- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#35
BAB IX Part 2 - Permainan Dimulai
ii.
Angin malam masuk melewati jendela, membekukan kulit dan mengangkat semua bulu bulu pada tanganku, malam ini dingin sekali. Aku bisa mendengar suara angin yang berhembus kencang menerpa pohon pohon di pekarangan, aku harap buah mangganya tidak banyak yang jatuh sebelum saatnya matang.
“Jaya, bisa kau tutup jendelanya,” pinta Ardi.
Mataku mengarah tajam kepada Ardi. “Aku kira kau tidak bisa kedinginan sejak awal kau menyuruhku membukakan jendela,” ucapku kesal, kemudian aku berdiri dan berjalan ke arah daun jendela perlahan lahan, tubuhku terlalu dingin untuk memaksa bergerak cepat.
“Sebenarnya aku tidak kedinginan sama sekali, cumang ku pikir kalau pizza tidak terasa enak kalau sudah dingin.”
Kedua tanganku berhenti saat semua jari jariku sudah meraih masing masing daun jendela. “Kenapa kau perlu berpikir, semua orang sudah tahu kalo masalah itu,” ucapku geram sambil menutup jendela dengan cepat saat rasa dingiku menjadi panas.
“Hei … kau tidak tahu rasanya berada di hutan hampir selama setahun memakan daun lalu kemudian kau kembali lagi ke kota dengan pizza dan burger di mulutmu,” balas Ardi yang ikut kesal.
“Kita seminggu makan makanan begini karena tidak ada satupun dari kita yang bisa masak.”
“Ah … aku bisa,” ucap Ardi.
Aku tidak bisa berkata apa apa lagi saat dia bilang begitu, mataku hanya memberi tatapan tajam padanya. Aku masih ingat saat sebelum dia pergi, dapur yang saat ini penuh dengan sarang laba laba itu dulu sering diapakainya untuk masak, namun kondisinya saat ini sepertinya tidak memungkinkan.
Aku kembali duduk di meja sambil menikmati sepotong pizza hangat ditanganku. Beberapa hari lalu, setiap gigitannya terasa enak di mulut, namun saat ini hanyalah rasa hambar yang mengisi perut kosong, mungkin besok aku tidak akan memesan makanan lengket ini lagi. Sayup sayup mataku menatap satu kotak lagi yang masih terbungkus rapi dan belum dibuka, aku bisa mencium aroma ikan tuna yang memasuki paru paruku, namun sepertinya tidak ada ronde kedua untuk malam ini.
Aku menoleh ke arah Ardi yang sedang dengan tenang makan, kepalanya meingak linguk ke kanan dan ke kiri secara berirama, sepertinya dia sedang hanyut dalam lantunan musik kesukaanya yang aku tidak pernah dengar. Kemudian Ardi berhenti melakukan goyangannya, ia kemudian menekan earphonenya. Ia berdiam kaku sekitar kurang dari semenit, sampa dia menekan kembali earphonennya itu.
“Jam berapa sekarang?” tanya Ardi.
Mataku berputar putar mencari lokasi jam dinding, yang aku baru ingat benda bercahaya merah itu ada diatas daun pintu. “Baru jam sembilan lewat sepuluh.”
“Kalau gitu … apa kau mau jalan jalan?”
Sontak pertanyaan itu membuatku kaget sekaligus sedikit jijik. “Apaan, jalan jalan?!”
“Ya … intinya kuberi tahu saat sudah sampai,” ujar Ardi.
“Memangnya mau kemana? apa ini penting atau iseng?” tanyaku penasaran.
“Bisa dibilang … keduanya.”
“Tapi Dito bilang kita gak boleh pergi jauh jauh, bukannya akan jadi bahaya.”
“Santai saja,” jawab Ardi.
“Terus, tujuannya?”
“Ketik saja ke jalan Pangeran Jayakarta di Mangga Dua, ada sesuatu yang harus kita cek.”
“Tempat apa itu?” tanyaku makin penasaran.
“Sudah ketik saja, kita harus cepat.”
