- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2173
Cekcok Lagi
Dania yang sedang hamil dan kondisinya sedang LDR karena janji mertuanya yang akan memindahkannya ke cabang Bandung belum juga terlaksana. Gue lama-lama mencurigai kalau mertuanya ini hanya omong kosong aja. Gue nggak tau, dan nggak mau menuduh. Tapi lama kelamaan bosan juga janji-janji melulu.
Akibatnya, selama adik gue masih serumah dengan gue, gue merasa seperti peran suaminya jadi ada di gue. Mama selalu menuntut agar gue selalu stand by untuk adik gue. Ini yang menurut gue sangat salah. mungkin secara nurani bisa dipertimbangkan, tetapi kalau secara hukum, gue adalah orang lain. Ini yang harus diluruskan.
“Aku ini kakaknya, bukan suaminya. Kalau misalnya aku lagi ada kerjaan, kuliah, sibuk tesis, terus aku harus ngalah gitu? Belum lagi urusan pribadi aku sendiri.” Kata gue pada suatu makan siang dirumah.
“Ya kan suaminya lagi di Bandung. Nanti kan kalau dia pindah ke Bandung ya suaminya yang urus. Lagian kan kamu kakaknya. Apa salahnya coba jagain adiknya?” ujar Mama.
“Lah, aku punya urusan juga kali. Terus emang kalau nanti aku nikah, misalnya istri aku lagi hamil dan aku lagi nggak ada disini, mau Mama sama Dania jagain dia?”
“Kenapa nggak?”
“Ah nggak percaya aku. Sekarang aja semua yang aku lakuin salah semua di mata Mama. Selalu dibilang nggak jelas. Tapi giliran suruh jagain Dania, wajib. Anak nggak jelas disuruh jagain ya mana becus, Ma?” nada gue meninggi.
“Kamu kok jadi balik-balikin omongan gitu?”
“Ya gimana, aku selalu dianggep nggak jelas hidupnya. Tapi masih disuruh ini itu, dipercayakan ini itu. Kalau kenapa-kenapa si Dania, aku juga yang salah. Lebih salah lagi adalah, udah tau aku nggak becus, hidupnya nggak jelas arahnya mau kemana, disuruh jagain orang hamil yang penuh resiko. Mikir logis aja, Ma.”
“Kamu itu sekarang makin susah diatur ya Ja.”
“Sejak kapan aku suka di atur-atur lagian? Aku udah gede juga. Aku bisa cari uang sendiri. Aku udah bisa mandiri juga. Kalau sekarang aku keluar dari rumah ini pun aku bisa. Dulu aku bisa survive kok dengan ngekost. Baik jaman kuliah, sampai waktu awal-awal kerja. Masih dibilang nggak jelas juga kan tetep?”
“Terserah kamu lah Kak….”
“Ya emang terserah aku Ma. Hidup aku, ya aku yang ngatur sendiri. Jangan banyak nuntut sama orang yang nggak jelas hidupnya, Ma. Adanya cuma kecewa terus-terusan. Suruh Dania mecahin masalahnya sendiri sama suaminya, nggak usah nyuruh-nyuruh aku buat stand by terus untuk dia. Pas akad nikah kan juga penghulu udah ngasih nasehat tentang pernikahan. Itulah yang di inget dan diterapkan. Aku bukannya nggak sayang Dania, tapi aku juga punya urusan dan nggak bisa selalu ada disaat dia butuh.”
“Kamu tuh kayaknya makin kesini jadi makin susah ketebak mikirnya….”
“Pasti ini ngarahin Emi lagi yang salah kan? Nggak usah nyalahin Emi. Emi nggak tau apa-apa. Inget Ma, aku jadi begini karena Mama dan Dania ber-mindset kayak gini. Padahal, aku sama sekali nggak dianggap gagal sama orang lain. Mama sama Dania aja yang mikirnya begitu. Jadinya ya apapun yang aku lakuin tetep salah.”
“……”
“Kalau mau bener gimana caranya coba Ma? Diem dirumah? Stand by jagain adik yang lagi hamil? Kerja 9.00-17.00? Terus apa lagi? Nggak boleh kemana-mana? mau sampai kapan aku nurutin kemauan orang lain? Aku emang nggak boleh punya kemauan dan milih jalan sendiri?”
“Silakan aja… mau milih kayak gimanapun. Kamu yang nanggung segala konsekuensi.”
“Ya emang iya. Aku milih jalan kayak gini juga tau konsekuensinya kayak gimana. Aku berani ngambil resiko apapun. Jangan mikir aku itu dulu sering diem dirumah karena anak rumahan. Aku diem dirumah karena nggak ada orang yang cocok buat aku ajak keluar, jalan-jalan dan segala macem kayak dulu Papa selalu ngajak kita jalan-jalan. Sekarang aku udah nemu yang pas menurut aku, tapi nggak pas menurut Mama dan Dania, terus maunya gimana? Suruh bubar? Kan nggak segampang itu juga. Lagian kemarin Mama sendiri juga yang nanya soal hubungan aku sama Emi gimana kan? Aku serius sama dia. makanya aku mau totalitas sama dia. kalau suaminya Dania dulu berani nikahin Dania lebih cepat, itu tandanya dia totalitas dengan caranya sendiri. Mama mau aku kayak gitu juga? ya nggak bisa lah. Aku sama Adit itu orang yang beda. Tapi kalau mau muji-muji mantu dibanding anak sendiri, ya silakan aja. aku nggak perlu juga lagian di puji-puji.”
“Ya ampun kak. Kamu itu ya emang bener-bener keras kepala.”
