wismanganAvatar border
TS
wismangan
Kala Pemilik Ulayat di Papua Meninggal Usai Protes Lahan Tergusur Perusahaan Sawit

Hutan di Papua, yang terbabat jadi sawit. Foto: video Burning Paradise: Palm Oil in The Land of the Tree Kangaroo

Marius Betera, pemilik ulayat di Boven Digoel, meninggal dunia setelah pagi harinya sempat kena aniaya polisi, saat datang ke kantor perusahaan sawit, PT Tunas Sawa Erma. Betera datang ke kantor anak usaha Korindo Gruop itu mau protes karena lahan tergusur.

Kabid Humas Polda Papua, Ahmad Musthofa Kamal mengatakan, berdasarkan pemeriksaan tim dokter klinik PT Korindo POP-A Camp 19 Asiki dan hasil otopsi, korban meninggal dunia karena serangan jantung. Di tubuh korban tidak ditemukan ada lebam maupun luka lecet.

Pada 19 Mei, Majelis Rakyat Papua (MRP) yang bergabung dalam tim Anim Ha bertemu dengan Polda Papua untuk meminta klarifikasi. Mereka diterima Wakapolda Papua, Yakobus Marjuki. Albert Mouyend, anggota MRP ikut dalam pertemuan itu. Mouyend mendapat kesan kasus ini hendak ditutup-tutupi hingga cerita jadi mengambang.

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mengeluarkan pernyataan dengan menyampaikan beberapa poin tuntutan dan desakan kepada perusahaan, Polres Boven Digoel dan Polda Papua.


Pertengahan bulan lalu, tepatnya 16 Mei 2020, Marius Betera, pemilik ulayat di Boven Digoel, meninggal dunia setelah pagi harinya sempat kena aniaya polisi, Melkianus Yowei, saat datang ke kantor perusahaan sawit, PT Tunas Sawa Erma. Betera datang ke kantor anak usaha Korindo Gruop itu mau protes karena lahan mereka kena gusur.

Sore hari, Betera mengeluh sakit, dan akhirnya tewas di klinik saat hendak berobat. Keterangan polisi, korban tewas karena serangan jantung.

Baca juga: Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut jadi Sawit, Beragam Masalah Muncul

Dari kronologi yang diterima Mongabay, menyebutkan, hari itu, Betera bersama istrinya, ke kantor perusahaan sawit TSE Blok A atau Camp 19 di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Mereka pakai motor dengan membawa busur dan anak panah. Kedua peralatan mereka letakkan di samping pintu masuk kantor, sebelum mereka bertemu pimpinan perusahaan.

Betera hendak protes karena kebun tergusur tanpa pemberitahuan. Setelah bertemu pimpinan, dia mengambil kembali peralatan dan hendak pulang. Saat itulah, datang anggota polisi berpangkat brigadir, Melkianus Yowei. Yowei memaksa Betera meninggalkan peralatan. Betera menolak. Perdebatan terjadi.

Yowei memukul Betera dengan busur di wajah. Lalu berkali-kali pukul dengan tangan kosong di perut, leher, dan telinga Betera. Siangnya, dia merasa kurang enak badan lalu menuju klinik perusahaan hendak berobat. Dia meninggal di klinik pukul 13:00.

Baca juga: Laporan Terbaru Ungkap Pelanggaran Perusahaan Sawit Korindo di Gane

Pada hari sama sekitar pukul 17:22, akun media sosial atas nama Hartono mempublikasikan kematian Betera ke grup sosmed Info Kejadian Boven Digoel. Publikasi ini disertakan kronologi, foto dan video korban yang meninggal.

Pada 18 Mei 2020, Polres Boven Digoel mengeluarkan kronologi versi mereka dan menyatakan informasi yang tersebar di media sosial sebagai hoax. Dalam kronologi itu disebutkan, Betera korban meninggal karena serangan jantung.

Betera dimakamkan ada 18 Mei pukul 10:00 di Pekuburan Umum Kompleks Bosowa Tanah Merah, Distrik Mandobo. Polisi mengawal ketat pemakaman ini. Di hari sama, Polda Papua mengeluarkan rilis media atas peristiwa ini.

Kabid Humas Polda Papua Ahmad Musthofa Kamal mengatakan, berdasarkan pemeriksaan tim dokter klinik PT Korindo POP-A Camp 19 Asiki dan hasil otopsi, korban meninggal dunia karena serangan jantung. Di tubuh korban tidak ditemukan ada lebam maupun luka lecet.

Baca juga: Cerita Warga Minta Plasma Kala Korindo Moratorium Buka Lahan Sawit di Papua

Lewat akun media sosial, pada 19 Juni Polres Boven Digul menyerahkan tali asih dari Kapolda Papua Paulus Waterpauw kepada keluarga korban. Disampaikan juga terduga pelaku pengaiayaan sudah diamankan untuk proses hukum. Polisi juga sedang memeriksa para saksi.

