- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
...
TS
rendyprasetyyo
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
Quote:
TENANG, CERITA KITA, APAPUN UJUNGNYA, AKAN DIKENANG SELAMANYA.
SELAMAT DATANG DI CERITA KITA UNTUK SELAMANYA SERIES.
Quote:
Sinopsis:
Ditahun 2025 terjadi kekacauan besar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi virus yang semakin memburuk, serangan teror, unjuk rasa, banyak orang harus kehilangan keluarga dan mata pencarian, sampai akhirnya pemerintah menetapkan status darurat nasional untuk menghentikan semua aktifitas yang dapat membahayakan warga. Ditengah kekacauan ini, Rendy dan Bianca bertemu dengan Mr.Klaus yang akan merubah hidup mereka dan membawa mereka pada petualangan baru di Desa Praijing, Sumba. Siapakah yang akan memperbaiki keadaan tersebut? Apakah kekacauan tersebut bisa diselesaikan? Siapakah sebenernya Mr.Klaus?
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembukanya gak usah panjang-panjang. sebelum baca series ketiga ini gue rekomendasikan untuk baca dulu dua series sebelumnya ya biar gak bingung dan gak banyak nanya lagi. Tapi kalau mau lanjut kesini aja juga boleh. langsung aja, enjoy the story hehe.
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
The Carpenters - Yesterday Once More
Official Soundtrack
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Darmono - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
--------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita Kita Untuk Selamanya versi FULL SERIES :
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
The Carpenters - Yesterday Once More
Official Soundtrack
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Darmono - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Quote:
--------------------------------------------------------------------------------------------
CERITA KITA UNTUK SELAMANYA 3 : CATAPHILES
PROLOG
Tahun 2026
Disebuah negeri entah berantah.
“Bi..? ini beneran kamu?”
Gue buka mata gue perlahan sambil menegakkan tubuh gue yang serasa rontok disemua bagian. Tangan kiri gue berasa perih dan samar-samar terlihat aliran darah beku menghitam diarea pergelangannya. Bibir atas dan lutut kaki sebelah kanan gue juga menimbulkan sensasi sakit luar biasa tiap kali gue mencoba untuk menggerakkan tubuh. Samar-samar terlihat bayangan bibi ketika pertama kali gue membuka mata tadi. Sekarang setelah sepenuhnya sadar, gue makin bingung dengan keadaan yang tejadi karena gak cuma ada Bibi disini. Ada seorang wanita lain terlihat sedang membalut luka ditungkai kaki seorang pria yang terlihat mengeluarkan darah cukup banyak.
“Iya, Rendy. Ini aku” Bibi menjawab sambil mengulurkan beberapa obat penghilang rasa sakit dan penambah darah untuk gue minum. “Minum nih kalau masih kerasa sakit, untung aja gak apa-apa kan.”
“Gak apa-apa apanya sih bi?” gue mengambil obat dari tangan bibi dan segera meminum obat tersebut dengan beberapa teguk air yang ada digelas di sisi lain tubuh gue. “Emang kita dimana? Kenapa ada mereka juga?”
Gue dan Bibi sekarang ada disebuah pondok kayu kecil berukuran 3x4 m dengan satu jendela persegi kecil bertirai kain hitam lusuh jadi tempat lewat mentari pagi berada disisi belakang tubuh bibi. Sang wanita asing yang tadi sedang sibuk memperban seorang laki-laki sekarang terlihat menatap Bibi dari kejauhan. Luka yang sedang diperban dari tungkai cowok tersebut pun terlihat sudah berhenti mengalirkan darah. Ruangan kumuh ini lembab dengan hanya satu alas tidur jadi tempat beristirahat lelaki dengan perban didaerah tungkai. Samar gue lihat kalau laki-laki ini terlihat familiar dengan rambut ikal panjangnya.
“hufft” bibi menjawab sambil menghela nafas panjang dan membereskan beberapa peralatan yang sebelumnya dipakai untuk mengobati gue. “dugaan aku bener kan, kamu bakal lupa semuanya setelah semalam kepala kamu kebentur. Untung ada mereka yang nolongin”
Terlihat sang wanita tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kearah gue.
