Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2164
Tantangan
Persiapan untuk pengambilan data penelitian ke Sukabumi sudah hampir 100%. Gue sangat bangga terhadap Emi karena dia benar-benar membantu sekali dalam penyelesaian tesis gue ini. Keberadaan dia di sisi gue membuat diskusi menjadi sangat lancar dan mengalir walaupun dia nggak ikut satu pun kelas yang gue ambil dan hanya mengandalkan diktat kuliah serta catatan yang gue bikin.

Kami diskusi mengenai segala macam seluk beluk penelitian gue. Mulai dari diskusi mengenai perumusan tujuan penelitian, metode apa saja yang akan dipakai untuk pengambilan sampelnya, merumuskan kuesioner, menyiapkan alat dan bahan-bahan untuk pengambilan data, sampai akhirnya mendiskusikan implikasi manajerial yang dapat diterapkan di desa tersebut. Semuanya berjalan dengan sangat dinamis. Harusnya Emi juga mendapatkan gelar master, bukan hanya gue. Kemampuan gue bahkan masih dibawah Emi walaupun secara usia gue lebih tua darinya.

Memang, di awal penulisan proposal hingga akhirnya penelitian ini dimulai, dia lebih banyak andil dalam pembuatannya. Tapi gue berusaha mengejar ketertinggalan gue tersebut. Apalagi ketika dia harus istirahat pasca operasi kemarin. Gue nggak bisa memaksa dia untuk terus meneruskan tesis gue. Dia butuh istirahat.

Gue hanya meminta guide dia apa sekiranya langkah selanjutnya yang harus gue persiapkan. Sisanya gue coba lanjutkan sendiri, sambil menunggu masa pemulihan dia. Di sini gue sadar, kalau gue sangat membutuhkan dia di hidup gue.

Tapi, gue nggak melulu ikut dan setuju dengan semua pendapat atau masukan dari dia. Dia paling nggak suka kalau gue selalu nurut dan membenarkan semua pendapat dia. Maka, nggak jarang tarik ulur dan silang pendapat terjadi di antara kami dalam setiap diskusi kami. Tetapi kami selalu bisa mengambil jalan tengah yang menurut kami adalah jalan yang terbaik.

Keberadaan Emi di hidup gue juga membawa sisi buruk bagi gue dan mungkin bagi orang lain juga. Emi selalu bisa menyediakan seluruh kebutuhan yang memang dibutuhkan oleh gue. Dia juga bisa memberikan jawaban atau solusi ketika gue sedang bingung atau buntu. Kalau suatu saat dia pun nggak tahu atau dalam posisi buntu, nggak membuat dia berenti begitu aja dan jadi ninggalin gue.

Dia akan merangkul gue dan berjalan bersama gue untuk bersama-sama mencari jalan, jawaban, atau solusi terbaik bersama. Gue dan Emi lebih banyak bekerjasama daripada saling memanfaatkan, sehingga masing-masing dari kami bisa mendapatkan ilmu baru atau pengetahuan yang sebelumnya belum diketahui.

Dia jadi orang yang bisa memfilter dan jadi pengingat diri gue ketika gue agak kebablasan. Dia juga membuat pencitraan gue di hadapan orang-orang menjadi sangat baik. Ya karena dia menyediakan segalanya buat gue. Nggak heran dulu Emi selalu dimanfaatkan oleh teman-temannya, walaupun dia pribadi sebenarnya nggak pernah merasa dimanfaatkan.

Kalau kalian mengenal dia secara pribadi dan merasa dia ini merendah untuk meninggi, percayalah sama gue, dia orangnya memang sepolos itu ketika berteman. Ini yang membuat gue ingin selalu menjaga dia dari orang-orang yang suka memanfaatkan dia. Walaupun menurut beberapa orang (terutama temen-temen Emi), gue adalah orang yang paling memanfaatkan dia.

