena yang gue perlu diskusi dengan Fani, bukan alat persentasinya.
Sekitar 10 menit setelah gue duduk dikelas dan memberitahu Fani, dia datang. Dia udah ganti kaos yang agak ketat dan membuat gunung kembarnya keliatan luar biasa jelas. Motif seperti renda sebagai ornamen di bra-nya pun terlihat jelas oleh mata gue.
“Haha kaget lo ya gue ganti kaos begini?”
“Iya. Lo udah mau pulang ya? aduh sori Fan, jadi ngerepotin lo. haha.”
“Santai Ja. Gue bawa mobil ini. Jadi balik bisa kapan aja.”
“Nggak apa-apa kan ya ini kelas dipojokan dan kita cuma berdua? Gue takut ntar disangkain mau mesum. Apalagi lo nyosor aja lagi Fan. Hahaha.”
“Haha ya nggak lah. Lagian disini juga nggak ada jangkauan CCTV. Kalau pun iya mau mesum ya bisa banget sebenarnya. Tinggal gelar dibalik meja paling belakang juga beres. Hahaha.”
“Wah gila lo, udah mempelajari banget kayaknya nih situasi. Hahaha.”
“Hahaha. Makanya jangan cupu jadi orang.”
“Lah, gue dikata cupu. Belum tau dia….. hahaha.”
“Makanya kasih tau dong. Hahaha.” Ujar Fani dengan mata berbinar.
“Ah elah. Udah, jelasin ke gue dulu ini. Nafsu amat sama gue lo Fan.” Elak gue.
“Pede banget lo anjir. Yang ganteng si Boy, yang pede elu. Hahaha.”
“Haha. Mending pede coy daripada minder.”
“Mana sini udah, biar cepet. Udah sore, udah sepi juga di kampus Ja.”
Gue pun berdiskusi dengan serius bersama Fani. Emang ini anak jago banget kalau menjelaskan. Gue menjadi cepat mengerti. Apalagi bahasanya juga santai makanya gampang ngertinya gue. Ini lah contoh pemakaian kata yang mudah dimengerti sesuai dengan siapa yang akan menggunakan hasil pemikiran kita, akan berimbas pada penerapan secara optimal.
“Gimana? Gampang kan?”
“Haha iya yak. Gue baru ngeh Fan. Makasih banget loh ini. Asli gue ngerti jadinya.”
“Gue minta hadiah dong Ja. hahaha.”
“Haha mau ditraktir? Ayo aja gue. Mau pakai mobil lo apa boncengan pake motor gue, Fan?”
“Bukan… gue nggak minta ditraktir…”
“Nah terus….”
“Peluk gue aja……”
“Hahah nggak ah….ntar malah kemana-mana….”
Fani seperti tadi siang, langsung aja memeluk gue tanpa izin gue dulu. Gue pun merasa deg-degan dengan pelukan Fani ini. Bukan apa-apa, ya gue takut aja beneran disangka mesum. Tapi sebenarnya aman karena jendela semua tertutup dengan Vertical Blind (tirai penutup seperti dikantor-kantor).
Gue merasakan dada Fani yang ukurannya cukup diatas rata-rata menyentuh dada gue. Lembut banget. Ukuran sebesar ini pernah gue rasakan semasa gue bersama Keket. Ini mirip banget rasanya. Gue membalas pelukan Fani yang melingkarkan tangannya dileher gue dengan memeluk bagian pinggangnya. Terasa lekuk tubuh Fani yang cukup berisi tapi nggak berlebihan.
“Gue sayang sama lo Ja. Kenapa sih lo itu dateng pas banget ketika gue lagi bersedih karena gagal nikah?” bisiknya di telinga kanan gue.
“Sori Fan. Kan perjalanan begini nggak ada yang tau. Please Fan, udah ya.” bisik gue sambil mendorong sedikit pinggang Fani kebelakang.