“Mereka siapa be?” gue bertanya pelan kearah bibi sambil meringis.
“Astaga Rendy kamu beneran gak inget apa-apa ya. Yang cewek namanya Sydney dan yang cowok namanya Will” Bibi menjawab. “Kita disini bareng-bareng karena harus ngumpulin informasi tentang apapun yang berhubungan sama organisasi Cataphiles, seenggaknya itu perintah yang dikasih atasan kemaren. Tapi karena kecerobohan kamu rencana kita gagal semalem dan harus sembunyi ditempat ini sekarang.”
Will? Sydney? Organisasi Cataphiles? Perintah atasan? Semua hal yang bibi bicarakan terdengar imajinatif karena seinget gue semalem sebelum tidur gue masih ada dikosan, ngobrol sama mas kosan tentang kemungkinan gue untuk pindah kerja. Gue dan bibipun udah lama gak ketemu dan sekarang tiba-tiba kita berdua sedang berada di tempat antah berantah sama dua orang asing dan katanya sedang menjalani sebuah misi.
“Bentar-bentar” gue mencoba menelaah perkataan bibi. “kamu bisa ceritain dari awal? Dari awal banget?”
“Dari awal kita ketemu?” bibi menjawab. “apa dari awal kita ada ditempat ini? by the way, kita sekarang lagi di perbatasan sisi timur kota Paris”
“Dari awal terbentuk galaksi bimasakti juga boleh aku dengerin” gue menjawab perkataan bibi sambil membenarkan posisi lutut kanan gue yang telihat lebam membiru dengan ukuran cukup besar. “semalem aku tidur masih dikosan kok tiba-tiba ada disini ya wajar dong bingung. Bentar, kamu bilang PARIS?”
“hah? Tidur dikosan?” bibi menjawab sambil mengernyitkan dahi.”bener-bener makin bodoh setelah kepalanya terbentur nih orang. ya udah sini diceritain dari awal...”
Dan bibi mulai bercerita tentang kejadian awal kenapa semua jadi seperti ini. Di kejauhan gue liat sydney terlihat tersenyum karena obrolan gue dan bibi barusan.
Index:
PART 1 :Tragedi
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
PART 2 : Preparasi
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
PART 3 : Akurasi
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27 - Special Chapter
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
PART 4 : Memori
Soon
PART 1 :Tragedi
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
PART 2 : Preparasi
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
PART 3 : Akurasi
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27 - Special Chapter
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
PART 4 : Memori
Soon
Cerita Kita Untuk Selamanya versi FULL SERIES :
BUDAYAKAN MENINGGALKAN JEJAK SUPAYA KITA BISA SALING KENAL
Quote:
Quote:
Polling
0 suara
lebih enak baca di kaskus atau wattpad?
Diubah oleh rendyprasetyyo 11-06-2023 20:12
nomorelies dan 39 lainnya memberi reputasi
38
20.9K
524
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rendyprasetyyo
#42
Chapter 16
Pukul 10.00 WIT
Wamena, 48 KM dari Habbema Lake
Aku gak perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepe’an
Aku gak butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan ‘tuk makan
Wamena tampak sepi pagi ini. Udara masih terasa dingin walaupun matahari sudah beranjak naik. Gak banyak bangunan megah berdiri disisi-sisi jalan di kota kecil yang terletak di daerah Lembah Baliem pegunungan tengah Papua ini. Restoran yang Mr.K janjikan terletak tepat disebelah penginapan sederhana yang semalam gue dan Bibi tempati. Setelah beberapa langkah melewati trotoar kota, gue dan Bibi sampai didepan restauran yang Mr.K janjikan. Tidak banyak toko-toko yang buka, restauran ini cuma satu diantara beberapa restauran yang masih menyediakan makanan untuk disantap oleh warga kota Wamena ditengah larangan beraktifitas yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah selama beberapa tahun terakhir.
