- Beranda
- Stories from the Heart
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)
...
TS
amyjk02
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)

Wellcome to my imagine castle. Mau yang romantis? Ada. Mau yang horor? Ada juga. Mau yang sadis dan gore? Ada banget. Atau mau yang bikin ngakak? Ada juga, lho.
Selamat menikmati hasil kehaluan saya 🥰🥰
Selamat menikmati hasil kehaluan saya 🥰🥰
Jacka Taroob VS Vampire
Fantasi

***
Aku merapatkan jaket, gemetar kedinginan. Tak peduli gelap dan jalanan licin, terus kubawa langkah menyusuri hutan. Sepi dan semakin dingin.
Terkejut ketika mataku menangkap sebuah kelebat bayangan. Bau anyir menguar, memenuhi hidung. Aku segera menggenggam senjataku dengan erat. Bersiap siaga. Kusembunyikan tubuh di balik pokok pohon besar dengan mata yang terus mengawasi sekitar.
Benar saja! Tidak jauh dari tempatku berdiri, dua makhluk berjubah hitam terbang rendah mengejar sesuatu.
"Tolong!" teriak seorang wanita yang terdengar panik dan ketakutan. Sementara pengejarnya semakin mendekat.
Aku membekap mulut melihat pemandangan di depanku. Dua lelaki bertubuh lebih besar dariku menerkam wanita yang tadi meminta tolong. Tubuh kecilnya tak berkutik ketika seorang di antara mereka menduduki perutnya. Sedangkan seorang lagi, menelungkup di atas tubuhnya. Aku memejamkan mata. Cukup ingatanku saja yang mengatakan apa yang selanjutnya terjadi.
"Apa ini yang terakhir?" Suara berat salah satu dari mereka bertanya.
"Tidak! Masih banyak. Mereka bersembunyi," jawab si penggigit.
Aku meremas tangan. Suara mereka mengingatkanku akan sebuah peristiwa memilukan setahun yang lalu.
Srak!
Aku keluar dari tempat persembunyian. Kutodongkan senjata ke arah mereka.
"Akhirnya aku menemukan kalian," ucapku dengan dada bergemuruh, menahan emosi.
"Ow, si tukang jagal rupanya. Kau akan ...."
Dor!
Satu di antara mereka tumbang dengan kepala hancur. Tersisa lelaki berambut pirang yang kukenal sebagai Leonard.
"Hei! Kita bisa berunding, bukan?" tanyanya berusaha menahanku. Aku terus menodongkan moncong senjata ke arahnya yang perlahan mundur.
"Aku tidak suka basa-basi." Kutekankan senjata ke dadanya. Mendorong tubuhnya hingga membentur pohon.
"Katakan pada saudaramu, Jacka Taroob akan datang! Dan ini ... untuk keluargaku!" Kutarik pelatuk pistolku, membuat bola perak di dalamnya berpindah ke dalam dada si vampir. Bersarang di jantungnya dan ... boom ....
Tubuhnya meledak. Cairan hitam dan serpihan daging mengotori wajah dan badanku.
Ya, akulah Jacka Taroob. Jagal vampir terkenal dari negeri BloddyField. Aku terus berkelana menyusuri berbagai tempat menumpas mahkluk bertaring yang mematikan.
Semenjak kejadian dua tahun silam.
⚔️⚔️⚔️
"Mereka marah karena kamu telah membunuh anggota keluarganya, Jacka," ucap seorang tetangga yang kutemukan berdarah di tepi hutan. Tidak ada gigitan di tubuhnya, tetapi cairan merah pekat itu nyaris membuatnya tiak dikenali lagi.
"Mereka menyiramkan darah keluargaku. Setelah membantainya di depanku. Mereka butuh jawaban tentang keberadaanmu, Jacka. Huhuhu ...." Kupeluk tubuhnya yang anyir. Darahku seolah mendidih mendengarkan ceritanya.
"Maafkan aku ... tidak bisa menja-ga keluarga-mu. Akh ...."
Tubuhnya menggelepar. Darah segar menyembur dari mulut. Perlahan tubuh kurus itu menghitam dan ... berubah menjadi abu.
"Kurang ajar!" geramku emosi.
Aku lantas bergegas menuju rumah. Pikiran semakin kalut ketika dari jauh tampak kepulan asap dari bangunan kecil dan sederhana itu.