Gue sadar, Emi sudah membuat gue menjadi ketergantungan dengannya. Ketergantungan, bukan memanfaatkan. Semua yang akan gue lakukan pasti akan gue diskusikan terlebih dulu dengan Emi sebelum eksekusi. Gue selalu meminta second opinion dari seorang Emi. Memang sih, gue udah melakukan itu dari dulu juga. Tapi gue merasa, gue makin bergantung dengan keberadaannya.

Dulu, gue paling khawatir kalau pasangan gue akan menjadi ketergantungan sama gue karena gue yang selalu berusaha ada untuk pasangan gue itu. Gue akui, baru kali ini gue merasa dibuat ketergantungan oleh pasangan gue. Gue merasa mungkin gue nggak akan bisa sampai di titik gue saat ini yang telah dicitrakan ‘wah’ di hadapan orang-orang, terutama cewek-cewek itu, tanpa Emi. Tapi andai mereka tahu, kalau perasaan gue ke Emi ini real dan nggak pernah bohong.

Beruntungnya lagi, Emi ini adalah orang yang kuat di segala macam keadaan. Dia nggak pernah mengeluh kalau dia harus berada di lapangan. Turun lapang disini artinya benar-benar turun ke lapangan, kepanasan, keujanan, becek-becekan, kena lumpur, kotor, dan sebagainya.

Dari cerita dia dan cerita orang-orang yang mengenal dia, nggak jarang dia menjadi team leader ketika dia harus turun lapang. Atau mungkin minimal dia menjadi pemberi arahan dan eksekutor di lapangan. Kesiapannya di lapang udah nggak gue raguin lagi. Makanya ketika gue mengajaknya traveling kemanapun (naik motor, angkutan umum, ataupun mobil) jadi nggak masalah, karena dia udah terbiasa dengan dunia luar.

---

Desa yang menjadi lokasi penelitian gue adalah desa yang kami sama-sama pernah kunjungi semasa kami kuliah dulu. Maksudnya, dulu saat gue kuliah, gue pernah ke desa tersebut. Ketika Emi kuliah, Emi pun diharuskan untuk mengunjungi desa tersebut juga. Jadi, kami punya gambaran dan pengalaman yang sama di desa tersebut.

Namun, perjalanan dan pelaksanaan penelitian gue di sana terasa sangat berat. Dari tiga hari perencanaan pengambilan data di lapang yang sudah kami susun sedemikian rupa, kami harus dihadang oleh kenyataan kalau senjata utama gue (dalam penyelesaian tesis dan pekerjaan) yaitu laptop gue, hilang dicuri orang.

Laptop gue hilang dicuri dengan cara memecahkan kaca mobil bagian tengah, tempat dimana tas berisi laptop gue berada. Tas tersebut gue simpan di bagian bawah jok mobil, yang gue pikir kayaknya nggak mungkin juga ada orang yang niat banget untuk mengintip kaca mobil yang udah gelap dari luar terebut. Nyatanya? Laptop gue dan seluruh isi tasnya tetap raib juga.

Yang bikin miris adalah gue mengalami kejadian tersebut ketika gue dan Emi sedang berada di salah satu kantor dinas. Kami sedang melakukan wawancara dengan kepala dinas di sana. Kami juga tidak meninggalkan mobil kami dalam waktu yang lama. Hanya kurang lebih 10 sampai 15 menit karena kepala dinas hanya memiliki waktu sedikit untuk kami wawancarai. Dan laptop gue raib dalam selang waktu tersebut di lokasi yang seharusnya aman.

Gimana bisa ya kan? Pengamanan parkirnya kayak gimana coba di sana? Gue parkir nggak di tempat yang sepi juga kok. Gue parkir tepat bersebelahan dengan mobil-mobil para ASN yang ada di dalamnya. Namanya juga kami berangkat penelitian di hari kerja. Padahal, di dekat pintu keluar kantor dinas, ada sebuah warung yang terisi banyak orang sedang minum kopi. Masa mereka sama sekali nggak melihat ada orang yang keluar dari kantor dinas sambil bawa tas gue gitu?