Dari luar restauran gue bisa melihat kalau Mr.K sedang duduk berdampingan dengan Karina, asistennya yang gue perkirakan lebih muda 2-3 tahun dari umur gue dan Bibi. Karin terlihat sedang sibuk mengetik sesuatu di notebook yang ada dihadapannya sementara Mr.K terlihat sedang menikmati rokok bersama secangkir teh persis seperti yang dia lakukan dirumah gue shubuh sehari sebelumnya. Mereka berdua sama-sama menggunakan jaket tebal dan sekilas gue lihat Mr.K juga sudah fit setelah sebelum pesawat take off dia mengaku kalau dia kurang tidur ketika menolong gue dan Bibi.
“Akhirnya kalian datang juga” Mr.K berkata ketika dia melihat gue dan Bibi memasuki pintu rumah makan. Rumah makan ini terlihat cukup ramai pagi ini. Dengan penyesuaian terhadap peraturan pemerintah daerah, jarak antar meja makan sekarang telah direnggangkan dan setiap pelayan yang melayani tamu harus menggunakan masker dan sarung tangan setiap saat. Tidak ada sapaan selamat datang atau senyum selamat jalan dari pelayan. Semua berubah sejak wabah flu menyerang dan hal ini seperti membentuk mindset baru tentang cara bersosialisasi di masyarakat beberapa tahun terakhir. “Bangun jam berapa dia tadi, Bi?
“Jam 9” Bibi menjawab sambil duduk dihadapan Karin dan gue mengambil tempat duduk dihadapan Mr.K. “Itu juga harus dibangunin dulu.”
“Wajar sih” Mr.K menjawab sambil menghisap rokoknya. “Kalian berdua sehat? Sekarang kita sarapan dulu, setelahnya kita berangkat ke danau Hebema, tempat dimana kita akan tinggal sementara waktu. Perjalanan masih panjang. Pastiin kalian gak update apa-apa di sosial media. Hapus semua akun sosial media sekarang.”
“Sehat kok, Danau Hebema ini beneran danau atau cuma sekedar nama tempat aja?” gue menjawab perkataan Mr.K sambil melontarkan pertanyaan gak penting. Sempat terlintas di benak gue untuk menyalakan rokok seperti yang Mr.K lakukan tapi kemudian gue teringat kalau gue punya Bibi sekarang. “Udah bertahun-tahun yang lalu kok gue gak main sosial media lagi. Gak tau Bibi kayaknya masih. Makanannya udah dipesen?”
“Sudah” Karin menjawab sambil tetap mengetik sesuatu di layar notebooknya. “Sebentar lagi datang deh kayaknya. New normal juga berlaku disini jadi proses masaknya juga harus bener-bener terjamin kebersihannya”
“oke” gue menjawab singkat.
“Lanjut ya, pokoknya selama disini gak ada yang namanya penggunaan handphone”. Mr.K menjawab sambil menyeruput tehnya. “Sekarang. selagi menunggu makanan datang, ada sesuatu yang harus dijelasin dulu ke kalian. Sesuatu tentang keberadaan suku Dani. Ini informasi penting untuk meminimalisir hal-hal bodoh yang akan terjadi kedepannya”. Mr.K menyambung perkataan Karin sambil melirik kearah gue ketika mengucapkan kata “bodoh”.
“Langsung aja, jadi gini” Karin melanjutkan pembicaraan. “Kita sekarang sedang berada di wilayah Lembah Baliem. Dulu lembah ini dipercaya sebagai sebuah danau raksasa sampai akhirnya danau tersebut harus mengering akibat pergeseran lempeng bumi dibawah pulau ini. Lembah ini terletak persis diantara pertemuan dua lempeng jadi memang riskan terjadi bencana alam seperti itu.”
Karin menutup notebooknya lalu melanjutkan penjelasan ke gue dan Bibi.
“Lembah ini membentang sepanjang 80 Km di wilayah kabupaten Jayawijaya dengan jumlah populasi yang hidup dilembah ini sekitar 100 ribu orang dari berbagai suku. Karena medan aksesnya berupa pegunungan, tebing-tebing terjal, lembah-lembah curam, Wamena sampai sekarang belum memiliki akses jalur darat yang menghubungkannya dengan kota-kata lain di Papua, bahkan dengan ibukota provinsi Jayapura. Semua diakses melalui jalur udara. Sampai sini ngerti?” Karin menjelaskan ke gue dan Bibi dengan satu tarikan nafas panjang.
