Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nttnewsAvatar border
TS
nttnews
Opini: Gelar Tak Lagi Menjamin Kompetensi
Opini: Gelar Tak Lagi Menjamin Kompetensi

Presiden Jokowi mengatakan bahwa, “Semua Negara sekarang ini persaingannya ada di situ. Bukan ijazahmu apa. Bukan adu ijazah, bukan. Adu keterampilan. Adu skill. Adu kompetensi. Inilah sekarang yang hamper semua Negara mengasah skill dan keterampilan”.

Senada dengan hal tersebut, beberapa waktu sebelumnya Mendikbud Nadiem Makarim lebih dulu mengatakan bahwa Di era digital ini gelar tidak lagi menjamin kompetensi. Bahkan menurutnya gelar kelulusan tidak lagi menjamin kesiapan seseorang dalam bekerja.

Pernyataan ini disampaikan mantan Bos Gojek tersebut pada saat memberikan pidato pelantikan Rektor Universitas Indonesia (UI) periode 2019-2024 di Balai Purnomo, UI, Depok, Rabu (4/12/2019).

Dari berbagai sitiran yang dilontarkan oleh para millenial, ada yang bernada mendukung ada pula yang mengecam. Ya, semua berhak untuk berpendapat. Apalagi ini menyangkut hajat hidup para pelajar yang sedang menempuh pendidikan maupun yang sudah melewati jenjang pendidikan dan sedang bertarung di pasar tenaga kerja. Akan tetapi semuanya menurut saya masih sebatas komentar, karena sifatnya spontanitas. Tidak ada yang berbentuk kritik untuk mengurai permasalahan.

Sebenarnya kita perlu mengurai terlebih dahulu apa yang melatarbelakangi pernyataan Presiden Jokowi dan Mendikbud tersebut.

Setidaknya ada dua isu yang menjadi latar belakang dari pernyataan mereka berdua. Pertama, gagalnya penyelenggaraan pendidikan formal dalam mencetak SDM berkualitas. Kedua, tidak mampunya Negara dalam member akses pendidikan murah.

Saya mencoba mengawali dengan berbaik sangka dahulu terhadap Presiden dan Mendikbud ketika melontarkan pernyataan kontroversial tersebut. Bisa jadi ini adalah kritik atas penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia yang hanya berorientasikan ijazah, bukan kualitas lulusannya.

Sejak awal masuknya pendidikan formal di Indonesia melalui Politik Etis Kolonial Belanda hingga hari ini hampir 75 tahun Indonesia merdeka, sistem pendidikan kita masih sama yaitu sebagai pabrik tenaga kerja. Sekolah dan Perguruan Tinggi dijadikan tempat untuk mencetak buruh-buruh siap kerja, bukan sebagai tempat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dulu, Kolonial Belanda mendirikan sekolah hanya untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) yang kemudian dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan colonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah.

Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi setelah tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren(OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah bagi kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.

Saya rasa hal itu pun masih berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hari ini. Hal ini ditandai dengan ijazah dan IPK menjadi syarat mutlak dalam bersaing di pasar tenaga kerja.

Ditambah lagi dengan fakta bahwa semakin tingginya akreditasi atau reputasi suatu sekolah dan perguruan tinggi akan berbanding lurus dengan semakin besarnya peluang alumnus dalam memenangkan persaingan di pasar tenaga kerja.

Maka dari itu para siswa berlomba-lomba dengan berbagai cara (termasuk membeli kunci jawaban UN dan UTBK) untuk masuk di sekolah favorit agar nantinya juga masuk ke Universitas favorit di tanah air.

Ada paradigma yang berkembang di masyarakat secara umum yang mengatakan bahwa kalau kuliah di UI, ITB, IPB, ITS, UB, UGM atau kampus favorit lainnya nanti akan gampang cari kerja. Hal ini pun dimanfaatkan oleh kampus favorit tersebut untuk meninggikan biaya perkuliahannya dari tahun ke tahun.

Rumusnya sederhana, “Supply dan Demand berbanding lurus dengan Price”.Permintaan masuk semakin tinggi sedangkan jumlah kursi yang tersedia hanya sedikit, maka harga harus dinaikkan untuk menekan permintaan. Logika yang dipakai menjadi logika bisnis. Komersialisasi pendidikan pun terjadi disana.

Akhirnya, skill pun menjadi nomor sekian dalam output seorang pelajar dalam menempuh pendidikan, yang penting background nya berasal dari kampus ternama. Inilah yang menjadi kritik keras dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air selama ini.

Kemudian yang perlu kita perhatikan selanjutnya adalah bias jadi pernyataan dari Presiden Jokowi dan Mendikbud tersebut dilatarbelakangi oleh tidak mampunya Negara dalam member aksespendidikan murah.

Untuk menghibur masyarakat yang tidak mampu melanjutkan sekolah akhirnya pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan ijazah dan gelar sebagai syarat untuk masuk kedunia kerja.

Disamping itu, kebutuhan Negara untuk menggenjot perekonomian nasional mengharuskan terciptanya jumlah tenaga kerja yang  besar. Untuk memotong proses penciptaan tenaga kerja tersebut maka pendidikan yang harus menjadi tumbal.

Sebagai penutup, pada tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak dalam posisi untuk pro atau kontra secara buta terhadap kebijakan untuk menghapuskan ijazah sebagai syarat untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Akan tetapi kita harus sadari bahwa Negara kehilangan tujuannya. Kita ini ingin menjadi bangsa yang seperti apa? Apakah bangsa produsen, konsumen atau malah bangsa kuli seperti yang pernah disampaikan Bung Karno?

Pendidikan memang tidak bias terlepas dari tujuan Negara atau pemerintah. Kurikulum pendidikan nasional menjadi alat yang fundamental untuk mencapai tujuan Negara tersebut. Pada masa kepemimpinan Bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Untuk itu tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan negara. Jika dibandingkan dengan sekarang, tidak ada kejelasan tujuan pendidikan yang dilaksanakan dan cenderung diwarnai arus menyambut globalisasi serta mengesampingkan akar kebudayaan bangsa.

Pada prinsipnya pendidikan itu adalah landasan dalam konstruksi suatu bangsa. Pendidikan merupakan kerja budaya untuk membangun peradaban, bukan kerja yang berorientasi profit dan berujung pada penciptaan baut-baut imperialisme. Konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara harus kembali diterapkan untuk menghidupkan Trisakti Jiwa (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka membentuk SDM yang maju di Indonesia.

Finlandia sebagai Negara denga ntingkat pendidikan terbaik di dunia (WMLN, 2018) juga ternyata merupakan negara yang masyarakatnya paling bahagia di dunia (PBB, 2018). Di dalam amanat Pembukaan UUD 1945 juga mengatakan bahwa tujuan didirikannya Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan janganlagi diremehkan hanya sebagai syarat untuk mendapat pekerjaan.

Ijazah dan Gelar memang bukan untuk menandakan seseorang siap kerja atau tidak agar pendidikan tak salah orientasi. Pemerintah dan masyarakat harus mengubah cara pandang dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

nona212
nowbitool
fias17
fias17 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.3K
34
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Tampilkan semua post
riendzy92Avatar border
riendzy92
#10
Hal sekarang yang paling menentukan adalah Koneksi/ relasi,
percuma ijazah tinggi jika saingannya memiliki relasi/ koneksi dengan perusahaan yang dilamar. Seakan ijazah tidak berguna sama sekali...

emoticon-Mewek
Diubah oleh riendzy92 08-06-2020 17:54
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.