Kocaknya lagi, kantor dinas tersebut hanya berjarak 100 meter dari Polres setempat. Polres loh bukan Polsek. Belum lagi sepanjang jalan dimana kantor dinas tersebut berada adalah jalan khusus untuk kantor-kantor dinas daerah tersebut berada. Jalan besar yang nggak sepi dan banyak orang lalu lalang karena kami datang di hari kerja.

Kami pun melaporkan hal ini ke Polres tersebut. Tetapi, bukannya ditindak cepat, kami malah disuruh buat BAP yang sangat bertele-tele. Kami juga ditinggal menunggu di ruang terpisah, entah menunggu mereka ngapain. Baru sekitar 1 jam setelahnya, kami diminta mengisi beberapa berkas dan dilakukan oleh TKP.

Lucunya bahkan mereka sempat mencurigai kalau Emi yang sengaja menghilangkan laptop gue karena Emi yang terlihat nervous serta menangis ketika diwawancara. Akhirnya, kami menghabiskan seluruh waktu kami seharian itu di sana. Dan entah mereka sadar atau nggak, tapi dalam waktu segitu adalah waktu yang sangat panjang untuk mretelin laptop gue, atau mendistribusikannya ke luar kota.

Gue dan Emi sama-sama down banget mentalnya saat itu. Kami sama-sama menghubungi keluarga kami tentang kejadian tersebut. Tetapi kami memutuskan untuk melanjutkan pengambilan data ini, walaupun keluarga kami minta kami segera pulang. Udah cukup banyak waktu dan uang yang kami keluarkan untuk perjalanan ini, jadi sayang banget kalau nggak mendapatkan apapun. Apalagi uang tabungan gue nggak banyak ketika itu. Kalau harus diulang, akan makin banyak lagi uang yang keluar, tenaga yang terbuang, dan waktu yang disia-siakan.

Gue tau, Emi juga pasti lagi kebingungan dan ketakutan. Apalagi ini terjadi di mobil kami sendiri. Tapi melihat gue yang bengong dan tanpa semangat, Emi memilih untuk berusaha mengembalikan mood gue yang sudah hancur berantakan.

Dia nyemangatin gue dan berusaha mencari solusi juga. Dia membersihkan pecahan kaca yang ada, merapihkan isi mobil biar nggak mencurigakan untuk kembali dibobol kacanya, dan mengajak gue untuk mengakalinya dengan menutup sisi jendela yang tanpa kaca tersebut menggunakan plastik dan selotip.

Kami memutuskan untuk beristirahat dulu malam itu untuk merancang ulang seluruh rencana pengambilan data kami karena waktu kami banyak terbuang hari itu. Dia menenangkan gue dan merancang kembali seluruh timeline kami. Dia minta gue untuk bangkit dan makin semangat untuk nyelesein semuanya. Tanpa dia yang mau backup gue di masa kayak begini dan mau nyemangatin gue, mungkin gue udah putus asa kali.

Dia juga menyadarkan gue kalau pengambilan data penelitian kali Ini tetap harus terlaksana karena sulitnya untuk mengurus surat izin melakukan penelitian lapang. Gue juga sadar kalau selama beberapa hari kemarin kami harus bolak balik ke kampus untuk membuat surat izin ke masing-masing dinas harus kami datangi.

Proses permintaan izin hingga akhirnya seluruh suratnya tersebut jadi membutuhkan waktu yang sangat lama dan proses yang sangat panjang dalam pengurusannya. Jadi, kalau yang sekarang gagal, berarti gue harus butuh waktu lebih lama lagi untuk mengurus ulang administrasi bullshit ini.

Akhirnya, semua tetap terlaksana dengan baik (walaupun kami harus menambah satu setengah hari lagi) karena ada Emi di sisi gue. Dari awal sampai akhir, rencana berjalan dengan lancar, ya dengan bumbu musibah tadi.