“Ngerti” Bibi menjawab singkat sambil melirik ke arah gue. Gue gak tau mau menjawab apa karena info kayak gitu bisa aja gue dapet dari Google kalau gue punya akses internet sekarang. “Rendy gak usah ngerti nanti dia ujung-ujungnya nanya ke gue juga.”
“Lanjut. Karena cakupannya luas, lembah ini punya berbagai macam landscape mulai dari Puncak Trikora, Danau Hebbema, banyak padang rumput, hutan-hutan, lahan pertanian, berbagai macam flora dan fauna endemik yang bahkan belum terdata seluruhnya, dan berbagai macam hal lain yang benar-benar menakjubkan yang katanya belum ada satu tempat pun yang memiliki ke kompleks-an landscape yang selengkap Lembah Baliem. karena kelengkapannya ini wilayah yang termasuk dalam Taman Nasional Lorentz dianggap sebagai situs yang dilindungi oleh Dunia. Taman Nasional Lorentz sendiri kemudian dianggap sebagai taman nasional terluas di Asia Tenggara dengan hampir 70% wilayahnya belum terjamah manusia.”
“Keren” gue menjawab singkat sementara Bibi masih terlihat menyimak. “Lanjut”
“Sekarang baru masuk ke inti masalahnya” Karin menambahkan.”Di Lembah Baliem hidup berbagai suku etnis papua. Diantara banyak suku tersebut, suku Dani lah yang mendominasi populasi karena dianggap suku yang paling pintar dalam berperang. Dari sekian banyak suku Dani, suku Dani yang hidup disekitar Danau Hebbema yang paling dikenal dari semuanya. Suku Dani masih memegang prinsip-prinsip budaya leluhur dan hidup jauh dari perkembangan teknologi. Mereka sebagian besar hidup dengan bercocok tanam dan berternak babi dipimpin oleh seorang pemimpin suku yang dikenal tegas dan tanpa pandang bulu dalam menegakkan aturan adat.”
“Jadi agak serem sekarang” gue menyela perkataan Karina. “Eh itu makanannya udah dateng”
Dari jauh gue liat kalau seorang pelayan sedang mendekat ke meja yang sedang gue tempati sambil membawa 2 porsi udang berwarna kemerahan dengan siraman saus tiram diatasnya. Dibagian tengah piring loyang berukuran besar tersebut diletakkan beberapa sayuran seperti jagung untuk melengkapi hidangan.
“Ini namanya Udang Selingkuh” Mr.K berkata seolah-olah membaca pikiran gue dan Bibi. “Makanan Khas Papua Tengah. Yang sekarang ada didepan kalian ini versi bakar dengan siraman saus tiram. Kalian bisa pilih versi goreng, rebus, bakar, dengan berbagai macam saus. Udang ini punya ukuran mirip lobster tapi hidupnya di danau-danau yang ada di wilayah Papua. Jangan tanya kenapa dinamain udang selingkuh.”
“Kenapa Mr.K?” Bibi bertanya cepat.
“Gini” Mr.K menjawab. “Masyarakat Papua itu gak ketebak. Untuk penamaan tempat biasanya suatu tempat di Papua diberi nama sesuai dengan apa yang dilihat atau dirasakan. Contoh kalau mendaki bukit yang tinggi dan ekstremnya kebangetan, maka bukit itu diberi nama 'Bukit Aduh Mama'. Aduh mama semacam ungkapan keluhan karena harus mendaki bukit yang medannya berat. Kasus udang selingkuh juga sama dengan kasus Bukit Aduh Mama ini.”
"Ada juga Gunung Bakso di Jayapura. Bukan berarti gunung itu mirip bakso tapi karena banyak tukang bakso yang mangkal di sana," Karin menambahkan penjelasan Mr.K. “Poinnya adalah masyarakat Papua itu unik. Mereka punya 300 bahasa berbeda disini, mereka gak terpengaruh kemajuan teknologi, mereka suka berperang, memburu, tapi dibalik nafsu berperangnya mereka selalu menganggap pendatang sebagai saudara kalau mereka bisa menjaga batasan aturan adat yang ada.”
