- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Rumah Peninggalan Bapak
...
TS
bej0corner
Misteri Rumah Peninggalan Bapak

Prolog
Sudah dua tahun rumah peninggalan orang tua tidak pernah aku kunjungi, selain karena kesibukan kuliah yang tidak dapat ditinggalkan, cerita dibalik rumah itu kosong juga menjadi alasanku belum berani datang lagi.
Rumah itu menjadi saksi bisu pembantaian bapak, ibu dan mbak Lestari. Dan sampai saat ini pelaku belum tertangkap oleh pihak yang berwajib, aku mendengar cerita bahwa rumah peninggalan bapak selalu mengeluarkan aura mistis.
Namun mau tidak mau aku harus kembali, setelah mendapatkan sebuah pekerjaan yang ternyata lokasinya di Kota Solo, aku memiliki dua pilihan yang berat antara harus berhutang untuk menyewa rumah atau menempati rumah peninggalan dari bapak.
Pilihan yang sama beratnya, namun Kirana memintaku untuk menempati kembali rumah yang sudah kosong selama dua tahun tersebut, selain menghemat biaya hidup juga membuat aku mungkin bisa mengetahui jawaban siapa pembunuh dari keluargaku.
Semua tidak semudah yang aku bayangkan sebelumnya, segala aura mistis mulai mengintaiku selama kembali menempati rumah masa kecil tersebut. Mulai dari nyanyian, penampakan, atau beberapa tangisan yang sering menemani hari-hariku selama disana.
Sebelum Hari Pertama
Keraguan masih menghinggapi hatiku mau maju tapi takut dengan segala cerita masyarakat sekitar namun kalau tidak maju, aku berart melupakan segala kenangan bersama Bapak, Ibu dan Mbak Lestari.
“Gimana Han, jadi menempati rumah keluargamu besok ?” tanya Kirana yang memang menjadi kekasih hatiku sudah dua tahun belakangan.
“Aku masih bimbang Ran, meskipun kangen dengan rumah itu tapi semua kejadian yang menimpa keluargaku dan segala cerita masyarakat sekitar masih terus menghambat” jawabku dengan rasa yang masih bimbang.
Kirana tidak langsung menjawab diskusi kami, dia memilih untuk memesan makanan favorit kami yakni bakso di salah satu warung langganan.
“Kamu harus buang rasa bimbangmu itu Han, bukannya kamu sendiri yang memutuskan untuk bekerja di kota kelahiranmu ?”.
“Iya aku paham, Cuma kalau untuk kembali kerumah tersebut aku masih ragu dan ada sedikit rasa takut”.
“Kamu itu lucu, itu rumah kamu kan ? tidak mungkin keluargamu akan membunuh kamu disana, mungkin saja malah kamu bakal mengungkap siapa pelaku pembunuhan berantai keluargamu”.
“Masa iya sih Ran ? mereka akan bersahabat denganku begitu maksudmu ?”.
“Bersahabat ? aneh-aneh saja kamu, mereka dan kamu sudah tidak satu alam, tapi kemungkinan mereka akan mencoba menyampaikan pesan kepadamu disana. Kamu adalah anggota keluarga yang masih tersisa”.
“Kalau begitu, baiklah aku bakal mencoba menghidupkan kembali rumah yang sudah dua tahun tidak berpenghuni itu”.
Setelah menghantarkan Kirana pulang kerumahnya, aku mencoba kembali mengingat kenangan bersama Bapak, Ibu dan Mbak Lestari. Semua seakan masih tidak bisa aku percaya, mereka pergi secara tragis dan secara bersamaan.
Kejadian dua tahun lalu, mungkin kalau aku tidak melanjutkan study di Jakarta aku bisa mengetahui siapa pembunuhnya atau setidaknya aku bisa berkumpul bersama mereka dialam yang berbeda.
Dering telpon sebelum ditemukannya jasad keluargaku, aku masih sempat menghubungi Ibu untuk menanyakan kabar mereka disana. Ada sebuah firasat yang mungkin baru aku bisa tangkap setelah kepergian mereka.
“Dek, ibu kangen banget sama adek. Kalau bisa, besok datang ya” sebuah kata yang mengisyaratkan akan terjadi sebuah kejadian yang tidak pernah terbayangkan olehku.
