Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2141
Haru Biru Emi_Part 1
Setelah gue pulang dari Malang, gue mendampingi Emi dan keluarga untuk menjenguk Kakeknya yang sedang sakit keras dan katanya beliau sendiri juga yang meminta seluruh anak cucu cicit-nya kumpul di kampung halaman mereka. Emi sedikit memaksa gue karena ia merasa khawatir dengan kondisi kakeknya itu. Menurut informasi dari keluarganya, kondisi kakeknya makin hari makin drop.

Memang sih dia ga sepenuhnya meminta gue harus mengantarkan dia dan keluarga untuk pergi ke kampung halaman mereka. Tapi gue pribadi pun ingin mendampingi Emi di masa-masa sulit seperti ini. Pasti berat banget untuk dia saat itu. Toh sekarang pun udah ada kendaraan jadi mempermudah gue juga untuk mengantarkan mereka sampai di rumah kakeknya.

Sebelum keberangkatan ke kampung halaman Emi, gue meminta izin ke Mama untuk menemani keluarga Emi ini. Mengingat kondisi Kakeknya saat itu, gue memang sedikit agak memaksa agar Mama mau mengizinkan gue. Tapi tanggapan Mama agak kurang positif karena gue dinilai terlalu ‘bela-belain’ keluarganya Emi terus daripada keluarganya sendiri. Apalagi sejak gue menceritakan ke Mama dan Dania kalau gue membelikan mobil ke Emi. Gue jadi jarang ada dirumah dan banyak menghabiskan waktu untuk bepergian dengan Emi dan keluarga.

Ketidaksetujuan Mama diperparah lagi karena sekarang ini kondisinya adik gue sedang mengandung anak pertamanya. Gue diminta untuk lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga adik gue ini daripada sibuk mengurus Emi dan keluarga. Mama merasa Emi terlalu full control kehidupan gue saat itu sehingga melupakan keluarganya sendiri.

Tapi apa jawaban Mama saat itu? “Ya kan Dania jauh dari suaminya. Kamu tolonglah jangan egois, pikirin adik kamu sendiri. Berkorban buat adiknya kenapa sih? Pacaran mulu yang dipikirin. Kasian adik kamu, Ja…” Gue ga terima dengan pendapat Mama saat itu. Sudah berulang kali gue melakukan pembelaan, kalau Dania sekarang sudah punya suami.

Jadi ya menurut gue, suaminya dong yang seharusnya standby mendampingi istrinya. Aneh, mereka sendiri yang memutuskan untuk menjalani LDM (Long Distance Marriage) karena merasa mereka survive ketika mereka bisa melakukan LDR (Long Distance Relationship) ketika berpacaran. Adik gue di sini, suaminya di Bandung. Kenapa jadi gue yang harus menanggung beban beratnya hubungan mereka dong? Bukan berarti karena gue kakaknya, gue jadi serta merta harus terus menjadi guardian angel-nya adik gue dong?

Di sini gue kembali merasa sikap Mama bener-bener nggak adil. Kenapa harus gue yang harus mengesampingkan kehidupan gue dengan calon pendamping hidup gue, demi adik gue yang sudah menikah? Masa gue nggak boleh ngurus urusan gue sendiri? Gimana kabarnya nanti kalau gue udah menikah tetapi adik gue masih LDM? Gue harus mengesampingkan istri gue gitu nanti? Apa Mama akan bersikap sama kalau gue yang menikah terlebih dahulu daripada Dania?

Setelah pernikahannya dan adik gue tak kunjung mendapatkan mutasi karyawan di Bandung, adik gue dan suaminya memutuskan untuk LDM. Mereka membuat keputusan tersebut tanpa meminta pendapat gue dan Mama. Seharusnya mereka mau tau bagaimana konsekuensinya dan berani menanggung segala konsekuensinya itu sendiri, terutama ketika kondisi mereka seperti saat ini. Jangan malah menuntut ini itu ke orang lain, giliran mereka kesulitan setelahnya karena keputusan mereka itu.

