husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi
Kumpulan Cerpen



Ketika cinta dan kesetiaan dipertaruhkan pada ketidakpastian.




Lelaki Senja Di Ujung Stasiun


Setiap senja tiba, lelaki itu selalu datang ke stasiun. Kemudian duduk di bangku panjang paling ujung. Sesekali ia beranjak kemudian duduk lagi.

Sepertinya ia tengah menantikan seseorang, tampak dari gerak-geriknya. Lelaki itu akan berlari ke depan kereta yang berhenti. Kemudian, berdiri meneliti wajah-wajah yang baru saja tiba. Ia kemudian menarik diri, kembali duduk dengan wajah kecewa.

"Siapa yang tengah dinantinya?" Setiap tanya dari orang-orang di stasiun yang melihat tingkah lelaki itu.

"Sudah lima belas tahun ia begitu. Gara-gara cewek. Makanya kalau demen sama cewek jangan terlalu, nanti jadi gini," ucap Bapak penjual Es Dawet sambil menempelkan jari di jidatnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. "Begitu besar cinta dan kesetiaan pria itu," gumamku.

"Dulu dia ganteng loh mas," ucap Mbok gorengan asal Jawa, yang mangkal di pinggir stasiun dengan semangat. Nampak semburat senyum nangkal di ujung bibirnya.

"Dulu, Ibu naksir ya?" spontan aku membalas candaan itu sambil menahan tawa.

"Hahaha itu dulu loh, sekarang ya ogah. Mending sing waras, senajan buluk," jawabnya lagi sembari melirik lelaki paruh baya yang baru datang membawa tremos es. Mungkin, ia suaminya.

Dari jauh, lelaki di ujung stasiun itu masih duduk termangu. Merah saga semakin jelas terlihat, sebentar lagi Maghrib tiba dan malam pun datang.

"Sampai kapan lelaki itu akan menunggu?"

Sudah seminggu lamanya, mondar-mandir di stasiun ini hanya untuk menyelesaikan tugas akhir. Kini, aku justru semakin tertarik lebih lama memahami kehidupan jalanan, terlebih dengan lelaki itu.

Lelaki itu nyaris tak pernah bicara dengan siapa pun. Bagiku ia cermin kesetiaan, tetapi kadang pula logikaku menentang. Kasihan, ya, lelaki itu telah mempertaruhkan cinta dan kesetiaan pada sebuah ketidak pastian.

Tahukah kau apa yang kau lakukan itu
Tahukah kau siksa diriku
Bertahun kunantikan jawaban dirimu
Bertahun-tahun ku menunggu


Hampir saja kopi di tangan tumpah, saat seorang pengamen tiba-tiba bernyanyi nyaring di sampingku.

"Terima kasih," ucap pemuda ceking berkas oblong warna hitam pudar, sambil menyambar uang dua ribu yang kusodorkan sambil berlalu.

Dari bangku kedai kopi, aku masih betah mengawasi lelaki bertopi yang nyaris menutupi sebagian wajahnya. Lelaki itu tampak tengah mencoret-coret sesuatu. Membuatku tergerak untuk mendekatinya.

Ia tak bereaksi saat aku mendekatinya. Benar seperti dugaanku, ia tengah menulis sesuatu di sebuah buku tulis.

Baru saja hendak menyapa, lelaki itu bangkit setelah merobek kertas yang telah ditulisnya dan melemparkan ke tong sampah tak jauh dari tempatnya duduk.

Lelaki itu kembali diam, memandang jauh ke rel kerata, dengan tatapan kosong dan hampa.

Aku mengambil kertas yang baru saja di lemparkan lelaki itu. Diam-diam melipat dan memasukannnya ke kantong. Sambil ngeloyor ke mushola di ujung belakang stasiun.

Setelah shalat Maghrib, dan mengikat tali sepatu di teras. Aku menyempatkan membuka selembar kertas yang kupungut dari tempat sampah tadi. Pelan tulisan tangan itu mulai kubaca.

Dear Natalie

Di sini aku masih menunggumu, turun dari kereta dan melambaikan tangan.

Dengan tangan terbuka, kan kusambut kedatanganmu.

Pelukan ini masih menunggumu, pulang seperti yang kau janjikan.

Sudah seribu kereta melintasi senja, hingga tetbit surya, kau masih belum tiba. Lupakah kau pada janjimu?

Atau mungkin kau telah tiba, tetapi kita tak bertemu. Oh maafkan aku, pasti tadi aku beranjak pergi mengisi perutku.

Baiklah sayang aku tak kan pergi barang sejenak pun, dari sini. Hingga kau kembali.