Aku hanya menuruti perkatannya walau masih menyimpan rasa penasaran di kepalaku, tempat macam apa yang dia tuju dan seperti apa, aku tidak punya bayangan sama sekali.
iii.
Seperti biasanya, orang pendiam sepertiku dan Ardi adalah tipe orang yang bisa dibilang melawan hukum manusia. Sikap kami yang pendiam dan juga tidak banyak bicara memebuat perjalanan terasa lamban. Mataku hanya menatap kelap kelip cahaya lampu yang berwarna warni, berjalan di depan mataku. Orang orang masing masing berjalan sesuai kehendak masing masing, tidak bergerombol ataupun mengerubuni sesuatu, mereka semua sibuk akan urusan masing masing, kecuali orang yang berjalan berduaan, mereka bukan orang yang ingin kulihat.
Mataku sesekali menoleh ke arah kaca depan mobil, memerhatikan gerak gerik yang dilakukan oleh supir, aku yakin yang hanya dia pedulikan saat ini adalah mengantarkan penumpangnya dan mendapatkan uang, tidak lebih dan tidak kurang, atau mungkin dia mengira kami sepasang homoseksual yang seperti habis berkelahi namun harus pulang bareng, semoga saja tidak begitu.
Aku kembali melihat layarku yang menunjukan tujuan kami sudah hampir dekat, namun aku tidak tahu bangunan apa atau tempat apa yang Ardi maksud, aku belum sempat bertanya.
Aku menatap ke arah Ardi, walau kutahu ia tidak akan menatap balik. “Hei Ardi, seperti apa bentuk bangunannya?” tanyaku mencari tujuan kami.
“Ah … sebenarnya aku juga tidak tahu bentuk bangunannya masih sama atau tidak, namun seingatku dulu ada sebuah mangkuk besar yang terbuat dari lampu neon berwarna merah,”
Seketika kendaraan kami melamban, perhatianku langusung tertuju pada supir kami, aku rasa dia tahu sesuatu tentang tempat itu.
“Apa kau tahu tempat itu pak …” mataku menoleh ke arah layar untuk melihat namanya sesaat, “Susanto?”
“Ah … saya tahu tempat itu … tapi kenapa kalian kesana?”
“Entahlah aku juga tidak tahu, orang buta disebelahku juga tidak bilang apa apa,” jawabku.
“Saya tidak pernah melihat- secara langsung kedalam, tapi katanya- tempat itu sarangnya,” Susanto menelan ludahnya, “orang jahat,” ucapnya terbata bata.
Mataku menyipit sebelah mendegar ucapan supir barusan. “Wew … sejak kapan kau bersekongkol dengan Dito dan jadi bajingan seperti dia Ardi?”
“Kata Dito kau itu bocah polos, anak pondok, jadi jangan kasih tahu kalau kita akan melakukan inspeksi ke tempat yang begituan, intinya dia tahu kau akan menolak jika kuberi tahu,” jawab Ardi menjabarkan alasannya.
Aku cukup paham alasannya yang satu itu, aka ntetapi sedikit menjengkelkan di telingaku kalau tahu ada sisipan ledekan dari Dito.
“Ah ... apa kalian polisi?” tanya supir itu mendengar perbincangan singkat kami.
“Kami bukan polisi, kami cumang ingin mampir ke teman lama,” jawab Ardi.
Mobil kami akhirnya berhenti di seberang jalan, kami keluar dan berdiri persis di depan bangunan tersebut. Sebuah ruko dengan mangkuk mie besar berwarna merah terang. bisa dilihat dari sini ada beberapa mobil dan motor yang terparkir kucup rapi di depannya, sepertinya tempat ini cukup ramai.
“Sepertinya tempat ini tidak berubah sama sekali,” ucap Ardi.
Kepalaku menoleh kearah wajahnya, melihat ke arah matanya yang kukira sedang mencontek pandangan yang berada di depannya tanpa sepengetahuanku. “Bagaimana kau bisa tahu, apa kau melihat?”
“Walau mataku tertutup, cahaya lampunya masih bisa masuk lewat kelopak mataku bodoh, ayo cepat masuk!”
ii.