Bukannya melonggar, dia malah langsung melumat bibir gue. Nggak ada celah buat gue. Gue merasakan bibir Fani yang sedikit tebal itu. Seru sekali sebenarnya. Tapi gue selalu ingat Emi. Makanya gue berusaha untuk menolak. Tapi semakin menolak, kulumannya malah semakin kencang. Tarikannya di bibir gue yang bawah terasa begitu kuat.
Pada akhirnya gue menyerah dengan keadaan. Gue bingung kenapa Fani kuat banget tenaganya. Udah kayak lawan kuli yang baru pulang dari Dufan aja ini. Fani menaikkan sisi kiri kaosnya. Disana terlihat bra berwarna hitam dengan renda seperti yang gue lihat sepintas tadi.
“Sini, pegang disini Ja.” Fani langsung mengarahkan tangan gue untuk menggenggam gunung kembar dia sebelah kiri.
Gue seperti kena pelet. Gue nurut aja apa kata dia, kayak nggak sadar. Berasa kayak robot gue. Rasanya seperti memegang milik Keket. Begitu identik. Ketika gue berusaha untuk menyudahi sentuhan, dia malah terus mengarahkan. Tenaga Fani kuat banget.
Dia menurunkan cup bra yang menutup dada kirinya. Gue bisa melihat ujung salah satu dada Fani. Kepala gue diarahkan ke dadanya. Dengan jarak 1 cm pun gue bisa mencium aroma wangi yang enak banget. Anak orang kaya ini benar-benar wangi ternyata. Tenaga tangan kanan Fani kuat banget, sampai kepala gue nggak bisa bergerak kemanapun, selain akhirnya harus menunaikan tugas.
Cukup lama gue berada di dada kiri Fani. Gue tau dia ingin sekali teriak, tapi nggak bisa. Tangan Fani pun saat ini mulai turun ke celana gue dan akhirnya setelah susah payah, dia bisa menemukan posisi rocky. Rocky yang sudah sangat lama nggak keluar liar seperti ini, berhasil dilihat oleh Fani.
Fani mengangkat kepala gue dan mulai menciumi bibir gue lagi. Ini jelas ciuman nafsu, bukan ciuman pakai hati. Udah kepalang tanggung, yaudah lanjutin aja. Gue membalas ciuman dia juga. Saling raba, tekan, cakar lembut, terjadi.
Gue turun kebawah, sementara Fani duduk di meja yang tingginya dibawah pinggang gue sedikit. Gue membuka retsleting celana Fani dan gue bisa melihat tulisan besar di karet panties yang Fani pakai, ‘Victoria’s Secret’. Mahal juga buat ukuran barang yang nggak terlihat dari luar. Haha.
Gue menunaikan tugas disana, sampai terasa sangat basah dimulut gue. Banyak juga ni anak keluarnya. Apalagi dua jari bisa dimasukkan dengan sukses. Makin banyak yang keluar deh. Atau mungkin udah lama nggak kayak gini kali ya. haha. Fani hanya bisa menjambak berulang kali rambut gue karena dia tetap nggak bisa berteriak.
“Gimana?”
“Enak banget Ja.”
Dia menyuruh gue untuk berdiri, lalu kemudian gue disuruh duduk dikursi. Dia menurunkan celana panjang gue dan berhadapan langsung dengan rocky yang sudah kekar.
“Boleh?” katanya dari bawah.
“Silakan…..”
Fani langsung melaksanakan tugasnya dengan baik dan sangat telaten. Sudah terlatih sekali dia sepertinya. Tapi urusan treatment rocky yang terbaik tetaplah Emi. Itu skill-nya udah avant garde lah kelasnya. Haha.
Fani terus menerus melumat rocky, menjilati dan mengeluarkan lalu memasukkan lagi kemulutnya berulang kali seperti lagi headbang. Lama lama enak juga treatment dari Fani ini. Tapi entah kenapa, dengan treatment yang cukup pro ini, gue nggak benar-benar merasakan kenikmatan. Makanya keluarnya pun agak lama.