Walaupun gue kakak kandung dia, tapi gue sudah menjadi orang lain di kehidupan mereka. Gue udah nggak bisa mengatur kehidupan mereka atau membuat keputusan atas apapun yang menyangkut mereka. Terutama setelah adanya dokumen akta nikah adik gue dan suaminya. Tapi entah kenapa mereka malah terus merasa gue bertanggungjawab atas adik gue, mungkin karena gue yang masih belum berkeluarga.

Setelah kemarin ini gue tidak diapresiasi dengan membeli mobil baru hasil jerih gue payah sendiri, eh sekarang gue malah dituntut untuk standby karena Dania jauh dari suaminya. Giliran yang susah-susah gue pasti dilibatin. Kalau gue nolak, gue langsung dicap negatif. Saat gue mendapatkan cap negatif tersebut, gue seakan dianggap manusia gagal dan akan terus disangkutpautkan dengan keberadaan Emi yang dianggap membawa pengaruh buruk dalam kehidupan gue.

Eh giliran gue berprestasi, mau mengikuti apa mau mereka, dan mau menunjukkan momen yang menurut gue membanggakan kepada mereka, gue malah nggak diapresiasi sama sekali. Jadi kapan mereka mau berpikir positif tentang gue? Apa bedanya sekarang Mama dan Dania dengan keluarga besar Papa? Sama aja. Lambat laun, hal ini membuat gue semakin jauh dari keluarga gue sendiri, termasuk keluarga kecil gue. Karena di luar sana, keluarga Emi bisa lebih menghargai keberadaan dan usaha gue.

“Aku nggak tau lagi gimana keadaannya Aki sekarang dan nggak ada satupun keluarga yang mau ngejelasin detailnya ke aku. Aki cuman bilang ‘Mau ketemu Emi…’ gitu doang. Terus keluarga disana minta kita semua dateng deh. Harus diusahakan dateng katanya. Apaan coba ngomong kayak begitu? Aku nggak suka Aki ngomong begitu. Orang beberapa minggu lalu kirim foto dan video kok kalau udah segeran. Terus katanya mendadak minta pulang sendiri ke rumah Bi Imah, adiknya bokap. Di sana katanya baru tuh ngaco minta ketemu ini itu. Aku nggak suka banget Aki begitu.” Kata Emi diperjalanan. Intonasi bicaranya menyiratkan kekhawatiran yang besar.

“Iya, ini kan kita lagi menuju kesana. Kamu yang tenang ya. Kamu istirahat dulu gih. Nanti aku bangunin kalau udah sampai ya.” gue mencoba menenangkan.

“Nggak bisa. Mana bisa tenang dan istirahat kalau kondisinya lagi begini? Lagian nggak tau kenapa, ini hati aku kok nggak enak banget, Zy.”

“Kamu sih udah mikir yang aneh-aneh di dalam pikiran kamu, makanya jadinya kamu sendiri yang ga bisa tenang. Udah, kamunya coba berpikir positif aja dulu, jangan mikir aneh-aneh. Doain Aki kamu dengan doa terbaik kamu. Biar lebih ikhlas dan didenger sama Tuhan. Jangan mikir macem-macem lagi. Jangan sampe kamu udah di sana, eh kamunya juga ikutan nge-drop karena banyak mikirin hal macem-macem yang nggak penting. Ok?”

Emi masih nggak mau menurut. Dia kini terlihat lebih tenang, walaupun tetep nggak mau istirahat sama sekali. Gue paham sih apa yang dirasain Emi saat ini, pasti sulit untuk mencoba berpikir positif ketika kondisi orang terkasih kita terus drop.

Sama seperti apa yang gue rasakan dulu ketika perjalanan mengantarkan bokap ke rumah sakit. Tapi gue nggak mau membahas itu sekarang. Gue khawatir malah menambah beban pikiran Emi dan membuat dia kembali nggak tenang.

Dia yang penuh kekhawatiran ini terasa berbeda. Dia lebih banyak diam dan menatap pemandangan di jalan tanpa banyak cerita seperti biasanya. Begitupun dengan Papa Mamanya di seat belakang. Mereka terlihat sedang fokus dengan handphone mereka entah berbicara dengan siapa. Mungkin salah satu keluarga mereka yang sudah sampai duluan di kampung halaman mereka.