“Sama, Papa dulu juga keras kepala kan? Apa yang salah? aku jalanin hidup model begini sesuai dengan kemauan aku, kenapa jadi pada repot oh, karena aku nggak selalu ada? Terus tanggung jawab mantu yang layak dipuji itu mana? aku yang disalahin terus, sementara mantu kebanggaan yang perlu dipertanyakan tanggung jawabnya karena ngambil resiko LDR malah dipuji?”
“Mama nggak membeda-bedakan kamu sama Adit loh.”
“Tapi dari sikap Mama dan Dania jadi terbandingkan secara otomatis Ma.”
“Terserah kamu lah….”
“Ya emang selalu terserah aku lah. Aku punya pikiran begini emang nggak boleh? Dania aja milih LDR boleh, masa aku mikir begini nggak boleh? Kenapa? Ooooooh iya soalnya aku anak yang nggak jelas. Jadi nggak boleh ini itu, karena pasti mau gimanapun akan tetep salah langkah dianggapnya.” tutup gue dengan nada kesal.
Gue luar biasa muak dirumah. Sementara gue dianggap nggak jelas, tapi disisi lain gue seperti dikunci untuk selalu stand by buat adik gue yang sedang hamil. Sementara suaminya ada di Bandung. Kalau dia memilih LDR dengan suaminya, ya itu konsekuensi.
Gue siap-siap aja jagain adik gue. Tapi perkataan adik gue dan Mama yang selalu memojokkan gue dan menuduh kalau hidup gue nggak jelas karena nggak jelas kerjaannya, ngeluyur melulu jarang ada dirumah, dan selalu mengutamakan Emi serta keluarganya daripada keluarga gue sendiri, membuat gue makin nggak betah dirumah.
Tertekan? Ya. muak? Pastinya. Hambatan demi hambatan ada aja ini. Laptop hilang dicuri beserta data-data penting pekerjaan serta materi-materi digital S2 gue. Hampir semua foto-foto kenang-kenangan jalan-jalan gue dengan Emi juga ada disana semua, karena saat itu belum kepikiran beli harddisk eksternal.
Untung aja tesis dan beberapa pekerjaan terakhir gue selalu disimpan di cloud seperti dropbox. Tapi tetap aja, urusan pekerjaan, tesis yang belum selesai, dan urusan dari keluarga gue sendiri itu makin membuat gue banyak pikiran dan cukup stres jadinya.
--
Lembaran baru kehidupan gue dengan Emi pun dimulai. Dia mulai disibukkan dengan berbagai macam pekerjaannya dikantor, sementara gue juga menyibukkan diri dengan menerima banyak pekerjaan skala besar. Hitung-hitung sekalian menabung.
Gue sering banget cekcok dengan Emi, apalagi terkait dengan masalah tesis. Setelah tesis, keadaan semakin diperkeruh dengan bahasan tentang keseriusan hubungan. Gue sudah bilang dengan Emi, kalau untuk hubungan ke jenjang yang lebih serius itu butuh fokus.
Gue nggak mau jadi orang yang multitasking karena keterbatasan kemampuan otak gue. Nantinya pasti nggak akan ada yang maksimal. Kalau nggak maksimal, makin yakin nanti keluarga gue kalau gue ini emang nggak becus ngapa-ngapain. Tekanan-tekanan seperti ini anehnya kok bisa-bisanya datang diwaktu yang bersamaan.
Hal ini berakhir dengan gue yang memutuskan untuk menenangkan diri dan menjauh dari semua yang membuat gue banyak pikiran. Terakhir gue ribut besar dengan Emi setelah membahas masalah hubungan gue dengan dia. Gue sangat pusing dengan banyaknya inputan yang baru. Banyak sekali tekanan bertubi-tubi membuat gue menjadi sulit mengontrol emosi.
Gue berpisah dengan Emi di coffee shop pada suatu malam pertemuan kami yang berawal untuk mengerjakan tesis, dan akhirnya memutuskan untuk menghilang sejenak dari Emi. Gue mau mencari solusi persoalan gue dirumah dan juga menyelesaikan tesis dengan menemui Emi, eh bukannya dapat solusi, malah ditanya tentang keseriusan hubungan.
Gue sudah bilang serius, tapi gue mau fokus satu-satu dulu, dianya malah menekan balik gue. akhirnya malah nambah runyam pikiran gue. Daripada makin heboh marah-marahnya, gue memutuskan untuk lepas sejenak dari segala macam pikiran ini. Tidak menghubungi Emi menurut gue adalah solusi yang tepat. Pun gue nggak banyak berinteraksi dengan Mama maupun Dania dirumah. Emi saat di coffee shop benar-benar seperti nggak ingin dengar penjelasan gue, jadinya yaudah mending dihindari aja dulu daripada nanti malah emosi doang adanya.
Pada sisi lainnya, gue masih terus mengurus progres tesis yang mulai jenuh gue kerjakan. Gue butuh Emi ketika stuck. Tapi nggak bisa untuk saat ini. Gue nggak mau memperkeruh hubungan personal gue dengan dia, setelah kejadian di coffee shop. Hal ini juga diperparah dengan Fani yang terus menerus menanyakan kepastian jawaban yang nggak pernah gue kasih. Sementara sepertinya Mila nggak tau sama sekali soal ini.
Wajar sebenarnya kalau Mila nggak tau. Tapi mestinya yang tau itu Emi, karena dia adalah pacar gue. Sementara Mila kan hanya teman biasa, sama statusnya dengan Fani. Gue pun kalau weekend mengerjakan tesis di kampus banyak sendirian daripada bareng sama Emi. Itu karena hari sabtu Emi tetap masuk kantor walaupun setengah hari.
Kampus gue menetapkan batas waktu kelulusan. Apabila nggak lulus tepat waktu, maka akan membayar denda yang semakin lama akan semakin meningkat nominalnya apabila semakin banyak waktu yang dipakai setelah lewat tanggal deadline. Ini yang menjadi momok menakutkan bagi semua mahasiswa S2 dikampus gue. Denda uangnya bernilai jutaan, bukan puluhan ribu.
