- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2145
Haru Biru Emi_Part 2
Om Reza adalah seorang dokter, begitu pula tante Nadine. Tapi mereka memutuskan untuk nggak menjadi dokter karena alasan kemanusiaan. Mereka bilang begini, “Kalau gue mau jadi dokter, udah makin kaya gue sekarang. Karena satu kali pasien dateng udah berapa uang yang gue dapet. Tapi buat apa meraup untung dari kesusahan orang lain? Kita tenaga medis kalau mau bantu orang ya bantu aja, nggak usah komersil.” Ujaran yang sangat keras dan idealis menurut gue.
Setelah gue telaah, ada benarnya juga omongan Om Reza ini. Jadi dokter tujuannya apa? Tujuan mulia atas nama kemanusiaan bukan awalnya? Kalau dari awal tujuan utamanya balikin modal kuliah yang amat mahal, wajar jadinya banyak dokter yang akhirnya malpraktek, karena nggak serius menangani kesulitan orang lain, atau hanya berpikir komersialnya aja. Pada titik inilah Om Reza nggak setuju dengan banyak praktek kesehatan yang dikomersilkan, dan mahal sehingga memunculkan anekdot, “kalau situ orang miskin, ya dilarang sakit”.
Banyak sekali dokter praktek yang melayani orang lain secara cuma-cuma, atau bayar seikhlasnya sesuai kemampuan. Tengok ke daerah-daerah kecil di nusantara ini, masih banyak dokter-dokter idealis seperti Om Reza dan Tante Nadine, dan kita harus apresiasi mereka karena biasanya yang kayak begini minim apresiasi bahkan nggak dilirik sama sekali. Mirisnya, seringkali profesi ini seperti ketutupan sama komersilnya bisnis kesehatan di negeri ini, mungkin juga di negara lain.
Salah satu dokter yang seperti Om Reza adalah sepupunya Emi. Dia adalah dokter di kota kecil ini. Rumahnya yang sekaligus tempat prakteknya bersebelahan dengan rumah Bi Imah ini. Dia memutuskan untuk nggak membuka praktek di pusat kota, melainkan di desa ini ketika mengetahui bagaimana kondisi desa ini saat itu.
Masyarakat di sini yang tadinya masih lebih mempercayai mantri bahkan dukun, akhirnya bisa merubah pola pikirnya ketika sepupunya ini mulai membuka praktek. Mereka mau mencoba untuk berobat ke dokter. Alasannya apa? Karena penduduk desa takut ke dokter. Kenapa takut? Karena biayanya mahal.
Sepupu Emi ini sukses mendobrak pola pikir tersebut dengan membuat tempat prakteknya yang dibangun atas jerih payahnya sendiri. Dia juga merangkap sebagai dokter aktif di RSUD di kota, tempat rumah kakeknya. Berobat di tempat prakteknya ini berbiaya seikhlasnya. Bahkan kalau belum ada uang, bisa nanti-nanti bayarnya. Udah kayak warung kelontong aja bisa diutangin. Gue harap, sepupunya ini tetap amanah ketika digerus kondisi ekonomi negara kita yang makin hari makin tidak sehat.
Pada suatu kesempatan ketika gue melihat sepupunya agak senggang, gue beranikan diri gue untuk bertanya dengan sepupu Emi ini mengenai tanda yang gue lihat. Berdasarkan apa yang diajarkan Om Reza ke gue, serta berdasarkan tanda yang gue lihat ternyata sama seperti ketika Papa akan pergi dulu.
“Teh, itu Aki telinga atasnya agak turun kayak layu, sama bibir atasnya agar melintir keatas dikit. Aku salah liat nggak ya?”
“Nggak, Ji. Kamu benar. Makanya saya dari tadi udah pasrah aja. Tapi saya nggak mau ngomong begitu ke keluarga besar. Khawatir mereka belum siap menerima kenyataan itu. Kok kamu tau, Ji?”
Walaupun dia dokter, dia tetap orang sunda. Dia tetap memanggil gue dengan sebutan Pirji sebagaimanapun gue memperkenalkan diri gue untuk dipanggil dengan sebutan Ija.