“Keren” gue menjawab sambil melirik kearah Bibi yang sekarang tampak antusias ingin menyantap udang yang sudah disajikan. “Be kamu gak alergi udang kan?”
“Gak rendy” Bibi menjawab cepat sambil mengambil beberapa potong udang bersamaan dengan Karin yang juga melakukan hal yang sama. 2 loyang besar udang selingkuh yang ada dihadapn gue sekarang gue perkirakan cocok jadi jatah sarapan 10 orang. “Kayaknya enak sih ini, terimakasih Mr.K.”
“Dengan senang hati” Mr.K menjawab sambil mengambil nasi putih yang diantar terpisah barusan. Aroma udang bakar memenuhi indra penciuman gue sekarang. “ Ayah lo suka banget ini, mangkanya gue pesen lebih. Cepet makan Rendy”
“E-eh, i-iya” gue menjawab sambil mengambil piring dan beberapa potong udang selingkuh dari loyang. “Ayah pernah kesini?”
“Pernah” sambil menyuap beberapa potong udang Mr.K menjawab. “Ayah lo orang disegani di sekitar danau Hebema. Jadi sebenernya lo bukan orang asing disini.”
“Nah kan mending cerita itu aja sekarang” gue menjawab sambil merasakan sensasi saus tiram dan daging udang bercampur di lidah gue. “Gimana ayah bisa sering kesini terus ayah sebenernya kerja apa”
“Lo benerbener gak kenal ayah lo ya” Mr.K membalas. “Nanti deh cerita yang bagian itu. Sekarang karin masih punya hal yang harus dijelasin dulu”
Gue diam sambil mengalihkan perhatian ke arah Karin sekarang. Bibi masih sibuk dengan aktifitas sarapannya sambil ikut mendengarkan.
“Betul, Penjelasannya dilanjut sambil makan, ya” Karina melanjutkan penjelasannya setelah berhasil menyuap satu potong udang selingkuh. “Suku Dani memang suka perang, tapi mereka terkenal ramah terhadap tamu bahkan bisa dianggap sebagai saudara sendiri asal tahu sopan santun kayak gak menyindir koteka atau gak berbicara seolah-olah mereka ketinggalan zaman.”
“Oke” gue menjawab cepat. “Gue ngerti, masihada lagi?
“Itu dulu sekarang” Karin menutup pembicaraan. “Hal-hal teknis lain bakal dijelasin selama perjalanan.”
“Siap” sambil mengangguj gue merespon perkataan Karin. “jadi nanti kita tinggal dimana? Di rumah adat, ditenda camping, atau..?”
“Lihat aja nanti” Mr. K menjawab sambil mengunyah potongan udang bersama dengan nasi yang sudah dia santap setengah porsi. “Sekarang makan dulu terus kita berangkat. Jaraknya sih deket cuma sekitar 50 km, tapi karena gak ada akses jalan yang bener-bener bagus jadi kemungkinan jarak tersebut bakal kita tempuh selama 2-3 jam. Sarapan yang banyak sekarang mangkanya”
“Ini udah habis” Bibi menjawab cepat sambil menjulurkan lengan untuk mengambil porsi tambahan udang selingkuh ketangannya. “Rendy kamu mau aku suapin? Habisin dong udangnya”
“Gak bibku gak usah” sambil meneguk air minum gue menjawab perkataab Bibi. Bibi terlihat senang sejak udang selingkuh disajikan dan gue lega setelah sebelumnya dia ngerasa takut dan asing berada di negeri entah berantah kayak gini.
Pukul 10.00 WIT
Wamena, 48 KM dari Habbema Lake
Aku gak perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepe’an
Aku gak butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan ‘tuk makan
Wamena tampak sepi pagi ini. Udara masih terasa dingin walaupun matahari sudah beranjak naik. Gak banyak bangunan megah berdiri disisi-sisi jalan di kota kecil yang terletak di daerah Lembah Baliem pegunungan tengah Papua ini. Restoran yang Mr.K janjikan terletak tepat disebelah penginapan sederhana yang semalam gue dan Bibi tempati. Setelah beberapa langkah melewati trotoar kota, gue dan Bibi sampai didepan restauran yang Mr.K janjikan. Tidak banyak toko-toko yang buka, restauran ini cuma satu diantara beberapa restauran yang masih menyediakan makanan untuk disantap oleh warga kota Wamena ditengah larangan beraktifitas yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah selama beberapa tahun terakhir.