Angin malam masuk melewati jendela, membekukan kulit dan mengangkat semua bulu bulu pada tanganku, malam ini dingin sekali. Aku bisa mendengar suara angin yang berhembus kencang menerpa pohon pohon di pekarangan, aku harap buah mangganya tidak banyak yang jatuh sebelum saatnya matang.
“Jaya, bisa kau tutup jendelanya,” pinta Ardi.
Mataku mengarah tajam kepada Ardi. “Aku kira kau tidak bisa kedinginan sejak awal kau menyuruhku membukakan jendela,” ucapku kesal, kemudian aku berdiri dan berjalan ke arah daun jendela perlahan lahan, tubuhku terlalu dingin untuk memaksa bergerak cepat.
“Sebenarnya aku tidak kedinginan sama sekali, cumang ku pikir kalau pizza tidak terasa enak kalau sudah dingin.”
Kedua tanganku berhenti saat semua jari jariku sudah meraih masing masing daun jendela. “Kenapa kau perlu berpikir, semua orang sudah tahu kalo masalah itu,” ucapku geram sambil menutup jendela dengan cepat saat rasa dingiku menjadi panas.
“Hei … kau tidak tahu rasanya berada di hutan hampir selama setahun memakan daun lalu kemudian kau kembali lagi ke kota dengan pizza dan burger di mulutmu,” balas Ardi yang ikut kesal.
“Kita seminggu makan makanan begini karena tidak ada satupun dari kita yang bisa masak.”
“Ah … aku bisa,” ucap Ardi.
Aku tidak bisa berkata apa apa lagi saat dia bilang begitu, mataku hanya memberi tatapan tajam padanya. Aku masih ingat saat sebelum dia pergi, dapur yang saat ini penuh dengan sarang laba laba itu dulu sering diapakainya untuk masak, namun kondisinya saat ini sepertinya tidak memungkinkan.
Aku kembali duduk di meja sambil menikmati sepotong pizza hangat ditanganku. Beberapa hari lalu, setiap gigitannya terasa enak di mulut, namun saat ini hanyalah rasa hambar yang mengisi perut kosong, mungkin besok aku tidak akan memesan makanan lengket ini lagi. Sayup sayup mataku menatap satu kotak lagi yang masih terbungkus rapi dan belum dibuka, aku bisa mencium aroma ikan tuna yang memasuki paru paruku, namun sepertinya tidak ada ronde kedua untuk malam ini.
Aku menoleh ke arah Ardi yang sedang dengan tenang makan, kepalanya meingak linguk ke kanan dan ke kiri secara berirama, sepertinya dia sedang hanyut dalam lantunan musik kesukaanya yang aku tidak pernah dengar. Kemudian Ardi berhenti melakukan goyangannya, ia kemudian menekan earphonenya. Ia berdiam kaku sekitar kurang dari semenit, sampa dia menekan kembali earphonennya itu.
“Jam berapa sekarang?” tanya Ardi.
Mataku berputar putar mencari lokasi jam dinding, yang aku baru ingat benda bercahaya merah itu ada diatas daun pintu. “Baru jam sembilan lewat sepuluh.”
“Kalau gitu … apa kau mau jalan jalan?”
Sontak pertanyaan itu membuatku kaget sekaligus sedikit jijik. “Apaan, jalan jalan?!”
“Ya … intinya kuberi tahu saat sudah sampai,” ujar Ardi.
“Memangnya mau kemana? apa ini penting atau iseng?” tanyaku penasaran.
“Bisa dibilang … keduanya.”
“Tapi Dito bilang kita gak boleh pergi jauh jauh, bukannya akan jadi bahaya.”
“Santai saja,” jawab Ardi.
“Terus, tujuannya?”
“Ketik saja ke jalan Pangeran Jayakarta di Mangga Dua, ada sesuatu yang harus kita cek.”
“Tempat apa itu?” tanyaku makin penasaran.
“Sudah ketik saja, kita harus cepat.”
Aku hanya menuruti perkatannya walau masih menyimpan rasa penasaran di kepalaku, tempat macam apa yang dia tuju dan seperti apa, aku tidak punya bayangan sama sekali.
iii.