Korindo menyampaikan pernyataan resmi di website perusahaan. Perusahaan ini menyampaikan kronologi singkat. Beberapa poin kronologi mirip versi polisi. Perusahaan tak menuliskan ada penganiayaan terhadap Betera oleh polisi dan menyatakan Betera menolak mendapat tindakan medis.

Meskipun ada laporan, penyebab kematian karena serangan jantung, perusahaan menyatakan tidak jelas apakah pendapat dokter atau temuan resmi hasil otopsi.

Baca juga: Kasus Kebun Sawit: Putuskan Korindo Melanggar, FSC: Harus Evaluasi dan Pulihkan Kerusakan

Langkah yang diambil perusahaan antara lain, mengatur pemakaman korban, bekerja sama dengan masyarakat dan pihak berwenang setempat untuk penyelidikan menyeluruh, membentuk badan konsultatif multilateral terdiri dari penduduk dan pemerintah daerah. Juga, organisasi lokal, dan LSM bekerja sama dalam penyelidikan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, dan membuka aluran penanganan keluhan untuk kasus ini di website Korindo. Perusahaan juga akan memberitahukan hasil dan perkembangan penyelidikan dari badan konsultatif multilateral.

Saat dihubungi Mongabay, 3 Juni 2020, terkait perkembangan penyelidikan ini, Yulian Mohammad Riza, Manajer Humas Korindo Group tidak memberi respon.

MRP tanyakan kasus ke Polda Papua

Pada 19 Mei, Majelis Rakyat Papua (MRP) yang bergabung dalam tim Anim Ha bertemu dengan Polda Papua untuk meminta klarifikasi. Mereka diterima Wakapolda Papua, Yakobus Marjuki. Albert Mouyend, anggota MRP ikut dalam pertemuan itu. Mouyend mendapat kesan kasus ini hendak ditutup-tutupi hingga cerita jadi mengambang.

Mouyend menyampaikan beberapa poin penting dalam pertemuan itu. Terkait busur dan panah yang dibawa Betera yang berujung tindak kekerasan, kata Mouyend, hal itu harus dipahami dalam konteks budaya. Betera tidak bermaksud menyerang. Apalagi korban baru saja dari kebun saat datang ke perusahaan.

Selain itu, perlu bukti untuk menunjuk bahwa Betera meninggal karena masalah jantung. “Apakah benar korban memiliki riwayat masalah jantung?” Sejauh ini, katanya, keterangan hanya dari pihak klinik perusahaan yang jelas-jelas sedang berkonflik dengan korban. “Sulit untuk memastikan petugas kesehatan memberi keterangannya tanpa tekanan dari perusahaan.”

Mouyend juga mengingatkan kepolisian untuk tak melepas kasus ini dari konteks konflik antara korban yang adalah pemilik ulayat dengan perusahaan. Pengalaman mereka menerima gugatan masyarakat, Korindo terkesan tak mau tahu dengan hak ulayat dan merasa sudah membayar pajak kepada pemerintah hingga masyarakat seharusnya mengajukan keluhan kepada pemerintah.

“Sistemnya tidak begitu. Dia [perusahaan] harus melihat hak ulayat kepemilikan di mana hak-hak suku-suku dan marga-marga yang ada di dalam.”

Dia juga mempertanyakan implementasi kebijakan moratorium izin perkebunan sawit. Dalam kenyataan, perluasan lahan terus dilakukan dengan luasan tak sedikit, sementara masyarakat adat tidak menerima kompensasi setimpal.

MRP meminta kepolisian serius menangani kasus ini dan terbuka pada berbagai informasi dari masyarakat dan tak hanya mengacu pada sumber kepolisian. Atas perbedaan versi penyebab kematian korban, wakapolda menyarankan MRP membentuk tim investigasi sendiri.

“Dari wakapolda bilang, MRP silakan bentuk tim untuk bisa melihat langsung karena cerita yang kita bawa ke beliau itu berbeda dengan versi polisi.”

Sampai saat ini MRP masih mempersiapkan tim. Tim terdiri dari perwakilan anggot dari wilayah Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digoel ini akan mengajukan izin penerbangan ke Gubernur Papau karena sedang ada pembatasan di Papua dalam masa pandemi Virus Corona.

Anggota MRP lain John Wob, tidak yakin dengan rencana investigasi perusahaan atau kepolisian. Keluar korban akan sulit menerima.

“Mereka tidak mau, tidak mau ketemu dengan polisi ini. Itu dipukul dan mati baru mau investigasi, bagaimana lagi? Menurut adat orang Muyu Mandobo itu, orang yang bunuh mau datang bicara-bicara, wah, itu aneh.”

Wob bertemu Batera terakhir saat pertemuan MRP dengan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Boven Digoel di Tanah Merah pada 2019. Kala itu, MRP sosialisasi rencana pendataan marga dan hak ulayat di wilayah itu.