“Hmm. Itu tanda ketika Papaku dulu mau pergi teh. Apa benar ya tandanya orang yang mau meninggal bakal begitu?”
“Pengalaman teteh sih beberapa kali ada yang begitu, ada juga yang nggak. Tiap-tiap manusia punya ‘jalannya’ bertemu Tuhan masing-masing. Bahkan terkadang suka di luar dari apa yang aku pelajari dan pahami dalam ilmu kedokteran, Ji.”
Gue melihat kalau Teh Ika ini sudah mengikhlaskan hatinya dengan apapun yang akan terjadi kedepannya.
Gue nggak mau membuat kondisi hatinya semakin buruk. “Oke deh, Teh. Aku mau mastiin aja, biar aku bisa bantu nenangin Emi. Aku ngarahin doa Emi ke arah yang lebih fair, biar Aki lebih dimudahkan jalannya.”
“Iya, Ja. Sok gih, dikasih tau pelan-pelan yah si Emi.”
Itulah dasar kenapa gue mengarahkan Emi untuk berdoa menjadi jalan yang terbaik. Karena gue sudah melihat tanda jelas seperti kejadian yang dulu gue lihat juga di Papa.
---
Sehabis salat isya, itu adalah hal paling pilu yang pernah gue lihat di keluarga besar Emi. Semua orang bersedih sambil mengelilingi Aki yang kini dipindahkan tidurnya di ruang keluarganya. Utamanya adalah Emi yang sepertinya sangat merasa kehilangan. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an tak henti-hentinya dikumandangkan oleh keluarga besarnya non-stop sejak sore hari.
Pada sisi lain, ekspresi tegar ditunjukkan oleh Papanya Emi dan kakak-kakaknya. Gue tahu beliau bersedih juga, mengingat bagaimana beliau terus menerus menceritakan kenangan-kenangan indah beliau dengan Aki selama kami masih di rumah. Tapi karena mungkin beliau adalah anak laki-laki tertua di keluarga, beliau memilih untuk terlihat tegar dan menyuruh keluarga lainnya untuk mendoakan kepergian Aki untuk selamanya itu.
Emi tumpah dalam tangisannya. Begitupun dengan seluruh keluarga besarnya. Semua laki-laki di keluarga besar kemudian disibukkan untuk mempersiapkan pemakaman Aki yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Gue memboyong Emi keluar dari ruangan ketika jenazah kakeknya sudah mulai diurus.
“Aki tega banget ninggalin aku, Zy. Aki nggak mau dengerin aku. Aku nggak punya kakek lagi. Aku nggak bisa ngobrol sama Aki lagi.” ujar Emi di teras. Pipinya dibanjiri air mata yang terus menerus mengalir dari matanya.
“Dengerin aku. Hey dengerin!” Gue memeluk Emi erat. Baju gue basah karena airmatanya. “Ini yang terbaik, Mi. Tadi kan aku udah bilang, ubah doanya. Kita nggak bisa maksa Aki terus untuk bertahan. Kasian Aki, Mi. Sekarang Aki udah nggak akan ngerasain sakit-sakit lagi kan.”
“Iya, Zy. Tapi Aki sama Nini pernah janji sama aku, kalau nanti Aki sama Nini mau datang ke pernikahan aku. Nini udah pergi duluan, eh sekarang Aki nyusul. Terus nggak ada yang dateng ke pernikahan aku. Aku udah nggak punya kakek nenek lagi, Zy.”
“Kamu masih ada orang tua dan keluarga besar kamu di sini. Mereka bakalan nguatin kamu dan mengisi kekosongan hati kamu akan kepergian Aki dan Nini. Kamu nggak boleh ngomong begitu ya? Oke memang Aki dan Nini pernah berjanji seperti itu. Tapi manusia hanya bisa berencana, Tuhan tetap yang nentuin Mi. Sekali lagi kayak yang aku sering bisa, masa depan nggak ada yang tau kan?”
Lambat laun, Emi mulai bisa menenangkan dirinya. “Aku masih nggak percaya Aki udah nggak ada, Zy.” gumamnya dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat.