Seperti biasanya, orang pendiam sepertiku dan Ardi adalah tipe orang yang bisa dibilang melawan hukum manusia. Sikap kami yang pendiam dan juga tidak banyak bicara memebuat perjalanan terasa lamban. Mataku hanya menatap kelap kelip cahaya lampu yang berwarna warni, berjalan di depan mataku. Orang orang masing masing berjalan sesuai kehendak masing masing, tidak bergerombol ataupun mengerubuni sesuatu, mereka semua sibuk akan urusan masing masing, kecuali orang yang berjalan berduaan, mereka bukan orang yang ingin kulihat.
Mataku sesekali menoleh ke arah kaca depan mobil, memerhatikan gerak gerik yang dilakukan oleh supir, aku yakin yang hanya dia pedulikan saat ini adalah mengantarkan penumpangnya dan mendapatkan uang, tidak lebih dan tidak kurang, atau mungkin dia mengira kami sepasang homoseksual yang seperti habis berkelahi namun harus pulang bareng, semoga saja tidak begitu.
Aku kembali melihat layarku yang menunjukan tujuan kami sudah hampir dekat, namun aku tidak tahu bangunan apa atau tempat apa yang Ardi maksud, aku belum sempat bertanya.
Aku menatap ke arah Ardi, walau kutahu ia tidak akan menatap balik. “Hei Ardi, seperti apa bentuk bangunannya?” tanyaku mencari tujuan kami.
“Ah … sebenarnya aku juga tidak tahu bentuk bangunannya masih sama atau tidak, namun seingatku dulu ada sebuah mangkuk besar yang terbuat dari lampu neon berwarna merah,”
Seketika kendaraan kami melamban, perhatianku langusung tertuju pada supir kami, aku rasa dia tahu sesuatu tentang tempat itu.
“Apa kau tahu tempat itu pak …” mataku menoleh ke arah layar untuk melihat namanya sesaat, “Susanto?”
“Ah … saya tahu tempat itu … tapi kenapa kalian kesana?”
“Entahlah aku juga tidak tahu, orang buta disebelahku juga tidak bilang apa apa,” jawabku.
“Saya tidak pernah melihat- secara langsung kedalam, tapi katanya- tempat itu sarangnya,” Susanto menelan ludahnya, “orang jahat,” ucapnya terbata bata.
Mataku menyipit sebelah mendegar ucapan supir barusan. “Wew … sejak kapan kau bersekongkol dengan Dito dan jadi bajingan seperti dia Ardi?”
“Kata Dito kau itu bocah polos, anak pondok, jadi jangan kasih tahu kalau kita akan melakukan inspeksi ke tempat yang begituan, intinya dia tahu kau akan menolak jika kuberi tahu,” jawab Ardi menjabarkan alasannya.
Aku cukup paham alasannya yang satu itu, aka ntetapi sedikit menjengkelkan di telingaku kalau tahu ada sisipan ledekan dari Dito.
“Ah ... apa kalian polisi?” tanya supir itu mendengar perbincangan singkat kami.
“Kami bukan polisi, kami cumang ingin mampir ke teman lama,” jawab Ardi.
Mobil kami akhirnya berhenti di seberang jalan, kami keluar dan berdiri persis di depan bangunan tersebut. Sebuah ruko dengan mangkuk mie besar berwarna merah terang. bisa dilihat dari sini ada beberapa mobil dan motor yang terparkir kucup rapi di depannya, sepertinya tempat ini cukup ramai.
“Sepertinya tempat ini tidak berubah sama sekali,” ucap Ardi.
Kepalaku menoleh kearah wajahnya, melihat ke arah matanya yang kukira sedang mencontek pandangan yang berada di depannya tanpa sepengetahuanku. “Bagaimana kau bisa tahu, apa kau melihat?”
“Walau mataku tertutup, cahaya lampunya masih bisa masuk lewat kelopak mataku bodoh, ayo cepat masuk!”
aripinastiko612 dan ariefdias memberi reputasi
2