Dari luar restauran gue bisa melihat kalau Mr.K sedang duduk berdampingan dengan Karina, asistennya yang gue perkirakan lebih muda 2-3 tahun dari umur gue dan Bibi. Karin terlihat sedang sibuk mengetik sesuatu di notebook yang ada dihadapannya sementara Mr.K terlihat sedang menikmati rokok bersama secangkir teh persis seperti yang dia lakukan dirumah gue shubuh sehari sebelumnya. Mereka berdua sama-sama menggunakan jaket tebal dan sekilas gue lihat Mr.K juga sudah fit setelah sebelum pesawat take off dia mengaku kalau dia kurang tidur ketika menolong gue dan Bibi.
“Akhirnya kalian datang juga” Mr.K berkata ketika dia melihat gue dan Bibi memasuki pintu rumah makan. Rumah makan ini terlihat cukup ramai pagi ini. Dengan penyesuaian terhadap peraturan pemerintah daerah, jarak antar meja makan sekarang telah direnggangkan dan setiap pelayan yang melayani tamu harus menggunakan masker dan sarung tangan setiap saat. Tidak ada sapaan selamat datang atau senyum selamat jalan dari pelayan. Semua berubah sejak wabah flu menyerang dan hal ini seperti membentuk mindset baru tentang cara bersosialisasi di masyarakat beberapa tahun terakhir. “Bangun jam berapa dia tadi, Bi?
“Jam 9” Bibi menjawab sambil duduk dihadapan Karin dan gue mengambil tempat duduk dihadapan Mr.K. “Itu juga harus dibangunin dulu.”
“Wajar sih” Mr.K menjawab sambil menghisap rokoknya. “Kalian berdua sehat? Sekarang kita sarapan dulu, setelahnya kita berangkat ke danau Hebema, tempat dimana kita akan tinggal sementara waktu. Perjalanan masih panjang. Pastiin kalian gak update apa-apa di sosial media. Hapus semua akun sosial media sekarang.”
“Sehat kok, Danau Hebema ini beneran danau atau cuma sekedar nama tempat aja?” gue menjawab perkataan Mr.K sambil melontarkan pertanyaan gak penting. Sempat terlintas di benak gue untuk menyalakan rokok seperti yang Mr.K lakukan tapi kemudian gue teringat kalau gue punya Bibi sekarang. “Udah bertahun-tahun yang lalu kok gue gak main sosial media lagi. Gak tau Bibi kayaknya masih. Makanannya udah dipesen?”
“Sudah” Karin menjawab sambil tetap mengetik sesuatu di layar notebooknya. “Sebentar lagi datang deh kayaknya. New normal juga berlaku disini jadi proses masaknya juga harus bener-bener terjamin kebersihannya”
“oke” gue menjawab singkat.
“Lanjut ya, pokoknya selama disini gak ada yang namanya penggunaan handphone”. Mr.K menjawab sambil menyeruput tehnya. “Sekarang. selagi menunggu makanan datang, ada sesuatu yang harus dijelasin dulu ke kalian. Sesuatu tentang keberadaan suku Dani. Ini informasi penting untuk meminimalisir hal-hal bodoh yang akan terjadi kedepannya”. Mr.K menyambung perkataan Karin sambil melirik kearah gue ketika mengucapkan kata “bodoh”.
“Langsung aja, jadi gini” Karin melanjutkan pembicaraan. “Kita sekarang sedang berada di wilayah Lembah Baliem. Dulu lembah ini dipercaya sebagai sebuah danau raksasa sampai akhirnya danau tersebut harus mengering akibat pergeseran lempeng bumi dibawah pulau ini. Lembah ini terletak persis diantara pertemuan dua lempeng jadi memang riskan terjadi bencana alam seperti itu.”
Karin menutup notebooknya lalu melanjutkan penjelasan ke gue dan Bibi.