Gue menahan laju kepala Fani karena sudah akan muntah si rockynya. Posisi rocky seperti biasa, ada didalam mulut dong.
“Telen Fan, biar sehat.”
Kata-kata mutiara yang sudah lama sekali nggak gue keluarkan. Malah dikeluarin dengan cara yang dadakan kayak gini. Fani ini emang bikin pusing rocky aja. Gue mendongakkan kepala Fani dengan cara memegang dagunya, lalu gue arahkan keatas.
“Tunjukin Fan.” Kata gue mengomando Fani untuk membuka mulutnya yang sudah kosong.
“Bersih Ja semuanya gue telen.” Katanya sambil tersipu.
Gue dan dia tersenyum. Tapi ada rasa sesal yang begitu besar didalam hati gue. Apa ini seperti pelarian atas tekanan berat dikepala gue? kenapa gue jadi ngaco lagi kayak gini sih? Fani ini siapa gue? Kasihan Fani seperti hanya jadi pelampiasan. FWB bukan juga. Tapi dengan begini, ya nggak ada bedanya kayak FWB-an gue dan dia.
Fani lalu berdiri dan membalikkan badan. Dia memegang rocky yang masih setengah tegang. Gerakan tangan naik turun sambil memegang rocky membuat rocky kencang kembali. Fani mengarahkan rocky ke lubang surga miliknya yang sangat bersih dan menawan hasil waxing. Tentunya juga sangat menggoda imin. Gue nggak bisa larut dengan keadaan ini.
“Cukup Fan!” tegas gue sambil berbisik ditelinganya dari belakang.
“Kenapa? Bukannya lo suka yang kayak gini? Biasanya bukannya cowok bisa suka cewek kalau dikasih begini dulu? Cupu banget sih lo Ja.” suara Fani terdengar sedikit kesal.
“Fan. Dengerin. Gue juga punya pengalaman kayak beginian. Seperti yang lo ceritain. Tapi misalnya lo merasa kalau cowok bisa suka dengan cara begini, lo salah. Gue selalu meminta duluan, nanya dulu bersedia atau nggak. Bukan langsung lo sodorin begini. Maaf Fan, gue nggak bisa. Dan please. Ini bisa ngerusak pertemanan kita Fan. Gue nggak mau.”
“Terus gimana biar lo suka juga sama gue Ja? Atau jangan-jangan lo udah lebih jauh ya sama Mila? Bagus mana punya gue dibanding Mila?” katanya sedikit berteriak, matanya mulai berair.
“Nggak ada hubungannya sama Mila. Gue nggak ada apa-apa sama Mila.” Kata gue sembari menaikkan celana dalam Fani, kemudian celananya. Gue juga menurunkan kaosnya, serta membetulkan posisi branya.
“Terus apaan lagi? Gue kurang apa dimata lo?” air matanya sudah berlinang. Ini yang gue selalu nggak tega, liat cewek nangis.
“Maaf Fan, gue nggak bisa cerita. Dengerin. Gue cuma nggak mau diantara kita ada apa-apa. Gue nggak bisa kehilangan lo sebagai teman dekat gue. Temen yang asik banget buat gue dan gue nggak mau juga kita jadi FWB-an. Dengan begini, potensi perpecahan kita jadi gede. Gue nggak bisa terima itu kalau alasannya karena perasaan ditambah sentuhan fisik begini.”
“…..” Fani hanya sesenggukan.
Lalu gue berinisiatif mendekap Fani. Kepalanya gue arahkan ke dada gue. Ketika kepalanya sampai di dada gue, dia menangis cukup keras, tapi jadi kedap karena dia menangis menutup kearah tubuh gue. dia memeluk gue dengan kencang di pinggang, sementara gue hanya bisa mengelus rambutnya yang beraroma shampoo Tre Semme.
“Maafin gue Ja. Gue nggak tau lagi harus gimana. Gue cukup frustasi dengan kegagalan gue itu. Lo juga sih kayak ngasih gue harapan. Gue udah terlanjur sayang sama lo, tapi nyatanya lo malah nggak bisa terima gue.” Dia berbicara, nadanya terbata karena campur menangis.