Untuk itulah gue berusaha ngebut mengerjakannya. Menulis tesis dengan menulis novel sebenarnya beda-beda tipis. Perlu ada riset, perlu ada pendalaman metode, perlu ada tambal sulam sana sini, dan perlu diskusi dengan orang yang lebih pengalaman. Yang beda adalah cara penyajian serta bagaimana tulisan-tulisan tersebut berimbas, apakah bermanfaat atau tidak, untuk orang yang membacanya.
Kita tidak bisa memaksakan semua orang untuk suka novel sementara orang tertentu malah senang membaca jurnal-jurnal ilmiah, dan sebaliknya. Nah, disinilah peran penyajian yang tepat dan menarik menjadi sebuah tantangan para penulis.
Gue berusaha menyajikan tulisan sesuai dengan tingkatan keilmuan, sesuai dengan aturan penulisan karya ilmiah dikampus gue yang punya aturan luar biasa ketat dan banyak banget, tapi mudah dipahami siapapun yang baca seperti menulis novel level teenlit atau chicklit. Kesannya mustahil bukan? Bagi gue dan Emi, hal itu bisa terjadi kok.
Kami berdua suka baca novel-novel dengan gaya bahasa yang berat, sampai buku Raditya Dika yang bahasanya santai. Kami juga penikmat jurnal-jurnal ilmiah yang terbit secara daring. Sehingga kami mencoba untuk mendobrak standarisasi karya ilmiah menjadi sesuatu yang mungkin dinikmati lebih banyak kalangan.
Ilmu itu dinikmati dulu, baru dipahami. Setelah paham, maka implementasi atau penerapan bisa dilakukan. Sama seperti mendengarkan musik. Musik dinikmati dulu, baru dipahami secara teknik, dan pada akhirnya kita bisa ikuti. Makanya banyak sekali musisi yang sering meng-cover lagu orang lain dalam versi-versi tertentu. Itu karena mereka menikmati, kemudian memahami, lalu memodifikasi menjadi lebih enak versi mereka.
Menulis karya ilmiah pun sama menurut gue dan Emi. Kebetulan kami pernah menyamakan tulisan skripsi kami, dan disana ada benang merah. Tulisan kami sama-sama menggunakan diksi yang mudah dipahami. Bahkan untuk orang yang awam dengan keilmuan kami.
Tulisan skripsi gue bahkan sudah berhasil di aplikasikan pada daerah tempat gue penelitian dulu. Gue berpikir sederhana saja saat itu. Kalau ini ilmu mau tersampaikan ke warga desa, ya pakailah bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Ini juga yang sempat menjadi keresahan gue soal adanya Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal. Harusnya kementrian ini ada didaerah yang beneran tertinggal, jangan malah ada di pusat kota. Alasan infrastruktur belum lengkap kalau di desa makanya tetep berada di kota kantornya? Ya infrastruktur desanya dulu kalau begitu dibenerin.
Membangun sebuah kota kan prinsipnya sebenarnya adalah membangun infrastruktur terlebih dulu. Mau memperbaiki desa tertinggal, tapi bercokolnya di kota, tempat yang tingkat kemajuannya dalam segala bidang sudah meninggalkan jauh desa-desa tersebut. Ini kan jadinya kayak mau potong rumput di pekarangan rumah yang sejajar dengan lantai satu rumah, tapi motongnya dari lantai dua rumah. Mana kena maliihhh......
Lucu kan kalau misalnya orang-orang di Kemendes ini abis ngantor, tau-tau merasa bangga karena merasa hasil kerja mereka udah terlihat. Ya jelas, ternyata mereka begitu keluar kantor ngeliatnya jalan-jalan protokol ibukota beserta gedung-gedung serta infrastruktur yang lengkap. ‘wah hasil kerja kita oke loh, daerahnya udah maju banget.’ YAELAAAAH...
Woi, harusnya anda-anda ini ditempatkan di desa-desa, dan kantornya pun ada disana. Bukan hanya kirim-kirim ASN-nya ke desa tertinggal. Jadi tau perkembangan desanya seperti apa. Kalau misalnya pulang kantor, ternyata yang diliat masih kemiskinan sana sini, infrastrukur minim disana sini, nah barulah bertanya, saya sudah mengerjakan apa? Kok masih begini-begini aja daerah tertinggalnya?
Dari situlah pekerjaan yang sebenarnya dimulai. Karena tau apa keluhannya, apa kekurangannya. Semua dirasakan langsung dulu, jangan berangkat dari teori dan menegakkan asumsi berdasarkan ilmu yang di punyai, tapi kemudian jadi percuma karena orang nggak semuanya ngerti ilmu tersebut.
Dasar-dasar seperti ini lah yang mau gue tuangkan dalam tulisan tesis gue. Mudah dipahami, dan akhirnya bisa diterapkan dengan baik. Harapannya adalah membawa manfaat untuk masyarakat yang membutuhkan. Tepat guna istilahnya.
Nggak perlu terlihat keren dengan bahasa-bahasa sok tinggi dari keilmuan yang didapatkan kalau nggak bisa bawa manfaat buat banyak orang. Itu yang gue tanamkan dari jaman gue bikin tulisan-tulisan sampai akhirnya ikutan lomba akademik tingkat nasional, kemudian skripsi, lalu essay yang membawa gue ke Perancis, dan sekarang membuat tesis.