“Lembah ini membentang sepanjang 80 Km di wilayah kabupaten Jayawijaya dengan jumlah populasi yang hidup dilembah ini sekitar 100 ribu orang dari berbagai suku. Karena medan aksesnya berupa pegunungan, tebing-tebing terjal, lembah-lembah curam, Wamena sampai sekarang belum memiliki akses jalur darat yang menghubungkannya dengan kota-kata lain di Papua, bahkan dengan ibukota provinsi Jayapura. Semua diakses melalui jalur udara. Sampai sini ngerti?” Karin menjelaskan ke gue dan Bibi dengan satu tarikan nafas panjang.
“Ngerti” Bibi menjawab singkat sambil melirik ke arah gue. Gue gak tau mau menjawab apa karena info kayak gitu bisa aja gue dapet dari Google kalau gue punya akses internet sekarang. “Rendy gak usah ngerti nanti dia ujung-ujungnya nanya ke gue juga.”
“Lanjut. Karena cakupannya luas, lembah ini punya berbagai macam landscape mulai dari Puncak Trikora, Danau Hebbema, banyak padang rumput, hutan-hutan, lahan pertanian, berbagai macam flora dan fauna endemik yang bahkan belum terdata seluruhnya, dan berbagai macam hal lain yang benar-benar menakjubkan yang katanya belum ada satu tempat pun yang memiliki ke kompleks-an landscape yang selengkap Lembah Baliem. karena kelengkapannya ini wilayah yang termasuk dalam Taman Nasional Lorentz dianggap sebagai situs yang dilindungi oleh Dunia. Taman Nasional Lorentz sendiri kemudian dianggap sebagai taman nasional terluas di Asia Tenggara dengan hampir 70% wilayahnya belum terjamah manusia.”
“Keren” gue menjawab singkat sementara Bibi masih terlihat menyimak. “Lanjut”
“Sekarang baru masuk ke inti masalahnya” Karin menambahkan.”Di Lembah Baliem hidup berbagai suku etnis papua. Diantara banyak suku tersebut, suku Dani lah yang mendominasi populasi karena dianggap suku yang paling pintar dalam berperang. Dari sekian banyak suku Dani, suku Dani yang hidup disekitar Danau Hebbema yang paling dikenal dari semuanya. Suku Dani masih memegang prinsip-prinsip budaya leluhur dan hidup jauh dari perkembangan teknologi. Mereka sebagian besar hidup dengan bercocok tanam dan berternak babi dipimpin oleh seorang pemimpin suku yang dikenal tegas dan tanpa pandang bulu dalam menegakkan aturan adat.”
“Jadi agak serem sekarang” gue menyela perkataan Karina. “Eh itu makanannya udah dateng”
Dari jauh gue liat kalau seorang pelayan sedang mendekat ke meja yang sedang gue tempati sambil membawa 2 porsi udang berwarna kemerahan dengan siraman saus tiram diatasnya. Dibagian tengah piring loyang berukuran besar tersebut diletakkan beberapa sayuran seperti jagung untuk melengkapi hidangan.
“Ini namanya Udang Selingkuh” Mr.K berkata seolah-olah membaca pikiran gue dan Bibi. “Makanan Khas Papua Tengah. Yang sekarang ada didepan kalian ini versi bakar dengan siraman saus tiram. Kalian bisa pilih versi goreng, rebus, bakar, dengan berbagai macam saus. Udang ini punya ukuran mirip lobster tapi hidupnya di danau-danau yang ada di wilayah Papua. Jangan tanya kenapa dinamain udang selingkuh.”
“Kenapa Mr.K?” Bibi bertanya cepat.
“Gini” Mr.K menjawab. “Masyarakat Papua itu gak ketebak. Untuk penamaan tempat biasanya suatu tempat di Papua diberi nama sesuai dengan apa yang dilihat atau dirasakan. Contoh kalau mendaki bukit yang tinggi dan ekstremnya kebangetan, maka bukit itu diberi nama 'Bukit Aduh Mama'. Aduh mama semacam ungkapan keluhan karena harus mendaki bukit yang medannya berat. Kasus udang selingkuh juga sama dengan kasus Bukit Aduh Mama ini.”