Gue memeluknya erat dan mengecup keningnya. “Aku paham kok apa yang kamu rasain. Sekarang adalah saatnya buat doain terus Aki biar dimudahin jalannya ya. Kamunya yang ikhlas. Jangan persulit dan jadi beban Aki untuk pergi bertemu dengan-Nya. Ok?”
Emi hanya mengangguk dan kembali menangis. Sulit pasti untuk dia bisa mengikhlaskan kakeknya ini. Tangisan dia ini berlangsung semalaman, sampai pagi hari ketika kami akan memakamkan jenazah kakeknya pun dia masih terus bersedih.
Keadaan ini membuat gue kembali mengingat ucapan Aki ketika berbicara dengan gue dan Emi malam sebelum kepergiannya. Gue dipercayakan untuk menjaga Emi. Beliau percaya dan berharap gue bisa amanah dengan permintaannya itu.
Dengan mengucapkan bismillah dan niat dalam hati gue, gue menyanggupinya. Kata Aki, gue adalah orang yang tepat untuk Emi. Tetapi gue yakin dalam hati Emi, dia ragu akan pilihan Akinya itu mengingat seluruh rangkaian drama yang terjadi di antara kami.
---
Efek dari meninggalnya Aki dirasakan begitu besar oleh Emi. Ini berakibat pada kondisi Kesehatan Emi, terutama secara mental. Dari sisi hati yang nggak enak, akhirnya merambat ke kondisi fisiknya dia. Pola makan Emi menjadi sangat tidak teratur.
Apalagi ditambah dengan curhatan tentang kondisi kantornya yang semakin kacau dan tidak adil. Gue hanya berharap, Emi bisa segera mendapatkan pekerjaan lebih baik dan berhasil melewati masa sulitnya saat itu. Gue cuman bisa terus mendampingi dia di kondisinya saat ini.
“Sekarang yang penting itu lo jaga kesehatan. Jangan kayak begini terus. Entar giliran dapet panggilan kerja, eh malah sakit lagi. Lo itu pola makannya berantakan banget. Maag lo jadi sering kambuh lagi. Udah gitu sekarang ini muka lo sering pucat kalau abis pulang kerja. Emang gue nggak merhatiin?”
“Ah itu perasaan lo aja Zy. Gue nggak apa-apa kok. Gue seger-seger aja ini.”
“Susah emang kalau bilangin orang pinter ya. Ada aja ngelesnya.”
“Kok jadi bawa-bawa orang pinter?”
“Ya gimana, lo ngasih tau orang aja bisa buat jaga kesehatan. Diri sendiri nggak dipikirin. Udah gitu dikasih tau itu susah banget. Nanti kalau
udah tepar nggak bisa ngapa-ngapain baru nyadar.”
“Emang lo nggak gitu? Gue bawelin lo kan karena lo juga nggak bisa jaga kesehatan!”
“Seenggaknya gue dengerin lo kali. Ah udah nggak usah debat lagi! Pokoknya gue mau lo istirahat dan banyak makan sekarang! Awas lo sakit!”
Emi semakin susah untuk diingatkan makan teratur. Jenis makanan yang dimakan pun aneh-aneh dan nggak sehat. Dia pun susah pula diingatkan untuk tidak memforsir tenaga dan waktunya di pekerjaan. Tubuhnya pasti ada batas bawah yang harus ditoleransi sebelum benar-benar ambruk.
Dugaan gue nggak salah. Akhirnya Emi benar-benar ambruk. Beberapa kali dia dibawa ke klinik dekat rumahnya untuk memeriksakan kondisinya. Sampai akhirnya ketika kondisinya tak kunjung membaik, dia divonis menderita usus buntu.
Saat itu kondisi Mama Emi pun tidak dalam keadaan yang baik. Mamanya saat itu sudah mulai kesulitan berjalan karena terjadi perlengketan di tempurung lututnya. Beliau harus menjalani operasi yang kemungkinan kesembuhannya hanya 50%.
Papa dan Mamanya memutuskan untuk berobat jalan dibandingkan menjalani operasi. Keadaan tersebut membuat Papa Emi harus membagi perhatian dan pikirannya antara Emi dan Mamanya. Beliau akhirnya memutuskan untuk menitipkan Emi ke gue.