Kalau mau gampang mencari contoh, lihat ke twitter. Kita sering melihat orang-orang sok keren yang kalau membahas segala sesuatu pake bahasa inggris. Minta maaf pake bahasa inggris. Klarifikasi bahasa inggris. Ngebahas keburukan orang pake bahasa inggris. Menjawab isu-isu hangat pake bahasa inggris. Gue juga seringkali menyelipkan kata-kata berbahasa inggris ketika ngobrol atau menulis, tapi biasanya tidak gue pakai ketika gue menjelaskan sesuatu atau minimal hanya 2-3% dari total penggunaan kalimat dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
Kita sering lihat orang posting ‘a thread’, ‘a thread’, ‘a thread’. Udah gitu isinya bahasa inggris semua, serta memakai istilah latin yang membuat sebagian orang bingung seperti ad hominem, populi dan sebagainya. T*i! Bikin aja pakai bahasa yang semua orang ngerti apa susahnya sih? Bahasa Indonesia. Percuma bahasa lo keren kalau orang nggak pada ngerti. Tetep aja nggak menebar manfaat. Yang ada cuma terlihat keren padahal bahasannya dangkal.
Rencana pembuatan tesis seperti ini juga yang membuat seperti jadi sulit. Gue sangat banyak cekcok dengan Emi karena urusan pengemasan tesis model begini. Apalagi karena sistem sudah mulai go green, maka halaman tesis pun dibatasi kalau dikampus gue.
Ini yang membuat gue jadi buntu dan butuh bantuan orang lain yang lebih mengerti detail ilmunya. Dalam beberapa hari ini pun gue nggak bisa kontak dengan Emi karena memang gue nggak mau berhubungan dengan dia dulu.
“Ja, lo suntuk apa gimana? Bengong aja kayak abis diputusin?” Suara Fani mengagetkan gue.
“Eh, lo Fan. Duduk sini.” Kata gue yang sedang duduk di gazebo taman tengah kampus yang gedungnya berbentuk persegi mengelilingi taman.
Fani seperti biasa selalu senyum kalau ketemu teman. Siapapun. Dia juga selalu memakai produk-produk parfum keluaran D&G (Dolce Gabbana). Maklum, anak penggede di kota asalnya nih. Haha.
“Gue nggak ganggu kan?”
“Aman udah. Haha. Kayak sama siapa aja lo.”
“Ya, kirain gue lo lagi konsentrasi Ja buat tesis.”
“Iya sih, tapi gue lagi stuck banget. Makanya jadi nggak nulis, cuma diem aja. haha.”
“Hmm. Lo stuck gara-gara kepikiran urusan di bandara ya? Maafin gue, Ja.”
“Haha nggak sih. Tapi beneran deh, gue masih nggak habis pikir, Fan. Kok lo bisa suka sama gue sih? Mana pake menyatakan perasaan lagi.” Kata gue sambil mengelus rambut sebahunya yang di highlight coklat muda.
“Nggak tau sih Ja. Gue selalu ngerasa nyaman aja sama lo. Kalau gue lagi deket-deket sama lo itu bawaannya seru aja, asyik. Berasa jadi lebih hidup aja. Terus lo kan gitu orangnya apa adanya. Nggak jaim-jaim kayak cowok-cowok sok parlente di kampus ini. hahaha.”
“Ah, itu wajar kali. Gue bukan orang kaya seperti mereka Fan. Makanya mereka jaim karena emang dasarnya aja udah keren dan banyak duit. Jadi gaya-gayaan dikit boleh lah. Lah gue? Apa yang mau dipake gaya? Ini aja gue takut banget kena denda. Mau bayar pake apaan gue? Hahahaha.”
“Justru karena itu Ja. Lo itu sangat apa adanya. Ketika orang mau terlihat punya duit lebih, lo pas kere ya bilang kere. Pas anak-anak ngajakin nongkrong di Starbu*ks, lo tolak karena nggak punya uang. Terus dulu beberapa kali lo nolak buat ngerjain tugas bareng-bareng di salah satu kafe mahal di Jakarta dengan alasan yang sama. Tapi lo itu nggak minderan bergaul dengan temen-temen yang highclass dan tetep apa adanya. Itu yang bikin lo jadi beda dimata gue. Gue yakin banget, Mila juga berpendapat yang kurang lebih sama dengan gue. Ya kan?”
“Aduh nggak tau juga Fan. Haha. Lo tanya aja sama Milanya langsung.” Jawab gue dengan sedikit tertawa.
“Lo juga suka kan sama Mila? Hahaha. Makanya lo nggak pernah jawab pertanyaan gue.”
Salah banget ini Fani berasumsi. Tapi nggak apa-apa juga salah, toh gue juga nggak mau kasih tau siapa pasangan gue sekarang. Biarin aja mereka tau sendiri nanti.
“Kalo menurut lo begitu, ya biarin aja begitu Fan.”
“Ah nggak asik lo Ja.”
“Katanya tadi nyaman sama gue? baru gitu doang bilang nggak asik. Gimana sih lo Fan? Nggak konsisten amat. Hahaha.”
“…..”
“Kenapa lo diem aja?”
Tiba-tiba, dia mengecup pipi kiri gue. Gue pun kaget karena ini tempat umum yang bisa terlihat siapapun. Bahkan sabtu pun ada perkuliahan. Sementara posisi gazebo ini dikelilingi kelas. Belum lagi di tiap koridor ada CCTV-nya juga. Kurang ajar juga nih kalau gue dipanggil ke ruang kemahasiswaan gara-gara disangka mesum.
Lalu dia berlari kemudian menoleh kebelakang lagi sesaat untuk menjulurkan lidahnya tanda meledek gue dan tersenyum manis banget. Fani kalau gue liat proporsi badannya ternyata proporsional juga ya. Nggak padat banget, tapi cukup maju depan mundur belakang.
Gue yang mengamati pergerakan dia langsung tertuju ke bagian dada yang bergoyang cukup banyak ketika dia berlari kecil. Pasti kalau dibuka lumayan juga buat nyelipin rocky. Hahaha. Tingginya sekitar 157 cm, kulitnya kuning langsat kayak cewek-cewek oriental asia timur. Tapi dia matanya belo, nggak sipit.