"Ada juga Gunung Bakso di Jayapura. Bukan berarti gunung itu mirip bakso tapi karena banyak tukang bakso yang mangkal di sana," Karin menambahkan penjelasan Mr.K. “Poinnya adalah masyarakat Papua itu unik. Mereka punya 300 bahasa berbeda disini, mereka gak terpengaruh kemajuan teknologi, mereka suka berperang, memburu, tapi dibalik nafsu berperangnya mereka selalu menganggap pendatang sebagai saudara kalau mereka bisa menjaga batasan aturan adat yang ada.”
“Keren” gue menjawab sambil melirik kearah Bibi yang sekarang tampak antusias ingin menyantap udang yang sudah disajikan. “Be kamu gak alergi udang kan?”
“Gak rendy” Bibi menjawab cepat sambil mengambil beberapa potong udang bersamaan dengan Karin yang juga melakukan hal yang sama. 2 loyang besar udang selingkuh yang ada dihadapn gue sekarang gue perkirakan cocok jadi jatah sarapan 10 orang. “Kayaknya enak sih ini, terimakasih Mr.K.”
“Dengan senang hati” Mr.K menjawab sambil mengambil nasi putih yang diantar terpisah barusan. Aroma udang bakar memenuhi indra penciuman gue sekarang. “ Ayah lo suka banget ini, mangkanya gue pesen lebih. Cepet makan Rendy”
“E-eh, i-iya” gue menjawab sambil mengambil piring dan beberapa potong udang selingkuh dari loyang. “Ayah pernah kesini?”
“Pernah” sambil menyuap beberapa potong udang Mr.K menjawab. “Ayah lo orang disegani di sekitar danau Hebema. Jadi sebenernya lo bukan orang asing disini.”
“Nah kan mending cerita itu aja sekarang” gue menjawab sambil merasakan sensasi saus tiram dan daging udang bercampur di lidah gue. “Gimana ayah bisa sering kesini terus ayah sebenernya kerja apa”
“Lo benerbener gak kenal ayah lo ya” Mr.K membalas. “Nanti deh cerita yang bagian itu. Sekarang karin masih punya hal yang harus dijelasin dulu”
Gue diam sambil mengalihkan perhatian ke arah Karin sekarang. Bibi masih sibuk dengan aktifitas sarapannya sambil ikut mendengarkan.
“Betul, Penjelasannya dilanjut sambil makan, ya” Karina melanjutkan penjelasannya setelah berhasil menyuap satu potong udang selingkuh. “Suku Dani memang suka perang, tapi mereka terkenal ramah terhadap tamu bahkan bisa dianggap sebagai saudara sendiri asal tahu sopan santun kayak gak menyindir koteka atau gak berbicara seolah-olah mereka ketinggalan zaman.”
“Oke” gue menjawab cepat. “Gue ngerti, masihada lagi?
“Itu dulu sekarang” Karin menutup pembicaraan. “Hal-hal teknis lain bakal dijelasin selama perjalanan.”
“Siap” sambil mengangguj gue merespon perkataan Karin. “jadi nanti kita tinggal dimana? Di rumah adat, ditenda camping, atau..?”
“Lihat aja nanti” Mr. K menjawab sambil mengunyah potongan udang bersama dengan nasi yang sudah dia santap setengah porsi. “Sekarang makan dulu terus kita berangkat. Jaraknya sih deket cuma sekitar 50 km, tapi karena gak ada akses jalan yang bener-bener bagus jadi kemungkinan jarak tersebut bakal kita tempuh selama 2-3 jam. Sarapan yang banyak sekarang mangkanya”
“Ini udah habis” Bibi menjawab cepat sambil menjulurkan lengan untuk mengambil porsi tambahan udang selingkuh ketangannya. “Rendy kamu mau aku suapin? Habisin dong udangnya”
“Gak bibku gak usah” sambil meneguk air minum gue menjawab perkataab Bibi. Bibi terlihat senang sejak udang selingkuh disajikan dan gue lega setelah sebelumnya dia ngerasa takut dan asing berada di negeri entah berantah kayak gini.
regmekujo dan 3 lainnya memberi reputasi
4