Kekasihmu
Rangga


Aku melipat kertas itu kembali, dan pergi menghampiri lelaki itu. Setelah sebelumnya mbeli sebungkus nasi dan minuman.

Lelaki itu tetap tak bereaksi, saat kuletakan sepaket makan malam untuknya.

Ah, ingin rasanya mendengar lelaki itu bicara, tetapi itu tak mungkin. Kata penjual nasi yang kutemui barusan, lelaki itu sudah kehilangan suaranya sejak ia merana kehilangan kekasihnya karena kecelakaan lima belas tahun silam.

Tamat

Terima kasih sudah mampir.

Thread ini adalah sebuah kumpulan cerpen Aphrodite, Di Balik Senyum Sang Dewi dengan cerpen pertama berjudul Lelaki Senja Di Ujung Stasiun. InsyaAllah ane akan update seminggu sekali. Mohon doa dan suport teman-teman semuanya.


Sumber gambar sampulklik

Gambar dua Pixabay edit by Canva



Quote:
Diubah oleh husnamutia 27-10-2021 19:15
makgendhis
herry8900
jamalfirmans282
jamalfirmans282 dan 59 lainnya memberi reputasi
60
14.1K
716
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
#30
Luna (Kidung Perawan Tua)



"Bapak ndak setuju!" Hening, seisi rumah terdiam.

"Apa kamu tidak bisa, bersabar sedikit. Tunggulah sebentar lagi."

"Tapi, Pak."
Yoko terdiam, saat Bapak berlalu sambil menggebrak meja.

"Kamu sabar ya, Yok. Biar nanti, Mbak yang bujuk, Bapak," kataku pada Yoko adik lelakiku.

"Mbak, maafkan, aku," lirihnya. Aku tahu bagaimanapun ia pasti merasa tak enak terhadapku. Namun keadaan memaksanya bertindak, ia tak mungkin selamanya menunggu ketidakpastian. Terlebih lagi, keluarga Lastri pasti menunggu keputusannya.

Sejak Yoko mengutarakan keinginannya untuk segera melamar dan menikahi Lastri, Bapak menjadi begitu dingin. Sekali bicara, nada suaranya naik seribu oktaf. Meski tak mengatakan apa pun, aku mengerti semua itu karena kasih sayangnya terhadapku.

"Lastri memintaku segera melamarnya, Mbak. Jika tidak, Lastri akan dijodohkan."

Masih teringat perkataan Yoko kemarin kepadaku.

Aku mengerti bagaimana perasaannya. Bingung, cemas juga rasa bersalah seperti merasakan duri menusuk. Di sisi lain ia merasa tak enak, di lain sisi lagi ia harus segera membuat keputusan, atau akan kehilangan orang yang dicintainya.

"Sudahlah Yok, Mbak ngerti. Kamu sama Lastri sudah lama pacaran, Mbak ndak mau terjadi apa-apa. Lebih baik kalian segera menikah. Kalau nunggu Mbak, ya ndak tahu kapan?" ucapku sedatar mungkin.

"Ngaputene, Mbak, semua ini gara-gara Yuni." Akhirnya Yuni angkat bicara, sejak ia masuk ke ruang rapat keluarga ini, ia memilih diam.

"Enggak, Yun, ini bukan salahmu. Semua sudah takdir," jawabku berusaha bijaksana.

Dari semua ketidak beruntungku, Yuni adalah orang yang paling disalahkan oleh Bapak. Karena kecelakaan, membuat bapak harus segera menikahkan Yuni, dan itu artinya ia melangkahi aku kakaknya. Sementara Bapak begitu percaya, hal itulah yang membuatku menjadi perawan tua.

Aku berlalu meninggalkan ruang tamu dan menutup pintu kamar rapat-rapat.

Sekeras apa pun aku mencoba tabah, nyeri di hati ini tetap terasa. Tiga kali gagal menikah, dan kini untuk kedua kalinya dilangkahin adik.

Benarkah semua ini gara-gara aku dilangkahi? Pertanyaan itu kerap muncul di otakku akhir-akhir ini. Membuatku bimbang memberi ijin pada Yoko untuk menikah lebih dulu. Namun di sisi lain, aku juga tak tega jika Yoko sampai gagal menikah, hanya karena mitos.

Kalau itu hanya mitos, kenapa seakan-akan jodohku tak ada di muka bumi ini. Benarkah aku terkena teluh Gantung Waris? Sehingga Jodohku terhambat? Ya Allah aku berserah pada-Mu.

*****
Setelah dibujuk dan diberi pengertian, akhirnya Bapak mau merestui pernikahan Yoko dan Lastri. Itu artinya aku dua kali dilangkahi, tetapi setidaknya Yoko tidak menjadi bujang lapuk, seperti halnya aku, kakaknya.