Hmmm. Fani nih emang deh…hadeeeh....
Akibatnya, selama adik gue masih serumah dengan gue, gue merasa seperti peran suaminya jadi ada di gue. Mama selalu menuntut agar gue selalu stand by untuk adik gue. Ini yang menurut gue sangat salah. mungkin secara nurani bisa dipertimbangkan, tetapi kalau secara hukum, gue adalah orang lain. Ini yang harus diluruskan.
“Aku ini kakaknya, bukan suaminya. Kalau misalnya aku lagi ada kerjaan, kuliah, sibuk tesis, terus aku harus ngalah gitu? Belum lagi urusan pribadi aku sendiri.” Kata gue pada suatu makan siang dirumah.
“Ya kan suaminya lagi di Bandung. Nanti kan kalau dia pindah ke Bandung ya suaminya yang urus. Lagian kan kamu kakaknya. Apa salahnya coba jagain adiknya?” ujar Mama.
“Lah, aku punya urusan juga kali. Terus emang kalau nanti aku nikah, misalnya istri aku lagi hamil dan aku lagi nggak ada disini, mau Mama sama Dania jagain dia?”
“Kenapa nggak?”
“Ah nggak percaya aku. Sekarang aja semua yang aku lakuin salah semua di mata Mama. Selalu dibilang nggak jelas. Tapi giliran suruh jagain Dania, wajib. Anak nggak jelas disuruh jagain ya mana becus, Ma?” nada gue meninggi.
“Kamu kok jadi balik-balikin omongan gitu?”
“Ya gimana, aku selalu dianggep nggak jelas hidupnya. Tapi masih disuruh ini itu, dipercayakan ini itu. Kalau kenapa-kenapa si Dania, aku juga yang salah. Lebih salah lagi adalah, udah tau aku nggak becus, hidupnya nggak jelas arahnya mau kemana, disuruh jagain orang hamil yang penuh resiko. Mikir logis aja, Ma.”
“Kamu itu sekarang makin susah diatur ya Ja.”
“Sejak kapan aku suka di atur-atur lagian? Aku udah gede juga. Aku bisa cari uang sendiri. Aku udah bisa mandiri juga. Kalau sekarang aku keluar dari rumah ini pun aku bisa. Dulu aku bisa survive kok dengan ngekost. Baik jaman kuliah, sampai waktu awal-awal kerja. Masih dibilang nggak jelas juga kan tetep?”
“Terserah kamu lah Kak….”
“Ya emang terserah aku Ma. Hidup aku, ya aku yang ngatur sendiri. Jangan banyak nuntut sama orang yang nggak jelas hidupnya, Ma. Adanya cuma kecewa terus-terusan. Suruh Dania mecahin masalahnya sendiri sama suaminya, nggak usah nyuruh-nyuruh aku buat stand by terus untuk dia. Pas akad nikah kan juga penghulu udah ngasih nasehat tentang pernikahan. Itulah yang di inget dan diterapkan. Aku bukannya nggak sayang Dania, tapi aku juga punya urusan dan nggak bisa selalu ada disaat dia butuh.”
“Kamu tuh kayaknya makin kesini jadi makin susah ketebak mikirnya….”
“Pasti ini ngarahin Emi lagi yang salah kan? Nggak usah nyalahin Emi. Emi nggak tau apa-apa. Inget Ma, aku jadi begini karena Mama dan Dania ber-mindset kayak gini. Padahal, aku sama sekali nggak dianggap gagal sama orang lain. Mama sama Dania aja yang mikirnya begitu. Jadinya ya apapun yang aku lakuin tetep salah.”
“……”
“Kalau mau bener gimana caranya coba Ma? Diem dirumah? Stand by jagain adik yang lagi hamil? Kerja 9.00-17.00? Terus apa lagi? Nggak boleh kemana-mana? mau sampai kapan aku nurutin kemauan orang lain? Aku emang nggak boleh punya kemauan dan milih jalan sendiri?”
“Silakan aja… mau milih kayak gimanapun. Kamu yang nanggung segala konsekuensi.”
“Ya emang iya. Aku milih jalan kayak gini juga tau konsekuensinya kayak gimana. Aku berani ngambil resiko apapun. Jangan mikir aku itu dulu sering diem dirumah karena anak rumahan. Aku diem dirumah karena nggak ada orang yang cocok buat aku ajak keluar, jalan-jalan dan segala macem kayak dulu Papa selalu ngajak kita jalan-jalan. Sekarang aku udah nemu yang pas menurut aku, tapi nggak pas menurut Mama dan Dania, terus maunya gimana? Suruh bubar? Kan nggak segampang itu juga. Lagian kemarin Mama sendiri juga yang nanya soal hubungan aku sama Emi gimana kan? Aku serius sama dia. makanya aku mau totalitas sama dia. kalau suaminya Dania dulu berani nikahin Dania lebih cepat, itu tandanya dia totalitas dengan caranya sendiri. Mama mau aku kayak gitu juga? ya nggak bisa lah. Aku sama Adit itu orang yang beda. Tapi kalau mau muji-muji mantu dibanding anak sendiri, ya silakan aja. aku nggak perlu juga lagian di puji-puji.”
“Ya ampun kak. Kamu itu ya emang bener-bener keras kepala.”
“Sama, Papa dulu juga keras kepala kan? Apa yang salah? aku jalanin hidup model begini sesuai dengan kemauan aku, kenapa jadi pada repot oh, karena aku nggak selalu ada? Terus tanggung jawab mantu yang layak dipuji itu mana? aku yang disalahin terus, sementara mantu kebanggaan yang perlu dipertanyakan tanggung jawabnya karena ngambil resiko LDR malah dipuji?”