“Maaf juga Fan. Gue udah nganggep lo sebagai salah satu teman terbaik gue, selain Mando dan Mbak Disya. Asal lo tau juga Fan, kalau gue berteman dengan Mila itu karena gue awalnya kasihan sama dia. Seperti dikucilin terus dikelas. Makanya gue temenin, karena menurut gue, dia juga berhak punya temen. Dan ya, dia memang jadinya suka sama gue. Tapi sejauh mana dia suka gue, itu gue nggak tau, dan nggak akan pernah gue tanyain.”
“Tuh kan Ja. ini nih yang bikin gue sayang. Lo itu bener-bener apa adanya. Kenapa sih gue nggak bisa bikin lo sayang sama gue?”
“Nggak bisa aja Fan. Pertemanan kita jauh lebih berharga.”
“….”
“Udah ya Fan. Please. Setelah keluar dari ruangan ini, jangan putus pertemanan kita. Janji?”
Dia hanya mengangguk, mengaitkan kelingking ke kelingking gue, lalu memeluk gue lagi. Kali ini gue membalas pelukannya dengan pelukan erat.
Afrani Inggita. Anak yang luar biasa dengan pengalaman traumatis yang cukup akut. Gue nggak bisa kehilangan dia hanya karena urusan hati dan fisik. Terlalu berharga pertemanan ini.
Fani pernah bilang kalau dia hanya menceritakan urusan pribadinya ini ke gue, dan tidak ke orang lain. Entah itu sebenarnya hanya untuk menarik perhatian gue atau dia memang menganggap gue sebagai teman dekatnya dikelas. Jelasnya adalah, kisah cintanya ini cukup miris.
Fani berusia 5 tahun lebih muda dari gue. Seangkatan dengan Alya. Seumuran juga dengan Nurul. Dia bercerita sekitar setahun lalu kalau dirinya akan segera menikah. Tapi gagal ditengah jalan karena calon suaminya nggak terima dengan kejujuran Fani.
Fani jujur-jujuran dengan calonnya ketika itu, kalau sebelumnya dengan mantannya dia pernah melakukan ‘itu’. Nggak cuma sekali, tapi rutin. Gue bilang sebenernya itu bukan masalah. Karena menikah itu menatap masa depan, bukan mengingat masa lalu. Semua orang punya masa lalu yang jelek pasti. Kalau itu jadi tolok ukur terus, ya kapan mau majunya?
Ternyata calonnya ini nggak terima rupanya. Jadinya semua dibatalkan sepihak. Mau tau sampai mana persiapan mereka? Mereka bahkan sudah bayar full untuk gedung, dekorasi serta kateringnya. Nggak lupa juga home band serta sudah menyebar undangan. Istilahnya, udah tinggal nunggu hari H.
Hal ini tentunya aja membuat gempar kedua keluarga. Gue sempat bertanya, apakah si calonnya juga pernah melakukan hal yang sama dengan mantan-mantannya? Dia bilang katanya pernah juga. Nah disinilah menurut gue ada ketidakadilan. Fani pernah begituan, tapi nggak terima calonnya, sedangkan si calon suami sendiri begitu juga kelakuannya. Aneh banget.
Finalnya, pernikahan mereka batal dan setelahnya pun Fani belum menjalin hubungan dengan siapapun. Ternyata dari cerita tersebut, gue menjadi lebih dekat lagi dengannya. Tujuan gue untuk menghibur sebenarnya. Tapi nyatanya Fani merasakan hal yang lain. Dia seperti menemukan sosok pengganti yang tepat. Hanya saja, dia nggak berani mengungkapkan sejak dulu karena gue terlihat sangat dekat dengan Mila.
Fani juga mengatakan minder berat dengan Mila karena intelektualitasnya. Sudah mana punya bodi yang semampai, manis, cerdas pula. Idaman para pria Indonesia lah pokoknya. Berangkat dari hal tersebut, Fani nggak berusaha lagi untuk maju.