"Tidak!" teriakku semakin mempercepat lari. Darah berceceran di mana-mana. Memerahkan dinding papan dan lantainya. Kudobrak satu persatu pintu kamar. Nihil.
Kemana mereka?
"Nawang Wulan? Nawangsih?" Aku gemetar memanggil istri dan anakku. Terkesiap ketika melihat aliran darah dari dapur.
"Tidak!" Tulangku seakan remuk. Tersungkur di lantai tanah yang penuh darah. Mataku melotot tak percaya melihat dua orang yang kusayangi tergantung di dapur. Tanpa kepala. Sebuah kait besi menancap di perut mereka. Terhubung ke seutas tali yang terikat di palang dapur.
Darah segar masih menetes dari ujung kaki mereka.
"Ti-dak!"
....
⚔️⚔️⚔️
"Tolong Ayah! Sakit ...." Aku menggeliat mendengar rintihan Nawangsih. Mataku beredar mencari sumber suara.
"Tolong, Mas! Sakit ...." Aku tersentak. Di ujung sana, berdiri dua orang yang kusayangi. Bergaun putih dengan bercak darah yang jelas. Mereka melangkah tertatih-tatih mendekatiku.
"Wulan? Asih?"
Sret ....
"A-apa ini?" Akar pohon yang entah dari mana asalnha mengikat erat kakiku. Kutarik sekuat tenaga agar terlepas. Percuma. Ikatannya terlalu kuat.
"Tolong!" teriak mereka bersamaan. Menggapai-gapai memintaku mendekat.
"Wulan? Asih? Tung--"
"Hahaha .... Terlambat, Jacka!"
Dua orang berwajah pucat tiba-tiba berdiri di belakang Nawang Wulan dan Nawangsih. Tangan mereka mengunci leher anak dan istriku.
"Tidak! Jangan!" teriakku gelagapan.
"Kau terlalu lambat!" cibir lelaki berambut pirang.
Crash!
Aku terkesiap. Belati tajam memisahkan kepala dari tubuh anak dan istriku. Sangat cepat.
Bibirku kelu dengan tubuh bergetar. Belum cukup, dua vampir itu menusukkan belatinya ke perut Wulan dan Asih. Berkali-kali. Lantas membiarkan tubuh mereka terjatuh ke tanah.
"Tidak!" teriakku sekuat tenaga.
"Hahahaha ...," tawa mereka berderai lantas menghilang.
Aku jatuh terduduk. Menangis. Nyawaku seolah ditarik paksa. Membuat jantungku tak lagi normal memompa darah. Napas tersengal dan dada yang seolah terhimpit. Sakit!
"Tolong ...!" Suara serak dan kesakitan terdengar menyayat hati. Aku tergagap. Mengusap air mata dengan cepat. Berusaha menajamkan penglihatan.
Samar kulihat tubuh tanpa kepala anak istriku bergerak. Merangkak pelan menujuku.
"Tidak mungkin!" Aku menggeleng, tidak percaya.
Dalam sekejap mereka sudah mendekat. Dengan jelas aku melihat cerabut daging yang masih berdarah pada leher mereka. Gaun mereka pun tak lagi putih. Merah dan anyir.
"Tidak ...." Bibirku berucap pelan, takut. Tubuh tanpa kepala itu terus mendekat hingga membuatku terbaring di tanah. Tetesan darahnya membasahi wajahku.
"Tidak ...!" Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh. Mimpi itu lagi! Tepatnya kenangan kelam yang terus menjadi mimpi buruk.
"Maafkan aku!" Dadaku sakit menahan tangis. Kerinduan, penyesalan, kemarahan dan dendam terasa menyesakkan.
"Hei, jangan begitu! Nanti rambutku basah." Aku tersentak ketika mendengar suara seorang wanita. Mataku melihat sekeliling. Semak-semak tempatku bersembunyi memang sedikit gelap. Padahal hari sudah pagi dan terang.
Kusibak sedikit semak di depanku, mengintip. Mataku terpana menatap telaga yang tak jauh dari tempatku.
"Siapa mereka? Bidadari?" Mataku tak berkedip menatap tiga wanita cantik yang tengah asyik bermain air. Mereka ... telanjang?
Aku menatap tumpukkan kain berbeda warna tak jauh dariku.
"Itu pasti pakaian mereka," gumamku.