“Mama nggak membeda-bedakan kamu sama Adit loh.”
“Tapi dari sikap Mama dan Dania jadi terbandingkan secara otomatis Ma.”
“Terserah kamu lah….”
“Ya emang selalu terserah aku lah. Aku punya pikiran begini emang nggak boleh? Dania aja milih LDR boleh, masa aku mikir begini nggak boleh? Kenapa? Ooooooh iya soalnya aku anak yang nggak jelas. Jadi nggak boleh ini itu, karena pasti mau gimanapun akan tetep salah langkah dianggapnya.” tutup gue dengan nada kesal.
Gue luar biasa muak dirumah. Sementara gue dianggap nggak jelas, tapi disisi lain gue seperti dikunci untuk selalu stand by buat adik gue yang sedang hamil. Sementara suaminya ada di Bandung. Kalau dia memilih LDR dengan suaminya, ya itu konsekuensi.
Gue siap-siap aja jagain adik gue. Tapi perkataan adik gue dan Mama yang selalu memojokkan gue dan menuduh kalau hidup gue nggak jelas karena nggak jelas kerjaannya, ngeluyur melulu jarang ada dirumah, dan selalu mengutamakan Emi serta keluarganya daripada keluarga gue sendiri, membuat gue makin nggak betah dirumah.
Tertekan? Ya. muak? Pastinya. Hambatan demi hambatan ada aja ini. Laptop hilang dicuri beserta data-data penting pekerjaan serta materi-materi digital S2 gue. Hampir semua foto-foto kenang-kenangan jalan-jalan gue dengan Emi juga ada disana semua, karena saat itu belum kepikiran beli harddisk eksternal.
Untung aja tesis dan beberapa pekerjaan terakhir gue selalu disimpan di cloud seperti dropbox. Tapi tetap aja, urusan pekerjaan, tesis yang belum selesai, dan urusan dari keluarga gue sendiri itu makin membuat gue banyak pikiran dan cukup stres jadinya.
--
Lembaran baru kehidupan gue dengan Emi pun dimulai. Dia mulai disibukkan dengan berbagai macam pekerjaannya dikantor, sementara gue juga menyibukkan diri dengan menerima banyak pekerjaan skala besar. Hitung-hitung sekalian menabung.
Gue sering banget cekcok dengan Emi, apalagi terkait dengan masalah tesis. Setelah tesis, keadaan semakin diperkeruh dengan bahasan tentang keseriusan hubungan. Gue sudah bilang dengan Emi, kalau untuk hubungan ke jenjang yang lebih serius itu butuh fokus.
Gue nggak mau jadi orang yang multitasking karena keterbatasan kemampuan otak gue. Nantinya pasti nggak akan ada yang maksimal. Kalau nggak maksimal, makin yakin nanti keluarga gue kalau gue ini emang nggak becus ngapa-ngapain. Tekanan-tekanan seperti ini anehnya kok bisa-bisanya datang diwaktu yang bersamaan.
Hal ini berakhir dengan gue yang memutuskan untuk menenangkan diri dan menjauh dari semua yang membuat gue banyak pikiran. Terakhir gue ribut besar dengan Emi setelah membahas masalah hubungan gue dengan dia. Gue sangat pusing dengan banyaknya inputan yang baru. Banyak sekali tekanan bertubi-tubi membuat gue menjadi sulit mengontrol emosi.
Gue berpisah dengan Emi di coffee shop pada suatu malam pertemuan kami yang berawal untuk mengerjakan tesis, dan akhirnya memutuskan untuk menghilang sejenak dari Emi. Gue mau mencari solusi persoalan gue dirumah dan juga menyelesaikan tesis dengan menemui Emi, eh bukannya dapat solusi, malah ditanya tentang keseriusan hubungan.
Gue sudah bilang serius, tapi gue mau fokus satu-satu dulu, dianya malah menekan balik gue. akhirnya malah nambah runyam pikiran gue. Daripada makin heboh marah-marahnya, gue memutuskan untuk lepas sejenak dari segala macam pikiran ini. Tidak menghubungi Emi menurut gue adalah solusi yang tepat. Pun gue nggak banyak berinteraksi dengan Mama maupun Dania dirumah. Emi saat di coffee shop benar-benar seperti nggak ingin dengar penjelasan gue, jadinya yaudah mending dihindari aja dulu daripada nanti malah emosi doang adanya.
Pada sisi lainnya, gue masih terus mengurus progres tesis yang mulai jenuh gue kerjakan. Gue butuh Emi ketika stuck. Tapi nggak bisa untuk saat ini. Gue nggak mau memperkeruh hubungan personal gue dengan dia, setelah kejadian di coffee shop. Hal ini juga diperparah dengan Fani yang terus menerus menanyakan kepastian jawaban yang nggak pernah gue kasih. Sementara sepertinya Mila nggak tau sama sekali soal ini.
Wajar sebenarnya kalau Mila nggak tau. Tapi mestinya yang tau itu Emi, karena dia adalah pacar gue. Sementara Mila kan hanya teman biasa, sama statusnya dengan Fani. Gue pun kalau weekend mengerjakan tesis di kampus banyak sendirian daripada bareng sama Emi. Itu karena hari sabtu Emi tetap masuk kantor walaupun setengah hari.
Kampus gue menetapkan batas waktu kelulusan. Apabila nggak lulus tepat waktu, maka akan membayar denda yang semakin lama akan semakin meningkat nominalnya apabila semakin banyak waktu yang dipakai setelah lewat tanggal deadline. Ini yang menjadi momok menakutkan bagi semua mahasiswa S2 dikampus gue. Denda uangnya bernilai jutaan, bukan puluhan ribu.