Untuk mencairkan suasana yang agak menegangkan dan kurang nyaman ini, sepanjang perjalanan pun kami memutar lagu-lagu metal biar Emi bisa lebih semangat. Alhamdulillah-nya ternyata berhasil dan bisa sedikit mengembalikan mood Emi yang ceria serta penuh cerita. Papa Mamanya Emi sepertinya sudah mengerti dan bisa maklum kalau selera musik kami berdua agak lain daripada yang lain. Mereka nggak komen apapun ketika kami berdua memutar lagu yang nggak mereka suka itu.

Perjalanan kami memakan waktu sekitar 5 jam non stop. Kami tiba sore hari di kediaman adik Papanya Emi, Bi Imah namanya. Rumah ini, dulunya adalah rumah pertama yang dibeli oleh kakek dan almarhum neneknya Emi ketika baru menikah dahulu. Mereka memulai keluarga besar mereka di sini.

Singkat cerita ketika keluarga besar Papanya semakin besar dan kehidupan mereka terus menjadi lebih baik, keluarga Papanya Emi pindah ke rumah di daerah yang lebih kota, namun tidak menjual rumah ini. Rumah ini kembali ditempati oleh adik Papanya ketika adiknya tersebut menikah namun memutuskan untuk tidak pergi merantau. Itulah mungkin sebabnya, kakeknya Emi memilih untuk kembali pulang ke rumah ini sejak memutuskan keluar dari rumah sakit.

Buat gue, ini bukan pertanda baik. Orang yang sedang sakit keras dan mendadak minta yang aneh-aneh itu bukan pertanda baik pokoknya. Kita harus bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tetapi gue memilih nggak menceritakan hal tersebut ke Emi.

Ketika kami datang, sebagian besar keluarga Emi sudah hadir. Kakak-kakak dan adik-adik Papanya Emi beserta keluarga kecilnya masing-masing, sudah berkumpul di rumah mungil itu. Satu per satu mereka bergantian untuk bertemu dengan kakek dan nenek barunya Emi. Mereka mengajak ngobrol dan meminta maaf kalau baru sempat menjenguk kakeknya karena lokasi mereka yang jauh dari kampung halaman ini. Keluarga Emi ini kebanyakan tinggal di Jabodetabek dan ada pula yang tinggal di Sumatra.

Sekarang giliran Emi, kakeknya terlihat menggenggam dan tersenyum melihatnya. Emi terlihat tak dapat menahan emosi di dirinya dan menangis sejadi-jadinya di samping kakeknya. Apa yang gue dengar dari obrolan keluarganya, kondisi kakeknya tak kunjung membaik sejak pulang ke rumah.

Gue memperhatikan kondisi kakeknya tersebut gue merasa ini bukan kakeknya Emi lagi. Kakeknya terlihat berbeda dari terakhir kali gue bertemu dengannya. Ketika sampai giliran yang bersalaman dengan kakeknya, gue merasakan hawa yang dingin namun positif serta ngademin. Entah pertanda apa ini. Rasanya gue mau cerita ke Emi. Tapi gue khawatir, nanti dia malah dia makin berpikir macem-macem. Gue urung menceritakan apa yang gue rasakan itu ke Emi.

Gue sengaja meninggalkan Emi menghabiskan waktunya dengan kakeknya terlebih dahulu. Gue pergi ke teras rumah adik Papanya ini dan mencoba berbaur dengan mereka. Sangat kontras dengan keadaan keluarga gue, di keluarga besar Emi ini gue merasakan kehangatan yang luar biasa. Silaturahmi yang terus terjaga terlihat dari bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Mereka hafal bagaimana kondisi terakhir masing-masing keluarga tanpa harus mengulang-ulang cerita yang sama.