Terbersit niat jahat di otakku. Ya, siapa yang tidak tergoda melihat wanita secantik mereka di tengah hutan begini?
Dua tahun rasanya sudah cukup mengobati sakitnya ditinggalkan. Petarung sepertiku harus cepat move on, bukan?
Tanganku sigap menarik salah satu tumpukkan baju. Kupilih warna merah. Warna yang selalu seksi dan menggoda menurutku. Itu juga warna favorit Nawangwulan. Sedikit mengobati kerinduan, kan?
"Tempatnya indah, aku jadi tidak ingin pulang, hihihi ...." tawa salah seorang dari mereka. Terdengar merdu dan menenangkan.
Aku berdebar menanti di balik semak. Benar saja! Salah satu dari mereka kebingungan mencari pakaiannya. Dua saudarinya membantu mencari.
"Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan terjebak di dunia ini selamanya," ucap salah satu dari mereka. Wanita dengan pakaian kuning.
"Benar! Maaf, kami harus pergi," ujar si hijau yang lantas bergegas. Wajah mereka seperti ketakutan.
"Ah, ini saatnya," gumamku keluar dari semak-semak setelah kedua saudari si merah pergi. Tak lupa kusembunyikan kain berwarna merah itu di balik batu.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku dengan memalingkan wajah. Karena aku yakin dia pasti malu jika ketahuan tanpa busana.
"Si-siapa kau? Jangan mendekat!" cegahnya dengan suara bergetar, menahan tangis.
"Tenang! Aku hanya ingin membantu," ucapku seraya mengulurkan sebuah kain dan jaket padanya. Perlahan uluranku diterima.
"Terima kasih," ucapnya senang. Kini dia sudah ada di depanku.
Ya Tuhan! Ini sungguh bidadari.
Aku tak berkedip menatap wajah cantiknya. Kulit seputih susu dan sehalus porselen. Hidung mancung, bibir sensual dan mata birunya seolah memabukkanku.
"Maukah kau membawaku pulang? Di sini dingin," pintanya lemah dan takut-takut.
"Eh, i-iya. Tentu. Mari!" Aku berjalan mendahuluinya.
Akan kubawa ke mana dia? batinku bingung. Mana ada seorang pengembara mempunyai rumah?
Dan lagi, apakah dia tidak takut jika melihat senjataku?
"Bisakah kau sedikit lambat? Kakiku sakit." Aku menoleh. Oh God! Kenapa aku melupakannya?
Gadis cantik itu menunduk, memegangi telapak kakinya yang ... berdarah?
"Apa yang terjadi?" tanyaku khawatir. Aku segera berlutut memegangi kakinya. Kuperiksa kulit halus itu dengan teliti. Sebuah ranting tajam menggores telapak kakinya. Darah segar merembes pelan.
"Tenanglah! Aku akan mengikatnya." Kurobek ujung kausku lantas mengikatkan ke telapak kakinya.
"Kita harus bergegas. Bau darahmu pasti mengundang para vampir. Aku memang sudah membentengi diriku tapi adanya kamu bersamaku, mereka akan lebih mudah mendeteksi," jelasku seraya sibuk mengikat kakinya.
Dengan posisi seperti ini tangan halusnya memegang pundakku. Sesekali mencengkaram leher, ketika aku terlalu kuat menyentuh lukanya. Sungguh rasa yang indah!
"Selesai. Mari ki ...." Aku terhenti ketika merasakan kuku runcing perlahan menusuk pundak. Dan perlahan semakin dalam.
Aku terkejut ketika mendongak. Wanita itu berubah. Wajahnya putih pucat dengan garis halus berwarna kemerahan. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan barisan gigi dan taring yang tajam.
"Si-siapa kau?" Aku mundur, membuat cengkeramannya terlepas. Darah segar mengucur deras dari bekas kukunya.
"Hahaha. Benar saja! Si jagal memang kalah dengan wanita," ucapnya dengan seringai lebar. Aku meraba pinggang,
Mencari sesuatu.
"Kau mencari ini?" tanyanya menunjukkan senjataku yang sudah remuk. Bagaimana ini?
"Ini untuk Leonard!" teriaknya mencakar wajahku. Aku menjerit. Pedih dan panas seolah terbakar.
Aku berusaha mundur, tapi ... tubuhku terbentur batu.