Rumah ini kininsemakin sepi, Yuni telah bahagia dengan keluarga kecilnya. Begitupun Yoko, tengah bahagia menikmati masa-masa menjadi pengantin baru.

Sementara aku di sini, masih di rumah ini, sendiri. Mungkinkah akan ada yang datang menjemputku?

Tak terasa setitik air mata meluncur begitu saja, saat mataku menatap gaun pengantin yang telah disiapkan Almarhumah Ibu. Gaun itu masih tergantung rapi, seolah melambai padaku untuk memakainya. Menjadi pengantin hanyalah impian kosong bagiku. Rasanya, aku benar-benar putus asa, dan tak ingin berharap lagi. Lelah rasanya menanti hal yang tak pas...

"Luna ... "

Aku terkejut bukan main, saat tiba-tiba Mbak Narti, tetanggaku masuk kamar tanpa permisi. Ia menepuk pundakku dan membimbingku duduk di tepian ranjang.

"Na, jujur sama, Mbak. Apa kamu pernah nolak cowok atau putusin cowok?"

"Putusin siapa? Nolak siapa Mbak? Lah wong pacaran aja ndak pernah kok."

"Luna, maaf kalau kamu tersinggung dengan pertanyaan Mbak. Mbak cuman gak mau kamu bernasib sama seperti Bi Ningsih, ia meninggal dalam keadaan perawan. Gara-gara terkena ilmu gantung waris?"

Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mbak Narti.

"Besok kita ke Wak Haji, insya Allah ini bukan musyrik. Diniati Ikhtiar, minta doa orang shaleh biar cepet diijabah."
Tanpa menunggu jawabanku, Mbak Narti pergi begitu saja.

*****
Janur kuning melambai-lambai, musik gamelan mengalun merdu mengiringi Ladrang Asmarandana, mengawali pesta pernikahanku. Setelah proses ijab kabul selesai, resepsi pernikahan dimulai.

Sulit untuk tidak mempercayai ucapan Wak Haji, jika aku terkena guna-guna penghambat jodoh.

"Auramu telah ditutup seseorang, sehingga kecantikanmu tak pernah terlihat oleh lelaki manapun." Begitu ucapan Wak Haji waktu itu.

Mungkin inilah jalannya, setelah aku melakukan amalan-amalan yang Wak Haji berikan, jalan terang seolah terbuka lebar.

"Jangan niat macam-macam, ibadahlah seperti biasa, niatkan karena Allah SWT," pesan Wak Haji kembali terngiang.

"Maaf Mbak, lebih deket ya."

Aku mengikuti arahan Fotografer sewaan untuk berpose.

Rasanya tak bisa berhenti tersenyum, mengingat kembali momen indah itu. Saat lelaki di sampingku ini datang ke rumah tiba-tiba.

"Lama aku mencarimu, ternyata aku menemukanmu, justru di kampung halamanku sendiri. Aku pikir kamu merantau ke luar negeri, seperti yang kau inginkan dulu," terang Hardi waktu itu mengejutkan.

"Luna, aku mau lamar kamu secepatnya," ucapnya kemudian, tanpa basa-basi.

"Iya, Bapak setuju," jawab Bapak, dari balik pintu. Ternyata ia menguping pembicaraanku dengan Hardi.

Aku kembali tersenyum lebar mengikuti arahan sambil mengingat masa-masa tak terlupakan itu.

Ah, ternyata, jodoh memang tak kemana. Hardi teman waktu SMP tahu-tahu pulang menjadi TKI langsung melamar. Akhirnya bersamanya kini aku bersanding di pelaminan.

"Luna, selamat ya?" ucap Mbak Narti mengagetkanku.

"Akhirnya, ketemu juga jodohnya," bisiknya kemudian, sambil melirik Mas Hardi yang duduk di sampingku.

Lelaki itu tersenyum, tatapannya yang teduh, seperti cahaya mentari pagi menyinari telaga bathinku. Tak terasa bulir bening menetes lembut di pipi. Inilah akhir dari penantianku selama ini.

Tamat

Senin, 8 Juni 2020

Terima kasih agan, sista yang sejauh ini masih membaca dan menunggu update cerita-certaku. Semoga cerita berikutnya segera tayang.

Jangan lupa, rate, cendol, komen dan sharenya.

Terima kasih

Baca cerita selanjutnya
Bukan Saksi Bisu
Diubah oleh husnamutia 01-10-2020 23:47
trifatoyah
inaroses
gajah_gendut
gajah_gendut dan 19 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.