Kenapa dia akhirnya mengungkapkan juga perasaannya? Karena dia merasa waktu kita bersama akan segera berakhir. Dia pun ada rencana untuk dipindahkan keluar negeri, ke Qatar, oleh perusahaan tempatnya bekerja. Jadi, kalau nggak sekarang, kapan lagi?
Tapi gue nggak jawab sama sekali. Biarin aja ngegantung. Gue hanya nggak mau pertemanan gue yang asyik dengan Fani malah rusak kalau ternyata gue jawab nggak. Gue nggak mau kehilangan teman karena jadi korban perasaan. Dengan diamnya gue, buktinya Fani masih bisa asyik kan sama gue jadinya?
Gue teringat kalau orang yang tepat untuk gue ajak diskusi salah satu hasil pengambilan sampel gue adalah Fani. Dia menggunakan metode yang sama, walaupun kasus yang dia ambil berbeda. Kami memang sama-sama pendalaman di Manajemen Strategik, jadi masih ada urusannya. Sementara kalau Mila pendalamannya ke Manajemen Finansial. Gue pusing kalau kearah pelajaran pendalaman yang dipilih Mila itu.
“Fan, lo dimana? Ini mumpung masih jam 15.00, gue mau minta tolong buat diskusi sebentar bisa nggak?” kata gue ditelepon.
“Haha. Baru gue cium dikit udah kangen lo. Bisa-bisa kok, apa sih yang nggak buat lo, Ja? Mau dimana?” sahut dia disebrang telepon.
“Yeee, t*i juga lo. Hahaha. Sape yang kangen sik? Gue mau diskusi soal metode Fan. Di common classroom aja deh, yang kecil aja biar enak diskusinya. Ntar gue yang urus ke akademik buat make kelasnya.”
“Yang dipojokan apa yang deket ruang direktur?”
“Yang pojok aja, itu yang deket ruang direktur lagi dipake kayaknya, keliatan dari sini.”
“Yaudah, atur aja Ja. Ntar kalau udah, gue langsung cabut kesana oke?”
“Sip. Thank you Faniiiiii…..”
Gue pun mengurus ke akademik dan nggak lama perizinan beres. Gue bisa memakai kelas kecil yang hanya bisa berisi sekitar 10 orang itu beserta semua fasilitas yang ada. Gue nggak perlu proyektor juga sebenarnya, karena yang gue perlu diskusi dengan Fani, bukan alat persentasinya.
Sekitar 10 menit setelah gue duduk dikelas dan memberitahu Fani, dia datang. Dia udah ganti kaos yang agak ketat dan membuat gunung kembarnya keliatan luar biasa jelas. Motif seperti renda sebagai ornamen di bra-nya pun terlihat jelas oleh mata gue.
“Haha kaget lo ya gue ganti kaos begini?”
“Iya. Lo udah mau pulang ya? aduh sori Fan, jadi ngerepotin lo. haha.”
“Santai Ja. Gue bawa mobil ini. Jadi balik bisa kapan aja.”
“Nggak apa-apa kan ya ini kelas dipojokan dan kita cuma berdua? Gue takut ntar disangkain mau mesum. Apalagi lo nyosor aja lagi Fan. Hahaha.”
“Haha ya nggak lah. Lagian disini juga nggak ada jangkauan CCTV. Kalau pun iya mau mesum ya bisa banget sebenarnya. Tinggal gelar dibalik meja paling belakang juga beres. Hahaha.”
“Wah gila lo, udah mempelajari banget kayaknya nih situasi. Hahaha.”
“Hahaha. Makanya jangan cupu jadi orang.”
“Lah, gue dikata cupu. Belum tau dia….. hahaha.”
“Makanya kasih tau dong. Hahaha.” Ujar Fani dengan mata berbinar.
“Ah elah. Udah, jelasin ke gue dulu ini. Nafsu amat sama gue lo Fan.” Elak gue.