Untuk itulah gue berusaha ngebut mengerjakannya. Menulis tesis dengan menulis novel sebenarnya beda-beda tipis. Perlu ada riset, perlu ada pendalaman metode, perlu ada tambal sulam sana sini, dan perlu diskusi dengan orang yang lebih pengalaman. Yang beda adalah cara penyajian serta bagaimana tulisan-tulisan tersebut berimbas, apakah bermanfaat atau tidak, untuk orang yang membacanya.
Kita tidak bisa memaksakan semua orang untuk suka novel sementara orang tertentu malah senang membaca jurnal-jurnal ilmiah, dan sebaliknya. Nah, disinilah peran penyajian yang tepat dan menarik menjadi sebuah tantangan para penulis.
Gue berusaha menyajikan tulisan sesuai dengan tingkatan keilmuan, sesuai dengan aturan penulisan karya ilmiah dikampus gue yang punya aturan luar biasa ketat dan banyak banget, tapi mudah dipahami siapapun yang baca seperti menulis novel level teenlit atau chicklit. Kesannya mustahil bukan? Bagi gue dan Emi, hal itu bisa terjadi kok.
Kami berdua suka baca novel-novel dengan gaya bahasa yang berat, sampai buku Raditya Dika yang bahasanya santai. Kami juga penikmat jurnal-jurnal ilmiah yang terbit secara daring. Sehingga kami mencoba untuk mendobrak standarisasi karya ilmiah menjadi sesuatu yang mungkin dinikmati lebih banyak kalangan.
Ilmu itu dinikmati dulu, baru dipahami. Setelah paham, maka implementasi atau penerapan bisa dilakukan. Sama seperti mendengarkan musik. Musik dinikmati dulu, baru dipahami secara teknik, dan pada akhirnya kita bisa ikuti. Makanya banyak sekali musisi yang sering meng-cover lagu orang lain dalam versi-versi tertentu. Itu karena mereka menikmati, kemudian memahami, lalu memodifikasi menjadi lebih enak versi mereka.
Menulis karya ilmiah pun sama menurut gue dan Emi. Kebetulan kami pernah menyamakan tulisan skripsi kami, dan disana ada benang merah. Tulisan kami sama-sama menggunakan diksi yang mudah dipahami. Bahkan untuk orang yang awam dengan keilmuan kami.
Tulisan skripsi gue bahkan sudah berhasil di aplikasikan pada daerah tempat gue penelitian dulu. Gue berpikir sederhana saja saat itu. Kalau ini ilmu mau tersampaikan ke warga desa, ya pakailah bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Ini juga yang sempat menjadi keresahan gue soal adanya Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal. Harusnya kementrian ini ada didaerah yang beneran tertinggal, jangan malah ada di pusat kota. Alasan infrastruktur belum lengkap kalau di desa makanya tetep berada di kota kantornya? Ya infrastruktur desanya dulu kalau begitu dibenerin.
Membangun sebuah kota kan prinsipnya sebenarnya adalah membangun infrastruktur terlebih dulu. Mau memperbaiki desa tertinggal, tapi bercokolnya di kota, tempat yang tingkat kemajuannya dalam segala bidang sudah meninggalkan jauh desa-desa tersebut. Ini kan jadinya kayak mau potong rumput di pekarangan rumah yang sejajar dengan lantai satu rumah, tapi motongnya dari lantai dua rumah. Mana kena maliihhh......
Lucu kan kalau misalnya orang-orang di Kemendes ini abis ngantor, tau-tau merasa bangga karena merasa hasil kerja mereka udah terlihat. Ya jelas, ternyata mereka begitu keluar kantor ngeliatnya jalan-jalan protokol ibukota beserta gedung-gedung serta infrastruktur yang lengkap. ‘wah hasil kerja kita oke loh, daerahnya udah maju banget.’ YAELAAAAH...
Woi, harusnya anda-anda ini ditempatkan di desa-desa, dan kantornya pun ada disana. Bukan hanya kirim-kirim ASN-nya ke desa tertinggal. Jadi tau perkembangan desanya seperti apa. Kalau misalnya pulang kantor, ternyata yang diliat masih kemiskinan sana sini, infrastrukur minim disana sini, nah barulah bertanya, saya sudah mengerjakan apa? Kok masih begini-begini aja daerah tertinggalnya?
Dari situlah pekerjaan yang sebenarnya dimulai. Karena tau apa keluhannya, apa kekurangannya. Semua dirasakan langsung dulu, jangan berangkat dari teori dan menegakkan asumsi berdasarkan ilmu yang di punyai, tapi kemudian jadi percuma karena orang nggak semuanya ngerti ilmu tersebut.
Dasar-dasar seperti ini lah yang mau gue tuangkan dalam tulisan tesis gue. Mudah dipahami, dan akhirnya bisa diterapkan dengan baik. Harapannya adalah membawa manfaat untuk masyarakat yang membutuhkan. Tepat guna istilahnya.
Nggak perlu terlihat keren dengan bahasa-bahasa sok tinggi dari keilmuan yang didapatkan kalau nggak bisa bawa manfaat buat banyak orang. Itu yang gue tanamkan dari jaman gue bikin tulisan-tulisan sampai akhirnya ikutan lomba akademik tingkat nasional, kemudian skripsi, lalu essay yang membawa gue ke Perancis, dan sekarang membuat tesis.