Mereka pun terlihat rukun terlihat bagaimana mereka bergurau tanpa menyinggung perasaan tapi nggak canggung sama sekali. Terlebih lagi, mereka mau menerima keadaan gue yang saat itu hanya seorang pacar dari salah satu anggota keluarga mereka. Mereka mau merangkul gue, mendengarkan cerita gue, dan mengapresiasi tiap prestasi ketika gue tanpa sengaja menjabarkan bagaimana diri gue apa adanya.

Papa dan Mama Emi pun selalu memperlakukan gue dengan hangat ketika gue berada di rumah mereka. Itulah mengapa gue betah untuk berada di rumah mereka itu daripada rumah gue, saat ini. Memang rumah gue telah memberikan kenyamanan di hidup gue seumur hidup gue, sebelum gue ketemu Emi. Gue merasa keadaannya berubah ketika Papa udah tiada dan terus berubah ketika Dania menikah.

Perlakuan Papa dan Mama Emi ga serta merta hangat sepanjang perjalanan percintaan kami yang turun naik ini. Dulu sempat beberapa kali gue mendapatkan teguran keras dari Papanya karena gue terus menerus pulang malam (cenderung menjelang dini hari sih) dari rumah Emi. Emi juga pernah bercerita katanya hubungan gue dengannya merusak nama baik keluarga mereka dikomplek rumah Emi. Lah, gue aja nggak ngapa-ngapain yang merugikan mereka.

Gue nggak merugikan mereka secara materi maupun moral. Gue merasa semua berjalan normal. Gue hanya berpacaran dengan Emi dan menjalaninya berdua. Kok yang merasa dirugikan malah banyak orang dan langsung menuduh kalau gue merusak nama baik keluarga mereka? Mereka aja nggak kenal gue. Mereka aja terlalu kurang kerjaan sehingga memilih untuk mengurus urusan orang lain.

Gue sempat mau cari tau siapa aja yang bikin gosip kayak gitu di komplek rumah Emi tersebut. Rasanya pingin gue pukulin satu-satu mereka. Jelas itu merusak nama baik keluarga Emi dan nama baik gue. Soalnya kan gosip negatif kayak begini, sulit untuk dipulihkan. Entah bagaimana bisa mereka memperbaiki nama baik gue dan keluarga Emi. Kesel banget gue. Tapi kalau gue memutuskan untuk begitu, nama gue akan hancur seketika di komplek tersebut dan buruknya, gue nggak bisa datang lagi kerumah Emi nanti.

---

Keesokan sorenya, keluarga besar Emi semakin banyak yang hadir. Entah keajaiban apa saat itu, seluruh keluarganya hingga yang di berada di Pulau Jawa bisa berkumpul di rumah Bi Imah ini. Lengkap, tanpa ada kekurangan. Perjalanan mereka semua seakan dipermudah. Kakeknya ini seakan telah memperhitungkan waktu terbaik untuk dapat mengumpulkan semua orang di waktu yang bersamaan. Ini pertanda tidak baik.

Gue baru sadar kalau ternyata keluarganya ini banyak banget dan masih banyak yang belum gue kenal. Ketika semakin banyak yang datang, gue melipir sejenak untuk memberikan mereka waktu bersama keluarga besar mereka tersebut.

Gue yang duduk di teras sambil memperhatikan keadaan di sekitar gue, dapat merasakan kesedihan yang amat mendalam dari orang-orang yang datang. Suasana hari itu berbeda dengan hari kemarin. Hari ini terasa lebih sendu. Sama ketika banyak orang bersedih melihat Papa yang dulu sakit dan sempat dirawat beberapa kali di rumah sakit.

Mendadak Emi menghampiri gue. “Zy…” ucapnya lirih. Wajahnya terlihat pucat dan penuh kekhawatiran.

“Kamu kenapa?” Gue merangkulnya dan mengajaknya menjauh dari keramaian keluarganya.