“Pede banget lo anjir. Yang ganteng si Boy, yang pede elu. Hahaha.”
“Haha. Mending pede coy daripada minder.”
“Mana sini udah, biar cepet. Udah sore, udah sepi juga di kampus Ja.”
Gue pun berdiskusi dengan serius bersama Fani. Emang ini anak jago banget kalau menjelaskan. Gue menjadi cepat mengerti. Apalagi bahasanya juga santai makanya gampang ngertinya gue. Ini lah contoh pemakaian kata yang mudah dimengerti sesuai dengan siapa yang akan menggunakan hasil pemikiran kita, akan berimbas pada penerapan secara optimal.
“Gimana? Gampang kan?”
“Haha iya yak. Gue baru ngeh Fan. Makasih banget loh ini. Asli gue ngerti jadinya.”
“Gue minta hadiah dong Ja. hahaha.”
“Haha mau ditraktir? Ayo aja gue. Mau pakai mobil lo apa boncengan pake motor gue, Fan?”
“Bukan… gue nggak minta ditraktir…”
“Nah terus….”
“Peluk gue aja……”
“Hahah nggak ah….ntar malah kemana-mana….”
Fani seperti tadi siang, langsung aja memeluk gue tanpa izin gue dulu. Gue pun merasa deg-degan dengan pelukan Fani ini. Bukan apa-apa, ya gue takut aja beneran disangka mesum. Tapi sebenarnya aman karena jendela semua tertutup dengan Vertical Blind (tirai penutup seperti dikantor-kantor).
Gue merasakan dada Fani yang ukurannya cukup diatas rata-rata menyentuh dada gue. Lembut banget. Ukuran sebesar ini pernah gue rasakan semasa gue bersama Keket. Ini mirip banget rasanya. Gue membalas pelukan Fani yang melingkarkan tangannya dileher gue dengan memeluk bagian pinggangnya. Terasa lekuk tubuh Fani yang cukup berisi tapi nggak berlebihan.
“Gue sayang sama lo Ja. Kenapa sih lo itu dateng pas banget ketika gue lagi bersedih karena gagal nikah?” bisiknya di telinga kanan gue.
“Sori Fan. Kan perjalanan begini nggak ada yang tau. Please Fan, udah ya.” bisik gue sambil mendorong sedikit pinggang Fani kebelakang.
Bukannya melonggar, dia malah langsung melumat bibir gue. Nggak ada celah buat gue. Gue merasakan bibir Fani yang sedikit tebal itu. Seru sekali sebenarnya. Tapi gue selalu ingat Emi. Makanya gue berusaha untuk menolak. Tapi semakin menolak, kulumannya malah semakin kencang. Tarikannya di bibir gue yang bawah terasa begitu kuat.
Pada akhirnya gue menyerah dengan keadaan. Gue bingung kenapa Fani kuat banget tenaganya. Udah kayak lawan kuli yang baru pulang dari Dufan aja ini. Fani menaikkan sisi kiri kaosnya. Disana terlihat bra berwarna hitam dengan renda seperti yang gue lihat sepintas tadi.
“Sini, pegang disini Ja.” Fani langsung mengarahkan tangan gue untuk menggenggam gunung kembar dia sebelah kiri.
Gue seperti kena pelet. Gue nurut aja apa kata dia, kayak nggak sadar. Berasa kayak robot gue. Rasanya seperti memegang milik Keket. Begitu identik. Ketika gue berusaha untuk menyudahi sentuhan, dia malah terus mengarahkan. Tenaga Fani kuat banget.
Dia menurunkan cup bra yang menutup dada kirinya. Gue bisa melihat ujung salah satu dada Fani. Kepala gue diarahkan ke dadanya. Dengan jarak 1 cm pun gue bisa mencium aroma wangi yang enak banget. Anak orang kaya ini benar-benar wangi ternyata. Tenaga tangan kanan Fani kuat banget, sampai kepala gue nggak bisa bergerak kemanapun, selain akhirnya harus menunaikan tugas.