Dalam kesempatan tanya jawab, Batera menyampaikan keluhan kepada perusahaan. Saat itu, perusahaan yang sebelumnya hanya sampai di wilayah di Asiki terus memperluas lahan hingga ke Tanah Merah. Korban dan warga Suku Mandobo lain juga melakukan penolakan.

“Almarhum ini pemilik tanah. Sejak awal mulai buka lokasi selalu kontra dengan perusahaan. Itu sudah jadi target sejak lama oleh aparat dan perusahaan,” katanya.

Berkaca dari banyak kasus kekerasan lain ytang tidak pernah selesai, Wob tidak yakin kasus ini selesai lewat pengadilan.

“Saya ada bilang sama keluarga yang datang ketemu saya. Saya bilang, aduh, kita tidak bisa harapkan. Di mana-mana ini kita tidak bisa harapkan hukum positif, hukum negara ini. Nanti sampai di pengadilan kita pasti kalah. Yang menang pasti aparat.”

Kehadiran perkebunan sawit juga dia nilai menghancurkan relasi masyarakat adat dengan alam dan banyak menimbulkan konflik berujung kekerasan bahkan kematian. Di Anim Ha, yang terkenal dengan totem-totemnya, masyarakat kesulitan menerima sawit dalam kebudayaan mereka. Totem adalah simbol diri dalam wudud tumbuhan atau hewan.

“Gebze dengan kelapa baik adanya, Mahuze dengan sagu baik adanya, Kaize dengan burung Ksauari baik adanya, Balagaize dengan hasil kebun baik adanya, Basik-bask dengan babi baik adanya, Kelapa sawit ini totemnya apa? Mereka bawa dari dunia lain.”





Desakan koalisi organisasi masyarakat sipil

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil memberi perhatian pada kasus ini. Koalisi ini terdiri dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, TAPOL UK, PapuaItuKita, Eksekutif Nasional Walhi, dan Walhi Papua. Juga, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, LP3BH Manokwari, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Advokasi Peduli Perempuan (ElAdpper), Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Rainforest Action Network (RAN), Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua.

Dalam siaran pers mereka 30 Mei 2020, koalisi menyebutkan ada dua peristiwa hukum berbeda dalam kasus ini. Pertama, perusakan kebun pisang yang mengakibatkan koban kehilangan hak memanfaatkan hasil kebun.

Persitiwa ini menunjukkan dugaan tindakan pidana perusakan sebagaimana diatur pada Pasal 406 ayat (1) KUHP. Kedua, penganiayaan berujung kematian yang menunjukkan dugaan tindak pidana penganiayaan berat sebagaimana diatur pada Pasal 351 ayat (3) KUHP.

Koalisi menilai, TSE telah mengabaikan prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia, termasuk Konvensi Organis Buruh Internasinal (ILO) 169 tentang Hak Masyarakat Hukum Adat. Dalam konvensi itu jelas menyatakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam di wilayah mereka.

Prinsip sama menegaskan kewajiban perusahaan untuk menghindari menjadi penyebab atau berkontribusi pada dampak buruk akibat operasional bisnis mereka terhadap HAM. Perusahaan juga harus berupaya mencegah atau mengurangi dampak buruk yang terkait kegiatan, produk atau jasa yang terjadi dalam hubungan bisnis mereka, meskipun perusahaan tidak berkontribusi langsung terhadap pelanggaran yang terjadi.

Tiga desakan koalisi terhadap Korindo, pertama, Korindo Group segera memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM. Kedua, Korindo Group segera membentuk forum/badan konsultatif multilateral, harus melibatkan dan bekerjasama dengan masyarakat adat setempat, ahli-ahli hukum dan HAM, akademisi, pemimpin agama dan ahli lain. Juga, organisasi masyarakat adat, organisasi buruh dan organisasi masyarakat sipil, untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam menyelidiki bebas secara atas kasus yang terjadi guna mencegah kejadian serupa di masa depan. Termasuk, menyikapi keluhan atas konflik di wilayah operasi Korindo.

Ketiga, Korindo Group wajib melaksanakan Konvensi ILO No. 169, masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari eksploitasi wilayah adat dan sumber daya alam, serta berhak memperoleh ganti rugi apabila terjadi kerugian akibat eksploitasi atas wilayah dan sumber daya alamnya.

Mereka juga mendesak Kapolda Papua dan Kapolres Boven Digoel, mengusut tuntas dugaan tindak pidana perusakan dan penganiayaan berat dalam kasus itu.



https://www.mongabay.co.id/2020/06/0...usahaan-sawit/

Tanah ulayat merupakan suatu bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat. Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah yang ada di lingkup wilayahnya.
Diubah oleh wismangan 08-06-2020 00:58
54m5u4d183
bingsunyata
putrateratai.7
putrateratai.7 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.6K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Tampilkan semua post

Post telah dihapus KS06

Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.