Semua masih seperti mimpi bagiku, semua seperti hanya cerita dongeng saja. Aku masih menilai mereka bertiga masih hidup, terutama ibu, aku rindu sekali padamu bu, nyanyian langgam jawamu selalu menemani tidurku.
Prolog
Sebelum Hari Pertama
Hari Pertama
Hari Kedua
Hari Ketiga
Hari Keempat – Part 1
Hari Keempat – Part 2
Hari Kelima – Part 1
Hari Kelima – Part 2
Hari Keenam
Hari Ketujuh – Part 1
Hari Ketujuh – Part 2
Hari Kedelapan
Hari Kesembilan
Hari Kesepuluh - Part 1
Hari Kesepuluh – PART II
HARI KESEBELAS PART I
HARI KESEBELAS PART II
Hari Kedua Belas-Part I
Hari Kedua Belas - Part II
Hari Kedua Belas - Part III
HARI KETIGA BELAS - PART I
Hari Ketiga Belas Part II
Hari Ketiga Belas Part III
Hari Keempat Belas
Hari Keempat Belas - Part II
Hari Kelima Belas
Hari Keenam Belas
Hari Keenambelas Part II
Hari Keenambelas Part III
Hari Keenam Belas - Part IV
Hari Keenam Belas - Part V
Hari Ketujuh Belas - Part I
Hari Ketujuh Belas - Part II
Hari Ketujuh Belas Part III
Hari Kedelapan Belas
Hari Kesembilan Belas-Part I
Hari Kesembilan Belas-Part II
Hari Kesembilan Belas-Part III
Hari Kedua Puluh
Diubah oleh bej0corner 12-07-2020 07:17
ardian76 dan 128 lainnya memberi reputasi
123
122.4K
752
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
bej0corner
#419
Hari Kelima Belas
"Han, bukankah kamu kemarin mengejar seseorang di pasar ?" langkahku terhenti sejenak, ku pandangi wajah Kirana yang tersinari Matahari dari celah-celah pepohonan di pingggir jalan. Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan berjalan lagi.
"Bukankah dia kunci ahli ya disini ?," kata Kirana sambil memegang tanganku tanda untuk berhenti sejenak. Tampaknya, dia tidak tertarik untuk jalan-jalan pagi ini.
"Mungkin Ran, tapi dia lari dariku kan ? bagaimana aku bisa bertanya banyak hal kepadanya", Kirana tampak berpikir sejenak. Matanya mengisyaratkan untuk mengajak duduk di sebuah bangku panjang didepan kami.
Kirana masih membisu, ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Entah tentang apa itu, namun cukup tergambarkan dari wajahnya. Cukup lama, tiba-tiba tanganku ditepuk lumayan keras, seperti menemukan sebuah ide yang daritadi dia cari.
"Han, coba kita ke tempat kemarin saat bertemu dengan dia, mungkin saja, dia sekarang rutin kesana", meskipun kurang yakin, namun tidak ada salahnya bagiku mencoba untuk mencari keberadaan Pak Agus ditempat kemarin.
"Kita mencoba memecahkan misteri seperti Detektif Aldo Baws, Han", sekarang perkataanya malah tambah melantur tak karuan, tokoh fiktif seperti Aldo saja dibawa-bawa kedunia nyata.
***
Aku dan Kirana sengaja datang tepat diwaktu saat berjumpa dengan Pak Agus, menunggu disudut yang juga pertama kali aku melihat sosok Pak Agus, mata kami berdua tidak lepas memandangi satu per satu pelanggan yang berseliweran.
"Tampaknya, bakal sia-sia sih ini Ran", celetukku setelah menanti kurang lebih sekitar tiga puluh menit, dan batang hidung Pak Agus masih juga belum nampak dihadapan ku dan Kirana.
"Lalu mau kemana kita mencarinya ?", dengan wajah yang sayu dan tampak kelelahan, rasanya aku tidak tega untuk meneruskan aksi detektif ini bersama Kirana.
"Biarkan aku saja yang mencari, kamu habis ini aku antar ke Rumah Sukma", dengan segera Kirana menggelengkan kepala, aku sudah mengenal sifat dan wataknya yang memang keras kepala, namun untuk kasus ini. Tampaknya, Kirana benar-benar tidak boleh diikut sertakan terlalu jauh.