“Aku yakin kok Aki masih bisa sembuh. Pasti bisa sembuh. Pasti kan, Zy? Kekuatan doa pasti bisa dia kembali sembuh kan, Zy?” Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

Gue ragu untuk memberi tahunya kenyataan yang harus dia hadapi di kondisi seperti ini. Tapi gue nggak boleh menutupinya. Emi sudah dewasa, dia harus bisa menerima keadaan seperti ini. “Insyallah. Tapi semuanya kembali ke takdir, Mi. Kamu nggak bisa maksain kalau keadaannya nggak seperti yang kamu inginkan. Kamu nggak boleh egois. Kamu udah dewasa sekarang. Kamu harus bisa bersiap untuk kenyataan terbaik dan terburuknya saat ini.”

“Kok kamu malah ngarahin seolah Aki pasti pergi sih? Kamu doain Aki aku meninggal? Kamu jahat banget!” kalimat yang terucap mulai terbata-bata karena Emi mulai menangis lagi.

“Bukan ngarahin, tapi kayak yang selalu aku bilang ke kamu masa depan siapa yang tau. Kita udah berusaha seoptimal mungkin, tapi hasilnya berbanding terbalik. Aku yakin, Aki pun sudah menyadari kondisinya saat ini makanya dia memutuskan untuk pulang dan mengumpulkan kalian semua. Tapi kan dokter masih memberikan harapan kalau ada kemungkinan kondisi Aki mungkin akan membaik dengan support keluarga besarnya. Sekarang yang bisa kita semua lakukan hanya berdoa. Kita berharap usaha kita semua ini mendapatkan hasil terbaik. Kini tinggal Tuhan yang nentuin, Mi.” kata gue sambil menggengam tangan kanan Emi. “Kamu jangan egois ya? Doanya digeser…”

“Egois? Emang orang mau optimis nggak boleh? Siapa sih yang mau ditinggalin sama orang kesayangan? Zy, ini kakek terakhir aku. Kalau Aki nggak ada, aku udah ga punya kakek kandung lagi! Nenek aku dua-duanya udah ga ada, sekarang kakek aku juga? Ya Tuhan…” Emi berurai air mata.

Gue juga maunya begitu dulu. Gue mau terus optimis kalau Papa bisa sembuh lagi apalagi ketika kami membawa Papa ke rumah sakit untuk terakhir kalinya dulu. Gue meminta kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan kepada Papa.

Tapi apa? Tuhan sayang banget sama Papa. Tuhan ingin Papa tidak merasakan sakitnya lagi. Tuhan ingin Papa tidak merasakan stres karena kondisi kantornya yang hancur lebur di tahun-tahun kedepannya. Akhirnya Tuhan mengambil Papa. Papa pergi selama-lamanya meninggalkan gue dan keluarga. Bagaimanapun usaha dan doa gue untuk Papa.

“Boleh banget kok untuk optimis. Tapi jangan maksain keinginan kamu kalau ternyata itu bukan yang dibutuhkan Aki saat ini. Sekarang baiknya doa kamu bergeser. Aku minta kamu jangan lagi meminta kesembuhan untuk Aki. Tapi minta agar Tuhan memberikan jalan yang terbaik buat Aki. Ok?”

“GIMANA SIH??? ITU MAH SAMA AJA DOAIN YANG NGGAK BAIK, ZY! ITU SEAKAN AKU BERHARAP DAN BERPIKIR KALAU AKI BAKALAN NINGGALIN AKU!” Emi tiba-tiba sangat emosional.

“Bukan nggak baik, Mi. Hey dengerin aku dulu! Jangan siksa Aki untuk terus bertahan ketika takdirnya nggak bilang kayak begitu. Kamu lihat kondisi Aki kan? Kamu juga denger kan gimana progress kesehatannya? Apa yang harus beliau lalui untuk tetap bertahan hidup dan melawan penyakitnya? Kamu tega memaksakan itu semua ketika mungkin Tuhan berkeinginan yang lain?” Emi terdiam.

Kemudian gue mengajak Emi berkeliling sebentar di sekitar rumah Bi Imah ini untuk sekedar memberikan Emi fresh air agar Emi dapat berpikir lebih jernih dan tenang.

Diubah oleh yanagi92055 10-06-2020 23:08
khodzimzz
annisasutarn967
itkgid
itkgid dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.