"Tamat riwayatmu, tukang jagal!" Wanita menyeramkan itu berteriak lantang.
Aku hanya melihat bayangan kuning dan hijau yang secepat kilat menancapkan taringnya pada leherku. Kurasakan darahku tersedot habis.
Aku hanya bisa melotot melihat wanita yang tadi kutolong menancapkan kukunya ke dadaku. Merobek dan menarik isi di dalamnya.
Tubuhku bergetar. Hingga kemudian tak kurasakan apa-apa lagi.
Gelap.
....
***
"Selamat datang, Jack." Aku mengerjap ketika kudengar suara halus seorang wanita. Kulihat tiga wanita cantik dan puluhan lelaki berpakaian hitam berdiri di depanku.
Berkali-kali aku memejamkan mata. Ada yang aneh dengan penglihatanku. Lantas menutup mulut yang ... juga terasa aneh. Perlahan tanganku bergerak, bermaksud meraba.
Tunggu!
"A-apa ini?" Aku menatap jemariku yang meruncing dengan kuku hitam yang tajam.
Wanita bergaun merah menyerahkan sebuah cermin.
"Tidak!" bisikku pelan. Aku menggeleng.
Di pantulan cermin, aku melihat seseorang yang sangat mirip denganku. Bedanya dia berwajah pucat, bermata merah dan bertaring.
.
END
-AmyJK-
Baturaja, 10012020
Sc Pict: pinterest
Diubah oleh amyjk02 11-06-2020 18:55
inginmenghilang dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.6K
360
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amyjk02
#64
Behind the Mirror

Sc: Pinterest
Horor Cermin
Behind the Mirror
****
Kanaya mematung di depan cermin yang tergantung di dinding. Dia mengamati benda yang memantulkan wajah manisnya itu dengan seksama.
"Please, jangan lagi!" bisiknya pelan.
Kanaya meraih cleanser dari meja dan mulai mengaplikasikan pada wajah halusnya. Namun, mendadak terhenti ketika lampu tiba-tiba padam. Kanaya terpekik pelan. Jemarinya mencari ponsel di antara alat make up. Ketemu. Dia lantas menghidupkan senter.
"Akh!" jeritnya terkejut ketika mendapati wajah menyeramkan di cermin. Lantas terpejam ketika lampu menyala tiba-tiba. Perempuan 26 tahun itu mengedarkan pandang berusaha mencari apa yang baru saja dilihatnya. Dia sangat yakin jika tadi benar-benar melihatnya.
"Hanya ilusi, tidak nyata!" ucapnya pada diri sendiri.
Setelah tenang dan memastikan tidak ada apa-apa, Kanaya kembali meneruskan kegiatan membersihkan wajahnya.
Satu tetes pelembab dioleskan ke pipi. Jemari lentiknya meratakan dan menekan-nekan krim ke kulit. Matanya melotot. Di cermin, bukan gerakannya yang memakai krim yang terpantul, tapi gerakan merobek pipinya sendiri. Ya, kuku jarinya panjang dan runcing, padahal Kanaya tidak memanjangkan kuku. Benda runcing itu perlahan tenggelam di dalam kulit pipi, membuat cairan merah kehitaman mengucur. Bukan hanya menusuk, kuku itu juga merobek kulit pipinya. Menarik dagingnya hingga ke dagu. Wajah cantik itu kini terlihat menyeramkan.
"Tidak!"
Prang!
Cermin itu pecah sebagian hakibat lemparan sebotol parfum yang juga pecah. Kanaya mulai ketakutan, karena bayangan di cermin tetap ada. Bayangan dirinya dalam bentuk yang lain berubah mengerikan. Jemari runcing itu kini mencakar wajahnya sendiri dengan beringas, membuatnya hancur dan berlumuran darah. Selesai dengan wajah, jemari itu menggores leher dan dada.
"Tidak!" jeritnya dengan tubuh yang jatuh terduduk di lantai kamar. Kanaya menutup mata dan telinganya karena kini suara tawa melengking memenuhi ruangan bernuansa merah muda itu.
"Kanaya?"
Raymond sigap memeluk istrinya yang ketakutan di lantai kamar. Wanita yang baru saja dinikahinya selama dua minggu itu langsung menangis ketakutan.
Perlu waktu lama untuk membuat Kanaya tenang. Bahkan lelaki 30 tahun itu harus mau memenuhi permintaan Kanaya yang tidak mau tidur di kamarnya.