Emi benar-benar membuat gue ketergantungan berat dengannya. Semuanya disediakan olehnya. Apa yang gue butuhkan bisa dipenuhi oleh dia. Ketika gue buntu, dia punya solusi untuk membantu gue. Dan ketika gue hampir menyerah, dia datang memberikan gue semangat untuk kembali bangkit.

Apakah Emi spesial untuk gue? Udah pasti. Hanya orang bodoh yang masih mempertanyakan atau meragukan betapa spesialnya seorang Emi bagi gue. Dari seluruh deskripsi cerita gue di season 3 ini, seharusnya sudah cukup menggambarkan superioritas Emi sebagai seorang manusia, tentunya dengan kekurangan-kekurangan yang dia punya juga, dan … NO DEBATE.

--

Gue melanjutkan kehidupan gue dengan berkutat dalam penyelesaian tesis dan bekerja seperti biasa. Nggak ada perubahan apapun di hidup gue, hanya perasaan gue yang semakin erat dengan Emi apaagi semenjak kejadian musibah saat penelitian gue dulu. Perubahan yang signifikan justru terjadi pada Emi. Emi saat ini sudah menyandang status sebagai seorang staf di perusahaan properti terkemuka di Indonesia.

Perusahaan ini pernah menjadi salah satu klien besar gue di masa lalu. Mungkin juga kedepannya akan ada lagi proyek dari perusahaan ini. Setidaknya, Emi sudah lepas dari belenggu stagnansi karir di perusahaan startup. Gue jamin, dia akan membuat sesuatu yang nyata dan menjadi pribadi yang lebih hebat lagi di perusahaan baru dia nanti. Dia ga pantes jadi staf biasa yang tanpa peningkatan karir sama sekali di perusahaan startup tersebut.

Gue yakin sih, nggak cuma Emi yang merasakan stagnansi tersebut. Tapi hampir seluruh startup yang berkembang di Indonesia melakukannya. Apa itu? Ya menerima anak orang-orang kaya nirbakat (atau sebenarnya berbakat dan kebetulan dari kalangan berada) yang pernah kuliah di universitas luar negeri; kuliah di universitas swasta mahal dalam negeri; kuliah di universitas negeri terkemuka dengan jurusan ilmu-ilmu sosial (yang biasanya diisi oleh anak-anak orang kaya yang bisa masuk lewat jalur bayar-lebih-mahal-dengan-alasan-untuk-subsidi-silang-mahasiswa-kurang-mampu); atau mereka yang pernah magang di perusahaan-perusahaan ternama (karena koneksi orangtua yang sangat luas). Gue juga nggak ngerti kenapa perusahaan startup tersebut lebih ngebelain orang-orang kaya seperti itu dibandingkan Emi dan teman-temannya yang membantu membangun perusahaannya dari bawah.

Perusahaan baru tempat Emi bekerja kurang lebih sama sebenarnya. Karyawan di perusahaan barunya gue yakin nggak seluruh itu juga. Apalagi Emi diterima di perusahaan besar dan sudah settle dimana senggolan antar karyawannya pasti lebih kenceng. Siapa yang nggak ingin stay dan menyingkirkan penghalang untuk tetep berada di perusahaan semacam itu?

Tetapi, bagaimana mereka melihat Emi ketika Emi diwawancara sebelumnya, gue merasa mereka bisa menghargai orang-orang yang benar-benar punya kinerja yang sangat baik. Fakta yang selalu dihadapi Emi di perusahaan sebelumnya : “Lo ganteng/cantik dan lo kaya, omongan lo pasti didengerin dan kinerja pasti diapresiasi” kayaknya nggak terlalu berlaku di kantor Emi sekarang.

Background pendidikan para karyawan di dalamnya kayaknya nggak jadi tolok ukur utama di perusahaan konvensional ini. Terlihat dari karyawannya yang nggak cuma diisi oleh orang-orang seumuran Emi, tapi masih banyak karyawan yang lebih tua dari Emi bahkan ada yang tidak memiliki gelar sarjana. Darimana gue tau? Selain karena gue udah pernah bekerjasama dengan perusahaan tersebut, kemampuan intel dan story telling Emi juga sangat membantu gue untuk membuat kesimpulan seperti itu.