Kalau mau gampang mencari contoh, lihat ke twitter. Kita sering melihat orang-orang sok keren yang kalau membahas segala sesuatu pake bahasa inggris. Minta maaf pake bahasa inggris. Klarifikasi bahasa inggris. Ngebahas keburukan orang pake bahasa inggris. Menjawab isu-isu hangat pake bahasa inggris. Gue juga seringkali menyelipkan kata-kata berbahasa inggris ketika ngobrol atau menulis, tapi biasanya tidak gue pakai ketika gue menjelaskan sesuatu atau minimal hanya 2-3% dari total penggunaan kalimat dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
Kita sering lihat orang posting ‘a thread’, ‘a thread’, ‘a thread’. Udah gitu isinya bahasa inggris semua, serta memakai istilah latin yang membuat sebagian orang bingung seperti ad hominem, populi dan sebagainya. T*i! Bikin aja pakai bahasa yang semua orang ngerti apa susahnya sih? Bahasa Indonesia. Percuma bahasa lo keren kalau orang nggak pada ngerti. Tetep aja nggak menebar manfaat. Yang ada cuma terlihat keren padahal bahasannya dangkal.
Rencana pembuatan tesis seperti ini juga yang membuat seperti jadi sulit. Gue sangat banyak cekcok dengan Emi karena urusan pengemasan tesis model begini. Apalagi karena sistem sudah mulai go green, maka halaman tesis pun dibatasi kalau dikampus gue.
Ini yang membuat gue jadi buntu dan butuh bantuan orang lain yang lebih mengerti detail ilmunya. Dalam beberapa hari ini pun gue nggak bisa kontak dengan Emi karena memang gue nggak mau berhubungan dengan dia dulu.
“Ja, lo suntuk apa gimana? Bengong aja kayak abis diputusin?” Suara Fani mengagetkan gue.
“Eh, lo Fan. Duduk sini.” Kata gue yang sedang duduk di gazebo taman tengah kampus yang gedungnya berbentuk persegi mengelilingi taman.
Fani seperti biasa selalu senyum kalau ketemu teman. Siapapun. Dia juga selalu memakai produk-produk parfum keluaran D&G (Dolce Gabbana). Maklum, anak penggede di kota asalnya nih. Haha.
“Gue nggak ganggu kan?”
“Aman udah. Haha. Kayak sama siapa aja lo.”
“Ya, kirain gue lo lagi konsentrasi Ja buat tesis.”
“Iya sih, tapi gue lagi stuck banget. Makanya jadi nggak nulis, cuma diem aja. haha.”
“Hmm. Lo stuck gara-gara kepikiran urusan di bandara ya? Maafin gue, Ja.”
“Haha nggak sih. Tapi beneran deh, gue masih nggak habis pikir, Fan. Kok lo bisa suka sama gue sih? Mana pake menyatakan perasaan lagi.” Kata gue sambil mengelus rambut sebahunya yang di highlight coklat muda.
“Nggak tau sih Ja. Gue selalu ngerasa nyaman aja sama lo. Kalau gue lagi deket-deket sama lo itu bawaannya seru aja, asyik. Berasa jadi lebih hidup aja. Terus lo kan gitu orangnya apa adanya. Nggak jaim-jaim kayak cowok-cowok sok parlente di kampus ini. hahaha.”
“Ah, itu wajar kali. Gue bukan orang kaya seperti mereka Fan. Makanya mereka jaim karena emang dasarnya aja udah keren dan banyak duit. Jadi gaya-gayaan dikit boleh lah. Lah gue? Apa yang mau dipake gaya? Ini aja gue takut banget kena denda. Mau bayar pake apaan gue? Hahahaha.”
“Justru karena itu Ja. Lo itu sangat apa adanya. Ketika orang mau terlihat punya duit lebih, lo pas kere ya bilang kere. Pas anak-anak ngajakin nongkrong di Starbu*ks, lo tolak karena nggak punya uang. Terus dulu beberapa kali lo nolak buat ngerjain tugas bareng-bareng di salah satu kafe mahal di Jakarta dengan alasan yang sama. Tapi lo itu nggak minderan bergaul dengan temen-temen yang highclass dan tetep apa adanya. Itu yang bikin lo jadi beda dimata gue. Gue yakin banget, Mila juga berpendapat yang kurang lebih sama dengan gue. Ya kan?”
“Aduh nggak tau juga Fan. Haha. Lo tanya aja sama Milanya langsung.” Jawab gue dengan sedikit tertawa.
“Lo juga suka kan sama Mila? Hahaha. Makanya lo nggak pernah jawab pertanyaan gue.”
Salah banget ini Fani berasumsi. Tapi nggak apa-apa juga salah, toh gue juga nggak mau kasih tau siapa pasangan gue sekarang. Biarin aja mereka tau sendiri nanti.
“Kalo menurut lo begitu, ya biarin aja begitu Fan.”
“Ah nggak asik lo Ja.”
“Katanya tadi nyaman sama gue? baru gitu doang bilang nggak asik. Gimana sih lo Fan? Nggak konsisten amat. Hahaha.”
“…..”
“Kenapa lo diem aja?”
Tiba-tiba, dia mengecup pipi kiri gue. Gue pun kaget karena ini tempat umum yang bisa terlihat siapapun. Bahkan sabtu pun ada perkuliahan. Sementara posisi gazebo ini dikelilingi kelas. Belum lagi di tiap koridor ada CCTV-nya juga. Kurang ajar juga nih kalau gue dipanggil ke ruang kemahasiswaan gara-gara disangka mesum.
Lalu dia berlari kemudian menoleh kebelakang lagi sesaat untuk menjulurkan lidahnya tanda meledek gue dan tersenyum manis banget. Fani kalau gue liat proporsi badannya ternyata proporsional juga ya. Nggak padat banget, tapi cukup maju depan mundur belakang.
Gue yang mengamati pergerakan dia langsung tertuju ke bagian dada yang bergoyang cukup banyak ketika dia berlari kecil. Pasti kalau dibuka lumayan juga buat nyelipin rocky. Hahaha. Tingginya sekitar 157 cm, kulitnya kuning langsat kayak cewek-cewek oriental asia timur. Tapi dia matanya belo, nggak sipit.
Hmmm. Fani nih emang deh…hadeeeh....
itkgid dan 22 lainnya memberi reputasi
23