"Aku yakin ada yang salah dengan kamar itu. Percaya padaku!" rengeknya.
"Sstt, tidak ada apa-apa, Sayang. Kamu hanya lelah." Raymond memegang pipi istrinya berusaha membuatnya tenang. Raut kecewa jelas tergambar di wajah Kanaya. Lagi? Suaminya tidak percaya.
Kanaya terisak. Ini bukan pertama kalinya. Namun, kali ini memang sudah parah. Biasanya Kanaya hanya melihat bayangan menyeramkan di cermin, kaca cermin yang tiba-tiba pecah dan mengeluarkan darah, cermin yang tidak memantulkan bayangannya, dan banyak hal ganjil lainnya.
"Oke. Jika memang kamu merasa ada yang aneh dengan rumah ini, besok aku akan cari tahu. Tenang, ya!" Raymond memeluk istrinya, memberi janji untuk membuatnya tenang.
"Aku tidak kuat ... aku takut!" rengek Kanaya dalam pelukan suaminya.
*****
"Dari informasi yang kudapat, dulu, di rumah ini telah terjadi pembunuhan pada seorang wanita. Jasadnya di simpan di tembok, yang sekarang ditutup cermin di kamar kita. Penyebab pembunuhan ... hm, aku kurang paham," jelas Raymond ketika sampai di rumah. Dia menyodorkan sebuah artikel di ponselnya.
"Pemilik sebelumnya juga mengalami hal yang sama, tapi tidak lama. Semua akan baik-baik saja. Oke?"
Kanaya mengangguk ragu. Dia tampak gelisah. Keringat mulai bermunculan di dahi. Duduknya pun terlihat tidak tenang.
"Apa kubilang? Setelah tahu, kamu jadi takut, 'kan?"Raymond tersenyum menatap wajah ketakutan istrinya. Dia lantas membenamkan tubuh langsing Kanaya dalam pelukannya.
" Ada aku, jangan takut!" Kanaya mengangguk.
Malam itu mereka tidur lebih cepat. Seharian menghadapi klien membuat Raymond lelah. Lain halnya dengan Kanaya. Meski lelah mengurus butik, wanita itu tetap tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya berkecamuk.
Denting jam tepat tengah malam mengejutkan Kanaya yang masih juga belum terlelap. Tubuhnya berkeringat ketika menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya dan Raymond di ranjang.
Kanaya bergerak pelan. Menyingkap selimut dan memakai sweater. Dia berjingkat bangun dan menjauhi ranjang. Wanita itu bernapas lega ketika berhasil sampai di ruang tengah. Jemarinya cepat mencari sesuatu di laci meja kerja Raymond.
Berhasil. Dua buah kunci berukuran kecil segera dibawa pergi. Dengan sedikit gemetar Kanaya berusaha membuka pintu keluar.
"Mau kemana, Sayang?" Kanaya tersentak. Kunci yang dipegangnya bahkan terjatuh.
"Ini sudah malam. Tidak bisakah kau pergi besok saja?" Raymond melepas piyama tidurnya. Menyisakan celana pendek saja.
"Ayo, kembali tidur!" Raymond berusaha menggamit lengan Kanaya. Wanita itu berlari. Namun, Raymond lebih cepat. Sekali tarik, tubuh langsing Kanaya terhempas ke lantai.
"Harusnya kau tidak penasaran, Kanaya." Raymond menjambak rambut panjangnya yang tergerai. Wanita itu meringis. Berganti tangis ketika Raymond menyeretnya hingga ke kamar.
Raymond membanting Kanaya ke tembok kamar, tepat di bawah cermin. Wanita itu menjerit tertahan.
"Jadi, kau sudah mencari tahunya sendiri, hah?" Raymond mendekati cermin. Bahkan kakinya menginjak jemari Kanaya di bawahnya. Lelaki itu mengangkat cermin yang rusak sebagian dengan hati-hati. Perlahan meletakkannya di lantai. Sesaat dia termangu menatap ruangan kosong bekas cermin.
Raymond terkekeh menatap benda terbungkus plastik transparan yang menyatu dengan tembok.
"Apa kabar, Sayang?" sapanya lantas tertawa.