"Kamu percayakan kepadaku, tidak akan terjadi apa-apa denganku", setelah mendapatkan kata-kata yang meyakinkan dariku, Kirana tampak melunak untuk tetap mencari sosok Pak Abdul.
Maaf Ran, aku bahagia rasanya ditemani kamu seharian, namun aku juga tidak mungkin membawamu terlalu jauh. Mbak Ambar dan Pak Agus adalah kedua sosok yang begitu sengsara karena telah ikut campur terlalu jauh.
***
Mata ini masih terus terjaga melihat beberapa orang berlalu lalang didepan pasar, sosok Pak Abdul benar-benar belum terlihat. Rasanya, untuk hari ini dicukupi sudah, tidak mungkin sampai selarut ini, Pak Agus bakal nongol lagi di pasar.
"Nyuwun sewu mas, daritadi kok kula perhatikan, sampeyan seperti mencari orang ?", ujar seorang laki-laki tua yang sebelumnya tidak pernah kenal ditempat lain, namun inilah tradisi Orang Jawa, ramah-tamah dengan orang sudah menjadi budaya mendarah daging.
"E...ehhh, iya pak, kula nyari bapak-bapak, namanya Pak Agus, orangnya agak gemuk dan tinggi".
"Kok kula belum pernah mendengar sama sekali ya mas, mungkin itu bukan orang pasar sini. Pengunjung saja", sebetulnya, aku juga berpikir seperti itu, tapi entah kenapa keinginanku menunggu juga cukup kuat.
"Owallah begitu nggih pak, kula matur suwun engast pak, kalau begini jadinya besok tidak perlu nunggu lagi disini".
"Iya mas, sami-sami".
Segera ku buka ponsel pintar untuk memesan abang ojek online, sudah jam segini, semoga saja masih ada yang mangkal. Mengingat kehidupan Orang Solo tentu berbeda dengan kota-kota di Jawa Barat dan Jakarta yang tidak ada habisnya.
"Nah, masih nyantol ternyata, selamat lah", sebuah notifikasi masuk ke ponsel memberitahukan bahwa satu driver telah mengambil orderran ku, bersyukur dalam hati karena tidak jadi pulang jalan kaki ke rumah.
***
"Pedagang ya mas ?", tanya pengemudi ojek online melepaskan keheningan malam dengan angin yang ternyata lumayan juga membuat tulang-tulangku kedinginan.
"Bukan mas, tadi cuma mampir main aja ke pasar", jelas jawabanku bakal mendapatkan pertanyaan penasaran si pengemudi ojek online, siapa juga yang bakal percaya ada orang main sampai larut malam di pasar tradisional.
"Wah, main kok sampai larut begini mas".
"Iya mas, nunggu seseorang, saya kira pedagang disana ternyata tidak".
"Sepesial sekali ya mas ? sampai menunggu selarut ini", aku hanya tersenyum, tidak mungkin untuk urusan ini bercerita dengan orang yang baru dikenal. Meskipun tampak dari wajahnya, pengemudi ojek online tersebut ramah dan jujur.
masih pada ingin lanjut tidak ya ceritanya ?
"Han, bukankah kamu kemarin mengejar seseorang di pasar ?" langkahku terhenti sejenak, ku pandangi wajah Kirana yang tersinari Matahari dari celah-celah pepohonan di pingggir jalan. Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan berjalan lagi.
"Bukankah dia kunci ahli ya disini ?," kata Kirana sambil memegang tanganku tanda untuk berhenti sejenak. Tampaknya, dia tidak tertarik untuk jalan-jalan pagi ini.
"Mungkin Ran, tapi dia lari dariku kan ? bagaimana aku bisa bertanya banyak hal kepadanya", Kirana tampak berpikir sejenak. Matanya mengisyaratkan untuk mengajak duduk di sebuah bangku panjang didepan kami.
Kirana masih membisu, ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Entah tentang apa itu, namun cukup tergambarkan dari wajahnya. Cukup lama, tiba-tiba tanganku ditepuk lumayan keras, seperti menemukan sebuah ide yang daritadi dia cari.
"Han, coba kita ke tempat kemarin saat bertemu dengan dia, mungkin saja, dia sekarang rutin kesana", meskipun kurang yakin, namun tidak ada salahnya bagiku mencoba untuk mencari keberadaan Pak Agus ditempat kemarin.