Operasi bagi sebagian orang mungkin adalah momok yang sangat nggak enak. Gue pun seperti itu. Gue membayangkan kegagalan orang yang operasi. Walaupun operasi yang akan dilalui Emi bukan operasi besar, tetapi apapun bisa terjadi bukan? Beberapa kali pikiran negatif gue tentang peluang berhasilnya Emi dalam operasinya nanti.
“Mi, dua bulan lagi bakalan ada acara metal loh. Lo harus operasi sekarang biar bisa recover pas nanti nonton. Masa tiketnya angus gitu aja? Gue udah beliin tiketnya loh. Ada Fleshgod (Apocalypse), Mi. Band kesukaan lo. Belum tentu mereka dua kali datang ke Indonesia.”
Gue menyemangati Emi ketika Emi berbaring sambil mengeluh kesakitan di UGD. Papanya sedang mengurus administrasi terlebih dahulu. Karena operasi tidak dapat dilaksanakan kalau administrasi belum diselesaikan. Orang bisa keburu mati kalau semua IGD memberlakukan hal yang sama pada setiap pasian dalam kondisi mendesak.
Emi hanya tersenyum sesaat sambil terus meringis kesakitan. Dia menggenggam tangan gue erat. Ekspresinya yang kesakitan tersebut membuat gue ga tega melihatnya. Gue berharap operasinya segera dijalankan agar ia bisa terlepas dari rasa sakit ini.
Sembari menggenggam tangan gue dan akhirnya dilepas, dia bersiap untuk masuk ke ruang operasi. Gue amat sangat cemas, deg-degan, dan pikirannya juga nggak menentu. Gue hanya mau berharap operasi usus buntu ini berjalan lancar.
Gue banyak bertanya ke orang-orang yang pernah melalui operasi ini dan juga baca-baca artikel. Semuanya memberikan vibe yang positif di otak gue, itulah yang bisa menenangkan gue, selain terus berdoa kepada Tuhan.
Semalaman gue hanya memikirkan Emi. Harap-harap cemas selalu berputar sekeliling otak gue. Gue hanya ingin mendapatkan hasil secepatnya dan semoga hasilnya juga positif. Memang ini bukan operasi besar, tapi bukan berarti nggak ada kemungkinan gagal kan?
Setelah gue telaah, ada benarnya juga omongan Om Reza ini. Jadi dokter tujuannya apa? Tujuan mulia atas nama kemanusiaan bukan awalnya? Kalau dari awal tujuan utamanya balikin modal kuliah yang amat mahal, wajar jadinya banyak dokter yang akhirnya malpraktek, karena nggak serius menangani kesulitan orang lain, atau hanya berpikir komersialnya aja. Pada titik inilah Om Reza nggak setuju dengan banyak praktek kesehatan yang dikomersilkan, dan mahal sehingga memunculkan anekdot, “kalau situ orang miskin, ya dilarang sakit”.
Banyak sekali dokter praktek yang melayani orang lain secara cuma-cuma, atau bayar seikhlasnya sesuai kemampuan. Tengok ke daerah-daerah kecil di nusantara ini, masih banyak dokter-dokter idealis seperti Om Reza dan Tante Nadine, dan kita harus apresiasi mereka karena biasanya yang kayak begini minim apresiasi bahkan nggak dilirik sama sekali. Mirisnya, seringkali profesi ini seperti ketutupan sama komersilnya bisnis kesehatan di negeri ini, mungkin juga di negara lain.
Salah satu dokter yang seperti Om Reza adalah sepupunya Emi. Dia adalah dokter di kota kecil ini. Rumahnya yang sekaligus tempat prakteknya bersebelahan dengan rumah Bi Imah ini. Dia memutuskan untuk nggak membuka praktek di pusat kota, melainkan di desa ini ketika mengetahui bagaimana kondisi desa ini saat itu.
Masyarakat di sini yang tadinya masih lebih mempercayai mantri bahkan dukun, akhirnya bisa merubah pola pikirnya ketika sepupunya ini mulai membuka praktek. Mereka mau mencoba untuk berobat ke dokter. Alasannya apa? Karena penduduk desa takut ke dokter. Kenapa takut? Karena biayanya mahal.
Sepupu Emi ini sukses mendobrak pola pikir tersebut dengan membuat tempat prakteknya yang dibangun atas jerih payahnya sendiri. Dia juga merangkap sebagai dokter aktif di RSUD di kota, tempat rumah kakeknya. Berobat di tempat prakteknya ini berbiaya seikhlasnya. Bahkan kalau belum ada uang, bisa nanti-nanti bayarnya. Udah kayak warung kelontong aja bisa diutangin. Gue harap, sepupunya ini tetap amanah ketika digerus kondisi ekonomi negara kita yang makin hari makin tidak sehat.
Pada suatu kesempatan ketika gue melihat sepupunya agak senggang, gue beranikan diri gue untuk bertanya dengan sepupu Emi ini mengenai tanda yang gue lihat. Berdasarkan apa yang diajarkan Om Reza ke gue, serta berdasarkan tanda yang gue lihat ternyata sama seperti ketika Papa akan pergi dulu.
“Teh, itu Aki telinga atasnya agak turun kayak layu, sama bibir atasnya agar melintir keatas dikit. Aku salah liat nggak ya?”
“Nggak, Ji. Kamu benar. Makanya saya dari tadi udah pasrah aja. Tapi saya nggak mau ngomong begitu ke keluarga besar. Khawatir mereka belum siap menerima kenyataan itu. Kok kamu tau, Ji?”
Walaupun dia dokter, dia tetap orang sunda. Dia tetap memanggil gue dengan sebutan Pirji sebagaimanapun gue memperkenalkan diri gue untuk dipanggil dengan sebutan Ija.
“Hmm. Itu tanda ketika Papaku dulu mau pergi teh. Apa benar ya tandanya orang yang mau meninggal bakal begitu?”
“Pengalaman teteh sih beberapa kali ada yang begitu, ada juga yang nggak. Tiap-tiap manusia punya ‘jalannya’ bertemu Tuhan masing-masing. Bahkan terkadang suka di luar dari apa yang aku pelajari dan pahami dalam ilmu kedokteran, Ji.”
Gue melihat kalau Teh Ika ini sudah mengikhlaskan hatinya dengan apapun yang akan terjadi kedepannya.
Gue nggak mau membuat kondisi hatinya semakin buruk. “Oke deh, Teh. Aku mau mastiin aja, biar aku bisa bantu nenangin Emi. Aku ngarahin doa Emi ke arah yang lebih fair, biar Aki lebih dimudahkan jalannya.”
“Iya, Ja. Sok gih, dikasih tau pelan-pelan yah si Emi.”
Itulah dasar kenapa gue mengarahkan Emi untuk berdoa menjadi jalan yang terbaik. Karena gue sudah melihat tanda jelas seperti kejadian yang dulu gue lihat juga di Papa.
---
Sehabis salat isya, itu adalah hal paling pilu yang pernah gue lihat di keluarga besar Emi. Semua orang bersedih sambil mengelilingi Aki yang kini dipindahkan tidurnya di ruang keluarganya. Utamanya adalah Emi yang sepertinya sangat merasa kehilangan. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an tak henti-hentinya dikumandangkan oleh keluarga besarnya non-stop sejak sore hari.
Pada sisi lain, ekspresi tegar ditunjukkan oleh Papanya Emi dan kakak-kakaknya. Gue tahu beliau bersedih juga, mengingat bagaimana beliau terus menerus menceritakan kenangan-kenangan indah beliau dengan Aki selama kami masih di rumah. Tapi karena mungkin beliau adalah anak laki-laki tertua di keluarga, beliau memilih untuk terlihat tegar dan menyuruh keluarga lainnya untuk mendoakan kepergian Aki untuk selamanya itu.
Emi tumpah dalam tangisannya. Begitupun dengan seluruh keluarga besarnya. Semua laki-laki di keluarga besar kemudian disibukkan untuk mempersiapkan pemakaman Aki yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Gue memboyong Emi keluar dari ruangan ketika jenazah kakeknya sudah mulai diurus.
“Aki tega banget ninggalin aku, Zy. Aki nggak mau dengerin aku. Aku nggak punya kakek lagi. Aku nggak bisa ngobrol sama Aki lagi.” ujar Emi di teras. Pipinya dibanjiri air mata yang terus menerus mengalir dari matanya.
“Dengerin aku. Hey dengerin!” Gue memeluk Emi erat. Baju gue basah karena airmatanya. “Ini yang terbaik, Mi. Tadi kan aku udah bilang, ubah doanya. Kita nggak bisa maksa Aki terus untuk bertahan. Kasian Aki, Mi. Sekarang Aki udah nggak akan ngerasain sakit-sakit lagi kan.”
“Iya, Zy. Tapi Aki sama Nini pernah janji sama aku, kalau nanti Aki sama Nini mau datang ke pernikahan aku. Nini udah pergi duluan, eh sekarang Aki nyusul. Terus nggak ada yang dateng ke pernikahan aku. Aku udah nggak punya kakek nenek lagi, Zy.”
“Kamu masih ada orang tua dan keluarga besar kamu di sini. Mereka bakalan nguatin kamu dan mengisi kekosongan hati kamu akan kepergian Aki dan Nini. Kamu nggak boleh ngomong begitu ya? Oke memang Aki dan Nini pernah berjanji seperti itu. Tapi manusia hanya bisa berencana, Tuhan tetap yang nentuin Mi. Sekali lagi kayak yang aku sering bisa, masa depan nggak ada yang tau kan?”
Lambat laun, Emi mulai bisa menenangkan dirinya. “Aku masih nggak percaya Aki udah nggak ada, Zy.” gumamnya dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat.
Gue memeluknya erat dan mengecup keningnya. “Aku paham kok apa yang kamu rasain. Sekarang adalah saatnya buat doain terus Aki biar dimudahin jalannya ya. Kamunya yang ikhlas. Jangan persulit dan jadi beban Aki untuk pergi bertemu dengan-Nya. Ok?”
Emi hanya mengangguk dan kembali menangis. Sulit pasti untuk dia bisa mengikhlaskan kakeknya ini. Tangisan dia ini berlangsung semalaman, sampai pagi hari ketika kami akan memakamkan jenazah kakeknya pun dia masih terus bersedih.
Keadaan ini membuat gue kembali mengingat ucapan Aki ketika berbicara dengan gue dan Emi malam sebelum kepergiannya. Gue dipercayakan untuk menjaga Emi. Beliau percaya dan berharap gue bisa amanah dengan permintaannya itu.
Dengan mengucapkan bismillah dan niat dalam hati gue, gue menyanggupinya. Kata Aki, gue adalah orang yang tepat untuk Emi. Tetapi gue yakin dalam hati Emi, dia ragu akan pilihan Akinya itu mengingat seluruh rangkaian drama yang terjadi di antara kami.
---
Efek dari meninggalnya Aki dirasakan begitu besar oleh Emi. Ini berakibat pada kondisi Kesehatan Emi, terutama secara mental. Dari sisi hati yang nggak enak, akhirnya merambat ke kondisi fisiknya dia. Pola makan Emi menjadi sangat tidak teratur.
Apalagi ditambah dengan curhatan tentang kondisi kantornya yang semakin kacau dan tidak adil. Gue hanya berharap, Emi bisa segera mendapatkan pekerjaan lebih baik dan berhasil melewati masa sulitnya saat itu. Gue cuman bisa terus mendampingi dia di kondisinya saat ini.
“Sekarang yang penting itu lo jaga kesehatan. Jangan kayak begini terus. Entar giliran dapet panggilan kerja, eh malah sakit lagi. Lo itu pola makannya berantakan banget. Maag lo jadi sering kambuh lagi. Udah gitu sekarang ini muka lo sering pucat kalau abis pulang kerja. Emang gue nggak merhatiin?”
“Ah itu perasaan lo aja Zy. Gue nggak apa-apa kok. Gue seger-seger aja ini.”
“Susah emang kalau bilangin orang pinter ya. Ada aja ngelesnya.”
“Kok jadi bawa-bawa orang pinter?”
“Ya gimana, lo ngasih tau orang aja bisa buat jaga kesehatan. Diri sendiri nggak dipikirin. Udah gitu dikasih tau itu susah banget. Nanti kalau
udah tepar nggak bisa ngapa-ngapain baru nyadar.”
“Emang lo nggak gitu? Gue bawelin lo kan karena lo juga nggak bisa jaga kesehatan!”
“Seenggaknya gue dengerin lo kali. Ah udah nggak usah debat lagi! Pokoknya gue mau lo istirahat dan banyak makan sekarang! Awas lo sakit!”
Emi semakin susah untuk diingatkan makan teratur. Jenis makanan yang dimakan pun aneh-aneh dan nggak sehat. Dia pun susah pula diingatkan untuk tidak memforsir tenaga dan waktunya di pekerjaan. Tubuhnya pasti ada batas bawah yang harus ditoleransi sebelum benar-benar ambruk.
Dugaan gue nggak salah. Akhirnya Emi benar-benar ambruk. Beberapa kali dia dibawa ke klinik dekat rumahnya untuk memeriksakan kondisinya. Sampai akhirnya ketika kondisinya tak kunjung membaik, dia divonis menderita usus buntu.
Saat itu kondisi Mama Emi pun tidak dalam keadaan yang baik. Mamanya saat itu sudah mulai kesulitan berjalan karena terjadi perlengketan di tempurung lututnya. Beliau harus menjalani operasi yang kemungkinan kesembuhannya hanya 50%.
Papa dan Mamanya memutuskan untuk berobat jalan dibandingkan menjalani operasi. Keadaan tersebut membuat Papa Emi harus membagi perhatian dan pikirannya antara Emi dan Mamanya. Beliau akhirnya memutuskan untuk menitipkan Emi ke gue.
Operasi bagi sebagian orang mungkin adalah momok yang sangat nggak enak. Gue pun seperti itu. Gue membayangkan kegagalan orang yang operasi. Walaupun operasi yang akan dilalui Emi bukan operasi besar, tetapi apapun bisa terjadi bukan? Beberapa kali pikiran negatif gue tentang peluang berhasilnya Emi dalam operasinya nanti.
“Mi, dua bulan lagi bakalan ada acara metal loh. Lo harus operasi sekarang biar bisa recover pas nanti nonton. Masa tiketnya angus gitu aja? Gue udah beliin tiketnya loh. Ada Fleshgod (Apocalypse), Mi. Band kesukaan lo. Belum tentu mereka dua kali datang ke Indonesia.”
Gue menyemangati Emi ketika Emi berbaring sambil mengeluh kesakitan di UGD. Papanya sedang mengurus administrasi terlebih dahulu. Karena operasi tidak dapat dilaksanakan kalau administrasi belum diselesaikan. Orang bisa keburu mati kalau semua IGD memberlakukan hal yang sama pada setiap pasian dalam kondisi mendesak.
Emi hanya tersenyum sesaat sambil terus meringis kesakitan. Dia menggenggam tangan gue erat. Ekspresinya yang kesakitan tersebut membuat gue ga tega melihatnya. Gue berharap operasinya segera dijalankan agar ia bisa terlepas dari rasa sakit ini.
Sembari menggenggam tangan gue dan akhirnya dilepas, dia bersiap untuk masuk ke ruang operasi. Gue amat sangat cemas, deg-degan, dan pikirannya juga nggak menentu. Gue hanya mau berharap operasi usus buntu ini berjalan lancar.
Gue banyak bertanya ke orang-orang yang pernah melalui operasi ini dan juga baca-baca artikel. Semuanya memberikan vibe yang positif di otak gue, itulah yang bisa menenangkan gue, selain terus berdoa kepada Tuhan.
Semalaman gue hanya memikirkan Emi. Harap-harap cemas selalu berputar sekeliling otak gue. Gue hanya ingin mendapatkan hasil secepatnya dan semoga hasilnya juga positif. Memang ini bukan operasi besar, tapi bukan berarti nggak ada kemungkinan gagal kan?
itkgid dan 23 lainnya memberi reputasi
24