Cukup lama gue berada di dada kiri Fani. Gue tau dia ingin sekali teriak, tapi nggak bisa. Tangan Fani pun saat ini mulai turun ke celana gue dan akhirnya setelah susah payah, dia bisa menemukan posisi rocky. Rocky yang sudah sangat lama nggak keluar liar seperti ini, berhasil dilihat oleh Fani.
Fani mengangkat kepala gue dan mulai menciumi bibir gue lagi. Ini jelas ciuman nafsu, bukan ciuman pakai hati. Udah kepalang tanggung, yaudah lanjutin aja. Gue membalas ciuman dia juga. Saling raba, tekan, cakar lembut, terjadi.
Gue turun kebawah, sementara Fani duduk di meja yang tingginya dibawah pinggang gue sedikit. Gue membuka retsleting celana Fani dan gue bisa melihat tulisan besar di karet panties yang Fani pakai, ‘Victoria’s Secret’. Mahal juga buat ukuran barang yang nggak terlihat dari luar. Haha.
Gue menunaikan tugas disana, sampai terasa sangat basah dimulut gue. Banyak juga ni anak keluarnya. Apalagi dua jari bisa dimasukkan dengan sukses. Makin banyak yang keluar deh. Atau mungkin udah lama nggak kayak gini kali ya. haha. Fani hanya bisa menjambak berulang kali rambut gue karena dia tetap nggak bisa berteriak.
“Gimana?”
“Enak banget Ja.”
Dia menyuruh gue untuk berdiri, lalu kemudian gue disuruh duduk dikursi. Dia menurunkan celana panjang gue dan berhadapan langsung dengan rocky yang sudah kekar.
“Boleh?” katanya dari bawah.
“Silakan…..”
Fani langsung melaksanakan tugasnya dengan baik dan sangat telaten. Sudah terlatih sekali dia sepertinya. Tapi urusan treatment rocky yang terbaik tetaplah Emi. Itu skill-nya udah avant garde lah kelasnya. Haha.
Fani terus menerus melumat rocky, menjilati dan mengeluarkan lalu memasukkan lagi kemulutnya berulang kali seperti lagi headbang. Lama lama enak juga treatment dari Fani ini. Tapi entah kenapa, dengan treatment yang cukup pro ini, gue nggak benar-benar merasakan kenikmatan. Makanya keluarnya pun agak lama.
Gue menahan laju kepala Fani karena sudah akan muntah si rockynya. Posisi rocky seperti biasa, ada didalam mulut dong.
“Telen Fan, biar sehat.”
Kata-kata mutiara yang sudah lama sekali nggak gue keluarkan. Malah dikeluarin dengan cara yang dadakan kayak gini. Fani ini emang bikin pusing rocky aja. Gue mendongakkan kepala Fani dengan cara memegang dagunya, lalu gue arahkan keatas.
“Tunjukin Fan.” Kata gue mengomando Fani untuk membuka mulutnya yang sudah kosong.
“Bersih Ja semuanya gue telen.” Katanya sambil tersipu.
Gue dan dia tersenyum. Tapi ada rasa sesal yang begitu besar didalam hati gue. Apa ini seperti pelarian atas tekanan berat dikepala gue? kenapa gue jadi ngaco lagi kayak gini sih? Fani ini siapa gue? Kasihan Fani seperti hanya jadi pelampiasan. FWB bukan juga. Tapi dengan begini, ya nggak ada bedanya kayak FWB-an gue dan dia.
Fani lalu berdiri dan membalikkan badan. Dia memegang rocky yang masih setengah tegang. Gerakan tangan naik turun sambil memegang rocky membuat rocky kencang kembali. Fani mengarahkan rocky ke lubang surga miliknya yang sangat bersih dan menawan hasil waxing. Tentunya juga sangat menggoda imin. Gue nggak bisa larut dengan keadaan ini.