"Kita mencoba memecahkan misteri seperti Detektif Aldo Baws, Han", sekarang perkataanya malah tambah melantur tak karuan, tokoh fiktif seperti Aldo saja dibawa-bawa kedunia nyata.
***
Aku dan Kirana sengaja datang tepat diwaktu saat berjumpa dengan Pak Agus, menunggu disudut yang juga pertama kali aku melihat sosok Pak Agus, mata kami berdua tidak lepas memandangi satu per satu pelanggan yang berseliweran.
"Tampaknya, bakal sia-sia sih ini Ran", celetukku setelah menanti kurang lebih sekitar tiga puluh menit, dan batang hidung Pak Agus masih juga belum nampak dihadapan ku dan Kirana.
"Lalu mau kemana kita mencarinya ?", dengan wajah yang sayu dan tampak kelelahan, rasanya aku tidak tega untuk meneruskan aksi detektif ini bersama Kirana.
"Biarkan aku saja yang mencari, kamu habis ini aku antar ke Rumah Sukma", dengan segera Kirana menggelengkan kepala, aku sudah mengenal sifat dan wataknya yang memang keras kepala, namun untuk kasus ini. Tampaknya, Kirana benar-benar tidak boleh diikut sertakan terlalu jauh.
"Kamu percayakan kepadaku, tidak akan terjadi apa-apa denganku", setelah mendapatkan kata-kata yang meyakinkan dariku, Kirana tampak melunak untuk tetap mencari sosok Pak Abdul.
Maaf Ran, aku bahagia rasanya ditemani kamu seharian, namun aku juga tidak mungkin membawamu terlalu jauh. Mbak Ambar dan Pak Agus adalah kedua sosok yang begitu sengsara karena telah ikut campur terlalu jauh.
***
Mata ini masih terus terjaga melihat beberapa orang berlalu lalang didepan pasar, sosok Pak Abdul benar-benar belum terlihat. Rasanya, untuk hari ini dicukupi sudah, tidak mungkin sampai selarut ini, Pak Agus bakal nongol lagi di pasar.
"Nyuwun sewu mas, daritadi kok kula perhatikan, sampeyan seperti mencari orang ?", ujar seorang laki-laki tua yang sebelumnya tidak pernah kenal ditempat lain, namun inilah tradisi Orang Jawa, ramah-tamah dengan orang sudah menjadi budaya mendarah daging.
"E...ehhh, iya pak, kula nyari bapak-bapak, namanya Pak Agus, orangnya agak gemuk dan tinggi".
"Kok kula belum pernah mendengar sama sekali ya mas, mungkin itu bukan orang pasar sini. Pengunjung saja", sebetulnya, aku juga berpikir seperti itu, tapi entah kenapa keinginanku menunggu juga cukup kuat.
"Owallah begitu nggih pak, kula matur suwun engast pak, kalau begini jadinya besok tidak perlu nunggu lagi disini".
"Iya mas, sami-sami".
Segera ku buka ponsel pintar untuk memesan abang ojek online, sudah jam segini, semoga saja masih ada yang mangkal. Mengingat kehidupan Orang Solo tentu berbeda dengan kota-kota di Jawa Barat dan Jakarta yang tidak ada habisnya.
"Nah, masih nyantol ternyata, selamat lah", sebuah notifikasi masuk ke ponsel memberitahukan bahwa satu driver telah mengambil orderran ku, bersyukur dalam hati karena tidak jadi pulang jalan kaki ke rumah.
***
"Pedagang ya mas ?", tanya pengemudi ojek online melepaskan keheningan malam dengan angin yang ternyata lumayan juga membuat tulang-tulangku kedinginan.
"Bukan mas, tadi cuma mampir main aja ke pasar", jelas jawabanku bakal mendapatkan pertanyaan penasaran si pengemudi ojek online, siapa juga yang bakal percaya ada orang main sampai larut malam di pasar tradisional.
"Wah, main kok sampai larut begini mas".
"Iya mas, nunggu seseorang, saya kira pedagang disana ternyata tidak".
"Sepesial sekali ya mas ? sampai menunggu selarut ini", aku hanya tersenyum, tidak mungkin untuk urusan ini bercerita dengan orang yang baru dikenal. Meskipun tampak dari wajahnya, pengemudi ojek online tersebut ramah dan jujur.
masih pada ingin lanjut tidak ya ceritanya ?
itkgid dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Tutup