Di bawah cermin, Kanaya beringsut menjauh. Sekuat tenaga wanita itu berusaha bergerak sedikit demi sedikit meski seluruh tubuhnya terasa remuk. Tangannya meraih pecahan kaca yang terjatuh tak jauh darinya. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa dia mengayunkan benda tajam itu.
"Akh! Sialan!" pekik Raymond ketika merasakan sakit akibat tusukkan di kakinya. Dia murka. Dengan beringas diangkatnya tubuh Kanaya lantas menghempaskannya ke lantai. Kanaya mengerang dan menggeliat pelan menahan sakit.
Belum cukup, Raymond menjambak rambut Kanaya, membuatnya menatap wajah yang kesakitan itu.
"Andai kau tidak banyak tingkah dan penakut, mungkin kita akan bahagia selamanya."
Raymond menyeret Kanaya kembali ke bawah cermin. Lelaki itu meraih pecahan cermin yang tadi digunakan Kanaya untuk menggoresnya. Bibir kecokelatan itu tersenyum sinis ketika menggoreskan pecahan cermin ke wajah Kanaya. Wanita itu mencoba meronta meski lemah. Tenaganya tak cukup kuat untuk melawan suaminya yang memang berbadan lebih besar.
"Maaf, Sayang, aku membuatmu begini."
Kali ini Raymond menusuk mata kiri Kanaya lantas mencongkelnya. Tidak cukup, Raymond membenturkan kepala Kanaya ke tembok. Bukan hanya sekali. Lelaki itu berhenti ketika melihat istrinya tak bergerak lagi. Tentu saja dengan kondisi mengenaskan.
****
Kanaya menggeliat ketika merasakan pedih di sekujur tubuh dan sakit yang teramat sangat di kepala dan wajah. Dia meronta lantas panik ketika mendapati dirinya terikat kuat, kesulitan bernapas, dan terbungkus plastik transparan. Berteriak? Tenggorokannya terasa sakit dan terbakar. Mulutnya seolah meradang dan bengkak. Kanaya baru menyadari jika lidahnya tidak berfungsi atau ... tidak ada lagi.
Dari balik plastik Kanaya bisa melihat dengan jelas Raymond yang sibuk memasangkan cermin di depannya. Dia baru tahu jika itu adalah cermin dua arah. Raymond tidak bisa melihatnya, tapi dia dengan jelas menatap suaminya itu yang tengah sibuk.
****
"Maaf, aku harus melakukannya. Karena aku tidak ingin kau pergi dariku. Aku ingin kamu tetap bersamaku, selamanya, di rumah kita ini."
Kanaya terdiam. Selembar surat berhias bercak darah itu terjatuh di lantai. Pun tubuhnya yang seolah tanpa tulang lagi. Matanya nanar menatap puluhan lembar foto menakutkan dari dalam kotak yang dia temukan di balik cermin.
Raymond terlihat bahagia berswafoto dengan berbagai pose berlatar belakang Evelyna yang tidak lagi bergerak. Gadis itu mengenaskan. Wajahnya nyaris tak dikenali lagi. Pipinya penuh sayatan, lingkaran mata menghitam, dan bibir yang tidak lagi simetris. Belum lagi tubuhnya yang juga penuh luka menganga.
"Evelyna, gadis 24 tahun, seorang model majalah dewasa menghilang setelah menghadiri konferensi pers. Sang pacar, Raymond, mengatakan bahwa Evelyna pamit pergi ke suatu tempat." Begitu bunyi potongan surat kabar yang tersimpan bersama benda lainnya. Ada gaun pengantin, sepatu, tuxedo, dan beberapa lembar pakaian tidur wanita.
Hal terakhir yang ditemukannya adalah jasad Evelyna yang diawetkan di belakang cermin. Terbungkus plastik transparan, menghadap ke belakang cermin. Kanaya tidak pernah menduga jika kini dia juga ada di belakang cermin, bersama Evelyna.
Sekarang Kanaya hanya bisa pasrah. Menunggu seseorang menyadari akan kehadirannya dan melakukan apa yang pernah dilakukannya. Dia juga akan menyesali keputusannya menikah dengan lelaki tampan pemilik senyum manis, tapi berhati iblis. Lelaki yang baru dikenalnya tiga bulan lalu.
Apakah kalian menemukan bayangan lain di cermin kalian?
---
End
Sc: Opri
Diubah oleh amyjk02 05-06-2020 09:49
husnamutia memberi reputasi
1