“Cukup Fan!” tegas gue sambil berbisik ditelinganya dari belakang.
“Kenapa? Bukannya lo suka yang kayak gini? Biasanya bukannya cowok bisa suka cewek kalau dikasih begini dulu? Cupu banget sih lo Ja.” suara Fani terdengar sedikit kesal.
“Fan. Dengerin. Gue juga punya pengalaman kayak beginian. Seperti yang lo ceritain. Tapi misalnya lo merasa kalau cowok bisa suka dengan cara begini, lo salah. Gue selalu meminta duluan, nanya dulu bersedia atau nggak. Bukan langsung lo sodorin begini. Maaf Fan, gue nggak bisa. Dan please. Ini bisa ngerusak pertemanan kita Fan. Gue nggak mau.”
“Terus gimana biar lo suka juga sama gue Ja? Atau jangan-jangan lo udah lebih jauh ya sama Mila? Bagus mana punya gue dibanding Mila?” katanya sedikit berteriak, matanya mulai berair.
“Nggak ada hubungannya sama Mila. Gue nggak ada apa-apa sama Mila.” Kata gue sembari menaikkan celana dalam Fani, kemudian celananya. Gue juga menurunkan kaosnya, serta membetulkan posisi branya.
“Terus apaan lagi? Gue kurang apa dimata lo?” air matanya sudah berlinang. Ini yang gue selalu nggak tega, liat cewek nangis.
“Maaf Fan, gue nggak bisa cerita. Dengerin. Gue cuma nggak mau diantara kita ada apa-apa. Gue nggak bisa kehilangan lo sebagai teman dekat gue. Temen yang asik banget buat gue dan gue nggak mau juga kita jadi FWB-an. Dengan begini, potensi perpecahan kita jadi gede. Gue nggak bisa terima itu kalau alasannya karena perasaan ditambah sentuhan fisik begini.”
“…..” Fani hanya sesenggukan.
Lalu gue berinisiatif mendekap Fani. Kepalanya gue arahkan ke dada gue. Ketika kepalanya sampai di dada gue, dia menangis cukup keras, tapi jadi kedap karena dia menangis menutup kearah tubuh gue. dia memeluk gue dengan kencang di pinggang, sementara gue hanya bisa mengelus rambutnya yang beraroma shampoo Tre Semme.
“Maafin gue Ja. Gue nggak tau lagi harus gimana. Gue cukup frustasi dengan kegagalan gue itu. Lo juga sih kayak ngasih gue harapan. Gue udah terlanjur sayang sama lo, tapi nyatanya lo malah nggak bisa terima gue.” Dia berbicara, nadanya terbata karena campur menangis.
“Maaf juga Fan. Gue udah nganggep lo sebagai salah satu teman terbaik gue, selain Mando dan Mbak Disya. Asal lo tau juga Fan, kalau gue berteman dengan Mila itu karena gue awalnya kasihan sama dia. Seperti dikucilin terus dikelas. Makanya gue temenin, karena menurut gue, dia juga berhak punya temen. Dan ya, dia memang jadinya suka sama gue. Tapi sejauh mana dia suka gue, itu gue nggak tau, dan nggak akan pernah gue tanyain.”
“Tuh kan Ja. ini nih yang bikin gue sayang. Lo itu bener-bener apa adanya. Kenapa sih gue nggak bisa bikin lo sayang sama gue?”
“Nggak bisa aja Fan. Pertemanan kita jauh lebih berharga.”
“….”
“Udah ya Fan. Please. Setelah keluar dari ruangan ini, jangan putus pertemanan kita. Janji?”
Dia hanya mengangguk, mengaitkan kelingking ke kelingking gue, lalu memeluk gue lagi. Kali ini gue membalas pelukannya dengan pelukan erat.
Afrani Inggita. Anak yang luar biasa dengan pengalaman traumatis yang cukup akut. Gue nggak bisa kehilangan dia hanya karena urusan hati dan fisik. Terlalu berharga pertemanan ini.
itkgid dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup