Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
343.4K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2170
Masih Tantangan
Perusahaan tempat kerja Emi sekarang melakukan perekrutan lebih adil daripada kantor Emi sebelumnya, tetapi entah kenapa gue yakin mereka yang bertahan hingga sampai puluhan tahun di perusahaan tersebut bukan karena kemampuan mereka di atas rata-rata.

Mereka disana lebih lama karena ‘sistem jilat atasan’ yang terjadi di antara karyawan boomer ini. Apalagi melihat makin kesini, perusahaan mulai merekrut milenial dengan kompetensi di atas mereka, mereka pasti merasa milenial ini adalah sebuah ancaman nyata bagi karir mereka. Emi harus sangat berhati-hati.

Btw, boomer yang gue sebut-sebut disini adalah jenis orang yang sudah berusia lanjut (mungkin seusia orangtua kita), yang seringkali sulit diajak maju pola pikirnya, sehingga menjadi penghambat dalam banyak hal, termasuk kemajuan teknologi dan cara berpikir manusia masa kini (milenial atau Gen-Z). Mohon dikoreksi kalau ternyata ada yang salah ya.

Walaupun terlihat yakin, terkadang Emi suka banyak memikirkan hal yang nggak penting. Apalagi dengan fakta kalau di kantor tersebut ada Debby dan Bimo, temannya di kampus dulu, yang sudah masuk terlebih dahulu.

“Udah, yang penting kamunya kan sekarang bisa masuk di sana atas usaha kamu sendiri. Nggak dimasukin sama siapapun atau karena koneksi orang dalem. Emang sih, pemberitahuan lowongan kamu dapet dari Debby di grup kelas kalian. Tapi selebihnya kan kamu usaha sendiri. Bahkan, Debby dan Bimo nggak tahu awalnya sampe mereka ketemu kamu pas interview user, tahap terakhir dari proses perekrutan. Kamu usaha berangkat psikotest dan wawancara sendiri. Kamu juga sampe nego gaji kamu sendiri. Aku aja nggak ngebantu apapun di proses lamar kerja kamu ini. Kamu harusnya bangga dan nggak usah banyak mikirin apa-apa lagi.” Kata gue.

Emi memang terbiasa overthinking.

“Iya Zy. Mudah-mudahan aku bisa lebih diapresiasi di sini ya. Entah kenapa, aku selalu yakin kok kalau aku bukan orang bodoh yang nggak patut dihargai. Apalagi kalah dari mereka yang cuma menang almamater doang tapi nggak bisa ngapa-ngapain kayak di kantor lama.” Ujar Emi bersungut-sungut.

“Nah, sekarang tunjukin aja kemampuan kamu di kantor baru ini. Aku selalu yakin kok kamu bisa nunjukin prestasi dimanapun kamu berada. Kalaupun gagal, jika dibandingin sama keberhasilannya, paling rasionya itu 80:20. Banyakan suksesnya kamu daripada gagalnya. Gagal itu keberhasilan yang tertunda. Ingat itu. Bukan berarti sekali kamu gagal, kamu nggak bisa berhasil di usaha kamu setelahnya. Ok?”

“Kamu itu suka lebay kalau nilai aku.”

“Nggak kok. Aku liat kemampuan kamu, terus aku sendiri juga udah ngerasain efek dari kemampuan kamu. Liat gimana dulu kamu bantuin ngerjain tugas kelompok aku yang amburadul. Kamu rapihin, benerin semuanya, review lagi dari awal. Dan voila! sukses. Terus pernah juga tugas pribadi aku dapet nilai tertinggi setelah kamu bantuin. Sekarang tesis aku bisa sampe sejauh ini karena siapa? Kurang percaya dan yakin apa lagi aku sama kemampuan kamu?”

“Udah deh. Itu kan biasa aja Zy. Nggak ada yang spesial.”

“BIASA AJA KATA LO?!”. Gue menarik nafas dulu. Kebiasaan jeleknya Emi nih.

“Itu prestasi Mi bagi orang lain.” Gue melanjutkan, “Itu ‘wah’ banget menurut orang lain. Lo bisa ngomong begitu karena lo nggak pernah diapresiasi sih sama bokap nyokap lo. Jadi lo nggak tau mana yang oke dan mana yang nggak, semuanya keliatan sama aja. Bokap nyokap lo tau anaknya pintar dan berprestasi, tapi karena sudah biasa kayak begitu. Jadinya mereka ngerasa lo nggak ada apresiasinya malahan, karena terbiasa dengan standar tinggi.”

Gue menghela nafas panjang, lalu menaruh makanan di meja. “Karena sikap dari bokap nyokap lo itu makanya lo jadi nggak tau mana yang ‘wah’ bagi orang lain. Lo anggep itu sama semua. Kalau orang nggak tau lo Mi, lo pasti dikata sombong sama orang. Gue yakin banget, lo bakalan jadi sosok yang menonjol di kantor baru ini.

Tapi kalau lo bersikap seolah merendah-untuk-meninggi begitu, lo bisa abis disenggol terus. Inget ini perusahaan gede. Ada reward and punishment yang nyata. Banyak orang muka dua Mi, apalagi kalau lawan lu itu boomer. Karyawannya ribuan, nggak cuma milenial seumuran lo doang, tapi lebih banyak boomer yang ada di sana. Gue yakin 100% akan banyak senggolan. Apalagi kalau lo begitu sikapnya.”

“Jadi gue mesti gimana dong Zy? Gue kan emang ngerasa ini biasa aja. Bukan mau sok dipuji-puji dengan ngerendah gitu. Lo paham gue kan Zy?”

“Buset. Ya lo mesti tau lah kalau yang lo lakuin itu emang bikin perbedaan. Lo belajar untuk ngapresiasi diri sendiri. Ketika ada orang-orang yang merasa terbantu atau mengapresiasi lo, lo jangan bilang biasa aja ini, tapi bilang makasih ke mereka. Cukup udah bilang gitu. Biar lo nggak dikata tengil jadi orang.”

“Iya udah ih. Masalah apresiasi gini aja jadi urusan banget buat lo Zy. Jadi panjang kemana-mana. Malah jadi emosi begini.”

“Mi, gue belajar dari pengalaman. Asli deh. Gue nggak setaun dua taun kerja. Apalagi kerjaan gue itu selalu berhubungan dengan banyak orang. Karakternya macem-macem. Gue jadi tau gimana orang bersikap. Mana yang tulus, mana yang fake. Makanya gue bilang, kalau ada orang yang apresiasi, lo cukup bilang makasih. Jangan bilang ‘Ini biasa aja kok.’ Kena bully lo ntar. Mending kalau dibully doang, kalau di fitnah sampai puter balik fakta gimana? Mampus lo adanya.”

“Jahat amat sih pikiran lo Zy.”

“Karena pengalaman yang ngajarin gue untuk selalu aware sama urusan ginian Mi. Satu lagi, jangan pernah percaya 100% sama siapapun di kantor. Karena ini perusahaan besar, potensi senggolan kencang banget. Biasanya, yang nyenggol itu ya teman dekat yang lo percaya. Soalnya mereka tau kan celah lo gimana.”

“Hmmm. Logis sih…. Iya deh. Gue akan lebih aware. Gue akan lebih peka lagi buat yang namanya apresiasi ini.”

“Udah, pokoknya lo tunjukin kemampuan kinerja lo sebaik mungkin disana. Lo ntar bakalan liat kalau semua omongan gue akan terbukti. Semakin lo berprestasi dan diapresiasi atasan, akan muncul berbagai macam gunjingan. Hati-hati juga sama Debby dan Bimo. Emang kalian teman deket waktu di kuliah, tapi kalau dikerjaan, big no. Profesional aja Mi. Terlepas lo pernah deket dan nge-geng di crocodile yang kayak anj*ng itu, mereka tetaplah orang lain kalau dipekerjaan. Justru mereka yang sangat berpotensi buat ngebalikin lo Mi nanti.”

“Kayaknya nggak akan sampai segitunya deh Zy. Lo nggak kenal aja Bimo dan Debby gimana.”

“Kita liat aja nanti Mi. kalau bener omongan gue kebukti, gue akan bilang, ‘KAN APA GUE BILANG?!’ di depan muka lo kenceng-kenceng. Hahaha. Biar mampus.”

“Yee, t*i amat doain kayak gitu lo. Gue sunat bolak balik juga lo!”

“Hahaha. Yaudah. Sekarang lo pokoknya kerja aja yang bener. Gue yakin banget, dengan saingan lo disana yang kelasnya di bawah orang-orang kantor lama lo, dalam waktu enam bulan kedepan, lo udah pasti di notice sama direktur. Percaya gue!”

Emi hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Optimisme gue membawa keraguan dalam dirinya sepertinya. Apakah dia tertekan dengan beberan fakta yang baru aja gue kemukakan? Gue nggak tau dan gue nggak nanya-nanya juga sama dia. Biarin aja dia nikmati sendiri pengalamannya bekerja di perusahaan settle seperti itu. Gue hanya berharap, Emi bisa banyak belajar dari pengalaman kerjanya di perusahaan besar ini.

Soalnya, gue ingin membuat sebuah usaha bersamanya di masa depan. Dengan ilmu manajemen bisnis secara teoritis yang gue dapat di kampus, serta dinamika kerja di perusahaan besar dari pengalaman Emi nantinya, harusnya kami bisa membentuk sebuah tim yang solid di dunia bisnis. Harusnya.

---

Keadaan di rumah gue sendiri sekarang mulai nggak kondusif sama sekali. Mama udah mulai menanyakan tentang hubungan gue dengan Emi. Apalagi belakangan ini prioritas gue memang selalu Emi dan keluarganya. Gue lebih banyak menghabiskan waktu gue dengan Emi dan di rumah Emi. Apalagi ketika Emi jatuh sakit kemarin dan kita sibuk penyelesaian tesis ini. Gue makin jarang lagi pulang ke rumah.

Gue hanya berpikir, gue sekarang ini udah dewasa dan nggak bisa lagi diatur-atur. Gue punya jalan hidup gue sendiri. Sukses atau nggaknya kehidupan gue, itu tergantung dari gue sendiri. Ini yang seringkali gue tekankan ketika berbicara soal kehidupan gue dengan Mama. Tapi namanya orang tua pasti mau yang terbaik untuk anaknya, versi pemikiran mereka.

Tetapi, standar pencapaian kesuksesan versi kita sendiri kan lain cerita. Apalagi zaman udah berubah dan nggak kayak dulu lagi. Dulu umur 25 tahun bisa bantu adik-adiknya sekolah karena masih murah biaya sekolah, harga kebutuhan belum melambung tinggi, dan banyak kemudahan lainnya.

Sedangkan sekarang umur 25 tahun aja masih banyak yang masih mau main-main, masih banyak yang malah sibukin diri dengan bermain sosial media alias kaum rebahan, bahkan ada yang kerjaannya kulineran atau jalan-jalan doang. Anak muda jaman sekarang lebih mengejar keinginan sederhana mereka yang belum bisa tercapai, daripada memikirkan hal berat seperti menikah. Zamannya udah beda, nggak semudah dulu.

Teknologi berkembang, biaya untuk kebutuhan hidup juga pasti akan meningkat. Jadi membandingkan orang zaman dulu dengan sekarang di umur yang sama jadi nggak apple-to-apple. Pola pikir para boomer juga yang akhirnya membuat manusia nggak mau berkembang.

Mereka terlena sama romansa kejayaan masa lalu terus. Mereka banyak yang memaksakan pola pikir mereka ketika mendidik milenial tanpa berpikir untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman yang ada.

Ujung-ujungnya mereka tergerus kemajuan zaman dan akhirnya tertinggal. Tetapi karena mereka sedang dalam masa kejayaannya saat ini, mereka bisa men-judge bahwa gue dan milenial lain yang nggak sejalan dengan mereka adalah kaum yang gagal dalam hidupnya.
“Hubungan kamu itu kayaknya Mama perhatiin udah lama banget. Apalagi sekarang kamu makin rajin kesana daripada ke keluarga kita sendiri. Jadinya mau dibawa kemana?” tanya Mama.

“Iyalah, keluarga di sana lebih bikin nyaman daripada keluarga sendiri.” Jawab gue santai.

“Kamu sendiri yang bikin perkara. Kamu sering berpikiran negatif terus sama keluarga besar kita. Makanya jadi nggak nyaman”.

“Ya emang efeknya negatif kok sama aku. Jadi ya wajar aja kalau aku lebih nyari yang nyaman buat aku. Yang nerima aku. Yang ngganggep aku ada. Menghargai aku. Aku niatan serius kok sama dia, tapi aku mau konsentrasi dulu buat penelitian aku. Aku juga udah bilang kalau mau serius sama Emi ke Mama kan? Titik. Nggak ada yang diubah-ubah lagi. Jadi, nggak ada yang perlu ditanyain lagi kan?”

“Terserah kamu lah kak. Kamu itu lebih bela-belain keluarga orang lain daripada keluarga sendiri. Mau sampai berapa lama emang kamu pacarannya? Soalnya Mama perhatiin kamu itu banyakan buang waktu daripada serius. Jadi makin nggak jelas hidupnya. Cape sendiri Mama ngeliatnya.”

“Ya aku nggak dihargain sama keluarga besar sendiri, tapi ada yang ngehargain aku sampai sebegitunya di keluarga besar lain, ya mending aku disana. Logis dong? Lagipula nggak jelas gimana? Aku sekarang lagi ngerjain tesis, aku kerja bener, bisa beli mobil sendiri nggak pake cicil, terus mau buktiin apa lagi? Kenapa Mama masih terus aja nyalahin keberadaan Emi.”

Gue beranjak dari tempat duduk ruang makan ke arah meja komputer, “Dia nggak salah apa-apa dan nggak bawa efek negatif ke diri aku. Sebaliknya malah, kalau nggak ada Emi, mana bisa aku bisa ngerjain tesis secepet ini? Dia itu yang paling banyak bantu kuliah aku. Kalau nggak, aku keteteran pasti. Ujung-ujungnya pasti kena denda banyak dikampus kalau nggak kelar tepat waktu. Harusnya Mama makasih sama Emi udah banyak bantuin keluarga ini.”

“Ya terserah kamu lah kak. Yang jalanin kehidupan kan kamu. Mama cuma mau yang terbaik buat anak-anak Mama.”

“Emang terserah aku lah. Makanya aku milih jalan kayak gini. Lagian tiap hari ngomonginnya masalah kehadiran di keluargaaaaa mulu, kayak yang ditunggu banget kehadirannya. Padahal nggak ada yang nyariin juga. Dianggep ada juga nggak. Ada nggak ada aku juga nggak ngaruh. Kalau Emir nggak ada, baru ngaruh. Baru tuh pada nyariin.”

Gue langsung keluar dari rumah karena mood gue rusak banget. Kebetulan gue lagi nggak ke kantor, gue memutuskan untuk ke rumah Emi. Walaupun Emi lagi nggak ada di rumah karena dia sedang pergi dengan bokapnya, tapi gue sudah dianggap anak sendiri oleh kedua orang tuanya dan akhirnya ya bebas-bebas aja disana.

Tetapi hari ini berbeda. Karena ternyata, gue ditanya dengan hal yang kurang lebih sama dengan yang Mama tanyakan tadi pagi. Gue ditanyain masalah hubungan dengan Emi oleh nyokapnya. Intinya, kapan kira-kira mau benar-benar diresmikan. Gue nggak banyak bisa jawab. Karena konsentrasi gue saat itu ya tesis dulu. Belum sampai ‘Mau kapan gue akan melamar atau menikahi Emi?’. Gue memang akan berniat untuk membawa hubungan ini serius, tapi setelah urusan-urusan lainnya selesai.

Gue mau soal pernikahan ini digarap dengan fokus. Nggak terbelah dengan pikiran-pikiran lain. Karena ini terkait dengan masa depan gue. Gue juga nggak suka hal ini menjadi tekanan tersendiri. Ini adalah masa depan, dan harusnya nggak jadi beban tersendiri buat gue. Untungnya nyokap dia nggak memaksa gue untuk langsung memberikan jawaban. Nyokapnya ninggalin gue ketika gue nggak memberikan jawaban yang dia ingin dengar.

Alhasil, gue malah dibikin makin pusing. Niatnya hari ini mau refresh di rumah Emi, eh ternyata gue malah dihadapkan dengan pertanyaan yang hampir sama dan malah nambah beban pikiran di diri gue. Semua mempertanyakan tentang keseriusan gue dalam berhubungan dengan Emi.

Ini orang-orang pada kenapa sih? Pada buru-buru amat pengen ngeliat Emi nikah? Lagian Emi masih 23 tahun. Masih panjang jalan hidupnya. Karir dia di pekerjaan pun juga masih baru dimulai. Kenapa dia harus diburu-buru menikah?

Karena gue stuck, gue langsung pamit dari rumah Emi dan pergi untuk menenangkan diri gue. Gue pun bertanya kepada diri gue sendiri. Apa iya gue sudah siap untuk melangkah ke jenjang berikutnya yang lebih serius dengan Emi? Apa lagi yang masih gue cari ketika Emi sudah memenuhi semua kriteria yang gue inginkan?

Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kapan lagi gue menemukan sosok langka yang punya banyak sekali kesamaan dengan gue dan cocok dengan gue? Kapan lagi gue menemukan sosok yang selalu bisa membantu gue untuk memenuhi segala kebutuhan gue?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus berputar di kepala gue, yang akhirnya membuat otak gue semakin semrawut. Apalagi gue baru aja ditimpa musibah tempo hari yang belum juga mendapatkan solusi gimana gue bisa mendapatkan laptop baru untuk gue. Eh sekarang gue ditanyain mengenai kelanjutan hubungan.

Ada aja pikiran.
namikazeminati
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.