Sepertinya HRD di sana bisa menilai lebih baik. Mungkin mereka berpikir kalau pendidikan tinggi dan sampai bisa melanjutkan ke luar negeri bisa dilakukan oleh siapapun ketika bapak lo kaya. Biar kata otak lo nggak mampu kalau bapak lo kaya semua jadi mungkin, benar apa betul?

Mereka-mereka yang kuliah di luar negeri belum tentu kemampuannya secara akademis lebih baik daripada mereka yang kuliah di universitas lokal. Bahkan mungkin juga mereka yang nggak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan hingga jenjang kuliah, bisa memiliki kinerja lebih baik ketika bekerja dibandingkan mereka yang kuliah.

Gue sangat mengapresiasi teman-teman yang kuliah di luar negeri hasil beasiswa. Itu artinya mereka menggunakan otak dan kemampuan murni yang mereka milik dan asah terus menerus, bukan uang bapaknya. Makanya gue diawal kenal sama Emi, gue sangat bangga dengannya. Karena selama kuliah di kampus kami, dia nggak bayar sepeser pun.

Emi menyelesaikan pendidikannya menggunakan otaknya, bukan pakai uang orangtuanya. Dia bertahan hingga lulus menjadi sarjana dengan hanya mengandalkan uang beasiswa yang ia terima. Hanya saja, dia belum beruntung untuk terbang ke luar negeri ataupun melanjutkan S2 dia.

Tetapi dengan fakta yang ada di hadapan gue, terbukti sudah kalau orang seperti gue serta mereka yang pernah ke luar negeri dan bisa melanjutkan S2, masih kalah jauh dari Emi yang belum mendapatkan semua kesempatan tersebut.

Buktinya, Emi bisa lebih dihargai di perusahaan yang jauh lebih besar, daripada perusahaan yang baru lahir beberapa tahun saja. Emi nggak dianggep bahkan nggak dipertahankan di perusahaan startup sebelumnya, tetapi dia dilihat di perusahaan yang lebih besar. Jadi yang salah yang mana?

Percuma kalau idealisme ala milenial tetap diagung-agungkan oleh mereka, tetapi di dalamnya mereka sulit menghilangkan ‘sistem koneksi’ pada perekrutannya. Mereka jadi sulit memilah dan memilih calon karyawan yang tepat untuk membesarkan perusahaan impian mereka tersebut.

Apalagi mereka juga terkadang masih suka bersikap dan berkoar mengenai idealisme mereka akan perubahaan yang akan mereka lakukan, tetapi ujungnya mereka hanya mengincar cuan (untung besar) juga. Mereka merasa akan semakin cuan dengan koneksi yang mereka miliki berdasarkan perekrutan ‘wah’ yang udah mereka lakukan. Alah, t*i, sama aja kan sebenarnya.

Siapa sih yang bikin usaha tapi nggak kepengen cuan?” Gue paham kok. Gue pun kalau nantinya akan berbisnis, gue akan berusaha mencapai target gue. Tapi tolonglah kalian stop berkoar dengan idealisme kalian itu. Muak juga lama-lama dengarnya. Haha.

Sesuai dengan cerita Emi sebelumnya, dimana karyawannya yang nggak cuma diisi oleh orang-orang seumuran Emi tapi masih banyak karyawan yang lebih tua dari Emi bahkan ada yang tidak memiliki gelar sarjana, gue sebenarnya agak sedikit khawatir dengan keberadaannya disana akan menemui banyak senggolan.

Karena saat ini, Emi nggak menghadapi lagi stagnansi karir karena ‘sistem koneksi’, tetapi dia akan menghadapi senggolan untuk meningkatkan karir dia dengan ‘sistem jilat atasan’ dari para (baby) boomer yang masih menjadi mayoritas di perusahaan tersebut.




Diubah oleh yanagi92055 16-06-2020 19:26
namikazeminati
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 18 lainnya memberi reputasi
17
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.